Sabtu, 09 Agustus 2014

Pembentukan Pengurus Masjid Ar Rahman BTN Muspratama


Shalat Jum’at di Masjid Ar Rahman, BTN Muspratama, baru saja selesai. Setelah berdzikir dan bersalam-salaman, imam shalat, pak Saleh Daim, mengambil mik dan menyampaikan beberapa pengumuman. Di antaranya adalah meminta kepada para jamaah Jum’at agar jangan dulu pulang setelah shalat sunnah karena ada beberapa hal yang ingin dibicarakan terkait pembentukan pengurus masjid.

Beberapa jama’ah menuruti permintaan pak Saleh sementara sebagian yang lain pulang. Saya duduk merapat di tembok dan mengamati arus jama’ah yang berangsur meninggalkan masjid. Saya melihat wajah-wajah familiar yang tetap bertahan di masjid dan mengobrol di sudut belakang. Sebagian lainnya bersandar pada sisi utara dan selatan masjid dan sebagian lainnya duduk bergerombol di dekat tiang.

Setelah semua jama’ah dirasa telah selesai shalat sunnah, pak Saleh angkat bicara. Inti penyampaiannya adalah bahwa kepengurusan masjid Ar Rahman selama ini tidak jelas sehingga berakibat pada ketidakjelasan program. Oleh karenanya, beliau berinisiatif untuk meminta pendapat kepada jama’ah tentang kepengurusan masjid yang baru. Beberapa poin yang hendak dibahas adalah tentang ketua takmir masjid, posisi imam, dan posisi-posisi lain seperti bidang pembangunan masjid, perlengkapan, penanggungjawab remaja masjid, dan bidang pengembangan dakwah.

Memang, selama nyaris dua tahun tinggal di Muspratama, masjid ini tampak seperti tak terurus. Kegiatannya tidak jelas, kepengurusannya lebih tidak jelas. Saya kerap ngobrol dengan pak Sofyan, pak Utin, pak Kusmono, dan pak Saleh perihal keprihatinan saya terhadap kondisi anak-anak dan remaja di lingkungan masjid yang tidak terkelola dengan baik. Kami berempat, dan belakangan ditambah dengan pak Basri dan pak Heri, kerap berbincang tentang kegiatan-kegiatan dan rencana-rencana pengembangan masjid ini agar semakin ramai dan makmur. Jum’at (8/8) kemarin adalah klimaksnya.

Ketika pak Saleh selesai berbicara, meski sempat diinterupsi sebentar oleh Imam Masjid yang lama, tete Haji A.D. Lahay, dan karenanya om Peki ‘merebut’ mik dari lelaki paling sepuh di komplek ini tersebut sambil bercanda, proses musyawarah pun dilanjutkan. Saya menghitung ada sekitar 26 lelaki, termasuk anak-anak, yang ada di masjid ini dan ikut bermusyawarah.

Hasil musyawarah pun akhirnya keluar. Pembina dan pelindung, well, ini posisi yang sudah saklek dipegang oleh pejabat setempat dan para tetua komplek seperti pak Ali yang kepala lingkungan dan tete Haji A.D. Lahay yang imam lama. Ketua takmir yang baru diamanahi kepada pak Sofyan. Imam utama dipegang oleh pak Saleh Daim S.Ag., imam ke dua oleh Heri van Gobel, dan imam ke tiga dipegang oleh Muzni Labagendong atau biasa kami panggil pak Utin. Saya sempat didorong untuk menjadi imam ke tiga oleh pak Sofyan dan pak Heri, tapi pak Saleh tampaknya punya rencana lain untuk saya. “Pak Wahid di bidang pengembangan dakwah saja karena beliau mengelola taman bacaan dan punya banyak ide,” ujar beliau. Ah, saya jadi malu dibilang seperti itu. Tapi saya tidak memprotes keputusan itu dan menikmati proses yang tengah berlangsung tersebut. Setelah mengukur-ukur diri, saya bisa jadi jama’ah termuda yang ikut musyawarah selain empat anak remaja usia 12-15 tahun yang sedang berkerumun di pojok belakang.

Nama-nama lainnya berurutan muncul. Pak Zulhardi jadi penanggungjawab remaja masjid, pak Andi bagian perlengkapan, om Peki di bagian pembangunan, pak Basri bendahara dan pak Kus jadi sekretaris. Yang mengejutkan, istri saya ditunjuk sebagai penanggungjawab muslimat. Saya sempat terkejut dan menyampaikan keberatan karena ada beberapa nama yang lebih senior dan lebih pantas, namun pak Soleh, sang inisiator, bergeming dengan keputusannya. Saya akhirnya ikut dengan keputusan jamaah.

Saat struktur kepengurusan yang baru sudah ditetapkan dan jamaah yang lain pulang. Saya, pak Saleh, pak Heri, pak Sofyan, pak Basri, om Peki, dan tete Haji masih berkumpul di depan mimbar untuk membicarakan hal-hal teknis terkait Surat Keputusan dari Lurah Kilongan Permai dan tetek-bengek lainnya. Di sela-sela obrolan, pak Saleh berseloroh, “Pak Wahid meski di-SK tidak jadi imam, tapi saya harap tetap sudi mengimami jamaah.” Saya menunjuk ke arah pak Heri dan nyeletuk dengan nada guyon, “Tenang, sudah ada imam Masjidil Haram di sebelah bapak itu.” Kami semua tertawa.

Alhamdulillah, senang rasanya kalau masjid ini bisa dimakmurkan. Saya sendiri awalnya ditunjuk sebagai imam ke – err, entah ke dua atau ke tiga – di Masjid Al Ukhuwwah, Tanjung. Dengan jarak yang sangat jauh antara Kilongan-Tanjung, tidak memungkinkan saya bisa rutin shalat di sana, meski sesekali saya shalat di masjid Tanjung dan jadi imam shalat-shalat sirr dan Maghrib. Tidak ditunjuknya saya secara formal sebagai imam di Masjid Ar Rahman Muspratama ini tetapi sebagai penanggungjawab bagian pengembangan dakwah juga menyenangkan saya. Karena ke depannya saya diberikan keleluasaan untuk menyusun program-program Hari Besar Islam dan kegiatan-kegiatan masjid lainnya seperti TPA dan tabligh-tabligh. Sudah ada beberapa rencana yang tergambar di kepala saya dan sebagiannya sudah saya tuliskan di notes handphone.

Namun meski saya tidak mendapatkan ‘posisi’ apapun di kepengurusan masjid, saya insya Allah akan siap berkontribusi, apalagi jika kontribusi itu ber-impact kepada kebaikan dan produktifitas masyarakat. Saat saya sampaikan hasil musyawarah tadi siang kepada istri, ia awalnya merasa keberatan dengan peran barunya. Namun saya membesarkan hatinya dan berkata bahwa ini adalah peluang dakwah yang sangat bagus dan potensi besar untuk mewarnai masyarakat dengan spirit keislaman yang utuh. Bisikan yang mengendurkan kami seperti "Ah, kamu masih warga baru", atau "Duh, kamu ini masih terlalu muda untuk peran itu" harus kami buang jauh-jauh. Ini peluang kontribusi yang sangat baik sekali.

