Rabu, 21 September 2011

Kamis, 15 September 2011

Tentang Anak-Anak Kita

Sebuah kabar gembira datang dari ipar saya (saudara kembar istri) sore tadi. Persalinan putri pertamanya berjalan dengan lancar dan bayi yang dilahirkannya pun sehat. Mertua saya mengabarkannya dengan kata-kata yang menghambur bak air bah, seperti biasa yang beliau lakukan ketika sedang dilanda kepanikan. Alhamdulillah. Saya dan istri bahagia mendengarnya.

Mendengar kabar itu, dini hari ini saya terdorong untuk membuka-buka beberapa koleksi foto kedua putri saya, Azka dan Fidel. Nggak terasa, keduanya semakin tumbuh dan berkembang. Polahnya semakin lucu dan menggemaskan, celotehannya semakin meramaikan hari, meski terkadang membuat hati dan badan pegal melihat aksi-aksi akrobatiknya. Bahkan mertua saya yang awalnya perhatian banget sama kerapihan rumahnya, sekarang cuek aja kalo kedua cucunya itu datang dan menghamburkan seluruh isi rumahnya.

Rumah kontrakan kami pun nasibnya nggak jauh beda dari rumah mertua. Mungkin sedikit lebih “parah” berhubung semua mainan dan buku-buku putri kami ada di sini semuanya. Malah saya sempat berkelakar dengan istri kalau rumah yang berantakan tandanya kedua putri kami sehat, dan, sebaliknya, rumah yang rapih tandanya kedua atau salah satu putri kami sakit.

Nyaris semua barang di rumah kami, yang memang sudah tak berperabot, bernasib menjadi mainan kedua putri saya. Mulai dari piring, gelas, sendok, garpu, sotil, panci, bejana minum, sumpit, buku-buku, handphone, keranjang pakaian, tempat pensil, sampai kardus tempat menyimpan sepatu dan sandal kami juga bernasib sama.

Terkadang, saat hati sedang keruh, “kekacauan” itu lumayan melelahkan hati. Tapi di lain sisi, saya cukup senang memerhatikan polah kedua putri saya ketika mereka sedang akur-akurnya. Entah apa yang mereka berdua pikirkan sehingga yang awalnya saling pukul dan menangis akhirnya kembali rukun dan tertawa bersamaan dengan celotehan yang hanya mereka berdua mengerti.

Saya memang bukan orangtua yang sempurna. Saya pun sesekali marah, kesal, dan dongkol  dengan aksi kedua putri saya. Saya akui itu. Kadang ketika sedang gemas-gemasnya, dan sudah kehabisan stok senyum dan kata serta kesabaran, kulit halus lembut mereka harus sedikit saya cubit untuk sekedar menahan mereka melakukan hal-hal yang berbahaya. Ketika air mata menganak sungai dan suara tangis mereka membahana, ada rasa bersalah di dalam diri ini. Saya pun mewajibkan diri untuk meminta maaf kepada keduanya ketika saya telah mencubit atau memarahi mereka.

Dalam sebuah kesempatan saya pernah melihat seorang ibu yang memarahi habis-habisan anak bayinya. Anak itu belum genap tiga tahun usianya, tapi sang ibu memarahi sang anak dengan hamburan kata-kata yang tak mungkin dapat dicerna anak seusianya. Ketika tangis sang anak meledak, ikut meledak pula kemarahan si ibu. Saya hanya mengelus dada saat melihat aksi sang ibu yang cukup menyita perhatian itu. Entah siapa yang harus saya kasihani, anaknya kah, atau sang ibu, atau malah keduanya?

Pemandangan itu telah mengajari saya tentang banyak hal. Anak-anak kita tetaplah anak-anak. Mereka memiliki dunia mereka yang sudah pasti berbeda dengan dunia kita sebagai orang dewasa. Mereka memiliki pola pikir yang kerumitan dan kedalamannya hanya mereka yang bisa mengurai dan mengukurnya. Keluguan dan kepolosan mereka, rasa ingin tahu yang meluap-luap yang kadang membahayakan jiwa mereka, adalah sketsa kehidupan yang mewarnai setiap desah nafas jiwa para orangtua. Tugas orangtua hanyalah mengarahkan agar sketsa itu bermetamorfosa menjadi lukisan terindah yang bisa membekali mereka untuk mengesankanNya kelak.

Mohon maaf bila tulisan ini tak memberikan makna apapun bagi Anda yang sudah meluangkan waktu untuk membacanya. Saya hanya ingin meluapkan emosi yang bergolak di hati ini saat memandang wajah cantik kedua putri saya. Wajah yang selalu mengisi hari-hari saya dengan beragam ekspresi yang tak terhingga nominalnya. Itu saja.


Simpong, September 2011

Minggu, 04 September 2011

Bincang Buku: Ranah Tiga Warna & The Historian

Alhamdulillah, di awal bulan ke sembilan Masehi ini ada dua buku lagi yang sudah saya tamatkan. Buku pertama saya tamatkan dalam jangka waktu 2 hari: Ranah Tiga Warna, dan buku ke dua saya tamatkan dalam jangka waktu yang lumayan lama – sekitar 3 bulan: The Historian.

***

Ranah Tiga Warna

Secara jujur saya akui bahwa baru Tetralogi Buru, buku serial karangan penulis lokal yang sudah pernah saya tamatkan. Selama ini, saya agak menghindari buku-buku fiksi dalam bentuk serial karena saya paling benci – dipaksa – menunggu (baca: penasaran) menamatkan sebuah buku dan kekhawatiran akan berubahnya kualitas buku yang pertama dengan yang ke dua, ke tiga, dan seterusnya. Lian Hearn adalah salah satu penulis yang membuat saya “frustasi” dalam hal ini. Trilogi Klan Otori yang sudah susah payah saya tamatkan, ternyata harus ditambah lagi dengan buku ke empat. Syukurlah saya hanya meminjam buku itu dari seorang teman, jadi saya tak perlu membeli buku ke empatnya, termasuk minat saya yang menguap untuk membacanya. Kita semua tentu masih ingat dengan antusiasme masyarakat ketika seri ke empat Tetralogi Laskar Pelangi belum diterbitkan dan euforia mereka saat bukunya sudah ada di pasaran. Saya tak termasuk dalam pusaran euforia itu, toh buku pertamanya saja belum saya tamatkan. Ini memang soal selera, dan saya tak suka jika selera baca saya harus diatur tempo dan dosisnya oleh sesuatu bernama Penerbit.

Negeri Lima Menara pun awalnya saya kira bukan buku serial. Mungkin ini karena kelengahan saya untuk menguliti buku ini secara lebih detail. Siapa tahu di satu dua sudut memang ada tulisan “buku sekian dari trilogi anu” yang dicantumkan penerbitnya. Saya hanya menemukan buku ini berada di dalam barisan buku-buku berdebu milik seorang kawan di Palu yang kamar kosnya sedang saya pinjam untuk sebuah keperluan. Buku berukuran agak tebal itu berhasil saya tamatkan dalam jangka waktu kurang dari 24 jam.

Ketika sampai di akhir buku, saya lumayan kecewa karena ternyata kisahnya belum selesai dan saya jadi “dipaksa” untuk menuntaskan rasa penasaran itu dengan cara menunggu buku selanjutnya terbit. Setelah sempat terlupa dengan kisah rinci di buku pertama, saya harus berterimakasih dengan seorang teman di kantor yang ternyata memiliki buku Ranah Tiga Warna ini. Setelah sempat saya diamkan beberapa hari, di hari pertama Lebaran, saya langsung membaca buku ini dengan rakus.

Ranah Tiga Warna berkisah tentang Alif di masa kuliahnya di Bandung. Suka dukanya Alif dalam meniti kehidupan perantau di bumi parahyangan terekam dengan cukup detail di sini, termasuk kisah merah jingganya dengan gadis berkilau yang tinggal di dekat kostnya. Kisah berkembang dengan pengembaraan Alif dalam program pertukaran pelajar ke Kanada, sebuah tempat di benua Amerika yang telah lama ia impikan untuk menginjaknya. Buku ini mengajarkan mutiara ke dua bernama Man Shabara Zhafira, setelah mutiara Man Jadda Wa Jadda di buku pertama, yang berarti siapa yang bersabar dia akan beruntung.

Alur dan isi cerita di dalam buku ini pun seiring sejalan dengan kilau mutiara itu. Bang Fuadi lumayan banyak menyajikan kisah pilu nan sendu dari perantauan Alif, termasuk ketika ayahandanya meninggal dan dirinya mengalami kesulitan finansial. Di sini pembaca akan mengalami pasang surut emosi ketika Alif, seorang yang dikenal di buku pertama memiliki kemauan dan tekad yang membaja harus berhadapan dengan cobaan hidup yang tak mudah. Namun dengan kesabaran dan pikiran positif, semua masalah dan cobaan hidup yang melandanya bisa dilewati, meski tak mudah, bahkan memberikan banyak sekali bekalan hidup bagi Alif. Jujur saja, saya jadi termotivasi dan tergugah dengan beberapa keping kisah si Alif dan segala pernak-perniknya.

Memang ada beberapa bagian yang cukup lebay di buku ini, tapi itu bukan masalah bagi saya. Saya suka dengan narasi penulis, guyonan-guyonan dan celetukannya, dan semua penulis asal Sumatera Barat memang memiliki warna uniknya tersendiri dalam menarasikan dan melabelisasikan sesuatu. Penulis juga menyelipkan dosis merah-jingga yang lumayan berimbang dan proporsional di buku ini. Meski di penghujungnya dosis itu terasa agak menguat.

Akhir kisah ini agak klise dan lumayan gampang ditebak. Tapi saya tidak akan tulis akhirnya di sini, jadi silakan saja Anda nikmati sendiri bukunya.

***

The Historian

Berawal dari beberapa pucuk surat dan sebuah buku tua yang tergeletak di atas lemari perpustakaan pribadi ayahnya, seorang gadis muda melakukan penelusuran yang berliku dari sebuah kepingan sejarah di masa lalu yang belum tersusun secara lengkap hingga hari ini. Kisah berkembang dengan “wawancara” sang gadis dengan ayahnya sambil mengunjungi beberapa negara Eropa yang eksotis, mistis dan romantis. Dari kisah-kisah yang dituturkan sang ayah tentang masa lalunya yang gelap, maka dimulailah perburuan kepingan sejarah yang kelam itu sampai akhirnya mengantarkan mereka pada sumber kegelapan itu untuk kemudian memusnahkannya: Vlad Tepes si Penyula atau yang dikenal dengan nama Dracula.

Butuh waktu nyaris tiga bulan bagi saya untuk menamatkan buku yang sangat, sangat luar biasa ini. Membaca buku ini saya diajak untuk berkunjung ke negeri-negeri kuno di Eropa Tengah, menikmati aroma masa lalu dari tumpukan buku dan manuskrip-manuskrip antik di perpustakaan-perpustakaan besar Eropa yang berdebu, serta mengunjungi beberapa situs bersejarah dunia Kristen abad pertengahan yang diselimuti aroma mitos, legenda dan kisah-kisah takhayul seputar abad pertengahan, termasuk seluk-beluk kehidupan Dracula. Asyiknya buku ini tidak melulu soal kekejaman Dracula yang legendaris, tapi juga aspek politik, ekonomi, dan sosio-kultural Sang Penyula disajikan secara gamblang oleh penulisnya, termasuk perseteruan sepanjang hayatnya dengan Sultan Mehmed II Sang Penakluk (Muhammad Al Fatih) di Kostantinopel. Enam ratus halaman lebih sudah saya baca, tapi rasa penasaran – sekaligus ketakutan – saya belum juga terpenuhi, apakah Dracula benar-benar masih hidup di zaman modern ini?

