Selasa, 25 Desember 2012

The Confession Of A Parmagiani


“It is a strange truth that a love for a particular football club means that your moods and reference points should be so in sync with tens of thousands of others.”


****

Awalnya adalah semangat ‘ingin beda’. Tapi semangat “ingin beda” itu kemudian bermetamorfosis menjadi cinta (tsah).

Setiap kita pasti punya cerita dibalik kecintaan dan dukungan kita terhadap sebuah klub sepakbola, apapun dan dimanapun klub tersebut. Cerita itu bisa jadi tak selalu logis. Bisa jadi sisi emosionalnya lebih dominan. Tapi apapun ceritanya ia tetap layak untuk diapresiasi sebagai bentuk kejujuran dan ketulusan hati.

Saya suka FC Parma (dulu namanya AC Parma).

Lho, Parma itu apa? Merk keju ya?

Parma itu klub bola dari Italia sono.

Ih kok nggak terkenal ya? Nggak kayak Juventus, Inter, Milan, Lazio, etc?

Lho, emang kalo suka itu harus jadi terkenal dulu ya?

Akhir pekan adalah momen yang selalu dinanti insan bola dimanapun mereka berada. Karena di akhir pekan itulah biasa digelar pertandingan sepakbola dari klub-klub besar Eropa. Saya bukan supporter garis keras. Saya supporter garis miring. Tapi saya selalu menanti kabar dari klub yang saya dukung. Saya senang dan gembira ketika mereka menang, saya sedih ketika mereka kalah dan pulang dengan tangan kosong.

Saya merasa deg-degan ketika melihat pertandingan mereka, baik via streaming atau nonton di TV tetangga. Saya merasa gelisah ketika mereka dalam keadaan tertinggal, merasa sumringah ketika mereka dalam keadaan memimpin, dan harap-harap cemas ketika kondisi masih berimbang. Saya mengikuti berita beberapa pemainnya, kisah-kisahnya di masa lalu, maupun prediksi-prediksinya di masa mendatang.

Saya mengoleksi beberapa barang yang berhubungan dengannya. Jersey, scarf, pennant, handuk, topi, jaket, kaos, dan lain-lain. Ketika saya kecil dulu, saya pernah beberapa kali bolak-balik sebuah toko olahraga hanya karena ingin melihat jersey klub kecintaan saya itu dipajang. Meski tak bisa membeli karena tak punya uang, tapi melihat corak biru kuningnya saja sudah membuat hati ini senang.

Tapi saya sadar, bila dukungan ini nyaris tanpa hingar bingar. Berita-berita di media pun tak banyak yang memuat kisah klub ini. Mungkin karena basis suporternya tidak semeriah basis suporter klub lain. Tidak menjual. Tidak populer. Tidak ngepop. Atau apalah. Tidak mengapa. Itu tidak menjadi masalah buat saya.

Pun ketika ada yang menyebut klub yang saya dukung itu sebagai klub medioker, klub papan bawah, klub tak berdana tebal, klub minim pemain bintang, klub tak populer, klub gak berprestasi, itu juga tak jadi masalah buat saya. Dukung mendukung tidak berhubungan dengan faktor-faktor itu. Mendukung itu soal resonansi jiwa, dan jiwa tak berkompromi dengan materi.

Mereka bilang pendukung sejati itu yang selalu nobar, selalu futsalan bareng komunitas, punya jersey original sekian dan sekian, punya koleksi merchandise begini dan begitu. Tapi bagi saya pendukung sejati adalah mereka yang selalu mendukung klub bagaimanapun kondisinya, yang senang ketika menang, yang gelisah ketika kalah, dan gamang ketika kondisi imbang.

Pemain datang silih berganti. Pelatih pun datang dan pergi, seiring pasang surut sebuah prestasi. Tapi kecintaan tetaplah kecintaan. Tanpa syarat.

So, this is my confession. How bout you? [wahidnugroho.com]


H2, Desember 2012

Parma siamo noi


Sebut Saja Namanya Joni

Sebut saja namanya Joni. Temannya Joni bernama, sebut saja juga, David. Joni berbadan atletis, berkulit hitam legam. Tindak-tanduknya cekatan dan tak malumalu bertanya kepada bosnya yang berdarah Chinese itu. David juga berkulit legam. Namun dia lebih pendiam ketimbang Joni. Ketika bosnya menyuruh dia melakukan ini, David menurut. Ketika bosnya memerintahkan itu, David menjalankan. Dimana saya kenal mereka berdua? Di toko bangunan saat saya sedang membeli ubin.

Dalam beberapa kesempatan yang sempit, saya menyempatkan bertanya beberapa hal kepada Joni. Sudah berapa lama kerja di sini, sudah berkeluarga atau belum, asal darimana, sampai soal yang sensitif: besaran gaji dan bonus yang dia terima. Joni komunikatif dan dia menjawab semua pertanyaan kurang adab saya dengan dalih basa-basi itu.

Saya pun akhirnya mengetahui kalau Joni ini berasal dari Bulagi, Banggai Kepulauan. Umurnya lebih muda setahun daripada saya. Dia sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak yang masih kecil. Sedangkan David belum berkeluarga. Yak benar, keduanya Nasrani. Hal itu saya ketahui ketika Joni berkata bahwa dia akan pulang kampung untuk merayakan Natal bersama keluarganya. Begitu juga David.

Sore itu, menjelang tutup toko, saya membeli sekitar lima puluh dos ubin berukuran sekian kali sekian. Karena saya nggak punya mobil bak, dan karena mobil si Ko’ bensinnya cuman sedikit, maka saya mengontak teman saya yang punya angkot untuk saya sewa mengangkut ubin-ubin yang beratnya membahana itu. Saya menjanjikan kepada si Ko’ bahwa nanti saya yang tanggung biaya angkut dan biaya antarnya. Saya juga minta kepada Ko’ supaya nanti si Joni dan David yang ikut dengan saya. Si Ko’ yang murah senyum itu menyetujui usulan saya.

Sesampai di tempat yang dituju, kedua pegawai toko bangunan itu dengan cekatan langsung membongkar muatan yang lumayan banyak itu. Awalnya saya mencoba untuk membantu, namun ternyata kardus berisi ubin itu lumayan berat. Walhasil saya mundur dan melihat kerja mereka berdua dari teras rumah.

Ketika semua ubin sudah dipindahkan dari dalam mobil ke dalam rumah, saya berbicara lagi kepada Joni. Sedangkan David berada tak jauh dari kami berdua.

Saya tanya kepada Joni, “Kapan mo pulang ka Bulagi?”

“Sobantar malam, Pak”, jawab Joni.

 “So beli hadiah natal buat nga pe anak?”, tanya saya lagi.

“Belum, pak”, jawabnya sambil tersipu.

Saya lalu membuka tas selempang mungil saya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. Saya serahkan uang itu kepada Joni.

“Ini dari saya buat ngana. Sekian nga kase buat David, sekian nga ambe buat ba bili hadiah natal. Terima kase so bantu saya ba angkat tegel kamari e”, ujar saya.

Joni dan David saling beradu pandang. Mungkin mereka bingung ada orang berjenggot tipis (berkumis tipis dan berdompet tipis juga :hammer) bercelana cingkrang yang selalu ngomong “salamlikum ane ente” di handphonenya itu menyerahkan hadiah buat mereka. Hadiah natal?

Karena uang yang saya sodorkan belum juga diterima, maka saya tarik tangan si Joni dan meletakkan uang yang tak seberapa jumlahnya itu kepadanya. Joni tampak sangat senang. Senyumnya mengembang. Begitu juga David. Keduanya kemudian mengucapkan terima kasih kepada saya. Karena keduanya senang, saya juga ikut senang.

Lalu untuk apa saya tulis ini? Buat pencitraan? Buat gaya-gayaan kalo saya ini dermawan gitu? Atau ada motif politis karena 2014 udah dekat (halah)?

Kok duitnya gak disumbang buat masjid? Buat anak yatim? Kok dikasih ke orang Nasrani? Buat Natalan pulak?

Anda yang membaca tulisan ini berhak menilai saya dengan nilai apapun. Saya tidak keberatan. Monggo. Saya hanya senang melihat orang lain senang. Dan saya senang menghargai kerja keras orang lain, siapapun dia, semampu yang saya bisa.

Jadi, sampeyan ngucapin Selamat Natal buat Joni dan David?

Mau tau aja atau mau tau banget? [wahidnugroho.com]



Muspratama, Desember 2012
Menjelang Maghrib 

Jumat, 30 November 2012

Tadabbur: Kebaikan

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” [QS Ibrahim 24-25]


Surat Ibrahim ayat 24 ini adalah surat yang cukup memorable bagi saya. Kisahnya berawal ketika saya masih kuliah tingkat satu di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Waktu itu, salah seorang kakak kelas pernah meminta saya untuk menghafalkan empat ayat dari Surat Ibrahim ini, yakni ayat 24-27, sebagai tugas untuk mengikuti sebuah acara daurah. Saya menyanggupinya dan, alhamdulillah, berhasil menghafal empat ayat lebih banyak dari yang seharusnya saya selesaikan. Sampai hari ini saya masih hafal dengan baik ke-delapan ayat itu dan kerap merapalnya dalam berbagai kesempatan atau ketika sholat sendiri.

Oleh karenanya, ketika ustadz kami menyinggung tentang ayat ini dalam sebuah majelis pembinaan, memori saya langsung berputar ke masa delapan tahun yang lalu dan menikmati kenangan yang terjadi ketika surat ini kembali hadir dalam aktivitas saya.

Saya suka dengan kedua ayat di atas – actually, saya suka semua ayat di dalam Al Qur’an tanpa terkecuali. Saya bukan penafsir Al Qur’an, saya tidak paham tentang kosakata bahasa Arab. Tapi saya mampu merasa bahwa maksud dari surat ini akan sangat indah bila kita mau menjalankannya.

Surat ini berkisah tentang perumpamaan kalimat yang baik. Bahwasanya sebuah kalimat yang baik Allah ibaratkan sebagai sebuah pohon yang akarnya kuat, batangnya menjulang, dan bahkan memberikan kemanfaatan lainnya berupa buah yang bisa kita nikmati rasanya. Saya jadi berpikir seperti ini: Andai satu kalimat yang baik, sekali lagi satu kalimat, saja sudah sebegitu besar manfaatnya, apatah lagi bila kalimat itu berbuah tindakan yang baik? Apalagi bila tindakan yang baik itu tidak hanya dilakukan oleh satu orang, tapi juga memasyarakat, melembaga, dan menegara? Maka sudah barang tentu manfaatnya akan jauh lebih banyak dan jauh lebih luas daya jangkaunya.