Apapun itu, semoga Allah mudahkan kami agar dapat mengemban amanah baru ini dengan sebaik-baiknya dan meluruskan niat kami selurus-lurusnya. Aamiin. [wahidnugroho.com]



Kilongan, Agustus 2014 

Rabu, 06 Agustus 2014

Untukmu Yang Hendak Berumah Tangga Di Usia Muda (1)

Untukmu yang hendak berumah tangga di usia muda, mendekatlah. Mari luangkan waktumu, kita duduk barang sejenak. Ada yang ingin kusampaikan kepadamu wahai pemuda yang bersemangat baja. Mari kita duduk di sebuah kursi di tengah-tengah sebuah taman untuk menikmati semilir angin yang sejuk. Selonjorkan kakimu dan carilah posisi duduk yang membuatmu nyaman. Dengarkanlah nyanyian serangga yang bersembunyi di balik dedaunan. Dengarkanlah kepak sayap burung liar yang mondar-mandiri terbang di atas kepala kita dan nikmatilah kesunyian yang menyergapmu secara tiba-tiba.

Untukmu yang hendak berumah tangga di usia muda, dengarkanlah. Pada bagian awal ini, aku ingin menyitir sebuah syair yang indah dari Ibnu Hazm rahimahullah. Demikian bunyinya:

Sungguh, cinta sejati tak lahir dalam kejapan
Ia lahir bukan oleh paksaan
Sungguh, cinta sejati berjalan lambat dan pelan
Ia berjalan dalam paduan panjang dan pancangan tiang
Cinta sejati lahir kerna mantapnya niat, teguhnya tujuan
Cinta sejati tak kan sirna dan pudar ikatan

Bagaimana menurutmu syair di atas? Setujukah dirimu jika syair di atas begitu indah untuk digumam-gumamkan oleh seorang pemuda yang tengah dimabuk cinta seperti dirimu? Jika kau setuju denganku, maka cobalah untuk melongok kembali ke dalam jiwa terdalammu, carilah sesuatu bernama niat di sana, seperti apakah keadaannya. Sudah bening bersihkah ia? Sudah tegak luruskah ia? Tak perlu, tak perlu kau memberikan jawaban itu kepadaku. Berikanlah jawaban itu kepada Sang Pemilik hatimu. Ia lah yang Maha Membolak-balikkan hati di antara kedua jemariNya.

Untukmu yang hendak berumah tangga di usia muda, tetaplah di sini. Masih ada hal lain yang ingin kubicarakan. Aku masih punya syair lainnya untukmu. Syair ini kubuat sendiri. Ia memang tak seindah syair milik Ibnu Hazm, namun ingin pula kusitir di sini untuk kita nikmati bersama.

Cinta tak memintamu mengulur-ulur waktu dalam penantian tak berkesudahan
Ia memberimu kesempatan dan kerelaan untuk berkorban demi sebuah kepastian

Bagaimana menurutmu? Semoga syair itu tidak jelek-jelek amat. Aku memang tak mahir bersyair. Saat dirimu telah meluruskan niat dan meneguhkan tekad, maka apalagi yang dirimu tunggu? Mulailah menyusun batu-bata rencanamu hingga ia dapat menjadi tangga yang memungkinkanmu menjemput sang kekasih hati. Tak perlu, tak perlulah kau memintanya menunggumu. Cinta tak perlu janji-janji yang muluk. Bekerja saja dalam diam, tak perlu banyak lantang-lantang bersuara. Sebut-sebut saja namanya dalam doa-doamu yang selaksa-laksa, perlahan-lahan, penuh keyakinan. Melihat kesungguhanmu yang menakjubkan itu bisa saja Dia kelak akan mengatur jejaring takdir agar ia, yang namanya kau sebut-sebut itu, senantiasa berada dalam jangkauanmu. Cinta memang bisa menunggu, tapi ia pembosan yang ulung meski kau tahu Dia tak pernah bosan menunggumu. Tapi dia bukan Dia. Kau mungkin perlu ingat itu baik-baik.

Untukmu yang hendak berumah tangga di usia muda, jangan dulu dirimu pergi. Semoga dirimu belum bosan mendengarkanku celotehanku, ini. Kali ini, aku ingin membincangkan sesuatu yang sedikit realistis denganmu. Cinta memang harus realistis. Meski dinamikanya kadang tak logis tapi ia adalah sesuatu yang empiris. Maka, bertanyalah kepada mereka yang telah menjalani pernikahan di usia muda, banyak-banyaklah mendengar, simaklah perkataan mereka baik-baik. Menikah tak melulu soal keindahan dan kesenang-senangan. Ia adalah sebuah tanggungjawab yang tak hanya berbatas di dunia saja, tapi hingga kehidupan setelahnya. Ia adalah perjanjian, perjanjian yang sangat kuat.

Untukmu yang hendak berumah tangga di usia muda, tetaplah di sini. Pernikahan ibarat sebuah perjalanan bersama. Sebagai seorang pemimpin dalam perjalanan, dirimu perlu memahami karakteristik perjalanan ini seperti apa. Maka siapkanlah perbekalanmu sebaik mungkin. Bacalah buku-buku. Carilah sebanyak-banyak mungkin ilmu. Saat perjalananmu menemui gunung terjal, lautan berombak ganas, atau jalan buntu, mintalah petunjuk kepada Tuhanmu. Setelah menikah, hati dan jiwanya memang berhak kamu kuasai, tapi tak bisa kamu miliki. Hatimu bukan milikmu, apatah lagi hatinya. Maka serahkanlah semuanya kepada sang pemilik hati dan jiwa-jiwa. Ketika Allah mengamanahimu buah hati, maka syukurilah. Itu adalah wujud tanggungjawab lainnya yang semakin bertumpuk di pundak ringkihmu. Namun jika ternyata belum, tak perlu berkecil hati. Mungkin Dia punya rencana lain yang entah namanya apa.

Untukmu yang hendak berumah tangga di usia muda, apakah dirimu masih di situ? Pernikahan memang menyunggingkan senyum, mencemerlangkan wajah, dan meringankan langkah. Tapi dirimu mungkin perlu tahu, bahwa pernikahan juga dapat meneror hatimu. Cepat atau lambat, dirimu akan menua, dingin, membosankan, dan mungkin juga tak berguna. Cepat atau lambat, kamu akan menjadi beban bagi pasanganmu, atau pasanganmu menjadi beban bagimu. Ketika pundakmu makin merendah dan posturmu kian meringkih, siapkah dirimu menjalani semua itu?

Untukmu yang hendak berumah tangga di usia muda, mungkin ini pesan terakhir yang bisa kusampaikan kepadamu. Saat dirimu sudah menikah, maka dirimu bukan lagi milikmu saja. Kau sudah menjadi milik istrimu dan anak-anakmu. Waktumu tak lagi milikmu. Pikirmu tak lagi milikmu. Relakah dirimu berbagi sesuatu yang sejak sekian tahun lalu hanya menjadi milikmu seorang? Siapkah dirimu ketika ruang kecil di dalam hati dan pikirmu itu dipenuhi dengan tumpukan cucian, iuran sekolah yang belum terbayar, biaya susu dan popok yang membengkak dan lain-lainnya yang memeras keringatmu hingga kering tuntas?

