Kamis, 25 September 2014

Semacam Catatan Fans Parma Layar Kaca

Paska promosi ke Seri A tahun 2009 silam, penampilan Parma selalu mengalami pasang surut dan hanya mampu berkutat di papan tengah. Jangankan membahas scudetto, bertahan di Seri A alias salvezza selalu menjadi agenda tahunan yang rutin disuarakan oleh para petinggi di Emillia sana. Baru pada musim 2013-2014 Parma mengalami peningkatan penampilan yang cukup baik. Ketika tim-tim tradisional semisal Milan dan Inter masih berkutat dengan inkonsistensi, Parma memiliki penampilan yang cukup stabil di penghujung musim tersebut yang membawa mereka bertengger di posisi ke enam di akhir musim. Posisi itu memungkinkan mereka untuk kembali berlaga di play off Liga Eropa musim 2014-2015 bersama Internazionale dan Fiorentina. 

Tapi kegemilangan itu hanya bertahan sebentar. Parma dijegal ke Eropa karena permasalahan fiskal sang presiden yang abai dalam menjalankan kewajibannya. Sedih, memang. Tapi apa boleh buat, the show must go on. Meski sempat ‘bertarung’ sampai ke CAS, posisi Parma di play off Europa League pun digantikan oleh Torino yang di pertandingan terakhirnya sempat diwarnai drama hadiah penalti yang penuh kontroversi. Sebagian orang menganggap bahwa ada aroma konspirasi yang sangat kuat demi menjegal Parma kembali berlaga di Eropa setelah lebih dari tujuh tahun absen. Situasi di Collechio pun menjadi tak kondusif. Tomassi Ghirardi sempat mengajukan pengunduran dirinya sebagai presiden Parma yang dipegangnya sejak tahun 2006 silam. Bursa transfer pun sepi, bahkan pemain-pemain yang jadi kunci kesuksesan Parma musim sebelumnya banyak yang hengkang. Masa depan klub yang berdiri pada tahun 1913 ini pun jadi semakin suram.

Seri A musim 2014-2015 kini baru memasuki giornata ke empat dan posisi Parma masih jauh dari menggembirakan. Mengemas satu kali menang dan tiga kali kalah, dua di antaranya terjadi di kandang sendiri, membuat jantung fans Parma dimanapun mereka berada jadi semakin tak karuan. Pekan demi pekan hanya menghadirkan kegalauan dan kegelisahan, bisakah Parma menang atau sekedar mengamankan poinnya, atau justru jadi bulan-bulanan? 

Meski begitu, musim ini bukan tanpa harapan. Walau masih bertengger di posisi papan bawah, Parma menjadi tim ke tiga di papan klasemen yang punya produktivitas gol yang bagus: 8 gol. Sayang, jumlah kebobolannya jadi yang terburuk: 10 gol! Absennya pemain kunci seperti Paletta di jangkar pertahanan dan Cassani di lini pendukung, dan pemasangan formasi serta pergantian pemain yang cukup aneh dari sang allenatore Donadoni, menjadi salah satu sebab sering berdegup kencangnya jantung tifosi Parma saat menyaksikan tim kesayangan mereka bermain. Sepuluh gol yang bersarang di gawang Mirante menjadi salah satu pekerjaan rumah Donadoni yang, menurut sebagian tifosi, kurang berani bereksperimen dengan memberikan kesempatan bermain bagi pemain-pemain muda yang punya penampilan lebih menjanjikan.

Situasi Parma musim ini sama persis dengan performa musim kemarin yang pada pekan ke empatnya juga bertengger di posisi ke 16 klasemen. Bedanya hanya dari segi produktivitas dan jumlah poin.  Berikut adalah perbandingan performa Parma di 4 giornata awal sejak promosi ke Seri A di musim 2009-2010 yang lalu:


Musim

Posisi di Klasemen

Gol

Kebobolan

Poin

2014-2015

16

8

10

3

2013-2014

18

2

6

2

2012-2013

12

4

6

4

2011-2012

18

3

9

3

2010-2011

10

5

4

5


Melihat tabel di atas, kita bisa melihat bahwa klub ini secara alamiah memang selalu berada pada fase sulit saat musim baru saja dimulai dalam lima musim terakhir dan justru malah mengalami penampilan yang cukup stabil pada akhir-akhir kompetisi. Namun jika melihat performa klub ini di sepertiga giornata terakhir, maka kita akan mendapatkan data sebagai berikut:


