Selasa, 22 Maret 2016

Kemewahan

Kemewahan.


Bagi tiap orang, kata ini memiliki maknanya tersendiri. Kemewahan bisa terkait dengan jumlah uang ataupun jenis barang. Bisa juga fasilitas. Kemewahan kadang bisa menaikkan pamor penikmatnya.


Tapi pendapat ini bisa jadi relatif.


Luwuk adalah kota kecil. Salah satu karakter dari kota kecil adalah fleksibilitas yang dimilikinya, terutama yang terkait dengan waktu. Di kota ini, waktu dan jarak bisa dikalkulasikan dengan sangat rigid, kecuali jika ada force majeur. Tapi relatif sangat bisa diprediksi.


Jika saya mau berkunjung ke kecamatan Toili yang jaraknya kurang lebih 100 km, maka waktu tempuhnya sekitar satu setengah jam. Waktu itu bisa berubah jika ada pemblokiran jalan oleh warga lokal, banjir, atau peristiwa di luar kuasa manusia lainnya. Tapi berdasar pengalaman yang sudah-sudah, waktu tempuh aslinya tidak akan jauh-jauh dari itu, apalagi kondisi jalan sekarang sudah lumayan mulus.


Bagi saya, fleksibilitas waktu, kemudahan untuk melakukan kalkulasi waktu, adalah sebuah kemewahan tersendiri. Di tengah makin rumit dan intensnaya kehidupan umat manusia, bisa menentukan waktu tempuh dalam jarak tertentu adalah salah satu wujud kemewahan yang relatif tidak bisa dinikmati setiap saat oleh orang-orang yang hidup di kota besar yang cenderung ruwet dan padat. Dan kemudahan itulah yang saya rasakan selama sembilan tahun tinggal di kota kecil ini.


Pagi hari adalah pintu pembukanya. Jika orang-orang di kota besar nan padat sudah harus berjibaku dengan segala urusan mereka sebelum matahari menampakkan sinarnya, di sini, saya masih bisa baca buku, menulis sedikit, berselancar sebentar di dunia maya, masak nasi goreng sampai pukul 06.30 dan baru masuk kamar mandi sepuluh menit sebelum tepat jam tujuh pagi. Sekira jam tujuh lewat lima saya berangkat dan sampai di kantor kurang lebih dua puluh menit kemudian. Waktu tempuh ini bahkan bisa jadi lebih cepat lima belas menit ketika saya masih mengontrak di Hanga-Hanga dulu.


Lepas jam setengah dua belas, saya izin ke luar kantor untuk menjemput anak-anak di sekolah. Setelahnya saya bisa makan siang di rumah dan leyeh-leyeh sebentar, atau sekedar ngobrol dengan istri dan anak-anak.


Pulang kantor pun begitu. Jika saya berangkat ketika sinar matari sudah agak meninggi, ketika pulang saya masih sempat melihat sinar matari yang cukup terang di ufuk barat. Keberlimpahan waktu yang ada juga memungkinkan saya bisa berinteraksi lebih intens dengan masyarakat sekitar dan turut dalam kegiatan-kegiatan mereka.


Ritual yang berlangsung dalam tempo yang cukup lama itu ternyata membentuk persepsi saya terhadap waktu dan telah menjadi zona nyaman bagi saya. Dan saya akui, itulah salah satu kemewahan yang saya dapatkan selama tinggal di kota kecil ini. Sebuah kemewahan yang rasa-rasanya akan jarang saya dapatkan ketika kembali ke Jakarta nanti.


Dari sini saya jadi bisa belajar mengerti bahwa aktivitas berkumpul bersama keluarga adalah sebentuk kemewahan yang tidak bisa dinikmati oleh semua orang. Situasi tiap-tiap orang memang beda. Tak semuanya berjalan sesuai dengan ideal, tidak selalu sesuai dengan yang mereka harapkan. Ada suami yang bekerja di mana dan istrinya di mana karena tuntutan tugas. Pertemuan jadi saat-saat yang dirindukan. Waktu yang singkat wajib dimaksimalkan dalam kebersamaan. Kepada mereka semua, saya doakan agar bisa segera berkumpul kembali bersama-sama.


Menghitung hari hilangnya, atau memudarnya, salah satu zona nyaman yang sudah lama kita nikmati ternyata bisa cukup meresahkan dan saya cukup resah dengan fakta itu. Tapi bisa jadi, ada hikmah yang bisa saya ambil dari peristiwa ini. Bisa jadi saya dituntut untuk lebih berdisiplin dengan waktu setelah agak santai dan berleha-leha dalam waktu yang cukup lama. Saking santainya sampai berat badan saya melonjak empat puluh kilo sejak pertama kali datang di kota ini sembilan tahun silam. Atau mungkin ini jadi semacam pemanasan bagi saya untuk menghadapi perpisahan yang tak terelakkan dengan anak-anak saya ketika mereka dewasa kelak. Bisa jadi ada hikmah lain yang saya belum tahu apa dan bagaimananya.


Keresahan ini saya sampaikan pula kepada istri dan anak-anak, bahwa ke depan mereka sudah tidak bisa lagi terlalu santai di waktu pagi saat hari sekolah, bahwa manajemen waktu mereka harus lebih diperbaiki lagi, bahwa mereka harus belajar untuk menentukan skala prioritas, dan bahwa-bahwa yang lainnya.


Apapun itu, hanya kepada Allah-lah semua urusan ini saya kembalikan dan semoga Ia mudahkan urusan-urusan itu. [wahidnugroho.com]


Muspratama, Maret 2016