Negara ini sesungguhnya diisi oleh orang-orang yang baik, atau orang-orang yang sedang berusaha untuk menjadi baik. Saya yakin itu. Mungkin ada yang kadar kebaikan di dalam dirinya lebih dominan, mungkin ada yang tidak. Mungkin ada yang porsi kebaikan di dalam dirinya lebih menonjol, mungkin ada yang kurang. Mungkin ada yang lebih pede dalam melakukan kebaikan, mungkin ada yang masih malu-malu. Mungkin ada yang sudah mencukupi kebaikan untuk dirinya sendiri, mungkin ada yang ingin mendistribusikannya kepada orang lain. Semuanya ini baik. Semuanya ini tidak salah. Yang tidak baik dan yang salah itu adalah ketika harapan kita akan eksistensi kebaikan ini meluntur, memudar, dan menguap sama sekali.

Orang-orang yang telah meluntur, memudar, dan menguap optimismenya terhadap orang baik dan kebaikan sebenarnya lebih parah daripada orang yang tidak berbuat baik sama sekali. Karena optimisme adalah nafas kehidupan, harapan adalah nyawa sebuah peradaban. Bila tidak ada optimisme maka tidak akan ada lagi orang yang rajin bekerja untuk memenuhi hajat hidupnya, tidak akan ada lagi seorang ayah yang banting tulang setiap hari untuk menafkahi anak dan istrinya, tidak akan ada lagi seorang ibu yang menyusui dan memelihara anaknya dengan sepenuh hati dan jiwa karena apa yang mereka lakukan adalah sia-sia belaka.

Manusia bisa mati, badan dan tulang-belulang bisa hancur dimakan tanah, namun optimisme akan eksistensi kebaikan dan orang-orang yang memperjuangkannya akan selalu hidup melebihi usia kehidupan itu sendiri. Maka mengejawantahkan kebaikan dalam setiap kata dan kerja kita adalah sebuah keniscayaan. Memasyarakatkan kebaikan dan mengokohkannya adalah tugas kita yang berikutnya. Kebaikan bisa berwujud apa saja. Kebaikan bisa memiliki banyak bentuk. Namun simpul dari semua kebaikan hanya satu: kebermanfaatan.

Itulah sebabnya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya. Manfaat adalah simpulnya, dan kebaikan adalah tali-tali temali yang terjulur darinya. Karena dari setiap kebaikan yang kita lakukan maka akan lahir manfaat demi manfaat yang bisa dirasakan oleh sesama kita.

Maka marilah kita membiasakan diri untuk berkata yang baik, bertindak yang baik, berpikir yang baik, dan berprasangka yang baik. Marilah kita menebar benih-benih kebaikan dan kebermanfaatan, bukan benih-benih keburukan dan kesisa-siaan. Mari kita menanam pohon-pohon optimisme, bukan menebar hama-hama pesimisme dan keputus-asaan.

Pembiasaan ini memang akan membuat kita sedikit tidak nyaman, pembiasaan ini bisa jadi akan memakan waktu yang panjang dan tidak sebentar, tapi saya yakin kita pasti bisa melakukannya. Karena kita punya optimisme bahwa hanya kebaikanlah yang akan kita wariskan bagi keturunan kita kelak, bukan harta dunia yang sifatnya fana dan sementara. Dan bagi kita sebagai seorang mukmin, kebaikan adalah investasi akhirat yang akan selalu mengalir pahalanya walau nyawa tak lagi dikandung raga.

Semoga urusan ini dimudahkanNya. Amin ya mujiib as saailiin. [wahidnugroho.com]



Garuda, November 2012 


Kamis, 22 November 2012

Tentang Perbedaan


Allah menciptakan kita semua dalam kondisi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Saya seperti ini, Anda seperti itu. Isi kepala saya begitu, isi kepala Anda begini. Kecenderungan hati saya kesana, kecenderungan hati Anda kesini. Selera saya disini, selera Anda disana. Saya ganteng, Anda kurang ganteng. Saya keren, Anda kurang keren. Saya cakep, Anda kurang cakep. Kita memang berbeda. Karena itulah masing-masing kita unik.

Kita unik karena kita punya ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh orang lain. Bisa jadi ada satu, dua, sepuluh, bahkan seribu kesamaan antara saya dan Anda. Tapi dalam detail tertentu kita pastilah berbeda.

Contohnya dalam hal makan sambel. Anda bisa jadi suka sambel yang pedasnya membahana (ups, maaf saya pinjam kata-kata ini), saya suka sambel yang pedasnya merambat dengan sopan, yakni sambel yang awalannya berasa agak manis tapi lama-lama bikin mata menangis. Di seberang sana mungkin ada yang suka sambel dengan terasi yang banyak, di seberang sini mungkin sebaliknya. Di sebelah sana mungkin suka sambel yang dicampur gula aren, di seberang sini mungkin tidak. Di sudut sini mungkin suka sambel yang isinya cabe rawit saja, di sudut sana mungkin suka sambel yang dicampur dengan cabe keriting. Nah, karena dalam urusan makan sambel saja kita sudah punya perbedaan yang cukup mencolok dan membahana (halah, kepake lagi kata-kata ini) seperti itu, maka keragaman fikir kita pun pasti akan ada.

Saya jadi ingat ketika di awal-awal pernikahan dulu istri saya membuatkan masakan favoritnya untuk saya, yang celakanya itu bukan masakan favorit saya, bernama kuah asam. Anda yang dari Sulawesi pasti tau donk apa itu kuah asam? Kuah asam adalah ikan yang dimasak kuah. Semacam sup ikan dan segala rempah-rempahnya. Istri saya mungkin tidak tahu kalau saya bukan pecinta ikan. Lha ikan goreng yang kemeripik aja kadang tidak saya makan, apalagi ikan yang basah kuyup begitu. Maka tanpa mengurangi rasa cinta saya kepadanya, masakan itu pun tidak saya sentuh sama sekali dan saya katakan kepadanya, “Kalau mau masak kuah asam silakan, tapi saya tidak ikut makan”.

Ketika ada situasi seperti ini, setiap kita mungkin punya sikap yang berbeda. Saya cenderung terus terang ketika tidak suka akan sesuatu dan tidak suka menyimpan ketidaksukaan saya itu, Anda mungkin sebaliknya lebih memilih menyimpan dan menyelesaikannya dalam diam. Lalu mana sikap yang benar dan mana yang salah? Tidak ada yang salah, semuanya benar. Intinya adalah soal komunikasi. Mengkomunikasikan ketidaknyamanan, ketidaksukaan, ketidaksetujuan itu secara elegan dan beradab kepada pasangan kita masing-masing.

Kembali ke soal kuah asam. Lalu, apakah saya jadi tidak cinta kepadanya hanya karena urusan kuah asam? Apakah cinta harus diukur dari semangkok kuah asam? Apakah perkara kuah asam ini tidak bisa dikompromikan sehingga saya dan istri harus berantem tujuh hari tujuh malam dan pisah ranjang sampai akhir bulan? Tentu saja tidak, bagi saya.

Kuah asam itu soal kecil begitu juga soal tidur yang mendengkur, sambel yang terlalu pedas, bau badan yang kurang membuat nyaman, warna baju yang tidak sepadan, atau perkara tertentu yang terjadi di atas ranjang  (dan mungkin juga tidak terjadi di atas ranjang #IYKWIM). Ini perkara kecil. Bisa dibicarakan, bisa dikompromikan, bisa diselesaikan secara baik-baik. Bentuk penyelesaiannya bisa beragam, intensitas penyelesaiannya juga beragam. Intinya adalah komunikasi, kesabaran, dan kejujuran hati.

Karena ini soal kecil, soal sepele dan remeh temeh, maka jangan sampai menjadi penghalang kita untuk berbahagia dalam pernikahan, meski ada perbedaan yang cukup menganga antara diri kita dengan pasangan kita. Jangan sampai perkara sepele itu menjadi faktor yang menentukan bahagia dan tidaknya pernikahan kita. Misi besar yang kita usung kala mengucap ijab qabul itu terlalu berharga, jauh terlalu berharga, bila harus digadaikan dengan urusan sepele ini.

Menyatukan dua pribadi itu, kata Eko Novianto dalam buku Engkaulah Matahariku, seperti memadukan dua batang kayu.

Agar sambungan itu kokoh kedua batang kayu tersebut harus disambung dengan teknik tertentu. Dalam proses penyambungan dengan teknik tertentu itu, masing-masing kayu harus merelakan sebagaian dirinya dipotong, dibentuk, dan disesuaikan dengan potongan kayu yang lain. Proses pemotongan, pembentukan, dan penyesuaian ini harus dilakukan pada kedua batang kayu secara harmonis. Bukan hanya pada salah satunya. Jika dilakukan hanya pada salah satunya, hasilnya tidak optimal. Padahal kedua batang kayu itu telah tumbuh kuat. Telah lulus quality control. Bahkan keduanya terbentuk secara sistemik untuk menjadi banyak tujuan.


Maka tendensi dan selera pribadi yang telah membentuk diri kita seperti ini bukan untuk dihilangkan sama sekali, tapi hanya perlu untuk dikompromikan dan dikomunikasikan. Kita hanya perlu meletakkan semua rasa “pribadi” itu dalam satu tujuan bersama. Tujuan yang lebih besar dan mulia untuk membangun peradaban ini. Sehingga, bila tendensi itu tidak searah dengan tujuan besar yang sudah dicanangkan tersebut, maka tendensi itu perlu untuk ditinggalkan bahkan dibuang. Hanya saja pertanyaannya adalah, apakah kita sudah menyiapkan ruang besar di dalam jiwa untuk menampung “buangan” itu? Hanya masing-masing kita yang bisa menjawabnya. 

Perbedaan itu, seyogyanya, membuat kita kaya. Iya, kaya. Saya, Anda, dan kita semua. 


Mohon maaf atas ceracauan ini. [wahidnugroho.com]


H2, November 2012

Rabu, 24 Oktober 2012

Ladang Amal Itu Bernama Kekurangan


Orang bijak bilang seperti ini, “Tidak ada manusia yang sempurna”. Sehebat-hebatnya manusia, dia tetaplah makhluk yang punya kekurangan. Begitu pula dengan pasangan hidup kita. Tak ada yang namanya “The Perfect Couple” alias pasangan yang sempurna. Karena berangkat dari konsep awal manusia yang berkekurangan, pasangan yang memiliki kekurangan pun menjadi sebuah keniscayaan.