Elizabeth Kostova konon memerlukan waktu – bayangkan – sepuluh tahun untuk menyelesaikan buku ini. Aroma buku ini sangat kelam, seram, tapi juga menggairahkan. Kostova sangat paham kapan dan dimana ia menempatkan gairah yang menggebu akan pengetahuan tentang sejarah dan kapan ia harus menempatkan horor yang mencekam dan memucatkan wajah. Terkadang, kisah horor itu agak sedikit terlupakan karena rasa ingin tahu akan bagian sejarah yang belum terkuak begitu kuat berdesakan di dalam tempurung akal saya.

Maka tak heran kalau setiap bagiannya ditulis dengan sangat detail, rinci, dan sangat menguasai tema yang berlipat-lipat. Saya sampai bisa merasakan kecutnya susu kambing yang disajikan Baba Yanka di sebuah desa di pedalaman Bulgaria kepada Paul, ayah sang gadis muda itu karena saking jelas narasi penulisnya. Oh iya, buku ini akan terasa nikmat bila dikrikiti pelan-pelan. Anda tentu takkan melewatkan pesona tanah Eropa yang dideskripsikan secara gamblang oleh Kostova.

Buku ini, menurut saya, seolah ingin mengatakan bahwa rasa ingin tahu terkadang bisa membunuh kita. Bisa dalam artian secara harfiah bisa sebaliknya. Kadang ada bagian dalam parade sejarah dunia yang panjang yang tidak ingin kita ketahui padahal ia nyata terjadi. Kisah-kisah hitam yang terjadi dalam sejarah manusia, bahkan dalam sejarah agama, perlu kita sikapi dengan arif dan bijaksana agar ada pelajaran dan hikmah yang bisa kita ambil darinya. Pengabaikan sejarah hitam nan kelam yang nyata terjadi itu justru akan semakin menjauhkan kita dari hakikat kemanusiaan yang memang tak lepas dari salah dan dosa serta menyuburkan benih-benih dendam kesumat yang menuntut kita untuk dibalaskan sampai tuntas.

Tak banyak yang bisa saya sajikan di tulisan ini. Saya merasa, suara dentangan lonceng di biara-biara di balik pegunungan Bulgaria, atau aroma kuno tanah Hongaria, serta bau debu manuskrip langka di perpustakaan Istanbul masih begitu menguasai indra ini.Selebihnya silakan Anda nikmati sendiri citarasanya.


Simpong, September 2011

Kamis, 25 Agustus 2011

Nostalgia Motor Lawas

Pagi ini gue jalan-jalan di kaskus dan nemu thread ini. Setelah ikutan posting di situ, gue jadi keingetan sama motor lawas almarhum bapak yang udah banyak berjasa buat  gue dan temen-temen gue. Kenapa gue bilang berjasa? Coz motor lawas itu dijadiin gue buat ajang belajar naek motor. Selain gue, temen-temen sebaya di lingkungan deket rumah juga ikutan belajar pake motor itu.

Oh iya, motor itu kalo nggak salah Kawazaki Binter 1982. Warnanya oranye, plat merah (gue lupa nomernya), sadelnya udah pada robek n tangkinya udah bocor, lampunya redup banget (belakangan malah rumah bohlamnya dilepas gara-gara udah koplak hehe), dan di tambalan tangkinya ada potongan sabun mandi hahaha. Mana pembakarannya juga udah ngaco, jadi sering kali businya ngambek bin ngadat. Walhasil, gue sampe lupa udah berapa kali ndorong motor itu gara-gara mogok. Belom lagi suaranya yang kayak kaleng rombeng. Ibarat kata gue nyalain motor di rumah, suaranya bisa nyampe rumahnya Bang Dani di TK.

Dulu gue belajar naek motor ini sama almarhum bapak di lapangan belakang rumah yang sekarang udah poll sama rumah-rumah. Di lapangan tanah merah yang dulu berfungsi buat maen bola itulah gue muter-muter tiap pagi dan sore. Di saat anak-anak yang baru puber belajarnya sama Astrea or Satria, gue belajar pake motor dekil itu. Awalnya sih malu, mana suaranya cempreng. Tapi seiring berjalannya waktu gue cuek eja. Yang penting bisa naek motor. Gue juga kelilingin komplek pajak n deplu buat nambah jam terbang (hasyah). Kadang gue keluar ke jalan Ceger atau nyoba-nyoba sampe ke Kreo puter ke Deplu. Pokoknya rute-rute yang nyante-nyante aja. Dan sebagaimana yang gue bilang, motor ini langganan mogok. Jadi kesabaran gue di masa belia bener-bener diuji sama kelakuannya yang gak tau adab itu hahaha..

Ngemeng-ngemeng tentang mogok, gue jadi inget pas bulan Puasa entah taun berapa dulu. Kalo gak salah gue abis pulang dari rumah temen di Kreo karena ada urusan. Waktu itu udah jam 4 sore dan buka puasa masih sekitar 2 jam-an lagi. Nah, pas sampe di Pasar Kreo, motor itu mogok. Asli kagak mau nyala. Gue cek bensin, ternyata masih banyak. Gue bersihin busi sampe kinclong tapi masih ngadet juga. Wah, kacrut banget. Mana aus, capek, lemes. Jadilah gue ndorong motor itu dari Kreo sampe rumah gue di Pondok Betung. Bisa dibayangin gak sih? Bulan puasa, cuaca panas, eh ndorong motor mogok, jauh pula. Kan keliatannya nggak banget. Mosok orang ganteng bin keren gini ndorong motor mogok, motor jadul pulak hahaha.. Sesampenya di rumah, kurang lebih 1 jam-an kemudian, gue langsung tepar. Mau batalin puasa kok tanggung, mau lanjut kok lemes. Walhasil tidurlah gue sampe Maghrib. Kalo ngenang masa itu gue suka senyum-senyum sendiri. Dan emang gue akuin kalo momen yang paling gue kenang dari motor itu ya pas ndorong di bulan puasa itu.

Motor ini juga punya posisi yang cukup ”penting” di SMA gue dulu. Jadi ceritanya pas gue SMA (lupa jelasnya mulai kelas berapa) gue bawa motor ini ke sekolah. Kebayang donk, orang keren macem gue bawa motor lawas, suaranya berisik,  plat merah pula. So, kalo pas gue masuk gerbang sekolah, dijamin nyaris semua mata kan memandang ke arah suaranya yang cempreng itu. Trus tongkrongan motor ini jelas banget, di deket gudang paling pojok, di bawah pohon belimbing botol, deket gang ke arah Mushala As Sadariyah. Sengaja gue taro di situ biar disangkain motornya guru hahaha...

Oh iya, berhubung sering banget mogok, motor ini juga sering banget gue parkir di sekolah. Gile aje mau ndorong ke rumah. Tau ndiri tekapenya SMA 90 kayak naek turun jurang gitu *tepokjidat.

Pokoknya, banyak banget deh kenangan gue sama motor itu di masa SMA. Dan nyaris semuanya berkesan buat gue hehehe...

Beranjak ke kuliah, gue juga sering bawa motor ini. Sebenernya dulu almarhum Bapak juga punya motor jadul satu lagi, Honda Astrea Star yang spakbornya dower itu wkwkwk. Cuman karena motor yang satu itu beliau pake buat ngojek n belanja, jadilah gue tetep setia pake si plat merah buat kemana-kemana. Kecuali pas beliau nggak pake motor itu, barulah gue culik dia.

Gue nggak inget persisnya kapan motor itu dateng. Seinget gue, waktu itu almarhum bapak dipindah tugas ke Cengkareng setelah sebelumnya di Kota. Almarhum bapak dulu gawe di Pemda DKI, gitu. Nah, pas beliau pindah di Cengkareng itulah motor ini datang. Kalo gak salah, pindahnya beliau ke Cengkareng berhubungan juga dengan masa pensiun beliau yang udah deket. Jadi pas beliau pensiun, motor itu diboyonglah ke rumah. Gue sendiri nggak tau (atau lupa) berapa persisnya harga tebusan motor itu.

Sejak bapak sakit dan kuliah gue di STAN udah menjelang kelulusan, motor itu udah jarang banget dipake. Jadilah dia teronggok begitu aja di teras rumah. Keujanan, kepanasan, walo sesekali masih bisa dipake. Gue sendiri sebenernya pengen banget mbetulin motor itu cuman berhubung bokek bin kanker bin tongpes bin nggak punya duit jadilah niat hanya sekedar niat. Ketika bapak meninggal (atau sebelumnya gitu, gue lupa) dan gue ada di Luwuk, gue dapet kabar kalo motor itu udah dikiloin. Gak tau berapa lakunya. Walo dalam hati gue sebenernya nyesel banget nggak keburu ngoprek motor itu buat layak pakai. Padahal motor antik bin langka bin lawas banget tuh.

Huahh, bener-bener memorable motor-cycle banget!

Satu hal lagi yang gue seselin, kenapa dulu gue gak sempet ndokumentasiin foto motor ini yak. Sekarang kalo ngenang lagi motor itu, gue suka nyesel banget nggak punya foto gue pas naek motor ini atau pas lagi belajar bareng almarhum bapak n temen-temen. Kalo inget itu kok tiba-tiba aja gue jadi sedih. [wahidnugroho.blogspot.com]



H2, Agustus 2011
Miss you so much, dad :’)

Minggu, 21 Agustus 2011

Di Penghujung Ramadhan

Bulan pucat menggantung di angkasa hitam pekat. Sinar lembutnya menggenang di permukaan teluk yang berkabut. Malam berjalan begitu lambat, ditemani angin yang dinginnya sangat. Para nelayan masih sibuk menjala rezekinya di tengah laut, meninggalkan malam yang semakin beranjak larut.

Ombak di lautan bergerak lamban menyapa sang pantai. Berbilang muda-mudi bercengkerama di tepiannya dengan santai. Sebongkah tawa dan seutas senyum menghiasi wajah belia mereka. Yang putri berbalut kerudung tak menutupi dahi, yang putra masih dengan kopiah di kepalanya.

Ramadhan berlalu oh tiada terasa, menuju penghujungnya yang sesaat lagi menyapa. Waktu berlalu tanpa membawa makna, amal, pahala apatah lagi ridhaNya. Tilawah dan dzikrullah makin hari berbilang jarang, sedang dosa yang menumpuk tak jua berkurang.

Aduh, ruginya diri ini, bila dosa khilaf tak diampuni. Bulan suci tak tentu kan datang lagi, menyapa hayat yang tak pasti kapan kan mati.
[wahidnugroho.blogspot.com]


Tanjung, Agustus 2011

Sabtu, 20 Agustus 2011

Sepenggal Kisah Klasik Untuk Masa Depan


So make the best of this test, and don't ask why
It's not a question, but a lesson learned in time
It's something unpredictable, but in the end it's right.
I hope you had the time of your life
(Green Day)

“Dulu gimana de pe cerita bisa ketemu maytua, mas?”