Musim

Jumlah Bermain

Jumlah memasukkan


Kemasukan


Poin

Posisi di klasemen akhir

2013-2014

10

11

11

12

6

2012-2013

10

9

9

14

10

2011-2012

10

21

9

25

8

2010-2011

10

12

9

17

12

2009-2010

10

17

14

15

8


Dari tabel di atas, diketahui bahwa penampilan terbaik Parma pada 10 giornata terakhir terjadi pada musim 2011-2012 yang sama-sama kita ketahui bersama dimana Parma berhasil meraup poin 25 dari maksimal 30 yang bisa diraihnya. Pasukan Franco Colomba bahkan mencatat kemenangan 7 giornata berturut-turut setelah dikalahkan Udinese di Friulli pada gioranata ke 31. Meski sempat mengalami penurunan pada musim 2013-2014, secara keseluruhan penampilan Parma di ulang tahunnya yang ke-seratus cukup stabil. Hal ini terbukti saat anak-anak asuh allenatore Donadoni berhasil duduk di tangga ke 6 tabel klasemen akhir. Jauh lebih baik daripada musim sebelumnya yang hanya duduk di posisi 10.

Oleh karenanya, di awal-awal kompetisi ini saya tidak ingin berharap terlalu banyak kepada klub ini dan ingin menikmati ketegangan demi ketegangan yang tercipta di setiap pekannya dengan sebaik-baiknya. Statistik di atas mungkin tidak bisa dijadikan satu-satunya pegangan. Namun, berbekal statistik sederhana yang sudah saya sajikan di atas, saya hanya ingin menyenangkan diri saya sendiri terkait dengan inkonsistensi yang terjadi di klub ini dengan cara yang rasional sambil terus berharap agar Parma bisa memperbaiki penampilannya dari giornata satu ke giornata lainnya. Siapa sih pendukung yang tidak suka dengan prestasi klub yang didukungnya? Tapi andaipun klub yang sudah didukungnya sepenuh hati itu tidak sesuai dengan ekspektasinya, tak ada yang bisa saya lakukan kecuali hanya dengan menerimanya meski dengan kepala yang sedikit tertunduk dan hati yang tiba-tiba saja terasa sesak. Mau bagaimana lagi? Namanya juga hanya, meminjam istilah seorang teman di facebook, fans layar kaca. [wahidnugroho.com]


Kilongan, September 2014


Tentang Status Facebook Saya Tempo Hari

Status facebook saya tempo hari ternyata menangguk begitu banyak respon, baik dari teman-teman yang sudah saya kenal maupun dari orang-orang yang baru mengenal saya dan sebaliknya. Status yang, menurut saya, cukup panjang dan agak bertele-tele itu ternyata sudah dikomentari lebih dari 100 kali, termasuk postingan saya sendiri, di-share lebih dari 40 kali, dan di-like lebih dari 260 kali. Angka-angka itu mungkin akan terus bertambah dalam beberapa hari ke depan, entah sampai kapan. Jumlah yang cukup mengejutkan dan di luar perkiraan saya.

Ekses dari status tersebut membuat saya cukup kelabakan merespon postingan, pesan pribadi, dan juga permintaan pertemanan baik dari orang-orang yang sudah saya kenal maupun dari beberapa orang yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Alhamdulillah, jumlah teman saya di facebook pun mengalami penambahan yang cukup signifikan setelah status gajebo tersebut rilis. Padahal status itu hanya status biasa yang berisi tentang ringkasan paling ringkas tentang episode hidup saya yang suram di kampus plat merah yang konon kabarnya bergengsi itu.

Ada beragam respon yang saya dapatkan dari mereka. Semuanya boleh dibilang bernada positif, bahkan ada beberapa yang mengaku bahwa kisah saya menjadi semacam cerminan kisah hidup mereka sendiri, bil khusus mereka yang berhasil lolos dari kampus STAN dengan nilai yang jauh dari memuaskan. Laskar PMDK alias Perhimpunan Mahasiswa Dua Koma. Yakni mahasiswa yang berhasil ‘lolos’ dari STAN dengan IPK kurang dari tiga koma nol.