Atau supaya pembahasan ini tidak terlalu ruwet, mari kita susun sebuah persamaan yang dapat sedikit menyederhanakannya. Persamaan itu kurang lebihnya seperti ini (tolong diingat) :

CSTS + CITS = PYBKS + LA

Keterangan Rumus :

CSTS = Calon Suami Tak Sempurna
CITS = Calon Istri Tak Sempurna
PYBKS = Pasangan Yang Berkurang Ketidaksempurnaannya
LA = Ladang Amal

Ketika seorang lelaki tak sempurna menikahi seorang perempuan yang juga tak sempurna, maka hasilnya bukanlah sebuah pasangan yang sempurna, tetapi pasangan yang berkurang ketidaksempurnaannya. Sehingga, kalau ada yang menilai pasangannya, entah suami atau istrinya, adalah pasangan yang sempurna, maka saya hanya bisa meminta maaf kalau telah menyebutnya sebagai kebohongan. Benar sekali. Ia telah membohongi dirinya, pasangannya, dan juga orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Logikanya sederhana saja. Saat kita menikah, maka terbukalah tirai dan sekat-sekat yang selama ini menutupi jati diri kita yang asli. Segala yang tersembunyi menjadi tampak, segala yang tak terlihat menjadi jelas dan terang. Sang suami yang mungkin dahulunya adalah sosok yang selalu parlente, kini telah terbuka ‘aibnya’. Bisa jadi ia aslinya orang yang paling malas mandi dan tidurnya selalu mendengkur. Begitu juga sebaliknya. Sang istri yang dulu tampak selalu tenang dan jaim, ternyata sosok aslinya begitu cerewet dan terlalu perhitungan.

Saat kita menemui sekian kekurangan itu pada diri masing-masing pasangan kita, maka anggap saja itu adalah ladang amal baru bagi kita. Ladang amal yang dapat ditanami dengan tumbuhan kesabaran, pengertian, dan juga semangat saling memperbaiki kekurangan masing-masing. Perlu waktu untuk melakukan semua itu, memang. Prosesnya mungkin akan berjalan tak seindah dan senikmat yang disangka. Nikmati saja dengan penuh keikhlasan, insya Allah semuanya akan bernilai ibadah.

Sebab, alangkah banyak pasangan yang memutuskan untuk bercerai dikarenakan ketidaksabaran mereka dalam menerima kekurangan pasangannya. Begitu juga dengan para bujang yang kerap maju mundur untuk melangkah ke jenjang pernikahan dikarenakan ketidaksiapan mereka untuk menerima kekurangan pasangannya, atau sebaliknya, kekhawatiran bahwa pasangannya tidak bisa menerima kekurangannya.

Islam memang menawarkan kepada para suami dan istri untuk merekonsiliasi kekurangan fatal yang ada pada diri mereka masing-masing. Seperti kisah Hadiqah r.a dan Tsabit r.a. Hanya saja, bahasan kita saat ini bukanlah kekurangan yang berat dan sukar diterima, kita hanya sedang membahas kekurangan-kekurangan sepele yang sebenarnya masih dapat kita bicarakan sambil mereguk secangkir teh hangat.

Mohon maaf jika bahasan ini dirasa sedikit nakal. Mohon maaf juga jika dirasa kurang pantas. Tapi saya telah bertekad untuk mengungkapkannya demi kenyamanan dan kelapangan yang bisa kita rasakan dalam mengarungi hidup berumahtangga ini serta sebagai bekal bagi saya pribadi, tentu saja, dan juga bagi saudara-saudara saya yang belum dipertemukan Allah dengan pasangan hidupnya.

Jadi, mulai hari ini, tatap lekat-lekat pasangan kita. Lihatlah kekurangannya, nilailah kelebihannya. Sediakan ruang yang luas di hati kita untuk menerima sebanyak-banyaknya kekurangan yang ia miliki. Siapkan waktu untuk mengapresiasi segala kelebihan yang pasangan kita punyai. Tataplah hari esok, dan percayalah, dunia tak akan berhenti berputar hanya karena pasangan kita memiliki kekurangan yang manusiawi untuk dipanjangkalilebarkalitinggikan.

Mohon maaf. [wahidnugroho.com]


(Tanjung, Oktober Dobel-T)

Senin, 24 September 2012

Confuse?

Terlalu banyak yang berkelebat di kepala. Berdesakan. Harus memulai dari mana? Ada saran? Ada masukan? Nasihat, mungkin? [wahidnugroho.com]

Sabtu, 25 Agustus 2012

Najib Al Kailani Sang Sastrawan Haraki

Najib ibn Ibrahim ibn Abdul Lathif al-Kailani. Sastrawan Mesir ini lahir di desa Syarsyabah pada bulan Muharram 1350 H, atau pada bulan Juni 1931 M. Kampung halamannya pada waktu itu masih dalam kekuasaan penjajah Inggris. Ayahnya seorang petani yang memiliki tiga orang anak, yakni Najib, Amin, dan Muhammad.

Ketika Najib berusia delapan tahun, Perang Dunia II terjadi. Desa kelahirannya, begitu pula seluruh pelosok Mesir, dilanda bencana serta krisis ekonomi, politik, serta sosial. Semua kekayaan rakyat dirampas oleh pihak penjajah Inggris.

Najib banyak dipengaruhi oleh kakek dari pihak ibunya, yakni Haji Abdul Qadir Al Syafi’i. Ia merupakan seorang lelaki shaleh yang berprofesi sebagai pedagang besar dan dikenal juga sebagai seorang hafidz (penghafal) Qur’an. Di tangannyalah Najib kecil mendapatkan banyak tempaan.

Pada usia delapan, Najib memasuki sekolah di Syanbath. Kendati di awal ayah Najib cemas kalau-kalau ia tidak mampu membiayainya, namun pada kenyataannya Najib mampu menyelesaikan sekolah di sana. Najib kemudian meneruskan sekolah menengahnya di kota kecil Thantha selama lima tahun. Setelah lulus dari Thantha, ia meneruskan studinya di Fakultas Kedokteran Universitas Fuad Al Auwal. Sebenarnya Najib lebih menyukai kuliah di Fakultas Adab atau Hukum, namun ayahnya lebih menyukai ia kuliah di kedokteran.

Empat tahun kemudian, semasa menjadi mahasiswa, ia dijebloskan ke penjara selama tiga tahun karena keikutsertaannya dalam kelompok Al Ikhwan Al Muslimun sejak tahun 1955 sampai 1958. Sekeluarnya dari penjara, ia meneruskan studinya kembali. Hanya saja, pada tahun 1965 ia kembali dijebloskan ke penjara selama dua tahun.

Pada tahun 1967, Najib pindah ke Kuwait dan bekerja di sana, kemudian pindah lagi ke Dubai. Setelah berkali-kali dipindahtugaskan, Najib akhirnya diangkat menjadi Direktur Kementrian Kesehatan untuk UniEmirat Arab. Ia juga merupakan salah satu anggota Lembaga Kesenian untuk negara-negara Teluk dan aktif dalam pelbagai seminar dan kajian tentang kesehatan dan sastra.

Semasa mudanya, Najib sangat rakus membaca. Ia melahap semua bacaan seperti Ar Risalah, Ats Tsaqafah, Al Hilal, dan lain-lain. Dia juga banyak belajar dari pengarang terkenal lainnya seperti Sayyid Quthb, Mustafa Sadiq Ar Rafi’i, Al Mazani, Al Aqqad, Taufik Al Hakim dan lain-lain. Selain itu, ia juga menyukai sajak-sajak Al Mutanabbi, Syauqi, dan Hafidh Ibrahim. 

Sebagai seorang sastrawan yang ternama di Mesir, ia telah banyak menghasilkan novel di antaranya Al Ardhu Al Anbiya, Hikayah Jadu Allah, Hamamatu Salam, Dam Lathir Shohiyun, Aladzina Yahtariqun, Ra’su Syaithan, Al Dhil Al Aswad, Al Thariq Ath Thawil, Thola’i Fajr, Azda Jakarta, Qatil Hamzah, Layali Turkistan, Nida Al Khalid, Ala Abwabi Khaibar, Amaliqah Asy Syamal, Fi Al Dhalam, Lail Al Khothoya, Mawakib Al Ahrar, Nur Allah, Al Yaum Al Maw’ud, dan masih banyak yang lainnya.

Selain novel, Najib juga menghasilkan antologi cerpen seperti Dumu’u Al Amir, Hikayat Thayibah, Inda Al Rahil dan Mau’iduna Ghadan. Najib juga pernah membuat sebuah sandiwara berjudul Ala Aswaari Damsyiq, yang terdiri dari empat babak. Sandiwara itu ditulisnya ketika ia masih dalam penjara, yang menceritakan tentang peperangan bangsa Tartar dengan kaum muslimin. Di antara tokohnya adalah Ibnu Taimiyah yang menggelorakan semangat jihad kaum muslimin.

Sementara itu, Najib juga menghasilkan banyak karya nonfiksi antara lain; Haula Din Wa Daulah, Ath Thariqi Ila Ittihad Islam, A’daa Al Islamiyah, Al Mujtama’, Al Maridh, Iqbal Al Sya’ir, Al Islamiyah wal Al Madzhahib Al Islamiyah, Al Islam wa Al Jins, serta Syauqi fi Rakhbi Al Khalidin.

Pada tahun 1957, Najib pernah mendapat penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Pengajaran Mesir atas novelnya Ath Thariq Ath Thawil. Kemudian pada tahun 1958 Naji mendapatkan penghargaan dari pihak yang sama atas novelnya Fi Al Dholam serta buku non fiksinya yang berjudul Iqbal Al Sya’ir Ats Tsaair, Syauqi Fi Rakhbi Al Khalidin, dan Mujtama Al Maridh. Dan pada tahun 1959 ia juga mendapatkan penghargaan medali emas atas antologi cerpennya yang berjudul Mau’iduna Ghodan dari Festival Thaha Husein.

Pada tahun 1960 Najib memenangi sayembara penulisan novel yang diselenggarakan oleh Lembaga Tertinggi Pemeliharaan Seni dan Sastra untuk novelnya yang berjudul Al Yaum Al Maw’ud. Pada tahun 1979 karyanya yang berjudul Qatilul Hamzah memenangkan sayembara penulisan novel yang diadakan oleh Lembaga Bahasa Arab. Pada tahun 1980 Najib juga mendapatkan penghargaan dari pemerintah Pakistan atas bukunya Iqbal Asy Sya’ir Ats Tsaair yang membahas tentang syair-syair revolusioner. Najib meninggal karena sakit pada tahun 1993. [wahidnugroho.com]

H2, Agustus 2012

Ganti Template (lagi dan lagi)

Untuk yang kesekian kalinya (well, entah untuk yang ke berapa kali) saya harus mengganti template blog yang membosankan ini. Template sebelumnya terlalu sesak. Terlalu banyak info gak penting dan penuh nuansa kenarsisan yang saya pajang di sana. Yah, walo begitu, blog ini tidak akan berkurang tingkat narsisisme dan ketidakjelasan. 