Untukmu yang hendak berumah tangga di usia muda. Rasa-rasanya, sudah terlalu banyak aku menulis untukmu – atau mungkin kurang? Tulisan ini akan kututup dengan sebuah perkataan yang bertenaga dari seorang Anis Matta. Begini katanya:

Para pecinta sejati tak suka berjanji 
Tapi begitu mereka memutuskan untuk mencintai
Mereka akan segera membuat rencana untuk memberi

[wahidnugroho.com]


Kilongan, Agustus 2014 

Tentang Seorang Perempuan

Suasana di dalam mobil begitu tegang. Udara yang keluar dari pendingin mobil tak mampu menyejukkan suasana yang semakin memanas. Sepanjang perjalanan, tak hentinya kami beradu argumen tentang sesuatu yang tak kami sepakati. Jari saling menuding. Suara-suara meninggi. Pandangan mata mulai memanas. Emosi memuncak. Setelah semua kata-kata yang ada di dalam kepala dimuntahkan, suasana berangsur senyap. Diam. Hening. Kami lebih memilih untuk larut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba terdengar suara sesenggukan perlahan dari perempuan yang sedang duduk di samping saya itu. Bulir bening muncul di pelupuk matanya. Saya hanya bisa mengacuhkannya.

Pernah pada suatu kesempatan, kami bertengkar hebat. Suasananya tak jauh berbeda dengan yang sudah saya sebutkan barusan. Ia meminta turun di sisi jalan. Waktu itu nyaris tengah malam. Saya mengikuti kemauannya. Ia turun dan membanting pintu mobil sedemikian rupa, memecah keheningan di malam yang makin larut. Ia lalu berjalan menembus malam yang gelap sementara saya memilih untuk pergi ke arah yang berlawanan. Tak sampai seberapa jauh, saya berbalik menuju ke arahnya. Setelah siluet dirinya tampak, saya memintanya, dengan suara rendah, untuk kembali naik ke dalam mobil. Ia menatap saya dengan tatapan yang tak bisa saya terjemahkan maksudnya. Ia lalu masuk dan duduk diam. Sekilas cahaya berkilau dari pelupuk matanya. Ia menangis. Saya pun meminta maaf kepadanya. Ia hanya diam menanggapi permintaan saya. Kami berdua sama-sama diam. Perjalanan pun kami lanjutkan.

Kami berdua pasangan belia. Waktu menikah umur kami berdua baru 22-23 tahun. Masa perkenalan yang sangat singkat memang tak bisa merangkum semua kepribadian kami secara utuh dan karenanya perselisihan kecil kerap memerciki perjalanan rumah tangga kami yang masih bau kencur. Bahkan sampai detik ini ketika usia pernikahan kami ‘baru’ menginjak tahun ke enam, dengan dikaruniai tiga putri yang cantik-cantik, kami masih belum mampu saling memahami kepribadian masing-masing kami secara utuh. Saya masih mencari-cari siapa sebenarnya sosok istri saya itu. Mimpi-mimpi apa saja yang ia punya, hal-hal apa yang ia benci dan suka, dan pernik-pernik lainnya. Kami memang sudah menikah dan menjalani kehidupan berumah tangga bersama-sama selama beberapa tahun, namun keutuhan sosoknya masih menyimpan lapisan kepribadian lain yang belum bisa saya kuak. Terlepas dari dinamika yang ada, saya menikmati perjalanan ini dengan sebaik-baiknya. Perselisihan yang terjadi saya anggap sebagai proses pendewasaan diri masing-masing kami.

Saya akui, saya masih kalah dewasa ketimbang istri dalam menjalani konflik rumah tangga. Meski air matanya kerap mengakhiri perselisihan yang terjadi di antara kami, saya merasa bahwa ia adalah sosok yang berhasil menenangkan badai yang bergemuruh di dalam diri saya. Keberhasilan itu, harus diakui, memang tidak terjadi setiap saat. Kadang emosi kanak-kanak saya tumpah ruah tanpa bisa dibendungnya. Namun saat saya mengalami masa-masa sulit, memandangi wajahnya yang teduh dan memeluk tubuhnya yang mungil itu sudah cukup memberikan penawar dari sepotong episode kehidupan yang pahit.

Ia, terlepas dari kekurangan yang dimilikinya, bagaimanapun adalah istri saya. Seorang perempuan yang awalnya asing, yang namanya tak pernah terbersit dalam hati dan pikiran saya selama ini, yang telah menyerahkan dirinya seutuhnya untuk menjadi makmum dari imam yang tak sempurna ini, telah menjadi ibu dari anak-anak saya. Ia yang selalu setia mendampingi disaat-saat letih dengan memijiti tengkuk, tangan, dan kaki saya. Ia yang kerap membuat saya gemas, kesal, marah, senang, bahagia, bersemangat. Ia yang saya sindir, goda, ejek, ragukan, percaya. Ia yang merelakan lelapnya tidur malam untuk sekedar mengantar anak-anak ke kamar mandi, dan ia yang melayani saya dengan sebaik mungkin di balik ketidaksempurnaannya itu, adalah seorang perempuan yang telah diamanahiNya untuk saya, agar dijaga dari jilatan api neraka. Moga Allah mudahkan urusan ini.

Ya Rabb, anugerahkanlah kami isteri-isteri dan keturunan kami yang menyenangkan hati, dan jadikan kami imam bagi orang yang bertakwa. Aamiin. [wahidnugroho.com]



Kilongan, Agustus 2014

Selasa, 05 Agustus 2014

Ode Untuk Parma


Entah apa redaksi yang tepat untuk menggambarkan emosi saya saat melihat kondisi klub kesayangan saya saat ini: Parma. Setelah menjalani musim-musim yang labil paska bangkrutnya penyokong dana terbesar klub ini, Parmalat, di medio awal tahun 2000an yang membuat klub ini kehilangan punggawa-punggawa terbaiknya. Kondisi itu bahkan menjadi lebih buruk ketika klub ini mengalami relegasi yang sangat pahit di musim 2007-2008. Pahit karena penentuan relegasi ketika itu terjadi di Stadion Ennio Tardini ketika Parma bertekuk lutut di tangan Internazionale yang ironisnya keluar sebagai scudetto musim ini. Padahal Parma baru saja berpindah kepemilikan dari Enrico Bondi kepada Tomasso Ghirardi, pengusaha lokal asal Brescia yang membeli 70% saham Parma pada tahun 2007 silam. Sebuah kado yang pahit bagi presiden baru yang begitu bersemangat itu.

Kabar relegasi Parma ketika itu begitu memilukan. Saya merenung di layar komputer saat memandangi skor akhir di Tardini dan melongok tabel klasemen yang sangat mengenaskan kala itu. Parma akhirnya terdegradasi. Delapan belas tahun petualangan klub ini di level tertinggi sepakbola Italia berakhir tragis. Raihan gelar demi gelar dan penampilan gemilang di medio awal 90an ketika klub ini baru promosi hingga akhirnya disebut-sebut sebagai Il Sete Magnifico, atau 7 klub papan atas Italia, karena performanya yang konsisten sepanjang musim seakan tak berarti. Parma, meski belum pernah meraih scudetto seri A, merupakan salah satu klub Italia tersukses dengan raihan 4 gelar Eropa-nya sepanjang berdirinya. Sebuah prestasi yang hanya bisa dikalahkan oleh Milan, Juventus, dan Internazionale di ranah Italia. Bahkan Lazio yang berada di bawahnya ‘baru’ meraih 2 gelar Eropa sepanjang sejarahnya. Dengan segenap kegemilangan yang dimilikinya, kabar memburuknya prestasi klub ini ibarat sebuah luka yang begitu menyakitkan.