Selain itu, ada beberapa kisah inspiratif yang saya baca dari respon-respon yang berserak itu. Kisah yang akan saya ingat baik-baik dan akan saya ambil pelajaran darinya. Sebagian orang ada yang menaruh simpatinya kepada saya, walaupun saya agak bingung dengan ungkapan simpati tersebut. Mungkinkah mereka itu bersimpati dengan tempat bekerja saya saat ini yang jauh dari, katakanlah, mentereng karena berlokasi di sebuah daerah yang namanya saja baru kali pertama mereka dengar? Atau simpati karena ada sebab lain? Saya tidak tahu. Ada juga yang merasa bahwa status saya itu memberikan inspirasi dan motivasi bagi para pembacanya. Untuk bagian ini, saya lebih memilih untuk menyerahkannya kepada sidang pembaca saja.

Lalu, apa sebenarnya tujuan saya menuliskan status sepanjang itu? Status yang memuat sebagian kecil perjalanan hidup saya yang mungkin bagi beberapa orang diartikan sebagai status bermodus curhat atau bahkan tidak ada guna dan maknanya sama sekali kecuali semangat ingin eksis semata? Bisa jadi, ada orang-orang yang menganggap status itu demikian. Saya tidak bisa menahan penilaian orang terhadap pandangan-pandangan saya. Adalah hak mereka untuk menilai saya tanpa bisa saya cegah.

Istri saya, dalam perjalanan pulang kami ke rumah, sempat bertanya kepada saya, apa maksudnya menulis status semacam itu. Status yang mencantumkan, katakanlah, aib kecil saya di masa silam. “Emang abi nggak malu apa nulis kayak begitu?” tanyanya. Udara di Luwuk sangat panas waktu itu. Pendingin mobil sampai-sampai saya pasang di angka maksimal agar suasana bisa sedikit lebih sejuk. Putri ke dua saya yang baru saja saya jemput dari sekolahnya berdiri di antara dua jok depan dan matanya menatap lurus ke jalanan yang membara. Sambil menyetir, saya berkata kepadanya dengan kata-kata selugas mungkin.

Saya menjelaskan bahwa “aib” yang saya ungkapkan itu sebenarnya bukanlah aib. Kalau boleh dibilang, status tersebut adalah ekspresi kejujuran saya dalam memandang diri saya sendiri sebagai seorang manusia yang juga punya kekurangan. Sebagaimana yang saya akui, saya memang tidak menikmati masa-masa perkuliahan di STAN bukan karena faktor eksternal, tapi lebih pada faktor internal yang ada di dalam diri saya yang memang kurang suka pelajaran-pelajaran non eksakta. Saya akui, saya cukup beruntung bisa melalui masa-masa perkuliahan yang sulit itu dan, katakanlah, berhasil masuk ke dalam keluarga besar sebuah kementerian yang orang-orang bilang: bonafid. Kalo boleh sedikit berbesar kepala, zaman sekarang ini siapa sih yang nggak mau jadi PNS di Kementerian Keuangan? Saya yakin jumlahnya cukup banyak. Lihat saja situs Panselnas. Pendaftar yang ingin bergabung ke kementerian ini jumlahnya yang paling mencolok jika dibandingkan dengan pendaftar di instansi lain: lebih dari seratus tiga puluh empat ribu pelamar! Jumlah itu masih jauh di atas pelamar Badan Narkotika Nasional yang jumlahnya ‘hanya’ enam puluh delapan ribuan sekian sekian, atau Kejaksaan Agung yang jumlah pelamarnya tak lebih dari tiga puluh ribu. Dari situ aja, kita bisa lihat bahwa animo masyarakat untuk bergabung ke instansi ini cukup banyak. Dan adanya saya di instansi ini dengan segala kekurangan yang saya miliki tentu wajib disyukuri dengan sepenuh-penuh syukur.

