Selasa, 28 Juni 2016

Pele


Untuk mengucapkan kata di atas secara benar, kita cukup mengingat nama seorang pesepakbola yang masyhur dari dataran Brasillia: Pele. Huruf e pertama dibaca dengan menekan bibir bagian atas ke arah depan dan menarik rahang bawah ke bagian belakang, dan huruf e ke-dua dibaca dengan melebarkan rongga mulut, menarik pipi ke kedua arah, dan melepasnya dengan lidah sedikit terjulur. Pele.
Saya tidak tahu persis pele ini berasal dari bahasa apa meski kata ini lumayan sering beredar di masyarakat. Mungkin kata itu berasal dari bahasa Saluan, atau Banggai, mungkin bahasa Manado, atau merupakan kata serapan dari bahasa asing. Saya sempat melempar pertanyaan tentang arti dan asal kata pele di grup Babasal Mombasa yang ada di whatsapp, dan jawaban yang saya dapatkan ternyata cukup mengundang rasa ingin tahu.
Dua orang teman saya di grup itu, Reski Sululing dan Ali Sopyan, menyampaikan pendapat yang kurang lebih sama, bahwa pele bukan berasal dari bahasa Saluan, bukan pula Banggai dan bahasa Melayu. Ia lebih dekat dengan kosakata khas Manado dan kemungkinan besar merupakan kata serapan dari bahasa Portugis.
Pele artinya kurang lebih menutup atau menghalangi. Suatu aktifitas yang membuat pandangan maupun aktivitas kita jadi terhalang karenanya. Mungkin padanan kata dari pele ini adalah halang, tutup, palang, atau perboden (Belanda) yang artinya kurang lebih sama. Ali menyambung, bahwa kata pele ini konon sebandung maknanya dengan kata lindung yang kerap dipakai oleh orang-orang Kalimantan.
Konteksnya dalam kalimat demikian:
“Jangan ba pele di situ” adalah contoh pertama. Misalnya kita sedang menonton televisi dan tiba-tiba ada seseorang yang menghalangi pandangan kita sehingga kita melewatkan sesuatu yang sedang kita tonton itu. Bisa juga ketika kita sedang menikmati pemandangan di teras depan rumah dan tiba-tiba anak-anak berdiri di depan kita. Itu artinya mereka, anak-anak itu, sedang mempele, atau ba pele, pandangan kita.
Bentuk lainnya, “Jangan lewat jalan itu, karena sementara dipele.” Maksudnya, jangan melewati jalan itu karena jalannya sedang ditutup.
Sebab-sebab jalan dipele, atau jalan ditutup, ada beberapa kemungkinan. Bisa karena pesta, bisa karena kedukaan (ada yang meninggal dunia), bisa karena kegiatan keagamaan (pengajian, kebaktian, upacara), atau karena sedang ada sengketa dan konflik yang terjadi di suatu wilayah.
Benda yang digunakan untuk ba pele jalan beragam. Kadang pot bunga, kadang kayu balok, atau sebatang bambu berdiameter cukup besar dan masing-masing ujungnya ditaruh di kursi dan diletakkan begitu saja menutupi jalan. Untuk level tertentu, tak jarang ada aparat keamanan yang duduk-duduk di dekatnya. Tak jarang pula, mungkin demi memperjelas, ada papan bertuliskan "Maaf ada pengalihan arus" lengkap dengan semacam Polantas dadakan yang mengarahkan kendaraan ke jalur alternatif (jika ada).
Khusus jalan yang dipele karena konflik, Luwuk lumayan sering mengalami hal-hal demikian. Khususnya yang terjadi di sepanjang Trans Sulawesi di daerah Batui, Kintom, Pagimana, atau Bunta. Sebabnya beragam. Bisa karena ada salah satu warga di daerah itu yang mengalami tabrak lari sehingga untuk mengusut pelakunya jalan harus dipele supaya polisi bisa mengusut tuntas siapa pelakunya. Atau sebagaimana yang kerap terjadi di wilayah Kintom ketika masyarakat melakukan demonstrasi menuntut sesuatu baik kepada pemerintah daerah, aparat keamanan, maupun perusahaan migas yang berlokasi di sana.
Menurut saya, pele merupakan bagian dari hak asasi manusia yang di dalamnya mengandung pola komunikasi yang unik antara pelaku pele dengan orang-orang jalannya dipele. Karena terkadang, hubungan di antara keduanya tidak melulu saklek dan kaku, apalagi jika orang yang jalannya dipele ada hubungan keluarga atau karena sebab darurat (sakit, mengejar penerbangan), maka jalan yang dipele biasanya akan dibuka. Tentunya sambil menerima pandangan menyelidik dari orang-orang yang mempele jalan.