Namun kabar buruk itu tidak berlangsung lama. Saat Parma menjalani musim yang konsisten di Seri B musim 2008-2009 dan akhirnya bertengger di urutan 2 klasemen akhir di bawah Bari, Parma akhirnya kembali menghirup udara kompetisi sepakbola tertinggi di Italia lagi. Keberhasilan Parma menjalani kawah candradimuka hanya dalam jangka waktu semusim seolah menjadi sinyal kebangkitan klub ini dalam menatap masa depannya. Meski sempat mengalami performa yang cukup baik sepanjang musim 2009-2010, penampilan Parma di musim-musim setelahnya tak lebih sekedar klub penggembira yang setia bertengger di papan tengah. Kebijakan transfer (Pietro) Leonardi, sang direktur olahraga, yang tidak populer dengan melepas pemain-pemain cemerlang dan kegemarannya menciduk pemain-pemain berstatus kepemilikan bersama dan ‘pelitnya’ presiden Ghirardi membeli pemain-pemain berkualitas di atas rata-rata menjadi salah satu sebab tidak konsistennya penampilan Parma sepanjang musim. Ditambah dengan lesunya kondisi sepakbola Italia pada lima atau enam tahun terakhir akibat adanya skandal pengaturan skor beberapa klub elit menjadi salah satu kambing hitam lainnya.

Di luar semua kekurangan yang ada pada klub ini, saya tetap setia membersamai perjalanannya dari masa ke masa. Meski pada medio 2004 sampai dengan 2006 saya tidak begitu mengikuti perkembangan klub ini dalam melalui masa krisisnya karena kesibukan kuliah dan berorganisasi, saya selalu mencari-cari berita tentang klub ini dari media cetak yang terbit di tanah air meski dengan porsi yang sangat sedikit, kalah dengan pemberitaan klub-klub besar Eropa dan pemain-pemainnya yang cemerlang. Akan tetapi, klub ini punya kebijakan yang unik terkait kepemilikan pemain-pemain mereka.

Seorang analis olahraga di Daily Mail, Martin Samuel, bahkan pernah berkomentar tentang kebijakan kepemilikan pemain Parma yang tak biasa ini. Ia berkata bahwa "Parma memang tidak punya banyak uang, tapi klub ini punya visi. Mereka mencari pemain-pemain baru yang masih muda dan menempatkannya di klub lain supaya mereka berkembang."

Klub-klub nursery  itu menjadi destinasi para pemain muda Parma yang butuh pengalaman dan meningkatkan nilai jual mereka di bursa transfer pemain yang selalu dinamis sepanjang tahunnya.

Daily Mail mencatat bahwa ada 30 pemain Parma di skuad inti, 109 pemain lainnya berstatus pinjaman, 16 pemain lainnya "disekolahkan" di klub Lega Pro AS Gubbio, 22 pemain lainnya "digojlok" di ND Gorica yang dilatih oleh mantan pemain Parma, Luigi Apolloni, dan 44 orang pemain berstatus kepemilikan bersama dengan klub-klub lain. Sehingga jika ditotal, ada sekitar 221 orang pemain yang dimiliki oleh klub ini diluar pemain akademi mereka. Hal ini menjadikan 'prestasi' Giampaolo Pozzo yang memiliki empat buah klub Eropa yakni: Udinese, Granada, Watford, dan Rapid Bucharest, dan karenanya memiliki kebijakan kepemilikan pemain yang juga besar, seakan tak ada seujung kukunya prestasi duet Ghirardi dan Leonardi di Parma.

Musim 2013-2014 yang menjadi momen perayaan 100 tahun berdirinya klub ini, atau centenary, sebenarnya bisa menjadi musim yang sangat manis. Walaupun secara keseluruhan performa klub ini masih tidak stabil, namun diraihnya posisi 6 di klasemen akhir kompetisi menjadi penanda awal kebangkitan klub ini. Kemenangan di kandang atas Livorno pada pertengahan Mei 2014 dan hasil seri kontroversial yang diraih Torino di kandang Fiorentina menjadi penutup yang manis di musim itu: Parma lolos ke Europa League untuk kali pertama sejak kurang lebih tujuh musim terakhir. Sebuah ‘prestasi’ yang sangat menggembirakan di tengah pasang surutnya performa Parma belakangan ini.

Namun euforia lolosnya ke kompetisi Eropa itu tak berumur lama. Karena sekitar 10 hari kemudian, pada tanggal 29 Mei 2014, FIGC, badan sepakbola Italia, menyatakan bahwa kesertaan Parma dianulir karena klub itu mengalami permasalahan pembayaran pajak pemain. Jumlahnya sangat tidak material, ‘hanya’ 300.000 Euro. Sebuah jumlah yang akan membuat Christiano Ronaldo dan Lionel Messi tertawa terbahak-bahak karena saking kecilnya jika dibandingkan dengan pendapatan pekanan mereka.

Saya tidak begitu paham dengan sistem perpajakan di Italia. Hanya saja, keputusan yang sangat menggelikan itu, suka tidak suka, akhirnya diterima juga meski konsekuensinya sangat pahit: Tomasso Ghirardi, presiden visioner namun hemat belanja itu, memutuskan untuk mundur dari Parma sehari setelah FIGC mengeluarkan keputusan yang aneh bin ajaib dan konspiratif itu. Dan ada kabar yang jauh lebih pahit lagi daripada kabar itu: klub ini dinyatakan dijual oleh Ghirardi. Sebuah kabar duka kembali menyapa klub ini di ulang tahunnya yang hanya terjadi seratus tahun sekali. Sebagai fans layar kaca klub ini, saya pun turut merasakan kesedihan yang sama dengan semua fans Parma lainnya yang ada di seantero jagat raya ini.

Meskipun pahit, Parma tetap memperjuangkan haknya agar bisa tampil di Europa League musim 2014-2015 mulai dari mengajukan banding kepada FIGC dan melanjutkannya ke Court of Arbitration for Sport (CAS) di Lausanne, Swiss. Sayangnya, keputusan finalnya masih tetap sama: Parma gagal tampil di Eropa. UEFA pun menolak upaya apapun yang dilakukan Parma karena menilai keputusan yang dibuat oleh FIGC sudah final. Hal ini ditandai dengan pertandingan babak ke 3 pertama yang dijalankan oleh Torino, yang telah ‘merebut’ kursi Europa League Parma musim ini, saat membantai klub Swedia Brommapojkarna 3-0 di kandang mereka sendiri pada tanggal 31 Juli 2014 silam.

Walau apapun yang terjadi, saya tetap bangga dengan klub ini, perjuangan mereka yang tak kenal lelah sepanjang musim centenary ini. Meski harus saya akui bahwa tak jarang saya mengkritisi permainan mereka dalam beberapa pertandingan, atau mutung karena rentetan hasil buruk yang diraih klub ini dalam pertandingan melawan klub-klub yang secara statistik mudah dikalahkan, dan alasan-alasan lainnya. Apapun itu, saya tetaplah seorang suporter layar kaca yang antusias saat melihat klub ini bertanding, panik ketika klub ini tertinggal, tegang saat klub ini unggul tipis atau mampu mengejar ketertinggalannya di menit-menit akhir, bahagia di saat klub ini menang atau terhindar dari kekalahan, dan pastinya, sedih ketika klub ini kalah, tampil buruk, dan dirugikan!