Alamak, cakap apa aku ini? [wahidnugroho.com]

Lantai 3 LTO

Selasa, 10 Juli 2012

Selamat Memilih Untuk Warga DKI Jakarta


Pilkada DKI tinggal hitungan jam. Setiap pasangan, timses dan pendukungnya pasti tengah berdebar dengan hasil kampanye dan promosi mereka selama kurun waktu beberapa hari belakangan. Saya termasuk yang sedikit mengikuti berita-berita serta tulisan seputar pilkada di ibukota negara ini.

Secara pribadi, saya mendukung salah satu calon yang bertarung di pilkada tersebut dan mendoakan kebaikan serta kemenangan, tentu saja, baginya. Namun tulisan ini tidak akan berbicara tentang calon yang saya dukung. Saya hanya ingin memberikan sedikit tips kepada rekan-rekan warga DKI yang besok akan menggunakan hak politiknya.

Pertama; Pelajari dengan benar dan mendalam mengenai keenam sosok cagub dan cawagubnya serta siapa saja elemen partai yang mengajukannya atau elemen masyarakat yang mendukungnya (bagi calon independen). Saya kira ini penting, karena bagaimanapun akan selalu ada tarik-menarik kepentingan atau politik balas budi dari masing-masing calon kepada pendukungnya itu. Oleh karenanya, pelajari dengan benar dan mendalam kontrak politik yang ada (bila ada) dan pastikan Anda tidak memilih kucing dalam karung. Masih tersisa beberapa jam ke depan, dan sumber informasi yang melimpah ruah baik di ruang nyata maupun maya bisa Anda telusuri secara mendetail.

Kedua; Mari kita niatkan pilihan kita tersebut sebagai bagian dari ikhtiar kita untuk bersama-sama menciptakan Jakarta yang lebih baik, Jakarta yang lebih bersahabat dan aman bagi siapapun yang ada di dalamnya. Sebisa mungkin jangan sampai golput atau tidak memilih. Karena, menurut saya, walaupun tidak memilih itu juga pilihan, tapi menggambarkan keapatisan kita sebagai warga negara yang baik. Kalau pun Anda tidak merasa sreg dengan calon manapun, maka tetaplah datang ke bilik suara dan coblos saja semua calon yang ada. Karena gosipnya, bila ada kertas suara yang tidak terpakai maka itu akan rawan disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Berita soal ini saya kira bisa kita telusuri riwayatnya di tulisan-tulisan yang tersebar di dunia maya.

Ketiga; Mari kita sama-sama berdoa, supaya dari pilkada esok akan terpilih pemimpin yang benar-benar amanah, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta mampu membawa warganya menuju peradabanyang berbudaya positif dan mengedepankan asas saling menghargai dan menghormati kepada sesama anak bangsa, tanpa melihat asal dan agamanya. Mari kita doakan pula agar pemimpin yang terpilih adalah mereka yang menyayangi warganya melebihi sayangnya kepada keluarganya, mereka yang mau dan mampu berkorban demi terwujudnya kesejahteraan, keamanan dan ketertiban masyarakatnya.
Dan terakhir, mari kita doakan agar pilkada esok berjalan dengan aman, tertib, dan bebas dari kecurangan. Kalaupun tidak bebas dari kecurangan, maka mari kita doakan agar mereka yang curang dan tak jujur itu kelak mendapatkan balasan yang adil dan setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Selamat memilih buat warga DKI. Semoga Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa, memberkahi ikhtiar kita dan memberikan kita pemimpin yang adil, amanah, dan takut untuk berbuat dosa kepadaNya. Amin.

Salam hangat dari Luwuk, Sulawesi Tengah.[wahidnugroho.com]


H2, Juli 2012
Tulisan ini juga dimuat disini


Senin, 09 Juli 2012

Hidayat Nur Wahid

Tempo hari saya membaca sebuah tulisan dari salah seorang artis muda Indonesia bernama Panji Pra.. err, saya gak hafal nama panjangnya. Sebut saja namanya Panji. Kalau ada salah ejaan mohon dimaafkan.

Saya tidak kenal Panji, sebagaimana dia pasti tak kenal saya. Yang saya tahu, dia adalah artis muda yang cerdas, kritis, gaul – sebagaimana kebanyakan artis, dan cukup tampak sebagai pemikir. Setidaknya ini kesan yang saya tangkap.

Sebagai seorang artis, wajahnya cukup familiar, tentu. Saya pernah melihat beberapa acaranya di televisi. Beliau juga mantan host sebuah acara dialog interaktif khas anak muda di salah satu saluran televisi swasta yang membahas tema politik dan tema-tema sosial kemasyarakatan yang terjadi di Indonesia. Acara yang sangat bagus di tengah-tengah gelombang hedonisme dan budaya pop yang melanda sebagian acara untuk kaum belia.

Oke, kembali ke soal tulisan.

Panji pernah membuat tulisan tentang dukungannya secara terbuka kepada salah satu calon kandidat Gubernur DKI. Sebuah tulisan yang sangat bagus, argumentasinya juga logis. Saya senang dengan tulisannya. Very open minded, sangat muda, dan aroma ‘beda’nya sangat kuat di sana. Menurut saya tulisan itu sangat layak diapresiasi, terlepas dari unsur subjektifitasnya yang saya kira itu sah-sah saja.

Saya juga ingin membuat tulisan berupa dukungan kepada salah satu kandidat Gubernur DKI. Sayang, saya bukan artis. Nama saya tidak terkenal sebagaimana Panji. Tapi itu tak masalah. Saya hanya ingin berusaha untuk jujur dengan hati saya sendiri sebagaimana Panji yang telah berupaya jujur dengan tulisannya.

Tulisan ini akan berbicara tentang sebuah nama: Hidayat Nurwahid, atau lazim diakronimkan sebagai HNW. Saya lebih nyaman menyebutnya Ustadz.

Saya tidak kenal beliau secara personal. Beliau juga pasti tidak kenal dengan saya. Lagi pula siapa saya sampai beliau harus repot-repot mengenal saya?

Soal kepribadiannya, soal apa dan siapa beliau serta lebih dan kurangnya, ada banyak tulisan yang telah beredar, baik secara digital maupun cetak, yang telah berbicara dengan sangat baik mengenai sosoknya. Tentang komitmen keislamannya, profesionalitasnya, serta integritas dan kebersahajaan hidupnya. Ini sudah menjadi rahasia umum yang nyaris semuanya bisa kita baca.

Sekian banyak tulisan dan informasi yang beredar tentang figurnya tentu akan melahirkan banyak tafsiran. Cari muka lah, pencitraan, kampanye atau apapun. Itu adalah hak mereka untuk berpendapat, dan saya tidak ingin membahasnya dalam tulisan ini. Akan tetapi bagi Anda yang tak gampang lupa, informasi-informasi tersebut tentu sudah Anda dapatkan sejak bertahun-tahun yang lalu, lama sebelum beliau bertarung dalam pilkada DKI.

Kembali soal Ustadz.

Saya merasa bahwa saya tidak terlalu mengenal beliau secara pribadi karena saya belum pernah sekali pun bertemu dengannya. Saya belum pernah berbicara dengannya secara langsung, apalagi berdialog dan berdiskusi dengan beliau. Hanya kisah-kisah tentang beliau yang pernah saya baca dan dengar, sebagaimana Anda yang mungkin juga pernah mendengar kisah-kisah yang sama.

Lalu tulisan ini sebenarnya tentang apa?

Saya memang tidak mengenal beliau secara personal, tapi saya mengenali orang-orang yang berada di balik kerja-kerja beliau. Tidak secara personal, tentu saja, karena saya tidak pernah bertemu orang-orang itu secara langsung, sebagiannya. Tapi jiwa saya dan mereka serasa beresonansi, karena kedekatan fikrah dan ukhuwah tak kasat mata yang terjalin di antara saya dan mereka. Atas resonansi jiwa inilah mengapa saya mencintai dan mendukung beliau.

Terlalu absurd? Anda yang tidak mengalaminya mungkin tidak akan memahaminya karena saya sendiri merasa kesulitan untuk meredaksikan apa yang saya rasa ini dalam bentuk kata-kata. Kadang ungkapan cinta itu tidak membutuhkan penjelasan yang gamblang, karena abstraknya rasa. Anda yang pernah mencinta sesuatu pasti mengerti dengan perasaan cinta yang tak mudah dideskripsikan.

Karena tak mudah mendeskripsikan rasa ini, maka tulisan ini mungkin akan sedikit membingungkan bagi Anda yang sempat membacanya. Tapi tak apalah. Saya hanya ingin menumpahkan apa yang saya rasa dengan apa adanya.

Saya tak dibayar atau diperintah siapapun untuk menulis ini, lagipula siapa saya? Saya hanya satu dari sekian banyak anak bangsa yang dengan tulus hati mencintai dan mendukung beliau. Anda boleh menyebut saya fanatik, atau meredaksikan saya dengan istilah apapun. Silahkan. Saya tidak akan keberatan. Itu adalah hak Anda yang tidak akan saya gugat.

Saya ingin berdoa untuk kebaikan beliau dan keluarga, serta kebaikan bagi kita semua. Dan kepada para warga DKI Jakarta yang akan menggunakan hak pilihnya pada tanggal 11 Juli 2012, semoga kelak terpilih pemimpin yang beriman, adil, serta dapat menjalankan amanahnya dengan baik dan mampu membawa  kemakmuran dan ketentraman rakyatnya. Semoga keberkahan melimpah bagi kita semua. Amin. [wahidnugroho.com]


H2, Juli 2012

Menjelang Subuh di kota Luwuk

Senin, 02 Juli 2012

Subjektif

Beberapa saat yang lalu saya membaca tulisan seorang teman soal resensi, bagaimana meresensi yang baik dan benar, serta teknik-teknik tertentu agar resensi yang kita buat itu enak dibaca dan layak muat di media. Tulisan itu sangat bagus dan sangat mencerahkan. Apalagi bila yang menulis adalah orang yang pernah dan sedang berkecimpung di dalamnya. Tentu tulisan tersebut akan lebih terasa bobotnya.

Saya sendiri mendapatkan banyak pelajaran yang berharga dari tulisan tersebut. Sedikit banyak, saya merasa terkoreksi dengan beberapa poin yang disebutkan sang penulis terkait dengan dunia resensi buku dan pernak-perniknya.

Saya senang meresensi sebuah buku, atau anggap saja seperti itu (Entahlah sepertinya saya terlalu percaya diri dengan mendeklarasikan coretan kecil saya sebagai sebuah resensi?). Membicarakan buku yang sudah kita baca ternyata memiliki keasyikan tersendiri. Ada terapi bagi jiwa dalam aktivitas tersebut. Apalagi bila buku yang kita baca itu menerangi akal dan memberikan kepuasan batin, serasa ada semangat ingin berbagi rasa itu kepada orang-orang yang belum membacanya, serta mencoba untuk meresonansi jiwa-jiwa bersama orang yang telah melahapnya. Ini pendapat saya.

