Malam itu saya emosi. Marah besar. Kata-kata pedas
menghambur, seperti air bah yang melumat semua benda yang ada di hadapannya. Ketika
marah, maka saya akan marah sepenuh hati. Tak ada istilah marah setengah hati
dalam kamus kehidupan saya. Mungkin bedanya ada di levelisasi marah. Ada marah
yang bisa dikompromikan, ada marah yang cukup disimak dan didengarkan. Saat marah,
maka saya akan bicara tentang kerangka kemarahan saya, kenapa saya sampai
marah, hal apa yang dapat meredam kemarahan saya, dan kapan kemarahan saya akan
mereda, dan sebagainya dan semacamnya.
Saya tak suka marah saya disela. Meski tak semua kemarahan
itu harus diwakili dengan kata-kata. Kadang dengan lisan yang terdiam, mimik
wajah yang mengeras dan pandangan mata yang tajam. Saya sebenarnya tak suka
memvisualisasikan kemarahan. Adapun visualisasi yang nampak itu ketika marah
saya ada di level terendah. Ketika marah saya masih bisa dikompromikan dan
digunting-sana-sini-kan. Ketika marah itu memuncak dan meledak, maka saya akan diam.
Usia pernikahan kami belum seberapa. Masih seumur jagung. Masih
belia. Pun dengan usia aktual kami berdua, kami berdua masih belia. Kami masih
muda ketika biduk ini mulai kami kayuh bersama. Tak jarang kami bertengkar. Saya
marah kepada istri. Istri marah kepada saya. Bila dikomparasi, mungkin saya
yang lebih banyak marah ketimbang istri saya. Tak ada awal yang mudah, karena
saya tak suka kemarahan saya dijawab dengan kata-kata. Cukup diam dan tak perlu
menjawab saat saya marah, begitu ujar saya kepadanya, suatu hari ketika suasana
hati kami berdua sedang nyaman.
Istri saya juga suka marah. Saya hafal betul dengan mimik
wajahnya, getaran suaranya, intonasi kata-katanya, dan kapan air bening itu
akan mulai menggenang di pelupuk matanya ketika marah itu datang, lalu
menghebat. Tapi di luar itu semua, istri saya adalah perempuan ke dua yang
paling sabar ngopeni saya setelah ibu. Ibu adalah perempuan pertama yang
paling bisa mengerti isi kepala dan dada saya. Sangat wajar, karena darah,
keringat, dan air matanya telah menggarami saya mulai lahir hingga saat ini.
Terkadang ada marah yang perlu diselesaikan, tak jarang ada
marah yang hanya perlu didiamkan dan berlalu seiring berjalannya waktu, lalu
terlupa seiring bertambahnya usia. Saya adalah pemarah yang cepat, tapi maaf
saya lebih cepat datang sebelum marah saya reda. Seusai marah, saya akan
menyesali kemarahan saya, menyesali kata-kata pahit yang kadung saya oleskan ke
hatinya, menyesali pandangan tajam yang menusuk relung jiwanya, dan menyesali
keheningan yang harusnya pecah dengan renjis tawa. Lalu saat malam mulai larut
dan ketiga putri saya sudah terlelap tidur, maka dimulailah fase rekonsiliasi
kami berdua yang tak jarang berakhir dengan pelukan hangat atau gelora hasrat.
Terima kasih atas pesanggrahan jiwamu, tempat hati ini
tetirah ketika lelah. [wahidnugroho.com]
Kilongan, November 2013