Inilah klub yang meski tak pernah saya lihat langsung pertandingannya di stadion kebanggan mereka Ennio Tardini, tak pernah saya temui langsung pemain-pemainnya, namun kerap menghadirkan emosi tersendiri dan karenanya turut mewarnai perjalanan hidup saya sebagai manusia. Ucapan ini mungkin akan terasa klise, tapi saya bangga telah menjadi bagian dari pendukung klub ini: Parma FC, sejak 18 tahun silam sampai saat ini. [wahidnugroho.com]


Tanjung, Agustus 2014

Sekali Lagi, Tentang Anak-Anak

Saya memandangi wajah putri sulung saya, Azka, pada suatu siang saat saya menjemputnya pulang dari sekolahnya. Ia mengenakan seragam motif kotak-kotak berwarna hijau. Tingginya sudah sepinggang saya. Sebagian rambut curly-nya menyembul dari balik jilbab hijaunya. Ia menyalami tangan ibu gurunya yang berjaga di gerbang, melihat ke arah saya dan berjalan cepat-cepat. Saya mengamati wajahnya lekat-lekat. Ia tampak malu-malu karenanya. “Abi kenapa liat mbak Azka begitu?” tanyanya kenes. Saya tidak menjawab pertanyaannya dan tetap memandanginya, menyentuh pipinya yang tak lagi segembil dulu, mengusap-usap kepalanya yang terbalut jilbab, memerhatikan seragamnya yang agak kotor, juga memandangi tas dan sepatunya.

Tangan kami saling bergandengan saat kami berjalan menuju motor yang saya parkir di satu sudut teduh masjid Al Ukhuwah, Tanjung. Sepanjang jalan ia mengoceh dengan suaranya yang jernih. Saya lebih banyak mendengar. Ia menceritakan tentang teman-temannya, guru-gurunya, pelajaran yang didapatkannya, dan lain-lain. Sepanjang perjalanan, saya bertanya tentang cerita-ceritanya barusan. Siapa nama teman-temannya, siapa nama gurunya, tadi bermain apa saja, sambil memandangi wajahnya dari kaca spion yang sengaja saya pantulkan ke arahnya. Ujung jilbab mungilnya melambai-lambai ditiup angin. Suara gemuruh ombak yang memecah bersaing dengan teriakan putri saya saat menceritakan petualangannya hari itu.

Terkadang saat tenggelam dalam cerita-ceritanya, saya kerap membayangkan masa depan anak ini kelak. Saya tidak tahu seperti apa masa depannya, bahkan saya tidak tahu masa depan saya seperti apa. Apakah ia akan memahami hakikat penciptaannya di dunia? Apakah ia bisa mengaji qur’an dengan fasih, menghafal ayat-ayatnya dengan sempurna, menjalankan ibadah dengan sebenar-benarnya?

Pikiran saya semakin jauh melayang menembus batas cakrawala. Suara debur ombak telah lepas dan berganti dengan riuh-rendah lalu lintas saat saya memasuki jalan Urip Sumoharjo. Saya masih memikirkan tentang masa depan anak ini, masa depan anak-anak saya. Bagaimana pendidikannya, siapa saja teman-temannya, buku apa saja yang akan dia baca dan terkesan karenanya, termasuk dengan siapa dia akan menikah.

Saat memandangi wajah cilik dan menyimak uraian kata-katanya yang belum sempurna dan membayangkan masa depannya yang masih buram, ada semacam gejolak misterius yang menyusup di sela-sela jiwa. Ah, beginikah kegelisahan orangtua saat membersamai pertumbuhan anaknya?

Di sepanjang perjalanan ke rumah, saya kerap melirik ke arah wajah putri saya itu seraya menitipkan selaksa doa baginya:

“Ya Rabb, anugerahkanlah kami isteri-isteri dan keturunan kami yang menyenangkan hati, dan jadikan kami imam bagi orang yang bertakwa.”

“Ya Rabb, jadikanlah aku dan anak keturunanku orang yang menegakkan shalat. Ya Rabb kami, terimalah doa kami.”

Aamiin. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Agustus 2014 

Ganti Template

Ganti template jadi bernuansa merah dari yang asalnya abu-abu pucat. Selain itu saya juga mengganti judul blog dari Pojok Serambi - nama blog pribadi yang selalu saya pakai sejak awal ngeblog - menjadi d'nugroho. Meski ada beberapa perubahan yang cukup radikal tapi yang punya blog masih tetap sama kok, masih adem ayem aja hehe. Seingat saya, udah 2 tahunan template blog ini belum diganti. Semoga bisa lebih baik. Aamiin. [wahidnugroho.com]


Tanjung, Agustus 2014

5 Agustus

Ada sebuah perasaan yang aneh ketika tanggal yang biasanya "dispesialkan" justru menjadi tanggal yang paling dihindari selama tujuh tahun terakhir. Sebelum tahun 2007, saya merasa bahwa tanggal kelahiran adalah sesuatu yang perlu diistimewakan. Bukan karena apa-apa, lebih karena ungkapan rasa syukur telah diberikan kesempatan hidup dariNya. Di samping itu, pengistimewaan tanggal kelahiran juga bisa berarti ucapan terima kasih kepada kedua orangtua saya yang telah memelihara saya sejak kecil hingga besar. Saya tahu bahwa hadirnya saya dalam keluarga ini membutuhkan penantian yang cukup panjang. Panjang karena butuh waktu bertahun-tahun sampai akhirnya almarhum bapak saya memiliki putra pertamanya yakni saya. Bahkan beliau sampai harus menikah dua kali demi seorang anak yang dinanti-nantikannya.

Iya, bapak memang menikah dua kali. Mamak saya adalah istri keduanya. Beliau menikah dengan mamak pada tahun 1980, sementara saya baru terlahir ke dunia di tahun 1985. Dari cerita-cerita yang disampaikan mamak kepada saya, butuh usaha ekstra hingga akhirnya Allah menakdirkan mamak mengandung janin berupa saya nyaris 30 tahun yang lalu.

Dan karena asbab itulah, sejak saya mengerti apa itu hari kelahiran, saya meletakkan tanggal kelahiran saya pada tempat yang istimewa. Tak jarang saya menanti-nantikan tanggal itu dan mengucapkan syukur tak terkira atas rentetan nikmatNya yang tak terhitung. Tapi sejak tahun 2007, semuanya berubah.

Pada sebuah sore di tanggal 5 Agustus 2007, bapak berpulang. Meninggalkan mamak dan kedua putranya yang baru saja mentas. Saya baru saja penempatan di Luwuk pada bulan Maret 2007, sementara adik saya satu-satunya baru saja lulus tes masuk UIN di bulan yang sama dengan meninggalnya bapak. Beliau meninggal dalam kondisi yang, menurut penuturan mamak, sangat sehat, dan bahagia. Memang kalau saya ingat-ingat, dalam telepon terakhir, mamak mengabarkan bahwa bapak sehat-sehat dan tidak pernah kondisinya sesehat waktu itu. Mamak juga mengabari bahwa beliau sedang senang karena uang-tak-seberapa yang pernah saya berikan kepada bapak disimpannya dengan setia di dalam dompet lusuhnya. Mungkin bahagia dan sehatnya, setelah berbulan-bulan didera sakit komplikasi dan menjalani segala rupa pengobatan, adalah pertanda bahwa waktunya memang sudah dekat. Saya tak pernah memikirkan kemungkinan itu. Saat menuliskan ini, saya baru tersadar bahwa kemungkinan itu bisa saja benar. Entahlah, hanya Allah yang tahu.