Karena meresensi berhubungan dengan kepuasan batin, saya merasa bahwa tulisan tentang sebuah buku tidak melulu berbenturan dengan regulasi ini dan itu. Pendapat saya ini mungkin terdengar sedikit arogan dan mengundang cemoohan, tapi setidaknya saya berusaha jujur dengan diri saya sendiri.

Saya memang tak suka didikte, apalagi bila bicara soal selera. Saya senang dan puas dengan selera saya dan cukup berbahagia karenanya.  

Itulah sebabnya saya mulai mengganti redaksi “resensi” sebagai ”bincang”. Karena saya merasa bahwa apa yang saya tulis itu tak layak diredaksikan sebagai sebuah resensi. Jadi ketika saya menulis tentang buku yang saya baca, maka saya sedang mengajak Anda untuk berbincang tentang isi buku itu dan segala pernak-pernik yang ada di sekitarnya. Perbincangan ini mungkin akan terasa sedikit membosankan dan penuh aroma subjektifitas, tapi Anda tak perlu khawatir karena hal itu bisa kita kompromikan, tentu saja.

Bila ada yang setuju, maka itu wajar. Bila ada yang tidak, maka tak perlu ada yang dirisaukan. Toh perbedaan pendapat mengenai tema ini tidak menentukan masuk syurga atau tidaknya seseorang. Subjektif. Sungguh tulisan ini terlalu pekat aroma subjektifitasnya.

Mohon maaf.


H2, Juli 2012 

Nongkrong

Hari ini, secara tak sengaja, saya kembali melakukan ritual kecil yang sudah lama saya tinggalkan: nongkrong di pinggir jalan. Yak, nongkrong di pinggir jalan menjadi semacam ritual meditatif yang berbiaya murah namun cukup mampu memulihkan jiwa-jiwa yang penat menjadi segar kembali, at least it works for me.

Jadi ceritanya begini. Tadi sore, seusai mentransfer sejumlah uang kepada sejumlah teman di ATM Mandiri SPBU Simpong, saya memesan bakso gerobakan yang mangkal di dekat situ. Selain saya, ada satu keluarga kecil yang juga menikmati jajanan murmer seharga tak lebih dari tujuh ribu rupiah tersebut.

Ketika menikmati bakso yang terasa agak terlalu asin itu, mata saya tertumbu kepada banyak peristiwa kecil yang terjadi di sekitaran SPBU Simpong tersebut. Sebagaimana yang saya bilang sebelumnya, di situ sebuah keluarga kecil yang sedang menikmati bakso, sekumpulan supir taksi Nambo yang sedang menunggu penumpang, sebuah truk kontainer yang dikemudikan oleh seorang kakek disusul truk lainnya yang di bagian kemudinya diisi oleh sebuah keluarga kecil, dan pemandangan remeh temeh lainnya.

Di seberang SPBU tampak supir Innova sedang mengobrol dengan seorang lelaki di pinggir jalan sehingga membuat kemacetan kecil serta seorang pemuda yang mengendarai Yamaha King berwarna kuning sedang berteriak-teriak tak jelas kepada salah satu supir taksi Nambo yang sedang bercerita dengan sesamanya.

Pernah suatu hari, saya tak ingat kapan persisnya, saya ngobrol dengan seorang lelaki muda penjual bakwan Malang gerobakan. Saya tak ingat persis namanya. Yang saya ingat lelaki itu masih sangat muda, jauh lebih muda dari saya. Belum ada sebulan dia tinggal di Luwuk, akunya, dan kini tinggal di rumah kontrakan dekat masjid Pancasila. “Saya aslinya orang Surabaya, Mas, ke Luwuk ini ceritanya mau nyoba-nyoba”, ujarnya ketika itu. Tebakan saya yang mengatakan bahwa lelaki ini adalah orang Toili ternyata salah.

Lelaki itu ternyata sudah berkeluarga, baru saja menikah tepatnya. Istrinya belum dibawa ke Luwuk karena ia masih ingin melihat sikon yang ada di sini dulu. Saya bertanya apakah gerobak bakwan ini menyewa atau miliknya sendiri. Dengan sedikit tersipu lelaki itu mengaku bahwa gerobak tersebut adalah miliknya sendiri.

Saya takjub sekaligus penasaran. Dengan sedikit lancang saya pun menanyakan penghasilan kotor hariannya. Lelaki itu menyebutkan sejumlah angka, angka yang kurang begitu menggembirakan tampaknya. Saya mencoba membesarkan hatinya dan lelaki itu tampak begitu berterima kasih dengan dukungan basa-basi saya.

Ketika akan membayar, saya menyerahkan uang sebesar sepuluh ribu rupiah kepadanya. Lelaki itu kemudian berkata bahwa ia baru saja keluar dan belum memiliki kembalian. Saya pun menyerahkan lebihannya. Sekali lagi, lelaki itu tampak sangat berterima kasih dengan pemberian setengah hati saya.

Sepertinya saya bercerita terlalu banyak tentang si penjual bakwan Malang itu.

Di kesempatan yang lain saya ngobrol dengan penjual es kelapa, penjual es teler, penjual martabak, penjual roti bakar, penjual bensin, penjual pisang, penjual sayur, penjual lemari kayu, tukang tambal ban, tukang sol sepatu, penjual madu, penjual kue, pelayan rumah makan, tukang parkir, tukang ojek, supir taksi, dan lain-lain.

Selain di pinggir jalan, saya terkadang suka duduk-duduk di pinggir laut. Menikmati hembusan angin, mendengar senandung debur ombak, merasai asinnya udara, sambil mengamati langit yang berwarna biru terang atau hitam pekat. Kadang sambil minum es kelapa muda, kadang sambil makan bakso, kadang hanya ditemani air putih, kadang tanpa apapun.

Ritual ini tidak memakan waktu yang lama. Terkadang saya hanya butuh lima belas menit, terkadang dua kali lipatnya, dan tak sampai empat kali lipatnya. Saya memang membatasi agar ritual ini tidak terlalu memakan waktu yang panjang. Kadang saya melakukannya sepekan sekali dan kadang setelah beberapa bulan saya melakukannya lagi. Tentu saja, ritual ini saya jalani tanpa rencana dan sendirian. Lelaki terkadang butuh momen untuk sendiri, dan inilah salah satu momen saya untuk menenangkan diri dari hiruk pikuk duniawi.

Ah, saya baru ingat kalau aktivitas ini sudah saya lakukan sejak saya kuliah dulu. Teknis dan lokasinya kurang lebih berbeda tapi substansinya tetap sama.

Nongkrong di pinggir jalan selalu menyajikan banyak peristiwa sederhana namun penuh makna bagi saya. Tentang guratan hidup orang-orang pinggiran, tentang kondisi kaum-kaum picisan, tentang kesederhanaan, tentang keruwetan mengenai banyak hal. Selalu ada pelajaran yang bisa saya reguk dari ritual sederhana ini. Mungkin suatu hari nanti, saya akan melakukannya lagi. Entah kapan dan di mana. [wahidnugroho.com]



H2, Juli 2012 

Terima Kasih

Ini sebenarnya agak sedikit memalukan, tapi, baiklah, saya akan membuat sebuah pengakuan kecil lewat tulisan ini. Hari Selasa (3/7) besok saya diundang sebagai pembicara dalam sebuah pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh sebuah organisasi kemahasiswaan di Luwuk. Sebuah kehormatan, tentu saja. Tapi juga membuat saya bertanya-tanya, gerangan dasar apa yang membuat mereka mengundang saya?

Saya bukan seorang penulis beneran. Saya belum pernah menerbitkan buku, kalau sekedar ebook ecek-ecek sudah pernah sekali lah. Saya hanya orang yang suka menulis, entah di notes handphone, atau minimal di blog. Tulisan-tulisan saya hanya berisi ceracauan dan celotehan yang kadang saya sendiri tidak percaya bahwa saya telah menulisnya. It’s hard for me to believe that i’ve just made an article of my own.

Beberapa pekan sebelum permintaan itu hadir, seorang ustadz meminta saya untuk menulis sebuah buku, buku apapun. Saya merasa tidak percaya diri dengan permintaan itu dan sampai hari ini saya masih belum mendapatkan wangsit buku kayak apa yang bakalan saya tulis? Namun ketika mendengar permintaan teman saya untuk menjadi narasumber pelatihan itu tempo hari, saya merasa bahwa ini adalah momen terbaik bagi saya untuk bangkit dan berbenah. Semacam spirit booster, soul trigger, or whatever they call it, agar saya benar-benar dapat memanfaatkan waktu produktif saya menjadi sesuatu yang bernama sesuatu – err.. maaf, saya belum dapat redaksi ciamiknya, jadi saya redaksikan sebagai “sesuatu” untuk sementara.

Dan begitulah. Paska hari itu, saya mulai membuka-buka kembali arsip lama saya yang bertutur tentang dunia tulis menulis. Saya mulai melahap buku-buku yang telah lama saya abaikan di sudut-sudut rumah kontrakan saya yang berdebu. Saya mulai kembali berselancar di dunia maya untuk mencari tambahan referensi agar apa yang saya sampaikan esok – at least – bisa sedikit lebih berbobot ketimbang saya mengoceh tak jelas dan tak tahu arah. If you know what i mean.

Oleh karenanya, dalam tulisan ini saya ingin mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada teman-teman panitia yang telah mengajukan saya sebagai narasumber esok karena permintaan itu – bagaimanapun – telah membangunkan kembali spirit yang telah lama terpendam – cia elah – dengan ketidakpandaian saya memanajemen waktu selama ini (Wow! Sebuah kalimat yang panjang!). Ada semacam rasa penyesalan yang menggumpal di dalam dada ketika waktu-waktu yang terlewat itu tidak dimaksimalkan semestinya untuk mengasah kecintaan saya terhadap dunia literasi ini. Dunia yang telah mengisi nyaris seperempat usia saya sampai sekarang.

Evaluasi ini memang sedikit terasa menyesakkan dada dan saya harus berbesar hati untuk mengakui kelalaian saya selama ini terhadap apa yang seharusnya saya lakukan. Semoga Allah ringankan dada ini untuk menerimanya dan semoga Allah melapangkan jiwa-jiwa para peserta esok, sebagaimana jiwa saya yang tengah lapang saat ini, agar bisa menjadi penulis-penulis yang mampu menggerakkan pembacanya untuk berbuat kebaikan.