Saya teringat dengan kisah seorang teman yang sedang dalam perjalanan ke kota Luwuk dan, celakanya, jalan yang harus ia lalui dipele oleh warga karena suatu sebab. Tak kurang akal, ia pun akhirnya pura-pura sakit dan teman-temannya yang membersamainya berakting sedemikian rupa supaya mereka diizinkan melintas. Hasilnya cukup mengejutkan karena mereka berhasil lolos. Entah karena akting mereka yang kelewat meyakinkan atau si penjaga pele yang kelewat polos.
Pele jalan, dalam hal yang saya sebutkan di atas, merupakan sebuah cara yang unik untuk mengekspresikan rasa protes. Ia juga mengandung makna memperjuangkan hak, meski, ironisnya, harus mengorbankan hak orang lain.
Pada masa-masa awal berada di Luwuk, tahun 2007, saya mengalami semacam gegar budaya di seputar perkala pele ini. Sebabnya adalah ketika jalan utama kota ini (jalan Urip Sumoharjo) dipele karena pesta pernikahan. Jika jalan utama yang membelah kota ini saja sedemikian teganya dipele, maka mempele jalan-jalan kecil (lorong) tentu akan lebih ringan dilakukan. Akan bisa dimaklumi jika jalan yang dipele karena sebab kedukaan seorang warga yang rumahnya tepat di pinggir jalan, tapi akan sangat disayangkan jika jalan utama itu dipele hanya karena pesta pernikahan. Jangan sampai pernikahan yang niat awalnya ingin mencari doa restu malah berujung pada caci-maki dan sumpah serapah dari para pengguna jalan kepada empunya pesta.
Padahal kalau mau dipikir-pikir, ruang publik untuk mengadakan pesta pernikahan cukup banyak di kota ini meski perkara representatif atau tidaknya masih bisa didiskusikan. Kalaupun menyewa gedung butuh dana yang tidak sedikit (meski saya yakin biayanya masih bisa ditolerir), kenapa tidak menggunakan lapangan sepakbola seperti Bumi Mutiara atau Persibal, misalnya. 
Jika perkara mempele jalan ini dilakukan di lorong-lorong atau di jalan-jalan yang tidak ramai dilewati kendaraan mungkin masih bisa sangat dimaklumi. Namun ketika jalan yang ada hanya satu-satunya, adapun jalan alternatif tidak terlalu memadai, maka keputusan untuk mempele jalan harus ditinjau kembali. Apalagi, sebagaimana yang kita ketahui bersama, kualitas jalanan di kota Luwuk sudah tidak lagi sebanding dengan volume kendaraan yang ada dan terbatasnya jalur alternatif yang memadai, sehingga jika ada satu kendaraan yang diparkir kurang tepat bisa mengakibatkan antrian yang cukup panjang sebagaimana yang kerap terjadi di wilayah Bungin. Apalagi di dalam kota cukup sering berseliweran truk-truk besar.
Pemerintah dan aparat yang berwenang perlu memikirkan kembali hal ini. Bahwa tidak sembarang orang bisa diizinkan memanfaatkan jalan raya sebagai tempat mereka menggelar tenda dan melakukan pesta karena pertimbangan kemaslahatan publik. Bahwa jika memang memungkinkan, warga yang mengadakan pesta sebisa mungkin melakukannya di sarana-sarana umum yang telah tersedia, atau . Selain bisa dijadikan sebagai peluang usaha penyediaan aula atau ruang untuk pernikahan, ini juga berarti pemerintah memiliki pekerjaan rumah yang tidak ringan supaya warga yang berhajat tidak sampai merugikan kepentingan umum.
Di tengah-tengah terbatasnya lahan dan perkembangan kota yang ke arah sini makin signifikan, upaya untuk mengakomodir kebutuhan warga yang satu ini mutlak dilakukan. Perkara pele-mempele jalan selalu terkait dengan tenggang-rasa, toleransi, dan rasa saling menghargai kepentingan publik dengan mengesampingkan ego pribadi dan kelompok. Sebagai warga yang, saya yakin, memiliki tingkat toleransi cukup tinggi, saya kira orang-orang di daerah ini sangat mampu menahan diri dari upaya yang bisa merugikan kepentingan orang lain.
Panjang lebar bicara soal pele dan segala tetek-bengeknya, saya dikejutkan dengan protes yang disampaikan oleh istri saya.
“Ah, abi ini ba carita soal pele jalan sampai sebegitunya. Macam te ingat lalu waktu torang pesta (nikah) juga ba pele jalan (jalan pulau Sumatera, belakang SPBU Simpong yang mengarah ke Kubur Cina).”
“Tapi itu kan bukan jalan utama,” saya membela diri.
“Sama saja,” ia tak mau kalah.
 “Walau torang ba pele di situ, orang masih bisa ambe jalan lain. Coba kamu ba pele jalan di muka KFC, bukannya bisa bekeng orang kalang kabut,” balas saya. Semacam standar ganda yang cukup memalukan, sebenarnya.
Ia merengut. Kalau sudah begitu, ia terlihat makin cantik. [wahidnugroho.com]

Saaba, Juni 2016