Pertanyaan itu menghentikan aktivitas sarapanku untuk beberapa saat. Kuteguk air putih dari gelas plastik yang ada di hadapanku. Kerongkonganku terasa sedikit lega saat air hangat-hangat kuku itu melewati rongganya yang penuh dengan kunyahan nasi dan telur ceplok. Kantin tampak sepi. Waktu masih menunjukkan pukul tujuh lewat beberapa menit. Ibu itu, sang penanya, tampak menunggu jawabanku.

“Saya te pernah ketemuan den dia, bu. Langsung nikah”, jawabku sekenanya. Penuh rasa penasaran, ibu itu bertanya lagi.

“Masak kan te pernah ketemuan?”, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak percaya.

“Iya. Coba saya tanya sama ibu e, pernah liat saya ada ba jalan den cewek?”, tanyaku. Ia menggeleng. Ah, ia mungkin tak tahu detail itu.

Baru, bagaimana de pe cerita mas bisa kawin den mas pe maytua?”, kejarnya lagi.

Aku tersenyum. Kuteguk kembali air putih di gelas plastik berwarna putih susu itu. Sambil memasukkan sesendok nasi dan potongan telur ceplok ke dalam mulut, aku menceritakan kisah pertemuanku dengan wanita yang kini menjadi istriku itu. Saat bercerita, aku memerhatikan ekspresi tak percaya yang terbit di wajah penanyaku itu.

“Jadi Bagitu e?”, ujarnya takjub. Aku mengangguk mantap. Kutinggalkan sang penanya dengan ketakjubannya dan kembali menenggelamkan wajahku ke dalam sarapanku yang tinggal tak seberapa itu.

***

Setiap kita mungkin punya cerita-behind-the-scene tentang bagaimana kita bertemu dengan pasangan kita dan kisah saat kita memutuskan untuk menikahinya. Aku sendiri memilikinya. Kisah yang mungkin bagi Anda biasa saja, tapi bagiku istimewa. Tak ada pernak-pernik yang unik, tak ada dinamika yang menggelora. Segalanya berjalan cukup lancar kecuali satu hal: dana yang kumiliki tak seberapa banyak. Syukur alhamdulillah, kebaikan beberapa sahabat melancarkan semuanya.

Pada suatu malam, ketika kedua putriku telah tenang dan sudah siap berlayar di alam mimpi, si kakak berbaring di sisiku dan si adek sedang asyik menyusu ke umminya, aku menceritakan kisah itu kembali kepada mereka. Sudah pasti, kedua putriku tak mengerti dengan ceritaku. Tapi tak masalah. Lisanku bertutur lancar sambil sesekali melirik wajah istriku yang cukup sering mengoreksi kisahku karena ada beberapa bagian yang sengaja kuriwayatkan secara salah. Aku anggap hiburan koreksi itu.

“Tau nggak, abimu ini, nak, karena ganteng, keren, dan baik hati, jadi dulu banyak akhwat yang ha-dua-ce, lho”, kisahku sambil tersenyum nakal. “Mungkin salah satu dari akhwat yang ha-dua-ce itu ya ummi kalian ini”, celotehku sambil cengengesan. Istriku melotot dan melancarkan serangan cubitan kecil di pinggangku. Terlambat, serangan itu mendarat mulus di pinggangku yang tak terkawal. Aku mengaduh, pura-pura kesakitan. Istriku tersenyum penuh kemenangan. “Anak bayi mana ngerti sama ha-dua-ce biii”, protesnya.

Singkatnya, beginilah kisah pertemuanku dengan istriku, ibu dari anak-anakku.

Kami tidak pacaran. Itu redaksi istriku. Sedangkan redaksiku, aku tidak lagi pacaran. Aku bahkan tak begitu mengenalnya saat belum menikah dulu. Yang kutahu hanyalah bahwa ia baru saja menyelesaikan diplomanya di sebuah kampus di luar Luwuk. Nama kampus dan jurusannya, jujur saja, aku tak tahu, dan tak tertarik untuk tahu. Pertama kali aku melihatnya adalah di pelataran parkir Masjid Agung. Saat itu, aku dan beberapa teman sedang berolahraga bersama dan ia datang dengan dibonceng oleh lelaki yang awalnya kukira adalah orangtuanya – belakangan lelaki itu kuketahui adalah kakak sulungnya.

Ketika itu, aku sedang menjalani proses ta’arufku dengan seseorang. Proses kali ketiga tepatnya. Yang pertama gagal karena suatu hal. Yang ke dua juga gagal karena layu sebelum berkembang. Dan yang ketiga, sebelum aku “berproses” dengan calon istriku, juga gagal karena lain hal lagi. Semua kegagalan itu kuhadapi dengan biasa saja. Tak ada penyesalan, tak ada kegundahan. Aku memang bertekad tak melibatkan perasaan sebelum kata khitbah diucapkan oleh waliku kepada walinya. Tentang bagaimana rincian kegagalannya, cukup aku, istriku, perantaraku, dan Allah saja yang tahu.

Ia memang bukan yang pertama, kuakui. Tapi aku bersyukur dengan kegagalan demi kegagalan tersebut. Bersyukur karena saat berproses dengan istrikulah aku menemukan kemudahan demi kemudahan begitu deras mengalir. Allah mungkin memang menakdirkanku untuk menikahinya, pikirku saat itu.

Adalah seorang ustadzah yang mengenalkanku kepadanya. Prosesku yang kedua dan ketiga juga diurus olehnya, walau gagal. Ustadzah ini adalah istri dari temanku. Pada suatu pagi yang cerah, di lantai tiga kantor lamaku, aku menerima telepon dari suaminya, temanku itu. “Tolong ke rumah nanti siang ya”, pintanyaa. Aku mengiyakan.

Selepas istirahat kantor, aku memenuhi permintaannya. Saat dalam perjalanan menuju rumahnya, aku sudah bisa menerka apa maksud di balik permintaan ini. Tapi kuikuti saja alurnya. Aku tak ingin merusak suasana, batinku.

Setiba di rumahnya, sambil ditemani celoteh putra-putrinya yang tak pernah usai, temanku dan ustadzah – istrinya –, mulai membicarakan maksud permintaan mereka berdua kepadaku. Beliau, ustadzah, mengatakan bahwa ada seorang akhwat yang siap menikah. Orangnya begini dan begitu, jelasnya panjang kali lebar, sekian dan sekian. Aku menyimaknya. “Pak Wahid buat saja biodatanya”, tutup sang ustadzah. Aku mengiyakannya.

Singkat cerita, aku menerima tawaran sang ustadzah dengan lapang dada. Sejak awal, aku memang sudah mempercayakan urusan ini kepada beliau. Ketika prosesku gagal dulu, beliau bahkan sempat berseloroh, “Andai anak perempuan saya yang paling besar udah lulus SMA, tak nikahin sama sampeyan deh, Mas Wahid”. Aku tahu perkataan itu bertujuan untuk menghiburku. Aku menyambutnya sambil bercanda, sudah pasti.

Akhirnya, detail sang akhwat calon istriku itu mulai terkuak begini dan begitunya. Tak sampai sepekan, aku memutuskan untuk meng-khitbah-nya, dan sekitar sebulan kemudian kami berdua menikah, meski jujur saja, tak ada yang istimewa dari resepsinya yang, menurutku, cukup berantakan. Tapi aku tak menyesali yang sudah berlalu itu. Kadang, isu resepsi-berantakan tersebut kami jadikan bahan guyonan untuk sekedar menertawakan masa lalu dibarengi tekad untuk memperbaikinya saat anak-anak kami menikah kelak.

***

Kulirik putri pertamaku yang sudah terlelap. Sementara putri ke duaku masih asyik menyusu kepada umminya. Ia memang agak susah tidur, berbeda dengan sang kakak yang bisa tidur kapan dan dimana saja. Kupasang senyum menggoda untuk istriku dengan maksud mengungkit kisah rekaan kepada kedua putri kami barusan.

“Huu, abi ini emang suka pamer”, sungutnya.

Aku cengengesan mendengar cibirannya yang terdengar lucu itu.

“Tapi cerita tentang akhwat-akhwat tadi bohongan, kan?”, tanyanya.

Eh? [wahidnugroho.blogspot.com]



H2, Agustus 2011
Sebagian adegan dalam tulisan ini didramatisir di sana dan di sini :) 

Kamis, 18 Agustus 2011

20 Buku Yang Memengaruhi Hidup (2007-2011)

Seorang sahabat baik telah meminta saya untuk membuat daftar buku-buku yang menjadi favorit saya setelah tulisan tentang 20 Nasyid Favorit saya tempo hari. Tiba-tiba saja, saya jadi teringat empat tahun yang lalu, di bulan Desember, ketika saya membuat sebuah tulisan tentang buku-buku yang memengaruhi hidup saya. Setidaknya sampai medio tersebut.

Ketika saya membaca kembali tulisan – sederhana – itu, saya merasa memang sudah saatnya untuk sedikit memilah dan memilih buku-buku yang telah membentuk pemikiran saya selama kurang lebih empat tahun ini. Bertambahnya – nominal – usia dan berubahnya status marital, sedikit banyak akan memengaruhi kecenderungan baca saya. Saya akui, memang ada sedikit perubahan pada sisi itu.

Untuk menyusun daftar ini ternyata tidak mudah. Saya harus membuka-buka kembali catatan-catatan lama dan juga membaca kembali daftar buku-buku yang saya miliki dan yang sudah tak lagi saya miliki. Saya juga harus mengingat kembali buku-buku pinjaman yang pernah saya baca dari beberapa teman. Alhamdulillah, beberapa catatan di blog dan di arsip hardisk saya masih cukup baik tersimpan.

Daftar berikut ini berisi dua puluh buku yang menjadi favorit saya dalam kurun waktu Maret 2007 – Agustus 2011. Subjektifitasnya tentu akan pekat terasa. Saya juga hendak memohon maaf apabila kedalaman tulisannya tidak terlalu menggembirakan. Saya hanya akan sedikit memberikan kesan singkat terhadap buku-buku yang dimaksud tanpa memisahkannya dalam kategori fiksi atau nonfiksi. Maklum saja, saya punya keterbatasan intelektual yang menghalangi saya untuk membuat review brilian dan bertabur istilah “langitan” yang berpotensi mengerutkan dahi pembacanya.

1. Memoar Hasan Al Banna Untuk Dakwah dan Da’inya
Hasan Al Banna memang tidak pernah membuat buku. Buku-buku yang beredar saat ini atas namanya adalah kumpulan tulisan beliau yang dikumpulkan oleh para pengikutnya yang begitu mencintainya. Di antara semua bukunya yang begitu luar biasa, saya memilih Memoar Hasan Al Banna sebagai buku favorit saya. Alasannya sederhana: Buku ini mencerminkan ketulusan dan kebeningan jiwa penulisnya dalam mendakwahkan Islam di Mesir awal abad dua puluh yang kemudian mendunia hingga saat ini. Kisah yang sangat berkesan di buku ini adalah kisah tentang dakwah beliau di warung kopi yang akhirnya merekrut beberapa barisan awal organisasi Al Ikhwan Al Muslimun.

2. Mencari Pahlawan Indonesia
Agak sulit untuk menentukan buku Anis Matta yang manakah yang sangat kuat memengaruhi hidup saya. Awalnya saya sempat berpikir Biar Kuncupnya Mekar Jadi Bunga-lah yang akan saya pilih, berhubung buku itu merupakan kumpulan tulisan beliau di majalah Ummi yang saya baca ketika masih SD/SMP dulu (lupa). Tapi akhirnya, pilihan saya jatuh kepada buku ini. Anis Matta memang brilian. Ide-ide besar itu disusunnya satu demi satu dalam kalimat prosa yang padat berisi dengan balutan kentalnya nuansa sastrawi.