Semoga acara esok berlangsung dengan lancar. Dan semoga semua peserta esok tidak makin tersesat dengan celotehan saya. Amin. [wahidnugroho.com]


H2, Juli 2012 

Kebersamaan

Suasana di masjid mungil itu terasa begitu syahdu dan menenangkan usai Shubuh di awal fajar yang berkah. Para jama’ah yang jumlahnya hanya segelintir itu telah kembali ke rumahnya masing-masing. Udara pagi terasa begitu menyegarkan. Matari belum juga menyembul penuh di ufuk timur. Tak ada suara yang berarti kecuali debur ombak di kejauhan dan sayup-sayup suara lantunan tilawah seorang perempuan yang entah darimana datangnya.

Kini tinggal sekitar tujuh orang saja yang berada di masjid tersebut. Wajah-wajah mereka tampak segar dan bercahaya. Dipandu oleh seorang lelaki muda yang tampak berwibawa, keenam lelaki muda lainnya mulai membentuk sebuah majelis kecil dan membuka mushaf mereka masing-masing. Beberapa menit kemudian, yang terdengar hanyalah lantunan hafalan Al Qu’ran dari lisan-lisan yang mulia itu.

Sesekali ada hafalan yang terbata, sesekali salah satu di antara mereka mengoreksi kesalahan bacaan temannya yang lain. Ada pula wajah-wajah yang tertunduk malu karena tak  bisa memenuhi hafalan mereka dengan baik. Sebagian yang lain tampak puas karena telah menyelesaikan hafalannya dengan baik seraya mendapatkan pandangan takjub dari saudaranya yang lain.

Di majelis kecil itulah pelbagai permasalahan mereka bahas dan cari solusinya. Tentang si fulan yang belum jua menikah padahal umurnya sudah lebih dari cukup, tentang kondisi si fulan yang istrinya baru saja melahirkan, tentang fulan lainnya yang anaknya sedang sakit keras, tentang fulan di kecamatan nun jauh di sana yang membutuhkan bantuan pembicara dalam acara kajian, tentang permasalahan-permasalahan sosial, politik, hingga ekonomi umat, baik lokal kedaerahan, nasional dan internasional. Waktu pun terasa berlalu dengan cepat ketika sinar matari mulai menembus lubang udara dan menghasilkan seberkas keceriaan.

Majelis penuh berkah itu diperkaya dengan diskusi yang meriah dan terjaga adab-adabnya. Wajah lelaki muda yang memandu mereka itu tampak sangat serius saat memberi nasihat yang menggetarkan jiwa atau menerbitkan senyum terbaiknya ketika menyampaikan kabar bahagia.

Tidak ada ikatan apapun yang mengikat mereka kecuali cinta. Cinta kepadaNya, cinta kepada umat, dan cinta kepada kebaikan. Semangat mereka menyala ketika mendapati permasalahan yang menimpa saudaranya. Semangat untuk mencari solusi atau semangat untuk sekedar bersimpati.

Bertahun sudah saya membersamai majelis tersebut. Dari satu lingkaran ke lingkaran yang lain. Dari satu semangat ke semangat yang lain. Dari cinta yang satu kepada cinta yang lain. Tak ada yang berubah kecuali kecintaan kami kepada umat ini yang begitu menggebu-gebu. Tak ada yang berganti kecuali amanah-amanah yang semakin berat untuk didaki. Tak ada yang hilang kecuali kemaksiatan yang berkarat di dalam jiwa-jiwa lemah kami.

Tidak ada kebersamaan yang sempurna, sebagaimana tak ada perpisahan yang sempurna. Orang-orang datang silih berganti mengisi majelis kecil tersebut. Ada yang datang, ada yang pergi. Namun cinta di antara mereka tetap sama, kebersamaan di antara mereka tetap terjaga, semangat yang ada di dalam dada mereka masih menyala.

Sesekali mereka berpindah tempat dari satu rumah ke rumah yang lain dengan jamuan sederhana dari tuan rumah yang telah berusaha sekuat tenaga untuk menjamu tamu-tamunya. Sesekali mereka mengunjungi saudara lain yang berjarak ratusan kilometer jauhnya. Demi menuntaskan hajat ukhuwah, demi memandang wajah-wajah yang beberapa waktu lalu hilang dari sapa mereka.

Saya bukan manusia yang sempurna. Saya kerap lupa, khilaf, dan berbuat kesalahan. Namun memupuk kebersamaan dengan wajah-wajah itu selalu menyuntikkan energi tersendiri bagi saya untuk sentiasa memupuk kebaikan dan kemanfaatan bagi diri saya, keluarga, dan masyarakat tempat saya tinggal serta bagi agama yang saya yakini kebenarannya.

Betapa indahnya nikmat kebersamaan.

Allahumma innaka ta’lamu anna haadzihil quluub. [wahidnugroho.com]



H2, Juli 2012

Di tengah tumpukan hutang hafalan yang makin tertatih untuk dipenuhi


Sabtu, 30 Juni 2012

Menulis Adalah Kerja Pewarisan


Malam ini saya termenung-menung di hadapan sebuah buku tebal berjudul Warisan Sang Murabbi. Bukan isi buku itu yang membuat saya termenung-menung, melainkan secarik kata pengantar singkat yang membuka rangkaian tulisan Allahyarham Rahmat Abdullah itulah penyebabnya.

Namun sebelum saya menuliskan alasan kenapa saya termenung, saya ingin sedikit bercerita tentang buku tersebut.

Warisan Sang Murabbi adalah sebuah buku yang disusun dari kumpulan tulisan Ustadz Rahmat Abdullah di kolom Assasiyat yang dimuat di majalah Tarbawi mulai tahun 1999 sampai tahun 2005. Beliau, allahyarham, adalah seorang Syaikhut Tarbiyah, salah satu pendiri Partai Keadilan, dan seorang ulama-di-balik-layar yang tutup usia pada tahun 2005 yang lalu dikarenakan sakit.

Tulisan-tulisan pendek Ustadz Rahmat itu memiliki ciri khasnya sendiri. Bahasanya nyastra, pola pemikirannya cenderung sirkular, dan selalu menggunakan perumpamaan-perumpamaan. Terkadang beliau menulis dengan ceplas-ceplos, satir dan sesekali bernada nyinyir. Butuh tenaga ekstra untuk memeras saripati pesan yang coba disampaikan beliau dalam setiap tulisan-tulisannya. Tak jarang, saya harus mengulangi membaca tulisannya hingga beberapa kali agar bisa sekedar memahami kulitnya saja.

Majalah Tarbawi adalah salah satu majalah Islam yang paling saya sukai. Ada tiga kolom yang menjadi favorit saya dari majalah tersebut: kolom Assasiyat yang diasuh oleh Almarhum Ustadz Rahmat Abdullah, kolom Ruhaniyat yang diasuh oleh Ustadz Muhammad Nursani, dan Serial Kepahlawanan – belakangan disusul oleh serial-serial lainnya – yang diasuh oleh Ustadz Muhammad Anis Matta.

Awal mula interaksi saya dengan majalah Tarbawi adalah ketika saya sekolah di SMAN 90 Jakarta. Dulu, di Mushola Assadariyah, sebagai markasnya anak-anak Rohis, ada banyak majalah Islam yang bertebaran di sana, termasuk majalah Tarbawi. Sebagai siswa kere yang uang jajannya terbatas bahkan terkadang tidak ada sama sekali, saya kerap menghabiskan waktu istirahat pertama untuk menunaikan shalat Dhuha, tilawah, atau sekedar tidur-tiduran dan ngobrol dengan teman-teman Rohis di mushala yang kini sudah difungsikan sebagai tempat shalat khusus wanita itu. Dari aktivitas membaca majalah Tarbawi itulah saya bertemu dengan tulisan-tulisan Ustadz Rahmat.

Tulisan pertama yang saya baca ketika itu adalah dari sebuah majalah Tarbawi lama, yang saya tak ingat persis edisi dan tahunnya, berjudul Bandung-Washington-Ghaza: Dialog Imajiner Antar Aktor Sejarah. Sebuah tulisan pendek yang berkisah tentang dialog fiktif antara tokoh mujahidin pembebas Palestina Syaikh Izzuddin Al Qassam; Muhammad Toha, pelaku bom bunuh diri (saya lebih suka meredaksikannya sebagai Bom Syahid) yang juga komandan Barisan Rakyat Indonesia dalam epik sejarah Bandung Lautan Api; serta Thomas Jefferson, presiden Amerika Serikat yang ke dua. Anda yang pernah membaca artikel ini pasti tahu betul dengan kepiawaian Ustadz Rahmat merangkai tokoh sejarah lintas benua dan zaman itu dalam satu situasi dialog yang cerdas dan penuh pelajaran. Sejak saat itu, saya langsung jatuh cinta dengan tulisan-tulisan beliau setelah sebelumnya saya terpesona dengan tulisan-tulisan lainnya di kolom Ruhaniyat dan Serial Kepahlawanan.

Setelah beberapa kali membaca tulisan-tulisan beliau, saya merasa bahwa sekedar membaca saja tidak cukup. Saya bertekad untuk mengumpulkan tulisan-tulisan yang saya anggap menarik itu dalam satu bundel khusus sehingga saya bisa menikmatinya setiap saat tanpa harus membuka-buka majalahnya.

Pada suatu hari saya pernah mendapatkan banyak sekali majalah Tarbawi usai perhelatan hari besar Islam di sekolah kami, dimana Tarbawi menjadi salah satu sponsornya dan memberikan banyak sekali majalah-majalah lawas mereka. Ketika sebagian teman saya yang lain tidak mengacuhkan ‘peninggalan’ itu, mata saya justru berbinar. Dengan rakus saya mulai mengumpulkan edisi-edisi yang berbeda tersebut dan memfotokopi tiga kolom favorit saya itu untuk saya jadikan sebagai tiga jilid – anggap saja – buku: kumpulan fotokopi Assasiyat, kumpulan fotokopi Ruhaniyat, dan kumpulan fotokopi tulisan-tulisan Anis Matta yang ketika itu masih berupa Serial Kepahlawanan. Mulai hari itu, tiga jilid fotokopian tersebut adalah barang yang berharga bagi saya yang tentu saja volumenya selalu bertambah seiring makin bertambahnya edisi majalah Tarbawi. Entah dengan cara saya membeli sendiri majalah tersebut atau dengan cara meminjam majalah teman.

Awalnya saya membaca buku itu sekedar untuk berwisata intelektual dan saya menikmatinya dengan penuh penghayatan. Namun ketika buku UntukmuKader Dakwah yang diterbitkan oleh Pustaka Dakwatuna dan buku Pilar-Pilar Asasi (belakangan diperkaya menjadi Warisan Sang Murabbi) yang diterbitkan oleh Tarbawi Press lahir, saya mulai memahami tentang arti dan posisi seorang Ustadz Rahmat di mata para murid dan pengagum-pengagumnya, termasuk saya yang secara ikhlas dan ridha ingin mengaku sebagai salah satu pengagum beliau.