Kembali ke soal ‘aib’. Saya kadang suka jengkel melihat orang-orang yang lebih suka mengambil jalan pintas demi menutupi kekurangan mereka. Saya teringat sama cerita istri saya yang pada suatu hari kedatangan pembeli ke warung buburnya dan mengajaknya mengobrol. Pembeli itu adalah seorang ibu paruh baya. Dari cerita istri, saya kenal suami sang ibu yang saat datang ke warung sambil mengendarai mobil hatchback keluaran terbaru itu. Singkat cerita, ibu itu berkata kepada istri saya tentang anaknya yang lulusan SMK tapi didaftarkan ke Kedokteran sebuah universitas negeri ternama. Uang berjumlah sekian sudah disiapkan sang orangtua demi memuluskan niat itu. Apa lacur? Anak itu gagal lulus tes. Tak berhenti sampai di situ, sang orangtua lalu mencari jalan pintas. Dihubunginya keluarga-keluarga yang berpengaruh agar bisa meluluskan si anak ini ke Fakultas Kedokteran yang dimaksud. Sayangnya (atau syukurlah?) usaha itu masih gagal juga. Akhirnya, si anak ‘hanya’ dikuliahkan di sebuah universitas swasta di Luwuk dan demi menyenangkan hatinya, sang ayah lalu membelikannya sebuah mobil baru. Mobil yang pagi itu dikendarai sang ibu. Dalam hati saya berpikir, ini yang salah sebenarnya siapa? Sang anak yang ‘tak tau diri’ ingin masuk ke fakultas kedokteran meski basic pendidikannya sama sekali nggak nyambung atau ambisi orangtuanya yang keterlaluan sampai-sampai mengorbankan anaknya? Saya nggak tau. Tapi dari kisah itu, saya jadi belajar banyak tentang ketidaktahudirian yang karenanya membuat manusia jadi mencari jalan pintas untuk menampilkan ketidaktahudiriannya itu dengan begitu telanjang, dan kasar.

Saya juga pernah diceritakan tentang persaingan orang-orang yang siap membayar lebih tinggi agar bisa masuk ke Universitas maupun instansi yang diinginkannya, meski sebenarnya ia tidak kompeten-kompeten amat. Sayangnya, kisah seperti ini begitu banyak di keseharian kita. “Kalau nggak pasti lulus ngapain ikut ujian?”, “Kamu ikut tes udah dapet jaminan lulus apa nggak?”, “Daripada capek-capek ujian mendingan kita bayar aja” adalah ungkapan-ungkapan yang sering banget saya dengar, mungkin Anda juga pernah mendengar ungkapan semacam itu.

Betapa banyak orang-orang yang tak mau mengakui kekurangan diri hingga lantas menutupinya dengan jalan pintas dan ketidaktahudirian yang banal. Ia terabas tembok-tembok etika dan batas moralitas tentang elok tidaknya mengambil sesuatu yang bukan haknya dengan cara yang sangat tidak manusiawi dan mengabaikan nilai-nilai kompetisi yang sehat. Betapa banyak orang-orang yang seharusnya punya kapabilitas dalam suatu pekerjaan harus tersingkir hanya karena ada orang yang lebih punya ‘kemampuan dana’ dan kedekatan koneksi, soal kompetensi itu nomer ke dua puluh sekian dan sekian? Teramat banyak yang harus dikorbankan hanya demi memuaskan sesuatu yang sangat imajiner bernama:gengsi.

Waktu pembukaan Rumah Baca Jendela Ilmu tempo hari, para siswa SD Kilongan Indah mempertunjukkan sebuah tarian daerah yang sangat bagus sekali. Saya sangat menikmati tarian itu dan sempat bertanya-tanya kepada sang guru, yang juga tetangga saya, tentang tarian tersebut: apa namanya, siapa koreografernya, sudah pernah dapat juara atau belum, dan sebagainya dan seterusnya. Sang guru berkata bahwa tarian tersebut pernah dilombakan di ajang O2SN tingkat kabupaten dan meraih posisi kedua. Saya menyangsikan cerita sang guru dan bertanya balik, masak sih tarian sebagus dan sekompak ini ‘hanya’ dapat juara dua? Juara satunya siapa? Salah satu guru yang ada di situ cuman senyam-senyum saja mendengar pertanyaan saya yang sepertinya terdengar retoris itu. Sang guru yang saya tanya pun hanya berkata, “Biasa lah pak, kayak nggak tau aja, hehe”. Saya manggut-manggut karena mengerti. Juaranya SD itu kan? Tanya saya sambil menyebutkan sebuah SD, katakanlah, favorit, tempat anak-anak pejabat dan pembesar daerah ini disekolahkan. Sekolah yang konon kabarnya sering mendapat juara kompetisi-kompetisi level daerah itu. “Padahal waktu kami tampil, respon penonton itu lebih meriah daripada waktu mereka – SD favorit – itu tampil. Tapi justru malah mereka yang juara pertama dan kami yang ke dua. Waktu itu banyak yang protes dengan keputusan juri. Tapi, ya, mau gimana lagi? Akhirnya, waktu mereka tanding di level provinsi, mereka kalah karena memang kualitasnya sangat jauh dari lawan-lawannya yang lain”. Sang guru menjelaskan panjang lebar di sela-sela suara musik dan tarian anak-anak didiknya yang sedang berlangsung.