3. The Da Vinci Code
Terus terang saja saya suka selera humor Dan Brown dalam setiap karyanya yang luar biasa. Dan harus diakui bahwa The Da Vinci Code merupakan karya Dan Brown yang paling membuat saya terkesan. Kisahnya yang berlipat, dan tentu saja, penuh kontroversi menjadi pelezat terbaik untuk buku ini.

4. Taiko
Di antara semua novel yang pernah baca sampai hari ini, ada dua buku yang paling “berat” untuk saya konsumsi. Taiko adalah buku yang pertama dan The Name Of The Rose-nya Eco adalah yang kedua. Taiko berhasil memaksa saya untuk menghapal sekian banyak nama, tempat, benteng, dan jalinan konflik yang ruwet berlatar jaman feodal Jepang abad ke lima belas. Kalau Musashi terasa sedikit menyebalkan, Taiko benar-benar melelahkan. Saya sendiri harus membaca buku-bantal-berfont-kecil-berspasi-rapat itu dua kali untuk benar-benar bisa memahami alur ceritanya. Dan sepertinya, saya akan membutuhkan kesempatan ketiga. Mungkin lain kali.

5. Anak Semua Bangsa
Membuat daftar buku terbaik tentu tidak akan melewatkan seorang Pram. Ini mungkin terasa subjektif, tapi Tetralogi Buru akan kehilangan “ruhnya” bila melewatkan buku ini. Setidaknya menurut saya.

6. Harafisy
Harafisy benar-benar membuat saya terpesona, dan sedikit penasaran, dengan Naguib Mahfouzh dan karya-karya lainnya. Saya sempat tergoda untuk memiliki beberapa karya peraih nobel sastra tahun 1988 ini. Hanya saja, kesempatan itu belum tiba juga. Semoga esok hari atau nanti, insya Allah.

7. Rihlah Ilallah
Saya, boleh dibilang, pengagum berat Najib Kailani. Novelis Mesir yang juga seorang dokter ini memiliki seabreg karya yang benar-benar “mengguncang”. Tulisannya yang selalu beraroma anti-kemapanan (atau anti-kezaliman) sedikit banyak telah mewarnai pandangan saya tentang kezaliman seorang penguasa. Najib sendiri kerap mengecap lantai penjara karena keterlibatannya dengan organisasi Al Ikhwan Al Muslimun yang kala itu terlarang di Mesir. Rihlah Ilallah, atau yang dalam edisi bahasa Indonesia yang lain berjudul Mempelai Sang Dajjal (terbitan Fitrah Rabbani), saya pilih menjadi buku favorit dalam daftar ini.

8. Kisah-Kisah Dalam Al Qur’an
Doktor Shalah Abdul Fattah Al Khalidi adalah salah satu penulis favorit saya. Ada beberapa judul karyanya yang menjadi koleksi saya. Buku ini menjadi istimewa karena kejelian Doktor Al Khalidi dalam membedah kisah-kisah di dalam Al Qur’an dan merefleksikannya dengan kondisi kontemporer. Laiknya telaga yang bening untuk bercermin dan membasuh diri, saya kira karya ini bisa dibilang seperti itu.

9. Manhaj Haraki
Tak perlu banyak kata: Luar biasa!

10. Fiqhus Shirah
Saya memang penggila sirah. Masih ada banyak buku-buku sirah di luar sana yang belum saya baca. Tapi karya Al Buthy ini adalah buku yang setia menemani saya sejak masa kuliah hingga hari ini. Entah sudah berapa kali saya baca sebagian atau keseluruhannya.

11. Kado Pernikahan Untuk Istriku
Bagi saya, buku-buku Muhammad Fauzil Adhim semuanya istimewa. Tapi buku ini adalah yang paling luar biasa menggugah diri saya untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya sebelum menikah. Calon istri saya (yang kini sudah menjadi istri saya) pun dulu saya pinjami buku ini sebelum kami menikah. Sampai hari ini, saya masih cukup sering membuka-buka kembali isinya untuk sekedar berkaca atas apa yang telah terjadi dalam usia pernikahan saya yang belum seberapa ini.

12. Kiat Sukses Hafizh Qur’an Da’iyah
Saya dilupakan dengan judul lama dari buku ini berhubung saya membacanya saat masih kuliah dulu. Kovernya berwarna cokelat waktu itu. Kini, buku itu telah bermetamorfosa menjadi sebagaimana judul di atas. Dalam hal ini, saya berhutang sangat banyak kepada Ustadz Abdul Aziz Al Hafizh atas buku yang luar biasa ini. Barakallahu fiyk ya Ustadz.

13. Tarbiyah Ruhiyah
Buku ini selalu saya baca ketika semangat beribadah saya berada pada titik nadir. Ada banyak sekali buku tentang tema ini, tapi buku karangan Doktor Abdullah Nashih ‘Ulwan ini memiliki tempat tersendiri bagi saya. Mungkin bagi sebagian Anda ada yang merasakan hal yang sama dengan saya.

14. La Tahzan
Shaidul Khathir karangan Ibnul Jauzi memang buku yang luar biasa. Tapi La Tahzan istimewa. Saya rasa, banyak yang setuju dengan pendapat saya ini. Kalaupun ada yang tidak, selera memang perkara yang tidak bisa dipaksakan, bukan?

15. Ayat-Ayat Cinta
Sebelumnya saya hendak meminta maaf karena saya bukan penikmat sastra karya anak negeri. Tapi buku ini sedikit banyak telah mengubah pandangan saya tentang hidup. Saat membaca kembali buku ini saya mungkin akan menilainya sebagai sebuah hal yang naif. Tapi biar bagaimanapun, kenaifan tetap penting dalam dunia yang penuh dengan tipu daya ini. Terima kasih dan barakallahu fiyk buat Kang Abik atas karya luar biasanya ini.

16. Tarbiyah Menjawab Tantangan
Saya membaca buku ini saat masih SMA melalui buku pinjaman dari seorang teman. Awalnya ada banyak hal yang saya tidak mengerti dari buku ini dan karenanya saya kemudian memfotokopi buku ini untuk dapat dinikmati lebih lanjut. Kini, sepuluh tahun telah berlalu sejak saat pertama kali saya membacanya. Bagian yang paling saya ingat dari buku itu adalah tentang “Tahu”. Anda yang pernah membacanya pasti tahu bagian “Tahu” itu hehe..

17. Berinteraksi Dengan Al Qur’an
Saya suka dengan semua karya Syaikh Qardhawy, yang saya koleksi. Tapi buku inilah yang sangat berkesan. Selain karena ini adalah buku pemberian seorang teman saat SMA dulu, isinya pun tak kalah memikat. Saya dulu bahkan sempat membuat ringkasan beberapa babnya saat masih kuliah. Tapi karena kelalaian, arsip, baik hardcopy maupun softcopy-nya hilang entah kemana.

18. Thauqul Hamamah – Untaian Kalung Merpati – Di Bawah Naungan Cinta
Kalau Ibnul Qayyim dalam Al Muhibbinnya mengenalkan saya dengan kesucian cinta, Ibnu Hazm telah mengajari saya bagaimana mengejawantahkan cinta yang suci itu dengan cara yang manis dan romantis. Bagi Anda yang gemar tema merah-jingga, buku ini wajib Anda baca. Oh iya, ketiga judul di atas semuanya sama saja. Yang pertama adalah edisi bahasa Arabnya, yang kedua judul terbitan Serambi, dan yang terakhir terbitan Republika.

19. Pilar-Pilar Asasi
Pilar-Pilar Asasi dan Warisan Sang Murabbi saya kira sama saja. Berhubung isi dari buku yang pertama merupakan bagian dari buku yang kedua. Saya telah menikmati tulisan beliau sejak tahun 2000. Waktu itu, ada majalah Tarbawi lawas yang iseng-iseng saya baca di Mushala As-Sadariyah di SMA 90 Jakarta. Setelah membolak-balik beberapa bagiannya, saya terpaksa harus berhenti untuk menyimak tulisan-tulisan yang, kala itu sampai hari ini, sangat sulit untuk saya pahami. Assasiyat, demikian nama kolom yang memuat tulisan itu. Saya bahkan mengumpulkan uang untuk membeli beberapa edisinya untuk kemudian memfotokopi dan menjilid tulisan-tulisan beliau bersama dengan dua kolom favorit saya yang lain: Ruhaniyat-nya Ustadz Muhammad Nursani dan – belakangan – Serial Kepahlawanan-nya Ustadz Anis Matta. Sampai hari ini, kopian itu masih tersimpan cukup baik di rumah saya di Jurangmangu.

20. Andaikan Buku Sepotong Pizza
Excellent! You should read ‘em!

Dan akhirnya, dua puluh buku terasa sangat sedikit untuk dijadikan sebagai daftar buku yang menjadi favorit saya. Secara pribadi, tak ada buku yang tidak saya suka, se-ngaco atau seburuk apapun sebuah buku saya tetap menghargainya sebagai sebuah karya intelektual yang tidak mudah untuk dibuat. Hanya saja, ada beberapa buku yang hanya dibaca sekilas lalu dan beberapa buku lainnya yang menghunjam dalam hingga ke relung-relung jiwa. Dua puluh buku di atas mungkin sebagian kecil di antara buku-buku yang menghunjam itu. Sebagaimana yang Frank Zappa katakan, “So many books, so little time”, saya rasa, daftar ini harus diperluas menjadi lima puluh, seratus, atau bahkan seribu. Insya Allah suatu hari nanti kalau Allah berkenan.
[wahdnugroho.blogspot.com]


Simpong, Agustus 2011

Kamis, 11 Agustus 2011

20 Nasyid Favorit Saya

Daftar nasyid yang ada di bawah ini saya pilih berdasarkan selera-subjektif saya - kebanyakan nasyid-nasyid lama. Sebagiannya karena liriknya yang kuat, sebagian karena musikalitasnya yang enak, dan sebagian karena ada kenangan yang mengiringi lantunannya. Oh iya, urutan yang saya buat ini bukan berarti urutan secara hierarkis ya.

1.  Kesetiaan - Alginat
Nasyid ini adalah tentang seorang suami yang mensyukuri kehadiran istrinya yang setia dan selalu menghadirkan cinta dan kasih sayang dalam kehidupannya. Saat mendengar nasyid ini, saya jadi teringat dengan istri saya di rumah hehe...   

2.  Adik Remajaku - Raihan
Pertama kali saya mendengar nasyid ini saat saya masih kuliah. Liriknya sangat menyentuh dan jujur aja, saat mendengar nasyid ini saya jadi inget sama adek saya sendiri. Saya sendiri sangat menyukai literatur yang membahas dunia remaja. Kini, saat menikmati lantunan nasyid yang indah ini, saya berharap agar pesan yang terkandung di dalamnya bisa saya sampaikan kepada anak-anak saya ketika mereka beranjak remaja kelak.   

3.  Mahligai Cinta - Fayruz
No doubt! The most beautiful wed-nasyed ever!

4.  KAHJ - Tazakka
Dari semua nasyid Tazakka yang saya tahu, Karena Aku HambaMu Juga adalah nasyid terbaik yang paling saya suka. Liriknya bertutur tentang kepasrahan seorang hamba saat mengakui kesalahan dan dosanya, serta komitmennya untuk berubah ke arah yang lebih baik. Good job Tazakka!