“Misi utamanya adalah pewarisan”.


Kalimat singkat inilah yang membuat saya, sebagaimana yang saya sebutkan di awal tulisan, termenung. Sebuah kalimat yang tertulis dalam Pengantar Penerbit di buku Pilar-Pilar Asasi itu sungguh telah menggugah relung terdalam hati saya akan makna sebuah tulisan.

“Sebab ini bukan soal suka membaca atau tidak. Tapi bagaimana kami menjembatani proses pewarisan itu.”


Sampai di sini saya mulai memahami mengapa Allah menurunkan surat Al Qalam yang bermakna pena, mengapa ayat terpanjang dalam Al Qur’an berbicara tentang menulis perihal hutang-piutang, mengapa Al Qur’an yang tadinya dihapal kemudian harus dituangkan dalam bentuk tulisan, mengapa kisah orang-orang shalih bernama Wadd, Suwa, Yaghut, Ya'uq, dan Nasr menjadi diberhalakan karena tiadanya objek tulisan, mengapa Hasan Al Banna, disela-sela kesibukan beliau mengasuh umat yang terjajah, yang sungguh di luar akal sehat, bisa mengasuh pula majalah, koran dwi mingguan, koran harian, sampai menulis catatan-catatan harian serta sebuah memoar, mengapa seorang Sayyid Quthb dan Buya Hamka yang dipenjara oleh rezim tiran masih sempat menulis sebuah tafsir fenomenal,  dan mengapa seorang Syaikh Jum’ah Amin Abdul Aziz menelusuri dokumen-dokumen lama serta mencari kembali artikel-artikel lawas yang berserakan itu menjadi berjilid buku yang berjudul Tarikh Al Ikhwan Al Muslimun, mengapa seorang Ahmad Isa Asyur harus 'repot-repot' menyalin semua transkrip ceramah-ceramah Hasan Al Banna menjadi sebuah catatan sejarah yang sangat penting yang kini kita kenal sebagai Ceramah-Ceramah Hasan Al Banna, semua itu tak lain dan tak bukan adalah karena menulis adalah sebuah kerja pewarisan. Mereka yakin bahwa apa yang mereka tuliskan adalah warisan paling berharga yang bisa mereka tinggalkan kepada generasi mendatang setelah mereka tiada.

Ketika kita menulis, maka seharusnya kita tak perlu risau apakah tulisan kita dibaca orang atau tidak, apakah tulisan kita bisa dimengerti atau tidak, apakah pikiran yang ada di kepala kita itu perlu untuk dituliskan atau tidak, karena ini adalah soal pewarisan. Pewarisan yang akan menjembatani kita dengan anak cucu kelak, pewarisan yang akan memaknai seberapa berarti diri kita di masa depan kelak, dan pewarisan yang akan menentukan posisi kita di hadapanNya kelak.

Karena menulis adalah sebuah kerja pewarisan, maka hanya warisan yang terbaik sajalah yang akan kita tinggalkan untuk generasi mendatang kelak. Hanya warisan yang bermakna dan berdaya guna sajalah yang akan kita berikan kepada penerus kita kelak. Hanya warisan yang menggugah kesadaran dan mengunggah keimananlah yang akan kita sampaikan kepada generasi mendatang.

Maka, ketika generasi saat ini tengah asyik-masyuk dengan kegalauan dan kebanci-bancian, ketika generasi saat ini tengah sibuk dengan perkara-perkara material semata, atau ketika generasi saat ini menjadi generasi pembangkang yang tak mengerti arti sebuah tata krama dan etika, atau ketika generasi muda islam saat ini tak mengerti hakikat hidupnya di dunia dan tenggelam dalam nafsu dunia saja, maka pertanyaan paling mendasar yang wajib kita lontarkan saat ini adalah: gerangan warisan apa yang telah ditinggalkan oleh generasi sebelum kita?

Dan ketika generasi saat ini masih berada dalam lembah kebingungan sebagaimana yang saya sebutkan di atas, maka warisan seperti apakah yang kelak akan mereka tinggalkan bagi generasi sepeninggalnya? Warisan apakah yang akan kita tinggalkan untuk generasi penerus kita? Warisan apakah yang akan saya tinggalkan untuk anak cucu saya?

Maha Benar Allah yang telah berfirman dalam surat An Nisa ayat 8 yang berarti,

“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.”


Dan hanya kepada Allah-lah kita menyembah dan memohon pertolongan. [wahidnugroho.com]


H2, Juni 2012 


Minggu, 10 Juni 2012

Buku Adalah (Salah Satu) Simpul Kebahagiaan


Ada banyak sekali simpul-simpul kebahagiaan dalam diri saya, dan buku adalah salah satunya. Buku, bagi saya, adalah salah satu sumber kebahagiaan hidup. Memandangi tumpukan dan jejeran buku di lemari mungil saya menghadirkan kebahagiaan tersendiri bagi saya. Membuka-buka halamannya, merasai bau khasnya, serta membaca kembali catatan-catatan kecil yang biasa saya buat di setiap lembarnya menambah kadar kebahagiaan itu menjadi berlipat ganda. Apalagi bila saya berhasil menamatkan sebuah buku, bahagianya sungguh tidak kepalang.

Ada kebiasaan kecil yang biasa saya lakukan ketika membeli buku. Saya akan menstempel buku itu dengan sebuah cap berwarna merah yang bertuliskan “Buku Ini Milik Wahid Nugroho” beserta nomer seluler saya di bawah tulisan itu. Buku yang baru saya beli biasanya akan saya bubuhi tanda tangan pada lembar pertamanya serta tanggal, bulan, serta tempat saya mendapatkan buku tersebut. Jika saya sudah menamatkan sebuah buku, biasa pada halaman terakhirnya akan saya tuliskan tanggal serta tanda tangan sebagai pengingat bahwa saya pernah menamatkan buku tersebut pada tanggal, bulan dan tahun sekian. Poin terakhir ini tidak selalu saya lakukan melainkan sesekali saja.

Siang ini, sepulang dari pantai bareng anak dan istri, saya memutuskan untuk merapihkan koleksi buku saya. Aktivitas yang sudah cukup lama saya tinggalkan karena kesibukan dan kemalasan. Sambil melap kover buku dengan tisu basah dan kering, aktivitas beberes itu saya sambi dengan membuka-buka beberapa buku yang sedang saya timang.

Ada buku Najib Kailani berjudul Meretas Kebebasan yang saya beli ketika Prajab di Manado tahun 2007 yang lalu. Atau buku berjudul Lelaki Penggengam Hujan-nya Tasaro GK yang saya habiskan dalam sehari semalam saat mengantar istri ujian CPNS di Palu tahun 2010 yang lalu. Saya selalu menyempatkan diri membeli buku ketika bepergian kemanapun. Saya juga selalu membawa buku kemanapun saya pergi.

Saya sangat suka memandangi deretan buku di dalam lemari kecil saya. Sesekali saya mengeluarkan beberapa di antaranya untuk dibersihkan atau sekedar dibaca-baca ulang. Meresapi segenap kenangan yang terjadi ketika buku itu pertama kali saya beli atau baca. Terkadang, saya hanya memandangnya. Membacai judul, penulis dan penerbitnya saja sudah menjadi semacam ekstase tersendiri bagi saya.

Suatu hari, saya pernah berkata kepada istri saya perihal buku-buku ini.

“Aku ingin supaya anak-anakku nanti suka baca buku. Aku gak peduli mereka mau rangking sepuluh atau rangking satu. Aku berharap mereka suka sama buku.”

Dan salah satu pemandangan yang sangat membahagiakan bagi saya adalah ketika melihat anak-anak saya itu tumbuh dan berkembang dengan buku-buku yang ada di sekitarnya. Tak mengapa mereka mencoreti, menggambari serta merusak beberapa buku koleksi saya, walau – jujur saja – terkadang saya dibuat sedikit kesal karenanya. Tapi rasa kesal yang sedikit itu tak sebanding dengan kebahagiaan yang saya rasa.

Saya sering bercerita kepada istri perihal masa depan buku-buku saya itu. “Saya ingin membuat perpustakaan pribadi”, aku saya kepada istri. Kelak rumah kita tak butuh hiasan dinding, tak perlu ada foto-foto atau pernak-pernik lainnya, karena hanya akan ada buku-buku yang mengisi setiap sudut dan sisinya. Kelak rumah kita tak butuh banyak perabot kecuali hanya lemari-lemari kayu yang berisi buku, atau meja-meja kecil yang disesaki buku.  

Ketika tetamu datang, maka buku-buku yang berbaris di dindinglah yang akan menyambut pandangan mata mereka. Cover-covernya yang sudah terdata rapi. Aroma khas kertasnya yang bercampur dengan minyak dan keringat yang merembesi kulit jemari. Di sudut ini akan saya isi dengan buku-buku agama. Di sisi yang lain akan saya isi dengan buku-buku sejarah. Di sisi sebelah sana akan saya isi dengan buku-buku sastra.

Ah, berkisah tentang buku memang takkan ada habisnya. Apalagi bila kehadirannya berbanding linear dengan kadar kebahagiaan di dalam jiwa. Saya akan sudahi celotehan tanpa makna ini, karena kerinduan saya dengan buku sudah begitu membuncah dan menuntut saya untuk segera membacanya.

Bagaimana dengan Anda? Hal kecil apa yang bisa membuat Anda bahagia? [wahidnugroho.com]


H2, Juni 2012 

Senin, 21 Mei 2012

Maafkan Abi, Nak


Hari itu saya merasa suntuk. Ada begitu banyak hal yang sedang berkecamuk dalam kepala saya. Ditambah dengan buruknya kondisi ruhiyah, dunia terasa begitu sesak di mata saya. Senyum menawan istri yang biasanya selalu menyejukkan jiwa kali ini tak mampu mengusir gejolak yang membara di dalam dada. Celotehan anak-anak yang biasanya terasa menentramkan kini begitu memekakkan telinga. Saya sedang mencari ketenangan ketika itu.

Ketika rasa suntuk itu sudah sampai pada puncaknya, kedua putri saya mengajak bermain. Dengan enggan saya mencoba untuk menghalau polah gesit mereka ditambah teriakan-teriakan khasnya. Saya sedang tidak ingin diganggu (tapi apa mereka tahu itu?).

Salah satu putri saya meminta saya untuk menggendongnya, tapi saya menolak – saya kira dengan cara yang kurang baik –. Ketika putri saya mulai menangis, saya hanya bisa terdiam. Wajah saya ketika itu mungkin tampak masam.