Itulah sebabnya, tanggal 5 Agustus selalu jadi hari yang saya hindari. Saya kerap mencoba melupakan bahwa ada satu tanggal dalam setahun bernama 5 Agustus. Padahal tanggal kelahiran saya adalah sehari setelahnya: 6 Agustus, dimana tanggal itu pernah saya istimewakan dahulu. Tapi sekarang semuanya terasa hambar dan tidak membuat saya bersemangat.

Hambarnya momen hari kelahiran bukan karena saya tidak lagi mensyukuri nikmatNya. Saya tetap mensyukuri segala anugerahNya kepada saya tanpa pandang tanggal kapanpun. Tapi rasa hambar itu hadir lebih karena saya tak bisa terlepas dari bayang-bayang kesedihan yang memerangkap perasaan saya sejak tujuh tahun belakangan. Entah sampai kapan.

Di tanggal 5 Agustus ini pula saya selalu mengadakan semacam ‘ritual’ menulis surat buat bapak yang telah berpulang. Sayang, ada beberapa surat yang hilang karena dulu saya ketik langsung di blog dan tidak sempat saya pindahkan ke word. Saya sempat berusaha menuliskannya kembali namun saya khawatir akan kehilangan segenap emosi yang tumpah-ruah ketika surat itu saya tulis. Sepertinya saya akan kembali menuliskan surat-surat itu saat saya sudah siap menuliskannya.

Surat itu memang tak akan pernah bisa dibaca oleh bapak, tapi rapalan doa yang tertuang di dalam kalimat-kalimatnya semoga sampai kepadanya. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afiyhi wa’fu’anhu. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Agustus 2014 

Senin, 04 Agustus 2014

Mungkin Jodoh Memang Seperti Itu

Mungkin jodoh memang seperti itu. Ia bisa saja seseorang yang selama ini berada dekat denganmu. Pandangan matanya dan matamu sesekali kerap bertemu. Kau hafal benar dengan bahasa tubuhnya. Kau paham benar dengan ungkapan-ungkapan yang kerap dilontarkannya. Kau mengerti betul dengan suka tak sukanya. Tapi semua itu tak memberi makna apa-apa bagimu. Tak ada getar-getar jiwa. Tak ada kenang-kenang rasa. Segalanya terasa biasa saja tanpa makna. Atau mungkin belum. Belum waktunya. Mungkin.


Mungkin jodoh memang seperti itu. Ia bisa saja seseorang yang namanya begitu akrab di telingamu. Ia bisa saja seseorang yang namanya sering kau ucap dan sebut-sebut. Ia bisa saja seseorang yang namanya kerap kau tuliskan dalam catatan pribadimu. Ia bisa saja seseorang yang sedang duduk di belakangmu. Ia bisa saja seseorang yang tak sengaja menyenggol jatuh berkasmu. Ia bisa saja seseorang yang sesekali menyapamu. Tapi semua itu tak memberi makna apa-apa bagimu. Tak ada getar-getar jiwa. Tak ada kenang-kenang rasa. Segalanya terasa biasa saja tanpa makna. Atau mungkin belum. Belum waktunya. Mungkin.


Mungkin jodoh memang seperti itu. Ia mungkin sedang duduk di rumahnya saat ini, atau tengah bekerja menjemput takdirnya di kantornya, di terminal, di pelabuhan. Mungkin juga ia sedang duduk di pasar, di toko buku, di tepi laut, di atas gunung. Bisa jadi ia sedang berada di seberang lautan, seberang pulau, seberang benua. Bisa jadi ia sedang bergulat dengan kesulitan-kesulitan hidupnya. Dan karenanya ia belum bisa bertemu denganmu. Dan karenanya ia belum dapat berjumpa denganmu. Kau tak pernah tahu. Atau mungkin belum. Belum waktunya. Mungkin.


Mungkin jodoh memang seperti itu. Segalanya tampak tidak mungkin pada awalnya. Semuanya terasa begitu mustahil pada mulanya. Segalanya terlihat tak mudah dan sulit awalmulanya. Tapi benang merah takdir senantiasa menghubungkan mereka berdua. Bekerja dalam diam, tanpa suara, hanya lewat pertanda. Maka bukalah matamu lebar-lebar, pertajam pendengaranmu benar-benar, karena ia mungkin saja sedang menunggumu tak jauh dari tempat berdirimu saat ini. Menyebut-nyebut namamu diantara rapalan namaNya. Kau takkan pernah tahu. Atau mungkin belum. Belum waktunya. Mungkin. [wahidnugroho.com]



Kilongan, Agustus 2014 

Catatan I'tikaf 1435 H: Ustadz Anwar dan Keluarganya

Setelah membaca-baca kembali catatan tentang i’tikaf yang saya posting di blog ini tempo hari, saya jadi teringat dengan sesuatu yang awalnya ingin saya tulis tapi saya lupa untuk menuliskannya. Ada sebuah kejadian menarik ketika itu yang karenanya ingin saya catat supaya bisa kelak bisa diambil manfaatnya terutama bagi saya selaku seorang kepala keluarga yang masih belia ini. Saya ingin menulis tentang seseorang bernama Anwar.

Ustadz Anwar, demikian beliau biasa kami sapa, adalah orang Sidrap yang sudah lama merantau di Luwuk. Beliau saat ini bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Banggai. Ustadz Anwar punya empat orang anak: 3 laki-laki dan 1 perempuan. Beliau sempat berkisah tentang jumlah anak-anaknya yang ‘seharusnya’ berjumlah tujuh. Namun takdir ternyata berkehendak lain ketika istrinya mengalami tiga kali keguguran. “Jadi kalau dihitung-hitung istri saya sudah hamil tujuh kali, tapi yang jadi empat dan yang tiga tidak jadi”, kisahnya kepada saya dalam sebuah kesempatan.

Apa yang menarik dari beliau sampai-sampai saya harus menuliskan tentang sosoknya di sini? Sebenarnya beliau sebagaimana laki-laki kebanyakan yang gemar beribadah, memiliki integritas tinggi, dan cinta dengan keluarganya. Beliau lama aktif di Hidayatullah dan pada akhir tahun 90’an bergabung dengan gerakan tarbiyah di Luwuk. Sosoknya yang kalem dan tidak banyak bicara membuat banyak orang menghormati beliau. Selain itu, beliau juga aktif sebagai ketua Yayasan Mitra Insan Madani yang membawahi 3 sekolah: PAUD IT, KBIT, dan SDIT Madani.

Selama saya tinggal di Luwuk dan mengikuti i’tikaf sejak 6 tahun yang lalu, beliau bisa dibilang satu-satunya peserta i’tikaf yang paling konsisten menjalaninya mulai dari hari pertama sampai hari terakhir. Hal ini dapat dilihat dari beragam “perabotan” yang dibawanya ke masjid seperti kasur, selimut, koper berisi pakaian dan seragam kerja, dan perlengkapan pribadi lainnya. Beliau juga kerap membawa anak-anaknya yang masih kecil untuk ikut beri’tikaf, termasuk istrinya, ibu Megawati, atau kerap kami sapa Ummu Nauval.

Pada i’tikaf tahun ini, beliau memboyong semua anak laki-lakinya untuk ikut i’tikaf 10 hari penuh. Anak-anak yang dulu saya lihat masih kecil-kecil sekarang sudah tampak dewasa. Ada Nauval yang tertua, Fadlan yang kedua, dan Royyan yang bungsu. Sementara Afifah baru ikut i’tikaf di 3 hari terakhir. Nauval si sulung baru lulus Aliyah Husnul Khatimah dan berencana melanjutkan studinya ke LIPIA. Kabarnya dia sedang mencari beasiswa ke Arab Saudi. Sedangkan Fadlan tahun ini baru akan masuk Aliyah di Husnul, sementara si bungsu Royan baru naik kelas 3 SDIT Madani Luwuk tahun ini.