5.  Latar Dunia Islam - Suara Persaudaraan
Ini pilihan yang sulit. Nyaris semua nasyid SP saya suka tanpa kecuali. Nasyid-nasyid SP memiliki keunikan tersendiri yang belum tertandingi oleh nasyider manapun di Indonesia. Gaya melanggamnya dan lirik yang dalam adalah keunggulannya.  Akhirnya, pilihan saya jatuh kepada nasyid Latar Dunia Islam ini. Nasyid ini mengingatkan saya pada Bojonggede Depok. Di tempat itu, sekitar tahun 2004 atau 2005, saya dan beberapa teman alumni SMA mengadakan acara daurah buat adek-adek rohis kami di SMA. Acara yang berlangsung dengan segala ke-acakadut-annya itu alhamdulillah terselenggara juga dengan baik hehe...

6.  Belum Kita Lupakan - Nowseeheart
Beautiful nasyid, beautiful lyric, beautiful music. All about this nasyid is about beauty. I love it.

7.  Nocturn - Azzam
Walaupun saya nggak ikut dalam proses perekamannya, dan liriknya serta aransemennya telah beberapa kali berganti, Nocturn bagi saya adalah nasyid terbaik yang pernah dibuat oleh Azzam. Good job, bro!

8.  Hidupmu Kan Berarti - Fatih
Hidupmu Kan Berarti adalah nasyid yang sangat menggugah. Dari sekian karya Fatih, nasyid inilah yang paling berkesan bagi saya. Liriknya sangat kuat dan mengena. Saat sendiri atau kala dalam perjalanan, saya cukup sering menyenandungkan nasyid ini.

9.  Hidayah - Gradasi
Gradasi saya kenal waktu saya masih SMA. Waktu itu saya dan kawan-kawan pernah ikut lomba nasyid di Gedung G Kampus STAN dan kalo nggak salah inget, ada Gradasi yang tampil waktu itu. Nasyid ini sendiri saya pilih karena mengingatkan saya sama Bandung. Sekitar tahun 2005 atau 2006, saat saya dan teman-teman Al Qossam ikut lomba nasyid di UPI Bandung, nasyid inilah yang menemani perjalanan pulang saya (pake walkman "jarahan" so pasti hehehe). What a memorable nasyid.

10. Sang Murabbi - Izzatul Islam
Membuat daftar nasyid favorit tentu nggak lengkap kalo nggak masukin Izzis. Tim nasyid, yang boleh dibilang, legendaris ini sudah menemani perjalanan hidup saya selama kurang lebih 10 tahun, mulai dari kelas 1 SMA hingga saat ini. Dan hari demi hari, Izis semakin menemukan kematangan bermusiknya. Dari semua karya-karyanya, nasyid inilah yang masuk dalam daftar nasyid favorit saya. Alasannya? Bagi saya, tak perlu ada alasan untuk tidak mencintai nasyid ini.   

11. Ramadhan Kembali - Justice Voice
Ramadhan Kembali selalu mengajak kenangan saya kembali ke masa-masa sekolah dulu. Nasyid ini juga selalu saya senandungkan bersama anak-anak Azzam saat kami tampil di mall atau pun acara-acara Ramadhan lain.

12. Bingkai Kehidupan - Shouhar
Saya pikir, Bingkai Kehidupan nyaris menjadi nasyid favorit bagi setiap orang yang mengenal tim nasyid ini.

13. Cinta Ilahi - Snada
Cerita tentang nasyid ini lumayan panjang. Singkatnya, waktu SMA dulu saya dan teman-teman pernah ikut lomba nasyid, dan nasyid inilah yang jadi nasyid wajibnya. Berhubung wawasan saya dan teman-teman dalam dunia per-nasyid-an masih terbatas, jadilah kami jumpalitan (tentu bukan dalam makna yang sebenarnya) buat nyari tau, nasyid seperti apa Cinta Ilahi itu hahaha... Alhamdulillah ketemu juga dengan bantuan seorang teman. Oh iya, hasil lombanya gimana? GT alias GATOT TOTAL :p

14. Kasihmu Amanahku - InTeam
Beautiful!

15. Apakah Benar Engkau Seorang Pejuang - Qathrunnada
Dengar saja sendiri, Anda pasti suka :)

16. Putiku Sayang - Hijjaz
Just love it!

17. Sepi Perantau - Brother
Perantau pertama kali saya dengar saat saya masih SMA. Dulu nasyid ini nggak terlalu berkesan buat saya, tapi pas saya udah pindah ke Luwuk, nasyid ini tiba-tiba saja menjadi sangat berkesan hehe... You know what i mean lah :p   

18. Ibu - Sakha
Sakha termasuk nasyid atau bukan ya? Kalo iya, maka lagu Ibu-nya yang masuk ke dalam daftar saya.

19. Suci Sekeping Hati - Saujana
Selain karena ini adalah cover version dari nasyid lamanya The Zikr, Suci Sekeping Hati membuat saya terkenang masa-masa siaran di IC Radio waktu kuliah dulu. Anda yang IC'ers pasti tau lah alesannya :)

20. Manusia - Shaffix
Great!
                   
Nah, kurang lebih seperti ini lah daftar 20 nasyid favorit saya. Bagaimana dengan Anda? [wahidnugroho.blogspot.com]


H2, Agustus 2011

Jumat, 05 Agustus 2011

Pak...

Pak, tak sanggup jemari ini
Menuliskan kata lebih banyak lagi
Hanya air mata yang meleleh di pipi
Mengenang kebersamaan kita yang cepat terhenti...

(Luwuk, 5 Agustus 2011)

Senin, 18 Juli 2011

Strip Dua

Entahlah. Saya tidak bisa meluapkan cita yang menyala di dalam hati ini dengan kata berderai. Ada semacam kebahagiaan yang membuncah saat kabar gembira itu datang. Walau sempat terbetik keraguan apakah kami bisa menjalani amanah ini dengan baik, tapi saya tetap berprasangka-baik kepadaNya.

Saya sendiri merasa ada luapan energi yang begitu bergolak di dalam diri ini saat kegundahan itu berjumpa kepastian. Anak-anak adalah amanah sekaligus anugerah, bagaimanapun cara dan masa mereka hadir di dunia ini. Kehadirannya tentulah harus disambut dengan gembira, senyum, dan perasaan penuh kesyukuran padaNya.

Semoga momen ini menjadi titik-tolak perubahan saya ke arah yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Allah, mudahkanlah urusan kami ini. Selamat datang Ramadhan, selamat datang pula (calon) anakku.. Insya Allah. [wahidnugroho.blogspot.com]

H2, Juli 2011

Minggu, 17 Juli 2011

Impian Sederhana Tentang Bacaan Anak-Anak Kita

Malam itu saya sedang asyik-masyuk dengan buku yang sedang saya baca. Istri dan kedua putri saya sudah terlelap sejak beberapa jam yang lalu. Buku berjudul Room To Read yang ditulis oleh John Wood itu sebenarnya sudah lama sekali saya tamatkan. Malam itu, entah kenapa, saya meninggalkan buku The Historian-nya Elizabeth Kostova yang sedang saya baca dan beralih ke buku berkover biru langit itu, untuk sekedar membolak-balikan satu dua halamannya.

Room To Read adalah sebuah memoar inspiratif yang ditulis oleh John Wood, seorang mantan eksekutif di Microsoft. Perjalanannya ke Nepal dan mendapati bahwa negeri itu diliputi oleh keterbatasan sarana pendidikan berupa buku telah mengubah jalan hidup John secara drastis. Pekerjaan yang mapan dan penghasilan yang besar ditinggalkannya untuk kemudian memulai kehidupannya sebagai seorang filantropis yang bergerak dalam bidang pendidikan melalui Room To Read, sebuah organisasi nirlaba yang didirikannya bersama teman-teman seidenya.

Tapi kali ini saya tidak sedang membuat tulisan tentang buku itu. Saya hanya tertarik dengan tulisan John ketika dia bercerita tentang masa kecilnya yang sangat lekat dengan buku. Begini katanya:

Semangat saya untuk membangun sebuah perpustakaan bisa ditelusuri secara langsung ke masa kecil saya. Ingatan saya yang paling awal dan paling jelas adalah membaca. Hari Minggu, ibu saya biasanya merangkai cerita dari bagian komik surat kabar untuk kegembiraan saya. Mata saya mengikuti gambar-gambar berwarna itu dan saya menanamkan cerita-cerita itu ke dalam ingatan. Menjelang tidur, saya selalu mendesak agar dibacakan berulang-ulang karya-karya Dr. Seuss: Go, Dog. Go!; Green  Eggs and Ham; There’s a Wocket in my Pocket!. Selama perjalanan yang panjang dengan keluarga di dalam mobil, hidung saya biasanya terikat di buku, sementara saudara laki-laki dan perempuan saya saling memukul. Saya membaca dengan begitu rakus sehingga anggaran terbatas orangtua saya tak bisa mengimbangi. “ [Room To Read, halaman 20]

Kisah John berlanjut saat sang ayah membelikannya hadiah berupa sepeda di Hari Natal-nya yang kesepuluh. Dengan sepeda tersebut, John kecil menghabiskan akhir pekannya ke perpustakaan umum di Athens, Pennsylvania, yang berjarak tiga mil dari tempat tinggalnya. John juga bercerita tentang “pelanggaran kecil” yang dilakukannya bersama petugas perpustakaan.

Sebagaimana perpustakaan lainnya, perpustakaan tempat John membaca hanya mengizinkan delapan buku saja yang bisa dibawa pulang, sedangkan John menginginkan lebih dari itu. Ceritanya bisa ditebak. John membuat kesepakatan rahasia dengan petugas perpustakaan, yakni hanya dirinyalah yang boleh meminjam buku melebihi batas minimal menjadi dua belas buku.

John juga menuliskan tentang kebiasaannya membaca selain buku pelajaran ketika kelas sedang berlangsung. Tentang bagian ini, saya akui kalau saya juga salah satu pelakunya. Biasa saat guru menjelaskan, saya akan meletakkan buku komik atau buku lain di balik buku pelajaran yang sedang dibahas atau di kolong meja.

Membaca kisah John kecil di atas, saya teringat dengan buku-buku yang saya belikan untuk kedua putri saya. Buku-buku bergambar dengan tema-tema sederhana untuk balita itu memang sengaja saya beli agar masa kecil kedua putri saya selalu lekat dengan buku. Sebelumnya, saya juga pernah membeli beberapa buku anak obralan yang nasibnya sudah berakhir menjadi serpihan kertas yang tak tentu lagi rimbanya. Perpustakaan mini saya pun sempat terkena imbas semangat “kreativitas” kedua putri saya itu. Buku yang sedang saya bahas ini pun, seingat saya, entah sudah berapa kali terkena ompol putri-putri saya hehehe...

Impian saya ini sebenarnya sederhana saja. Kalau John dan beberapa anak lain di belahan dunia ini memiliki kenangan dengan buku-buku di masa kecil mereka, saya pun ingin anak-anak saya demikian. Hanya saja, bukan kisah Putri Salju atau Cinderella yang kelak akan mereka kenang, namun buku-buku bergizi yang akan membentuk mind-set mereka menjadi muslimah yang berarti dalam penilaianNya.