Begitu juga ketika putri saya yang lain mulai berteriak – entah apa yang saat itu diteriakkannya –, saya membuat isyarat telunjuk di mulut untuk menyuruhnya diam. Tentu saja sambil dibumbui pelototan mata agar putri saya langsung terdiam. Tapi teriakannya urung berhenti, bahkan bertambah keras yang membuat wajah saya semakin kecut. Bahkan tak jarang tangan ini harus mencubit kulit lembut mereka yang membuat mereka menangis sejadinya.

Entah apa yang sedang terjadi dengan saya ketika itu?

Dini hari tadi saya terbangun dan melihat kedua putri saya yang tengah tertidur nyenyak di sisi saya – dengan berbagai pose lucunya. Istri saya sudah jauh terlelap di kamar bersama Gendis, putri ke tiga saya. Sambil memandangi bekas iler yang mewarnai pipi gembil mereka berdua, saya berpikir betapa tak berdosanya anak-anak ini? Wajah mereka begitu bersih dan suci dari dosa. Hiruk pikuk dunia belum mereka hiraukan. Hari-hari mereka hanya diisi dengan bermain, menangis, tertawa, kadang merengek untuk meminta sesuatu, dan berteriak-teriak kedinginan kala saya mandikan dan malu-malu saat mereka hendak meminta diantar buang air besar.

Malam itu, sambil menciumi pipi mereka berdua yang berbau kecut – bau yang paling saya sukai – dan membelai rambut lembutnya, memori saya mulai memutar kembali hari-hari yang telah lewat bersama mereka. Kelucuan-kelucuan yang tercipta dari polah tingkah mereka. Kekesalan-kekesalan yang muncul karena ketidaktahuan dan kepolosan mereka. Ketika hati ini terasa keruh, polah tingkah yang lucu dan polos itu kadang berbuah cubitan kecil atau pelototan mata.

Ketika mengenang masa-masa yang telah lewat itu, tak terasa, air mata saya meleleh perlahan. Saya akui bahwa saya telah melakukan banyak kesalahan saat membersamai tumbuh kembang mereka. Ada begitu banyak kekhilafan saya yang tertimbun di relung jiwa mereka dan kelemahan-kelemahan saya yang membuat secuil kebahagiaan mereka menjadi ternoda. Malam itu saya segera membisikkan kata-kata maaf dan penyesalan saya kepada mereka berdua yang tengah terlelap. Saya tahu itu tak cukup, tapi saya merasa bahwa saya harus melakukannya demi meluaskan sesak yang membuncah di dalam dada. 

Saya merasa tak sanggup untuk melanjutkan kegelisahan ini. Semakin banyak saya menulis, saya merasa bahwa semakin banyak penyesalan yang akan saya buat. Semoga kesalahan dan kekhilafan di masa silam itu bisa saya perbaiki hari ini, esok, hingga akhir hayat kelak. Moga Allah kuatkan dan pantaskan diri ini untuk menjalankan amanah terbaikNya itu dengan sebaik-baiknya. Dan hanya kepadaNya kami meminta pertolongan. Amin. [wahidnugroho.com]



H2, Mei 2012 

Senin, 26 Maret 2012

Abi Tiga Putri

Ada semacam tuduhan – kalo boleh saya meredaksikannya demikian – bahwa kehamilan istri saya kali ke tiga yang lalu itu saya niatkan untuk mencari seorang putra. “Mau nyari anak lanang ya?”, begitu tanya beberapa kenalan saya. Biasa saya akan tersenyum saja menanggapi ‘tuduhan’ itu. “Saya lebih suka kalau yang lahir kelak anak perempuan”, jawab saya mantap.

Apa yang saya niatkan itu memang tidak populer di kalangan keluarga. Ibu dan mertua saya menghendaki cucu lelaki, sementara istri saya tampaknya ikut bersekongkol dengan beliau berdua dengan berkata bahwa ia pingin punya anak lelaki. Tapi saya tetap bergeming. Saya lebih suka diberi anak perempuan lagi, meski tak menolak kalau ternyata yang lahir kemudian lelaki.

“Yang penting bayinya sehat dan kamunya juga sehat, Mi”, ujar saya kepada istri. Perkataan yang cukup sering saya lontarkan ketika obrolan pra kelahiran sudah mengarah ke masalah gender si jabang bayi.

Tema gender ini, jujur saja, agak sensitif bagi saya. Saya cukup terganggu dengan tema itu. Saya tak pernah menganggap bayi laki-laki lebih baik dari perempuan, dan sebaliknya. Sejujurnya saya memang tidak perduli sama sekali soal itu. Saya hanya berharap bahwa janin yang dikandung oleh istri saya ini terlahir ke dunia dengan selamat dan sehat, begitu juga umminya, serta tumbuh menjadi insan yang beriman, bertaqwa, serta mampu menebar manfaat bagi sesamanya. Sesederhana itu. Tak perduli anak itu laki-laki atau perempuan.

***

Di pagi menjelang siang dengan mataharinya yang bersinar cukup terik itu, saya dan istri tengah bersiap untuk pergi ke klinik bersalin Irene di Karaton. Sambil membawa beberapa barang yang kami perlukan, saya memboncengnya di belakang motor mungil kami. Tak lupa, kedua bayi gesit di rumah sudah saya percayakan kepada ibu.

Pada pukul 12.41 WITA, tanggal 21 Maret 2012 atau bertepatan dengan 28 Jumadil Awal 1433 H, lahirlah buah hati ke tiga kami itu dengan selamat. Berbobot 3.300 gram dan panjang 50 cm. Seorang bayi perempuan yang gesit dan sehat dengan tangis kerasnya yang membelah siang kala itu. Ada rasa haru yang membuncah ketika saya menatap wajah sucinya, mengazankan dan mengiqomahkannya dengan segenap hati. Ah, betapa bahagianya hati ini dengan kelahiranmu, nak.

Ketika melihat wajah mungilnya, saya teringat dengan kedua putri gesit saya di rumah. Betapa momen membahagiakan seperti ini selalu membawa energi baru bagi saya untuk menjadi kepala keluarga yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Saya merasa telah menjadi lelaki seutuhnya, meski saya akui ada sedikit ketakutan yang membenih di dalam hati bila suatu hari nanti saya harus berpisah dengan ketiga putri saya itu. Moga Allah lapangkan hati ini untuk menjalani hari itu.

Oh iya, putri ke tiga ini kami berikan nama: Gendis Matryoshka Nugroho. Gendis, nama panggilannya. Semoga kelak ia menjadi ibunda yang berlaku manis bagi sesamanya dan melahirkan keturunan yang memberi rasa manis pada hidup yang terkadang pahit ini. Amin.

Terakhir, doa saya kepada ketiga putri tercinta kami:

Rabbi habli muqimasshalati wa min dzuriyyati
Rabbana hablana min azwajina wadzurriyyatina qurrata a’yun, waj’alna lilmuttaqiina imaama

Aamiin ya mujiibassaailiin.. [wahidnugroho.com]



H2, Maret 2012

Selasa, 07 Februari 2012

Pernikahan Itu Membebaskan, Bukan Membatasi

Saya tidak hendak mengajari soal pernikahan. Toh usia pernikahan saya masih sangat belia dan belum seberapa. Masih ada banyak orang yang bisa lebih handal berbicara tentang tema ini. Saya hanya ingin menulis tentang sebuah tema yang cukup menggelisahkan beberapa (atau banyak?) lajang terkait “kebebasan” diri mereka yang akan terkoreksi ketika menikah. Ada semacam ketakutan yang menghantui para lajang itu untuk mengikatkan diri dalam sebuah komitmen bernama pernikahan. Ketakutan bahwa dirinya tak lagi sebebas dulu, tak lagi sefleksibel dulu, tak lagi se-“semau gue” seperti dulu, dan hal-hal lain yang tidak begitu serupa tapi kurang lebih intinya sama.

Apakah pernikahan itu akan membebaskan atau justru malah membatasi?

Si Fulan misalnya. Usia sudah cukup, finansial sudah oke, tampang juga nggak mengecewakan, tapi sampai detik ini tak kunjung menikah. Alasannya, “Gue takut nggak bisa bertanggungjawab, lha ngurus diri gue sendiri aja masih amburadul gini mau ngurus anak orang”.

Si Fulanah lain lagi alasannya. Sebagai perempuan yang aktif dan dinamis (bahasa lain dari “nggak bisa diem”), ikatan pernikahan membuatnya takut untuk kehilangan momen-momen penuh kebebasan itu dan “hanya” ngejogrok aja di seputaran dapur-sumur-kasur.

Atau si Fulan lainnya yang berpendapat bahwa pernikahan membuatnya takut untuk mendapatkan jodoh yang “nyetel” sama dia. “Gue takut nggak dapet chemistry-nya”.

“Pernikahan akan menghalangi saya untuk menuntut ilmu”. Ini kata satu dua teman saya lainnya.

Saya kira, ketakutan atau kekhawatiran itu wajar dan normal. Saya juga dulu merasa seperti itu. Tapi setelah direnungkan secara mendalam, ketakutan-ketakutan itu sebenarnya wujud lain dari ketidakdewasaan kita. Semacam perasaan kekanak-kanakan yang takut untuk diserahi sebuah tanggungjawab dan ketidakmampuan kita untuk keluar dari kepompong masa remaji-remaja yang penuh canda dan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu kedewasaan.

Tapi saya tidak ingin menyalahkan “ketakutan” para lajang itu. Saya bersimpati dengan kegelisahan mereka dan mencoba untuk memahaminya sedikit demi sedikit, berhubung perasaan seperti itu pun pernah mengakrabi saya. Pesan saya kepada mereka singkat saja. Cobalah untuk jujur pada diri kita sendiri, membuka diri kita seluas-luasnya terhadap hal-hal yang baru, serta meluruskan kembali niat dalam diri ini, “Untuk apa saya menikah?”

Paradigma apakah saya akan semakin bebas setelah menikah atau justru merasa dibatasi sebenarnya akan kembali lagi ke niat awal itu. Ketika niat itu lurus, bersih, dan hanya karenaNya, tentu hal-hal remeh nan sepele takkan mengganggu perjalanan yang agung ini. Ketika keikhlasan lebih mendominasi ketimbang ego diri dan timbangan pribadi, tentu hanya keberkahan dan keindahan dalam pernikahan yang kita jalani. Riak dan goncangan itu sunatullah adanya. Laut berombak pun perlu diarungi demi menuju pantai penuh kedamaian yang dinanti. Ini memang perkara kualitas kedewasaan kita. Bila kita menyerah untuk melangkah hanya karena hal remeh nan sepele, bisa jadi memang kadar kedewasaan dalam diri ini yang perlu dikoreksi kembali.

Mohon maaf. [wahidnugroho.com]


H2, Februari 2012