Selama i’tikaf, saya kerap memerhatikan ketiga anak-anak itu dalam mengisi waktu mereka selama di masjid. Ketiganya anak yang pendiam dan tidak banyak bicara, persis seperti kedua ummi dan abinya yang juga pendiam. Ustadz Anwar berkata bahwa si bungsu Royan selalu membaca Al Qur’an 1 juz per hari, sementara kakak-kakaknya yang lain diberikan target yang lebih banyak termasuk menghafal. Maka tak heran, sebatas yang saya tahu, saya sering melihat ketiga saudara laki-laki itu bercengkerama dengan mushaf di tangannya. Selepas tarawih, Nauval dan Fadlan akan bertilawah. Selepas shubuh begitu juga. Waktu dhuha mereka akan membaca lagi dan menghafal. Pernah juga pada suatu sore saya melihat Fadlan sedang duduk di teras masjid sambil memegang mushaf di tangannya. Matanya menatap ke langit-langit sementara mulutnya komat-kamit. Rupa-rupanya sedang menghafal dia. Nauval pun begitu. Setelah shubuh, biasanya ketiga bersaudara itu akan duduk di dekat ‘bilik’ mereka di lantai dua. Nauval tampak bersandar di dinding, sementara Fadlan dan Royan saling berhadapan di atas kasur, ketiganya larut dalam bacaan Al Qur’an masing-masing.

Ketika menjelang sahur, Ustadz Anwar dan kedua putra tertuanya biasanya akan menyiapkan piring berisi nasi dan lauk pauk untuk sahur peserta i’tikaf. Jadi saat jama’ah shalat qiyamulail selesai menunaikan shalat witir, biasa sekitar pukul empat pagi, mereka tinggal menikmati menu sahur yang telah ‘dicacah jiwa’ itu tanpa harus repot-repot lagi mengambil nasi dan lauk pauknya. Saya kerap mengamati kiprah keluarga itu dari ‘bilik’ tempat saya beristirahat, melihat Fadlan sedang membawa bak berisi piring, gelas, dan sendok bersih yang baru saja dicuci, Nauval yang sedang menata baki tempat makanan, dan ustadz Anwar yang mengaduk-aduk kopi instan yang baru saja diseduhnya mengamati kedua putranya yang sedang bekerja itu.

Waktu benar-benar terasa begitu cepat berlalu. Memandangi anak-anak yang mendewasa itu, saya tersadar bahwa tugas saya ke depan akan sangat berat dalam mengopeni dan menserateni ketiga putri saya yang masih kecil-kecil ini. Rasa-rasanya, saya perlu banyak bertanya kepada para orangtua yang jauh lebih senior dari saya tentang bagaimana kiat-kiat mendidik anak agar mereka tak hanya memahami alasan diciptakannya mereka di dunia ini, tapi juga anak-anak yang, meminjam istilah Mohammad Fauzil Adhim, mengisi dunia ini dengan kalimat tauhid, laa ilaaha illallah muhammad ar rasuulullah.

Moga Allah mudahkan urusan ini. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Agustus 2014

Sabtu, 02 Agustus 2014

Salam Dari Mr. Brenan

It is by sitting down to write every morning that one becomes a writer. Those who do not do this remain amateurs. Demikian ujar Edward Fitzgerald Brenan atau biasa disapa Gerald Brenan. Beliau adalah seorang penulis dan sejarawan Inggris kelahiran Malta yang terkenal dengan buku-bukunya yang berjudul The Spanish Labyrinth dan South from Granada: Seven Years in an Andalusian Village. Beliau meninggal setelah menjalani usia yang cukup panjang, 92 tahun, di Alhaurin el Grande, Spanyol, dan meninggalkan banyak buku bergenre sastra dan sejarah.

Secara pribadi, jujur saja, saya belum pernah membaca buku-buku Mr. Brenan. Adalah rangkaian kalimat “provokatif” yang saya temukan di buku berjudul Para Penggila Buku-lah yang mengundang rasa ingin tahu saya tentang sosok Gerald Brenan ini secara lebih jauh. Rangkaian kalimat itu sudah saya cantumkan pada bagian awal tulisan ini yang artinya kurang lebih “Hanya dengan menulis setiap pagilah seseorang bisa menjadi penulis, mereka yang tidak melakukan itu akan tetap menjadi amatir”.

Kalimat yang cukup makjleb itu berhasil menohok saya dengan sedemikian rupa sehingga saya jadi kehilangan kata-kata karenanya. Saya tak bisa mengelak bahwa kata-kata yang tajam itu telah melukai perasaan saya. Tapi luka ini bukan luka yang berakibat buruk. Justru tajamnya kata-kata itu membuat semangat saya kembali bergolak dan karenanya saya merasa tertantang untuk membuktikan kepada diri saya sendiri dan kepada orang lain bahwa saya tidak mau selamanya menjadi seorang amatir.

Padahal kalau diingat-ingat, dulu nyaris setiap pagi saya meluangkan waktu untuk menulis. Ditemani oleh laptop pinjaman yang kerap mati dan tiba-tiba berlayar biru, saya menulis apapun yang ingin saya tulis. Tulisan-tulisan itu sebagiannya saya dokumentasikan di blog mulai dari friendster, multiply, dan blog ini, termasuk sebagiannya saya tulis di Ciblog dan Kublog. Keduanya adalah blog di jaringan intranet DJP. Saya juga kerap menyalin tulisan-tulisan cupu itu ke Forum DSH dan generasi penerusnya Forum Shalahuddin.

Tak ada motivasi lain saat saya menulis ketika itu kecuali bahwa saya memang suka menulis. Itu saja. Waktu itu saya tidak berpikir hendak menjadi penulis terkenal atau pengarang buku yang tebal-tebal meski keinginan untuk itu sempat terbersit. Kini, saat jumlah bacaan sudah semakin banyak, termasuk bertambahnya pengalaman hidup dan karenanya membuat cara saya memandang hidup semakin beragam, membuat motivasi menulis saya perlu sedikit disesuaikan. Saya merasa bahwa ada semacam misi yang ingin saya usung dari tulisan-tulisan yang saya buat. Misi apa? Saya belum mendapatkan jawaban jelasnya. Namun dengan semakin bertambahnya usia dan tanggungjawab, saya merasa bahwa jawaban dari pertanyaan itu perlahan akan segera terkuak. Tak lupa, saya mengucapkan terima kasih kepada Mr. Brenan atas kata-katanya yang tajam. Saya akan ingat baik-baik perkataan Anda!