Semoga saja, apa yang saya impikan ini juga menjadi impian bagi anak-anak Anda pula. Mungkin suatu hari entah kapan, anak-anak kita tak lagi berdiskusi tentang siapa yang lebih cepat antara si Kancil atau Kura-Kura, atau tentang ukuran sepatu kaca Cinderella yang tak muat di kaki Drunella, atau kisah hidung panjang si Pinokio dari daratan Italia yang tak jelas kebenarannya, tapi kisah-kisah kepahlawanan Khalid di medan Mu’tah, atau kisah para satria muslim di bukit Badar, atau kisah heroik penggali parit yang dikomandoi seorang pemuda Persia bernama Salman, atau kisah orang pemuda Al Fatih yang berhasil mendobrak tembok kukuh Konstantinopel.

Semoga. [wahidnugroho.blogspot.com]



H2, Juli 2011

Jumat, 15 Juli 2011

Furs e Ordinacions

Furs e Ordinacions Fetes par Los Gloriosos Reys de Aragon als Regnicols del Regne de Valencia atau Maklumat dan Peraturan untuk Valencia merupakan buku yang telah lama diincar oleh Don Vincente.  Buku yang dicetak pada tahun 1482 oleh Lamberto Palmart, percetakan pertama di Spanyol ini awalnya dimiliki oleh seseorang yang tak dikenal. Don Vincente sendiri adalah biarawan Spanyol abad sembilan belas yang mahsyur sebagai seorang pencuri buku. Setelah lama menghilang, ia kemudian membuka toko buku antik yang memiliki jumlah koleksi luar biasa besar di Barcelona. Konon, ia justru dikenal lebih banyak membeli buku ketimbang menjualnya. Furs e Ordinacions ini merupakan volume yang sudah lama diincarnya.

Pada tahun 1836, pemilik buku ini meninggal dunia dan ahli warisnya kemudian melelang buku tersebut. Sebagai buku yang diduga merupakan satu-satunya edisi yang masih tersisa, Don Vincente sangat terobsesi untuk memilikinya. Oleh karenanya, Don Vincente telah menyiapkan uang dalam jumlah yang sangat banyak agar bisa mendapatkan buku idamannya yang berusia tiga setengah abad itu.

Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak, justru Augustino Patxot, pemilik toko buku yang letaknya berdekatan dengan tokonya Don Vincente-lah yang berhasil mendapatkannya. Kegagalan itu menghancurkan hati Don Vincente. Sepanjang perjalanannya ke rumah usai pelelangan, ia tak henti-hentinya menggumamkan kemarahan. Laiknya orang yang hilang akal, ia  memaki dan mengancam semua yang ada di dekatnya. Ia bahkan tidak mengambil reales de consolacion, semacam uang tips yang diberikan oleh penawar tertinggi kepada penawar tertinggi kedua menurut tradisi lelang di Spanyol, yang jumlahnya lumayan banyak.

Beberapa hari kemudian, terjadi kehebohan di lingkungan tempat tinggal Don Vincente. Sebuah kebakaran hebat melahap toko Augustino Patxot dan membakar sang pemiliknya hingga hangus. Di antara reruntuhan bangunan dan mayat sang pemilik, ditemukan juga mayat sembilan orang sarjana yang juga terbakar sampai hangus. Menariknya, di tubuh ke-sembilan mayat tersebut ditemukan luka tikaman benda tajam. Pihak berwenang yang menangani kasus ini mencium bau busuk dari tetangga sang korban, Don Vincente.

Kegemparan yang terjadi di arena lelang tempo hari yang lalu menjadi alasan kecurigaan pihak berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap kediaman Don Vincente. Dan benar saja. Setelah rumahnya digeledah, pihak yang berwenang menemukan banyak sekali buku yang disembunyikan Don Vincente di bagian tertentu rumahnya, termasuk buku Furs e Ordinacions yang menjadi asal-muasal kegemparan tersebut.

Don Vincente kemudian diadili. Awalnya ia menolak untuk mengakui perbuatannya. Namun setelah ia yakin bahwa hakim akan memelihara perpustakaannya ketika ia ditahan, dia pun mengakui perbuatannya yang telah mencekik Augustino Patxot sampai tewas dan menikam kesembilan sarjana lain yang sedang ada di situ dan kemudian membakar rumah tetangganya itu.

Hakim dan juri yang ada di pengadilan pun bertanya-tanya, kenapa bukan uang tapi justru buku yang dicuri oleh tersangka, dengan tenang Don menjawab, “Aku bukan pencuri”. Terperanjat dengan reaksi tersangka, hakim pun menanyakan alasan Don membunuh tetangganya itu. Dengan dosis ketenangan yang nyaris tak berubah, Don berkata, “Setiap orang pasti mati, cepat atau lambat, buku-buku yang bagus harus dipelihara."

Mendapati jawaban nyeleneh seperti itu dari kliennya, pengacara Don kemudian membantahnya dengan berkata bahwa kliennya tersebut sakit jiwa. Selain itu, sang pengacara menyampaikanb bahwa dia baru saja mendapatkan kabar bahwa ada edisi lain buku tersebut di Paris. Sang pengacara berpendapat bahwa dengan adanya alasan ini, buku yang ditemukan di rumah Don Vincente itu tidak terbukti sebagai milik Patxot. Hakim tidak menggubris ocehan sang pengacara dan langsung menjatuhkan hukuman mati kepada Don Vincente pada tahun 1836 di Barcelona.

Kisah unik tersebut menginspirasi Gustave Flaubert untuk membuat sebuah cerita pendek yang berjudul Bibliomanie, yang ditulis  saat usianya menginjak lima belas tahun di tahun yang sama saat Don Vincente dieksekusi.

Tom Raabe dalam Bibliocholism, The Literary Addiction mengatakan bahwa Bibliomania atau penyakit gila buku merupakan “penyakit kejiwaan” yang ditandai dengan kegemaran seseorang untuk membeli dan mengoleksi buku tanpa pernah dibaca. Bibliomania berbeda dengan Bibliophil, penyakit gila buku, yaitu membeli buku banyak-banyak dan membaca semuanya sampai-sampai usianya habis hanya untuk membeli dan membaca buku. Kisah Don Vincente di atas merupakan contoh dari Bibliokleptomania, yakni pencuri buku.

Selain Don Vincente, ada lagi kisah Stephen Carrie Blumberg, warga Ottumwa sebuah kota kecil di AS yang kisah pencurian bukunya sangat mahsyur, karena jumlah curiannya yang mencapai jutaan dollar. Atau seorang John Gilkey yang melakukan penipuan dengan beragam cara untuk bisa mendapatkan buku yang diincarnya.

Orang-orang seperti Don Vincente, Gilkey, dan Blumberg memang tidak mencuri untuk keuntungan, karena buku-buku yang mereka curi ternyata hanya mereka simpan sebagai bagian dari koleksi perpustakaan mereka. Tapi kejahatan, atas dasar apapun, tentu tak bisa ditolerir, apalagi kalau sampai merugikan pihak lain dan, bahkan, menghilangkan nyawa seseorang.

Kecintaan yang berlebihan memang kerap menyisakan luka jika hanya bertepuk sebelah tangan, termasuk dalam urusan perbukuan. Membaca kembali kisah Don Vincente di atas, terus terang saya cukup bingung ingin menyikapinya seperti apa. Apakah saya harus prihatin, marah, tertawa, atau bagaimana?

Entahlah. [wahidnugroho.blogspot.com]



H2, Juli 2011

Amuk Anak

Mbak Azka, putri pertama saya, mengamuk. Ia mengoceh tak jelas, kakinya menendang ke segala arah, wajahnya berkerut, bibirnya yang sudah manyun semakin manyun ke depan. Entah apa maunya, saya tidak mengerti. Saya tanya kepadanya, “Mbak Azka mau apa?”, yang ditanya hanya mengekspresikan apa yang sudah saya sebut di awal paragraf ini. Saya jadi makin bingung.

Di sela-sela kekacauan itu, saya melihat buku bergambar yang belum lama ini saya belikan untuknya. Buku berjenis board book, buku berbahan karton yang kertasnya keras dan tak mudah sobek, itu segera saya ambil. Putri pertama saya yang sedang mengamuk langsung saya panggil dan saya dudukkan di atas paha saya. “Mbak Azka, kita baca buku, yuk”, ajak saya. Amuknya yang barusan menggelora perlahan mereda, dan dengan celotehnya yang khas, Mbak Azka tampak mulai termakan “bujuk rayu” saya.

Sekarang, Mbak Azka sudah tampak tenang. Sambil menciumi pipi montoknya, saya mulai mengajaknya untuk membaca buku yang sudah ada di tangan saya. Beberapa saat kemudian, kami berdua sudah asyik-masyuk membaca buku yang, ternyata, berjudul Aku Anak Sabar itu. Sepertinya, buku telah berhasil mengalihkan amukannya yang barusan.

Cara ini, membujuk putri saya yang marah untuk membaca, ternyata sangat ampuh bagi putri pertama saya, tapi “belum” untuk putri kedua saya, Fidel. Kalau si adik sedang marah, membujuknya untuk membaca buku ternyata tidak meredakan amarahnya. Marah sang adik pun beda-beda-tipis dengan si kakak. Kalau si kakak marah, sangat mudah untuk dialihkan amarahnya. Berbeda dengan si adik. Kalau ada kemauannya yang tidak dituruti maka ia akan terus mengejarnya sampai dapat, meski harus menghamburkan literan air mata dan mengomel tak jelas dengan bahasa balitanya.

Pernah suatu pagi istri saya sakit perut dan ingin ke kamar mandi, sedangkan Fidel sedang asyik menyusu kepadanya. Entah karena nggak tahan atau bagaimana, istri saya langsung meninggalkan tugasnya dan langsung berjalan setengah berlari ke kamar mandi. Terkaget karena puting susu umminya tiba-tiba menghilang, Fidel langsung menjerit dan berlari ke luar kamar untuk mencari umminya. Bujukan dan rayuan saya tak mampu menghalangi langkahnya ketika itu. Beberapa detik kemudian, saya mendapatinya sedang menggedor-gedor pintu kamar mandi sambil berteriak, “Ami, tutu...”. Begitulah.

Setiap anak memang spesial, dan karena itulah perlakuannya pun spesial. Saya memang bukan orang terbaik untuk membincangkan tema meredakan amarah anak, karena terkadang, kondisi fisik dan mental yang letih cukup memengaruhi kadar emosi saya saat menangani anak yang marah. Tapi saya sadari, meredakan amarah anak memang punya seni tersendiri. Dalam hal ini, rasanya saya perlu belajar banyak dari para orangtua yang telah lebih dulu menjadi orangtua daripada saya.

Siapa tau Anda bisa membantu saya untuk mengajari bagaimana cara yang tepat untuk memperlakukan amuk anak-anak kita.

Monggo. [wahidnugroho.blogspot.com]



H2, Juli 2011

Sabtu, 09 Juli 2011

Bukunya Anak-Anak





Jumat kemarin (8/7) saya pergi ke bandara Syukuran Aminudin Amir di Bubung untuk mengambil paket buku Halo Balita-nya mbak Azka dan dek Fidel yang saya pesan dari seorang teman di Jogja beberapa hari yang lalu. Semoga buku ini bisa bermanfaat dan, pastinya, tahan lama. Maklum aja, buku-buku mbak Azka n dek Fidel yang sebelumnya sukses berubah bentuk jadi serpihan n sobekan kertas hehehe... Semoga saya dan istri bisa istiqomah untuk menumbuhkan kecintaan membaca kepada kedua putri kami. Amin.