Yah, demikianlah situasinya.

Jadi, ketika saya berkuliah di STAN dengan segala kebodohan dan kemalasan yang melekat dalam diri saya, saya pun mengakuinya dan sadar betul dengan kondisi saya saat itu. Meski sempat bermasalah dengan salah satu dosen killer yang kadung mencap saya kurang punya sopan santun, padahal saya nggak ngerasa pernah melukai harga diri sang dosen killer tersebut, saya tetap melenggang santai tanpa merasa terbebani dengan apapun. Saya juga nggak tertarik mendatangi rumah sang dosen hanya untuk mengharap keibaannya. Semuanya berlangsung dengan sangat natural dan tanpa rekayasa (halah). Pun ketika saya berhadapan dengan tiga dosen penguji yang punya reputasi baik sebagai dosen-dosen berkualitas tinggi di kampus yang terkenal tidak suka berkompromi dengan nilai mahasiswanya, saya pun nggak sampe minta belas kasihan beliau-beliau agar meluluskan saya yang bodoh ini. Saya, ketika itu, sadar dengan sesadar-sadarnya dengan konsekuensi yang akan saya terima sebagai akibat dari kemalasan saya belajar selama tiga tahun ke belakang. Andai ketika itu saya dinyatakan tidak luluspun saya akan menerimanya dengan lapang dada. Mau gimana lagi? Lha wong saya nggak lulus juga karena salah saya sendiri? Namun, Allah punya rencana lain. Saya justru diluluskan berdasarkan simpati salah satu dosen meski saya tak pernah meminta simpatinya. Alhamdulillah. Ini semuanya adalah kemudahan dari Allah, meski saya sadar kalau saya ini belum menjadi hambaNya yang baik.

Dalam tulisan ini saya juga ingin sedikit menjelaskan bahwa saya tidak sedang meratapi nasib saya yang tak kunjung pindah dari Luwuk. Sebaliknya, saya justru bahagia bisa berada di kota kecil ini dan bahkan ingin tinggal lebih lama lagi di sini. Tapi, keinginan itu hanya tinggal keinginan. Bagaimanapun, ada orang lain yang lebih berwenang dalam menentukan masa depan saya di instansi yang tengah memasuki masa-masa kegamangan identitas ini. Saya berharap agar saya diberikanNya keputusan yang terbaik. Baik bagi saya pribadi, keluarga, dan juga lingkungan tempat saya berada.

Moga Allah mudahkan urusan ini. Aamiin. [wahidnugroho.com]


Kilongan, September 2014

Rabu, 24 September 2014

Rumah Ini Sudah Tidak Seperti Dulu Lagi

Rumah ini sudah tidak lagi seperti dulu. Suara anak-anak semakin riuh. Buku-buku yang biasanya berjejer dengan rapi di lemari kayu dan kerap dihinggapi debu itu tak lagi serapi dulu, meski masih tetap berdebu. Kadang ada komik yang terselip di antara deretan koleksi Paulo Coelho atau Tariq Ali, kadang ada buku sirah yang terselip di antara tumpukan aneka komik segala judul.

Buku-buku yang biasanya berjejer dengan menampilkan bagian punggung mereka, kini tak lagi seperti dulu. Anak-anak yang datang silih berganti kadang tidak mengindahkan perintah agar mereka mengembalikan buku-buku yang sudah dibaca ke tempat mereka mengambilnya semula dengan bagian punggung menghadap ke luar, dan bukan sebaliknya.

Setelah Rumah Baca Jendela Ilmu diresmikan, rumah kami nyaris tak pernah sepi dari aktivitas anak-anak segala usia. Mulai dari SD sampai SMA, bahkan ibu rumah tangga. Mulai pukul 4 sore, mereka akan datang satu persatu, menguluk salam, dan mata mulai menyusuri rak-rak buku untuk mencari judul buku yang mereka kehendaki, lalu mulai membaca. Kadang ada yang membaca tanpa suara, kadang dengan suara bergumam, seperti suara dengungan lebah. Kadang ada yang sekedar bermain petak umpet dan berlari-lari nggak jelas. Kadang ada anak-anak yang datang dengan gadget di tangan mereka, baik smartphone maupun laptop, lalu asyik dengan petualangannya di dunia maya setelah menanyakan password wifi kepada saya.