Dan pagi ini, ditingkahi suara kokok ayam jantan dari kandang milik tetangga belakang rumah, saya menatap layar laptop dan menebar jejaring inspirasi untuk mulai menulis. Menulis apa saja yang mampir di dalam kepala. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Agustus 2014 

Jumat, 01 Agustus 2014

Satu Agustus Dua Ribu Empat Belas

Waktu menunjukkan pukul sembilan malam lewat dua menit. Saya, istri, dan anak-anak baru saja pulang dari Luwuk. Ada beberapa agenda dadakan yang saya lakukan malam ini. Di antaranya adalah menjenguk seorang teman di Komplek STM Bukit Halimun bernama pak Qomari. Beliau ini salah satu teman baik saya di Luwuk, bahkan bisa dibilang salah satu orangtua yang saya hormati. Beberapa tahun yang lalu kami sempat “berburu” sapi kurban bersama-sama hingga ke desa Trans Mayayap di Bualemo, termasuk berkeliling di beberapa desa sepanjang Siuna sampai ke Bualemo untuk mencari sapi kurban. Seingat saya, itu kejadian lima atau empat tahun yang lalu.

Pak Qomari, 48 tahun, sedang menderita sakit paru-paru basah sejak hari ke 3 Ramadhan, akunya. Saya sendiri baru tahu kabar tersebut justru pada H+4 Idul Fitri dari pak Sinung yang mengabari saya tadi siang. “Ente ditanyain Pak Qomari, tuh” ujar pak Sinung di seberang telepon. Saya lalu berjanji akan berkunjung ke rumah pak Qomari malam ini.

Saat mengetahui kabar sakitnya beliau saya langsung mengingat-ingat, perasaan belum ada informasi dari teman-teman perihal kabar ini. Atau mungkin pernah ada yang mengabari via grup whatsapp tapi saya tidak membacanya. Padahal saya sempat rasan-rasan tentang pak Qomari waktu i’tikaf kemarin. Saya bertanya ke mas Ali sekitar H-3 lebaran perihal tidak nongolnya pak Qomari di acara i’tikaf tahun ini. Mas Ali menjawab bahwa “Mungkin beliau sedang kurang sehat” dan tidak menyebut-nyebut bahwa pak Qomari sempat masuk rumah sakit selama 10 hari. Pun teman-teman peserta i’tikaf yang lain juga tidak mengabari saya perihal sakitnya beliau. Mendengar penuturan pak Sinung bahwa nama saya disebut-sebut pak Qomari tadi siang saya jadi merasa tidak enak hati juga, karena bagaimanapun saya belum sempat menjenguk beliau.

Maka selesai shalat Maghrib di masjid Pancasila, saya mengurungkan niat untuk berkunjung ke rumah seseorang yang sedianya akan saya datangi waktu itu dan langsung mengajak istri naik ke STM dengan mengendarai motor. Anak-anak saya titipkan kepada ibu mertua dan berjanji bahwa kepergian kami tidak akan terlalu lama.

Sampai di rumah pak Qomari, saya mendatangi beliau yang terbaring lemah di dalam kamarnya yang remang-remang. Selang infus menancap di pergelangan tangannya yang tampak mengurus. Suaranya perlahan dan terdengar tidak semangat. Ah, jadi teringat saat almarhum bapak saya sakit dulu.

Saya lalu mengobrol sejenak dengan beliau, menanyakan kronologis sakitnya, sampai ke soal kabar anak-anaknya. Beliau menjawab dengan suaranya yang lemah dan saya mencoba untuk mencairkan suasana dengan bahan obrolan yang lain. Saya juga meminta maaf karena baru sempat menjenguknya dengan alasan yang sudah saya sebutkan di atas. Beliau memaklumi alasan saya. Saya lalu minta diri sebentar dan kembali ke ruang tamu dimana istri saya dan istri pak Qomari sedang berbincang. Sekitar lima belas menit saya, istri, dan istri pak Qomari berbincang tentang beberapa hal, termasuk perkembangan anak-anak beliau yang sudah besar, dan obrolan ringan lainnya. Saat hendak pamit pulang, saya kembali menemui pak Qomari di kamarnya dan menitipkan sesuatu padanya seraya mendoakan agar beliau segera sembuh dan kembali dapat beraktivitas seperti sedia kala. Beliau mengucapkan terima kasih dan saya serta istri berpamitan setelahnya.

Pamit dari rumah pak Qomari, istri saya menawari saya untuk singgah sebentar di rumah Ummu Rahman. “Mumpung lagi di sini, bi” katanya. Saya memenuhi tawaran itu dan membelok ke sebuah gang yang berada tepat di bawah gang rumah pak Qomari berada. Setelah memarkir motor, saya dan istri menguluk salam dan tak lama kemudian, Yasin, anak ke 3 dari pak Sinung dan Ummu Rahman keluar. Melihat saya dan istri, ia kembali masuk ke dalam dan memanggil abi dan umminya keluar. Oh iya, Ummu Rahman ini nama aslinya Sri Atun. Beliau adalah caleg PKS yang berhasil terpilih sebagai anggota legislatif DPRD Provinsi Sulawesi Tengah untuk masa kerja 2014-2019. Ibu Sri Atun adalah sosok muslimah yang kalem dan sederhana. Terpilihnya beliau menjadi anggota legislatif provinsi sebenarnya cukup mengejutkan juga karena boleh dibilang elektabilitasnya yang masih jauh dari menggembirakan. Beruntung beliau memiliki suami yang cukup sregep dan sigap sehingga akhirnya suara beliau memenuhi syarat untuk terpilih sebagai wakil rakyat lima tahun mendatang.

Selama nyaris satu jam kami berbincang tentang banyak hal: tentang anak-anak, tentang pekerjaan, tentang daerah, tentang amanah baru di dewan, tentang ini dan itu, sekaligus bertukar pikiran juga. Ketika hendak pulang, kami dibungkusi dua buah teh kotak dan sebungkus kue kering warna-warni untuk dibawa pulang. “Untuk anak-anak”, ujarnya. Saat saya dan istri hendak pamit pulang, ternyata teman saya yang bernama Usman Iba bersama istri dan anak-anaknya datang.

Ketika motor yang saya kendarai masuk ke lorong tempat rumah mertua, saya melihat ada keramaian di rumah Abang. Abang ini adalah orang Padang yang rumahnya ada di depan rumah mertua. Saat saya memarkir motor di pelataran rumahnya Mamblo, saya melihat beberapa orang sedang memapah Abang yang duduk lemas di kursi rotannya. Saya bertanya kepada orang-orang yang ada di situ apa gerangan yang terjadi kepada beliau. Jawaban yang saya dapatkan adalah bahwa beliau baru saja pulang dari perawatan di Makassar dan sekarang sakitnya kembali kambuh. Sakit apa? Saya tidak tahu. Katanya sih komplikasi. Tapi komplikasi apa saya tidak mendapat kabarnya secara jelas karena semuanya berlangsung dengan sangat cepat ketika rombongan yang memapah Abang langsung berjalan ke ujung lorong. Rijal, sang supir taksi tetangga mertua, sudah menunggu dengan mobil taksinya yang berwarna kuning di depan sana.

Akhir-akhir ini memang ada banyak kabar kurang mengenakkan dari beberapa kenalan saya. Mulai dari tetangga saya sendiri yang sakit, teman saya yang sakit, sampai tetangga mertua saya ada juga yang sakit. Melihat kabar-kabar yang tidak mengenakkan itu, saya berharap agar nikmat sehat ini bisa senantiasa saya nikmati sampai akhir hayat dikandung badan. Itu artinya, timbunan lemak yang menempel di perut dan bagian tubuh saya lainnya harus segera dieliminasi. Saya juga harus memulai pola hidup sehat, karena bagaimanapun, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri kita di masa yang akan datang.

Semoga kesehatan selalu berlimpah untuk kita semua. Amin. [wahidnugroho.com]




Kilongan, Agustus 2014