Selasa, 05 Juli 2011

Menjaga Nyala Stamina Baca

 Lagi-lagi ada kabar gembira yang datang dari istri saya. “Aku sudah selesai baca buku yang ke dua, say”, ujarnya semalam. Dan setelah itu, dirinya kembali asyik memilah dan memilih buku apa lagi yang akan dibacanya sebagai buku ketiganya. Setelah sedikit berdiskusi dengan saya, jatuhlah pilihannya kepada buku kecil berjudul Perang Khandaq karangan Drg. Syukri Wahid.

“Membaca itu ternyata kalo udah enak jadinya malah asyik ya”, akunya. Saya mengiyakan. Membiasakan diri untuk melakukan hal yang baru memang butuh adaptasi. Namun kalau chemistry-nya udah dapet, maka melakukannya tak lagi sulit. Termasuk dalam urusan membaca.

Nyaris semua orang suka membaca. Baik itu membaca buku, majalah, SMS, koran, iklan, pamflet, slip gaji, atau apapun. Tapi, tidak semua orang memiliki stamina kebetahan membaca yang cukup kuat, itu menurut saya. Lucunya, saya malah pernah menjumpai kasus orang-orang yang menjadikan aktivitas membaca sebagai salah satu terapi susah tidur. Ssst.. tapi jujur aja ya, saya juga termasuk orang yang pernah menjalani “terapi” ini lho, hehehe...

Para ulama terdahulu merupakan generasi pembaca buku yang memiliki kerakusan baca stadium akut dan stamina baca tingkat tinggi. Kita mungkin ingat tentang koleksi buku-buku yang sangat berlimpah di perpustakaan Baghdad, Granada, dan di bumi Islam lainnya. Malahan, saya pernah membaca kisah seorang ulama yang saat tidurnya pun dikelilingi oleh bertumpuk-tumpuk buku.

Lalu, bagaimana cara melatih kekuatan stamina baca kita? Ternyata, semangat yang membara saja tidak cukup. Ada cara lain yang sifatnya teknikal yang bisa kita gunakan untuk menjaga nyala stamina baca kita sehingga aktivitas baca yang awalnya membosankan menjadi kegiatan yang mengasyikkan.

Pertama:  Kombinasi
Maksudnya begini. Ketika kita sudah selesai membaca buku yang cukup tebal, maka kombinasikan dengan buku berukuran sedang atau tipis. Ini berguna untuk menjaga agar kita tidak mudah bosan saat membaca buku-buku berukuran tebal.

Kedua: Libatkan Sastra
Ini pengalaman saya pribadi. Ketika diri ini penat membaca buku-buku bertema berat, apalagi bila buku itu berukuran cukup tebal, pilihan selanjutnya biasa jatuh kepada buku-buku fiksi. Fiksi apapun. Bagi saya, fiksi baik novel maupun cerpen, atau juga puisi, berfungsi untuk mengendurkan syaraf-syaraf yang tegang saat kita membaca buku-buku yang berat.

Ketiga: Buat jeda
Jeda, kata Ibnul Qayyim, adalah bagian dari perjalanan juga. Jadi, ketika aktivitas membaca kita sudah sedemikian jauh dan larut, maka ambillah jeda barang sejenak untuk beristirahat. Mengisi masa jeda ini bagi setiap orang mungkin tidak sama. So, buatlah momen jeda itu menjadi setenang dan senikmat mungkin. Jeda itu bisa berupa jalan-jalan ke tempat yang menyenangkan. Mungkin bisa berjalan-jalan di taman, pantai, bukit belakang rumah, atau sekedar duduk-duduk di serambi masjid. Atau bisa juga dengan mencoba resep masakan baru, bercengkerama dengan anak dan pasangan kita, atau dalam bentuk lain.

Keempat: Qui Scribit Bis Legit
Orang yang menulis, maka dia membaca dua kali. Begitu makna kalimat latin di atas. Imam Syafi’i mengatakan bahwa cara terbaik untuk mengikat bacaan kita adalah dengan cara menuliskannya kembali. Hernowo mengistilahkannya dengan “Mengikat Makna”. Jadi, kalau kita mau stamina baca kita cukup kuat, bahkan sangat kuat, untuk mengambil tantangan baca selanjutnya, maka tuliskan kembali apa-apa yang telah kita baca barusan.

Tulisan ini tidak perlu dalam bentuk resensi yang njelimet. Mungkin dengan membuat review singkat dari buku yang kita baca, “Hari ini saya menamatkan buku ini, yang dikarang oleh fulan dan bertemakan tentang ini dan itu, dan seterusnya dan sebagainya”. Jangan lupa, tuliskan pula kesan-kesan yang kita dapat dari buku yang kita baca itu. Ini penting karena keterikatan kita dengan buku yang kita baca membuat kadar informasi yang kita dapat tetap terjaga keberadaannya.

Cara keempat ini, menurut saya – berdasarkan pengalaman para sastrawan dunia – merupakan cara terbaik untuk menjaga nyala stamina baca kita.

Terakhir: Lakukan sekarang juga
Niat yang baik tak perlu untuk ditunda-tunda bukan. Maka mulai saat ini, pergilah ke lemari buku Anda, pilah dan pilih buku apa yang Anda suka, dan bacalah buku itu saat ini juga. Atau kalau Anda saat ini sedang sibuk, bawalah buku itu ke kantor atau ke tempat aktivitas Anda, dan lahaplah ketika Anda sudah tiba di sana. Tapi jangan sampai mengganggu pekerjaan Anda ya, hehe..

Tulisan ini saya buat bukan karena saya adalah orang yang paling banyak membaca buku ketimbang Anda yang membaca tulisan ini. Saya hanyalah orang yang suka membaca dan ingin Anda pun juga menyukainya.

Silahkan.

[wahidnugroho.blogspot.com]



Simpong, Juli 2011

Senin, 04 Juli 2011

Motivasi Dosis Tinggi

Prolog

Sepekan belakangan ini, istri saya lagi rajin-rajinnya baca buku. Sebuah buku berjudul Aku Dan Al Ikhwan Al Muslimun karangan Dr. Yusuf Qardhawy yang cukup tebal itu berhasil dilahapnya dalam jangka waktu kurang dari lima hari. Saya kagum dengan effortnya yang luar biasa itu.

Terkadang, saya mendapatinya tengah khusyuk membaca walau anak-anak sedang sibuk menghambur-hamburkan mainan mereka di atas lantai, atau kala sang adik tiba-tiba berteriak karena berkelahi dengan sang kakak. Kalau sudah begitu, istri saya segera meletakkan bukunya, mengantar anak-anak untuk ke kamar mandi atau sekedar melerai perkelahian mereka. Tak seberapa lama, dirinya sudah asyik-masyuk lagi dengan buku yang sudah dibacanya.

Saya sendiri, selama istri menyelesaikan bacaannya, lumayan dicuekin. Tapi nggak masalah. Toh saya juga lumayan sering nyuekin istri kalo saya lagi asyik-asyiknya mbaca buku hehe.. Tapi intinya, saya senang dengan antusiasmenya untuk membaca, atau lebih tepatnya antusiasmenya untuk membaca buku sampai tamat. Memang, dibutuhkan niat yang sangat kuat untuk dapat menamatkan sebuah buku.

Tak jarang kesibukan dan kebosanan kerap melanda bagi kita yang sudah berniat untuk membaca buku sampai tuntas. Apalagi bagi kami yang sudah berlabel sebagai orangtua dengan dua anak bayi yang enerjik dan tak kenal lelah itu, misalnya. Atau bagi sebagian orangtua lainnya yang mungkin jumlah anaknya jauh lebih banyak dengan energi yang jauh lebih besar pula. Atau bagi beberapa orangtua yang tingkat kesibukannya begitu luar biasa sehingga waktu luang menjadi barang yang langka baginya. Tentunya dibutuhkan motivasi dosis tinggi untuk menamatkan sebuah buku bagi para orangtua seperti itu.

Bagi saya pribadi, ada tiga motivasi dasar yang mendorong saya, dan coba saya tularkan kepada istri dan keluarga saya, untuk membaca.

Pertama: Semangat Ibadah
Perkara niat ini memang sesuatu yang klise. Tapi klise bukan berarti harus diabaikan begitu saja. Iqra’ (baca!) adalah perintah pertama bagi umat muslim yang tercantum di dalam Al Qur’an. Selain itu, ada banyak sekali ayat-ayat di dalam Al Qur’an yang memerintahkan kita untuk “mengetahui”, dan gerbang pertama menuju brankas pengetahuan adalah membaca.

Kedua: Kebutuhan akan informasi
Kenapa kita bekerja dengan sangat keras setiap hari? Alasan mendasarnya sangat sederhana. Karena kita butuh dengan uang, sebagai hasil dari pekerjaan itu, misalnya, selain motivasi lainnya. Begitu juga dengan membaca. Buku adalah jendela dunia. Begitu katanya. Bagi para Murabbi, misalnya, membaca adalah basic-needs yang harus dipenuhi tanpa kompromi. Sedangkan kebutuhan lainnya dari membaca adalah sebagai sarana hiburan dan rekreasi jiwa.

Bila pemenuhan akan kebutuhan ini begitu kuat, maka menamatkan sebuah buku, yang dapat memenuhi kebutuhan itu, bukan sebuah kesulitan.

Ketiga: Semangat keteladanan
Bagi saya pribadi, poin ketiga ini adalah sebab yang paling memberikan saya motivasi dosis tinggi untuk membaca buku. Alasannya jelas, sebagaimana yang pernah saya tulis sebelumnya, cara termudah untuk menciptakan anak-anak yang suka membaca bermula dari keteladanan orangtuanya. Tak perlu banyak teori, tak perlu banyak argumentasi, membacalah di hadapan anak-anak kita akan memberikan efek yang begitu kuat bagi mereka untuk ikut membaca sebagaimana yang orangtuanya lakukan.

Ini adalah impian pertama saya untuk anak-anak saya kelak. Nggak muluk-muluk. Saya hanya ingin anak-anak saya menjadi generasi pembelajar yang memiliki kerakusan akut terhadap buku. Buku-buku yang baik dan bergizi, tentu saja.

Epilog

“So many books, so little time”, begitu kata Frank Zappa. Apa kata komposer ternama sekaligus maniak buku itu saya kira benar adanya. Dan semuanya berpulang kepada terbatasnya waktu yang ada. Dengan semakin bercabangnya tugas dan bertumpuknya kewajiban yang harus diselesaikan, kita memang harus berakrobat sedemikian rupa untuk merealisasikan semangat baca yang menyala itu. Ini memang bukan perkara mudah dan hanya kepadaNya-lah saya memohon pertolongan.

Semoga Allah ringankan ikhtiar ini.

[wahidnugroho.blogspot.com]


Simpong, Juli 2011

Kamis, 30 Juni 2011

Tentang Marah

Rihlah peringatan Hari Keluarga Rabu (29/6) kemarin menyisakan banyak cerita. Salah satu yang saya dan istri ingat adalah sambutan yang disampaikan oleh ustadz kami, Iswan Kurnia Hasan Lc. Dalam sambutan singkatnya, beliau mencuplik sedikit cerita dari istri almarhum Haji Subhan yang terus-menerus pingsan saat mengenang sosok suaminya yang luar biasa itu. Dimana luar biasanya?