Segala hiruk-pikuk itu akan berangsur berkurang menjelang pukul 9 malam. Satu persatu dari mereka akan berpamitan pulang, meski masih ada satu dua anak remaja yang duduk di teras rumah sambil memangku laptop mereka. Tapi itu tidak lama. Paling setengah sampai satu jam kemudian mereka akan pulang, dan rumah ini hanya akan diwarnai oleh suara jemari yang sedang mengetik, membolak-balikkan halaman buku, atau suara dengkuran anak-anak yang telah tertidur.

Rumah baca ini memang belum genap sebulan diresmikan. Masih ada banyak hal yang perlu saya lengkapi terkait peraturan-peraturan yang harus dipenuhi saat pengunjung-pengunjung belia itu datang dan membaca. Masih banyak buku yang belum mendapatkan “rumahnya” karena keterbatasan jumlah lemari yang kami miliki sehingga buku-buku itu kadang teronggok begitu saja di “lahan” kosong yang berada di pinggiran lemari, atau kadang kami tumpuk begitu saja di atas buku-buku yang berderet dengan rapi.

Selain beberapa permasalahan teknis yang masih harus saya selesaikan, ada setitik rasa bahagia dalam hati ini kala melihat anak-anak itu memanfaatkan waktunya dengan membaca. Kadang istri saya bercerita bahwa di jam istirahat sekolah (dekat rumah kami ada sekolah bernama SD Kilongan Indah) ada anak-anak yang datang berkunjung untuk membaca, atau saat ada pelajaran agama Islam berlangsung, anak-anak yang beragama Nasrani pun berkunjung ke rumah ketimbang bosan bermain di sekolah sambil menunggu pelajaran agama itu usai.

Saya juga mengamati hiruk-pikuk yang ada di hadapan saya itu dengan seksama, menghafalkan nama-nama dan wajah-wajah yang seakan tak ada habis-habisnya datang ke rumah. Menyimak laporan-laporan dari istri dan mamak saya tentang satu dua nama yang menarik perhatian. Mendengarkan cerita anak-anak saya terkait kesan-kesan mereka dengan dibukanya koleksi buku yang ada di rumah itu untuk publik, untuk sebagian teman-teman bermain mereka. Saya juga memberikan perhatian pada testimoni-testimoni yang diberikan warga sehubungan dengan adanya rumah baca ini di lingkungan mereka. Saya merasa bahagia. Bahagia karena setidak-tidaknya saya sedang berusaha untuk menjadi warga yang bisa memberi manfaat bagi lingkungan tempat saya tinggal, meski masih sebatas yang saya mampu.

Dalam jenak-jenak waktu yang ada, saya memikirkan dan menuliskan beberapa rencana untuk pengembangan rumah baca ini. Namun saya tampaknya masih perlu untuk mengulur waktu sedikit lebih lama. Saya ingin bersabar mendampingi tumbuh kembang usaha khidmah ini sampai setidaknya enam bulan ke depan. Setelah itu, saya baru akan memutuskan langkah apa yang selanjutnya akan saya ambil untuk meningkatkan kualitas rumah baca ini sekaligus memperluas dan memperdalam impactnya bagi masyarakat banyak, terkhusus bagi warga yang ada di sekitaran kelurahan Kilongan Permai ini.

Dorongan dan dukungan dari teman-teman sekalian, dan pastinya doa, baik berupa moral dan material, benar-benar telah menyuntikkan semangat yang berlipat di dalam diri saya agar bisa berbuat lebih, meski saya harus berjibaku dengan banyak hal: banyak kebutuhan dan banyak kewajiban, di samping harus memenuhi beberapa target personal yang saya canangkan sejak lama. Segala bantuan yang saya terima itu takkan bisa saya balas kecuali dengan doa. Semoga bantuan dari teman-teman semua mendapatkankan sebaik-baik balasan dari Allah swt dan bernilai amal jariyah yang berimbas pada keberkahan diri dan harta teman-teman semuanya. Amin. [wahidnugroho.com]


Kilongan, September 2014