Ustadz Iswan berkata bahwa sepanjang usia pernikahan mereka tak pernah sekalipun almarhum memarahi istrinya. Itulah sebabnya, saat sang istri mengingat kembali momen itu, ia langsung jatuh pingsan berulang kali. Saya takjub. Sebagian besar keluarga yang menghadiri acara itu juga takjub. Anda yang membaca tulisan ini mungkin akan berdecak kagum dengan “ketangguhan” sang suami tersebut.

Saya pernah mendengar kisah lain yang sedikit berbeda tapi substansinya sama: kesabaran. Syahdan ada seorang suami yang tak pernah mengeluhkan masakan istri, baik enak maupun tidak. Saya tidak tahu secara persis bagaimana kelanjutan kisah ini, apakah sang istri tetap nyaman dengan ketidak-bisa-masaknya, atau sebaliknya. Terus terang saya tidak terlalu tertarik untuk mengetahuinya.

Kemarin siang, ketika kami berempat dalam perjalanan pulang ke rumah, istri saya menceritakan kembali kisah tentang almarhum Haji Subhan itu kepada saya. Sebabnya bagi istri saya jelas: saya termasuk kriteria suami yang sering memarahinya, sehingga istri saya perlu untuk membangkitkan kembali cerita itu untuk menyindir saya. Jawaban saya saat disindir seperti itu singkat saja, “Saya ini Wahid, bukan Haji Subhan!”. Intonasi saya jelas dan tegas.  

Di sisi lain, saya jadi merasa sedikit bersalah – sekali lagi: sedikit – dengan sindiran istri saya itu. Saya harus akui kalau saya bukanlah tipe suami yang seheroik dua kisah di atas. Ketika masakan istri saya tak enak, saya katakan dengan jujur. Ketika saya tak suka istri saya begini dan begitu, saya katakan terus terang. Ketika saya merasa tak nyaman, saya ungkapkan apa adanya. Saya memang tak suka memendam emosi dan lebih suka untuk mengungkapkannya.

Kadang, marah itu harus saya ungkapkan lewat kata-kata, kadang dengan diam. Bila emosi saya berada pada titik didih, saya biasanya diam atau memasang wajah masam. Saya bukan tipe suami yang marah dengan berisik. Biasanya, ketika emosi mereda, saya bicarakan permasalahan yang menggusarkan itu di dalam kamar ketika anak-anak sudah tertidur. Prinsip saya ketika sedang marah adalah, masalah tidak boleh dibawa tidur dan harus selesai hari ini juga. Kadang masalah itu selesai dengan singkat, kadang saya perlu mengulurnya beberapa jam.

Ketika mendengar dua kisah gemerlap di atas barusan, saya sempat sedikit tergoda untuk merubah diri menjadi sosok suami yang heroik tersebut, atau setidaknya mendekati. Tapi hasilnya justru membuat saya tak nyaman. Rasul saja pernah marah. Well, marahnya Rasul memang sangat beralasan, ada banyak kisah yang berserak tentang hal ini di dalam hadits beliau. Setidaknya alasan itu yang saya berikan kepada istri saya kemarin. Tapi sindiran itu cukup menggelisahkan saya, setidaknya membuat saya kembali mengintrospeksi diri, apakah saya sesering itu marah, atau memarahinya?

Jawaban atas pertanyaan saya di atas tentu hanya bisa dijawab oleh istri saya. Sekarang, sambil mencoba untuk berkompromi dengan godaan di atas, sepertinya saya butuh waktu sejenak untuk mengenang kembali saat-saat saya marah – dan memarahi – kepada istri saya. Apakah marah yang saya keluarkan itu sudah sesuai porsi dan situasinya, apakah marah yang saya lakukan itu sudah masuk akal alasannya, atau faktor-faktor lain yang menentukan konfigurasi dan komposisi emosi saya kepada wanita yang saya cintai itu.

Bismillah. [wahidnugroho.blogspot.om]


Simpong, Juni 2011
Ronda tengah malam.

Senin, 27 Juni 2011

Lelaki Baik Hati

Saya tidak terlalu kenal dengan lelaki berusia sekitar 80 tahunan itu. Posturnya yang tinggi kurus, kulitnya cerah bercahaya, rambutnya memutih di nyaris semua bagiannya tampak biasa saja di mata saya. Pembawaannya ramah, tak terlalu banyak bicara, dan senyum selalu mengembang dari wajahnya. Malam itu adalah momen pertama saya bersua dengannya.

“Acara kecil-kecilan ini dibuat sebagai wujud rasa syukur kami karena mobil kami telah sampai dengan selamat di Luwuk”, ujarnya sambil menunjuk ke arah mobil jenis land cruiser bermerk Ford itu. Beberapa undangan tampak mengalihkan wajahnya ke arah yang ditunjuk oleh lelaki itu. Tampak sebuah mobil berwarna hitam dengan nomer polisi berawalan L terparkir di sudut rumahnya. Lelaki tua itu tampak tersenyum penuh syukur.

Tak seberapa lama, di hadapan kami telah terhidang hidangan urap lengkap dengan tahu tempenya, serta masakan daging dan, tentu saja, ikan bakar dengan dabu-dabunya. Setelah menyilakan para undangan untuk makan, pandangan saya masih lekat kepada sosok lelaki itu. Ia tampak memberi isyarat kepada putrinya untuk mengambilkan makanan baginya. Putri lelaki itu, yang berusia sekitar 40’an tahun, beliau seorang ibu yang sangat baik, dengan sigap mengambilkan sedikit nasi dan beberapa lauk ke dalam piring berwarna putih susu. Lelaki itu kemudian tampak menikmati suguhan urap dan beberapa potong tahu tempe yang ada di hadapannya.

Itulah momen pertama, sekaligus terakhir saya bersua dengannya. Peristiwa yang sudah terjadi beberapa bulan yang lalu itu terbayang kembali di benak saya ketika Ahad siang kemarin (26/6) saya menerima telepon dari seseorang tentang kabar lelaki baik hati itu. Terbayang tentang kebaikan hati beliau saat mewakafkan seluruh tanahnya, meski sebagian akhirnya dibebaskan dengan cara patungan melalui wakaf tunai, untuk proyek pembangunan masjid dan juga sekolah Islam di kawasan yang terkenal dengan “kawasan lampu merah-nya” Luwuk itu. Saya juga teringat dengan kebaikan putri dan menantu lelaki baik hati itu ketika kami semua berpeluh saat menyelesaikan proses pembangunan masjid tersebut dan mereka begitu ringan tangan untuk membantu memenuhi segala keperluan pembangunan masjid itu.

Kebaikan lelaki itu seolah belum bertepi. Hari Sabtu (25/6) kemarin, saya dikabari oleh ketua yayasan kami, yayasan yang diamanahi untuk melaksanakan proyek pembangunan beberapa masjid dan sekolah Islam, bahwa kami baru saja dihadiahi sebuah mobil pick up oleh lelaki itu, lelaki yang baik hati itu. Mobil berwarna biru keluaran tahun 2008 itu adalah mobil yang biasa kami gunakan untuk mengangkut kayu, serta untuk keperluan distribusi logistik ketika terjadi kebakaran hebat di sebuah sudut kota ini beberapa waktu yang lalu.

Beberapa detik kemudian, suara di ujung telepon membuyarkan lamunan saya tentang sosok lelaki yang baik hati itu. “Innalillahi wa inna ilayhi raji’un”, sahut saya perlahan saat mendengar kabar tentang lelaki baik hati yang ternyata sudah beberapa hari terbaring koma di rumah sakit.

Ahad sore kemarin, saya kembali menemui lelaki itu. Ia tetap dengan tubuh kurusnya, kulit cerahnya dan rambutnya yang kian memutih. Perlahan saya menyentuh lengannya yang dingin dan mengamati wajahnya yang tampak tenang seraya merapalkan doa, “Allahumaghfirlahu warhamhu wa’afiyhi wa’fu’anhu”.

Lelaki baik hati itu bernama Haji Subhan. Ahad siang kemarin Allah telah memanggil beliau setelah hari-hari terakhirnya dihabiskan di rumah sakit karena gagal ginjal. Putrinya tampak terpukul dengan kejadian ini, beberapa sanak familinya juga tampak begitu sedih. Saya sendiri tidak mengenal beliau dengan baik, pun dengan kepribadiannya sehari-hari. Tapi kemuliaan hatinya, kebaikan budi dan keringanan tangannya saat membantu pembangunan masjid, sekolah dan kegiatan sosial lainnya telah membuat saya begitu kehilangan beliau. Kalaupun di yaumil akhir kelak, ketika segala amal dihisab dengan hitungan yang maha detail, saya tak berkeberatan untuk menjadi saksi atas segala kemuliaan hati lelaki yang baik itu di kala hidupnya. Sungguh, saya sama sekali tidak keberatan.


[wahidnugroho.blogspot.com]


Simpong, Juni 2011

Ceramah-Ceramah Hasan Al Banna: Iftitah



Ide ini sebenarnya sudah tumbuh sejak lama. Beberapa tahun yang lalu, saya berniat untuk mempublikasikan salinan buku Manhaj Haraki dan Ceramah-Ceramah Hasan Al Banna melalui blog ini, khususnya salinan buku Manhaj Haraki sudah pernah saya buat hingga sekitar tigapuluhan halaman. Entah karena kelalaian atau karena kejenuhan yang melanda, ditambah saya belum memiliki laptop kala itu dan beberapa kali gonta-ganti komputer kantor plus hilangnya flashdisk saya (apes banget sih hehe),  file word yang sudah saya buat itu hilang entah kemana. Tak terlacak, sampai hari ini.

Kali ini, ide yang dulu sempat tertunda akan coba saya realisasikan, hanya saja, buku yang akan saya salin adalah sebuah buku yang dulu pernah dicetak tebal bertajuk Ceramah-Ceramah Hasan Al Banna. Sejak beberapa tahun yang lalu, saya dilupakan kapan persisnya, buku ini mulai dicetak dalam dua jilid oleh penerbit Era Intermedia.

Pertanyaannya adalah, kenapa harus buku itu?

Saya telah melakukan survey kecil-kecilan di Google, dan sepertinya belum ada blogger/website yang memberikan porsi tertentu di blognya, dan juga fokus, untuk menyajikan tema ini (cmiiw). Padahal ada banyak sekali faidah dan juga kebaikan yang, insya Allah, berlimpah dari buku yang disusun oleh Ustadz Ahmad Isa Aasyur tersebut.

Oleh karenanya, perlu ada seseorang yang harus mau dan, semoga saja, mampu merealisasikannya. Sehingga, mutiara-mutiara yang terpendam itu bisa dinikmati pendarnya dan diambil manfaatnya yang berlimpah. Dan bagi para Anda yang membaca salinan ini, siapa tahu Anda bisa tertarik untuk membeli buku yang disusun berdasarkan kajian rutin yang dibawakan setiap hari Selasa oleh Imam Hasan Al Banna di markas besar Ikhwan. Sebuah kajian yang rutin disambangi oleh Syaikh Qardhawy, Syaikh Sayyid Sabiq, dan Syaikh Muhammad Ghadban di usia belia mereka. Kalau ulama sekelas beliau-beliau saja rutin mendatangi kajian Imam Syahid, apatah lagi kita.

Jadi, dengan mengucapkan basmallah dan menguatkan azzam di dada, proyek penyalinan buku berjudul Ceramah-Ceramah Hasan Al Banna ini akan saya mulai.

Semoga Allah mudahkan urusan ini dan menghitungnya sebagai timbangan kebaikan bagi saya dan kedua orangtua saya.

Amin.

[wahidnugroho.blogspot.com]


Simpong, Juni 2011