Sabtu, 21 Januari 2012

Tentang Putri-Putri Kita


Gadis muda berseragam SMA dengan balutan jilbab abu-abu itu terlihat begitu cantik dan manis. Lengkap dengan tas ransel kecil yang menempel di punggungnya dan netbook case berwarna hitam yang disandang di tangan kirinya, ia berpamitan kepada sang ibu di ujung pintu rumahnya. Setelah mencium tangan sang ibu dan menguluk salam, gadis muda itu segera beranjak ke sekolah.

Di seberang rumah sang gadis, tampak seorang pemuda yang – sepertinya – sedang menanti kedatangan si gadis manis itu. Duduk di atas motor matic berwarna hitam, pemuda bersweater kuning cerah dan bertopi bisbol itu tampak melambaikan tangannya kepada sang gadis tadi. Sementara senyum sang pemuda mengarah kepada sang gadis, tampak kepulan asap rokok berhamburan dari wajah lusuh pemuda itu. Beberapa detik kemudian, si gadis manis sudah duduk di belakang sang pemuda lusuh itu, meninggalkan ibundanya yang masih berdiri di pintu rumahnya dengan pandangan masygul.

Entah apa yang sedang menggeliat di dalam pikiran sang ibu ketika melihat putri belianya berangkat sekolah dengan dibonceng oleh lelaki – yang mungkin – belum dikenalnya itu. Saya bisa bilang “belum dikenal” karena tak ada tanda-tanda si lelaki menguluk salam tanda berpamitan kepada ibunda sang gadis ketika ia menarik tuas gas maticnya barusan.

Apakah ibu itu khawatir ketika melihat sang putri dibonceng oleh lelaki yang tidak dikenalnya, tanpa sopan santun pula? Apakah ibu itu cemas dengan pergaulan putrinya jika dilihat dari dandanan si pemuda? Raut wajah sang ibu yang tampak gundah ketika melihat pemandangan barusan itu seolah mengajari saya banyak hal karena bagaimanapun saya adalah orangtua dari dua orang putri yang cantik lagi gesit. Ah, seperti inikah perasaan sebagai orangtua?

Saya kadang ingin bertanya kepada para pemuda – bukan lelaki – yang, katakanlah, berpacaran dengan putri-putri belia itu. Apakah pemuda itu tidak berpikir ketika mereka mempunyai kakak perempuan, adik perempuan, atau bahkan putri-putri mereka, yang diajak pergi oleh orang asing yang tiada dikenalnya? Tidakkah mereka akan khawatir, cemas, gelisah, dan tak tenang ketika mengetahui bahwa kakak perempuan mereka, adik perempuan mereka, atau putri-putri mereka dinodai kehormatannya oleh pria yang tidak bertanggungjawab dan tidak dikenal pula?

Perempuan adalah lambang kehormatan sebuah keluarga. Ketika perempuan tak lagi bisa dijaga, maka apalagi yang bisa dijadikan sebagai perisai kehormatannya? Ketika harga diri seorang perempuan – kakak, adik, dan anak-anak perempuan kita – dengan mudahnya dilanggar oleh orang lain, tidakkah itu akan menorehkan luka dalam hati kita? Itulah mengapa Islam menganggap wanita sebagai tiang negara. Ketika wanita terpelihara dan terjaga kehormatannya, maka berbanding luruslah dengan kehormatan sebuah negara. Dan Islam juga pulalah yang mengatur bahwa setiap laki-laki akan dimintai pertanggungjwaban atas empat orang wanita yang hidup bersamanya: istrinya, anak-anaknya, saudara perempuannya, serta ibunya.

Moga Allah mudahkan urusan kami dalam menjaga perempuan-perempuan yang telah diamanahiNya kepada kami. Amin. [wahidnugroho.com]


H2, Januari ‘12

Kamis, 19 Januari 2012

Naskun Di Luwuk

Selama “terdampar” di Luwuk, ada beberapa spot warung naskun (nasi kuning) yang recommended menurut saya. Beberapa masih eksis sampai sekarang, dan beberapa udah pindah atau nggak tau dimana rimbanya. Oh iya, berhubung ini pendapat pribadi jadi ya sifatnya subjektif banget ya. Kalo ente ngerasain hal yg sama, berarti selera kita kurang lebih sama.

Oh iya, naskun bagi orang Luwuk itu mungkin kayak Nasi Uduk buat orang Jakarta kali ya. Menu sarapan yang lazim ditemuin di pagi hari bagi ente yang tinggal di Luwuk, dan kadang juga ada yang bakulan naskun malem-malem.

Naskunnya standar kayak naskun-naskun laennya. Cuman yang bikin beda itu topping dan sambelnya. Di Luwuk, naskunnya sederhana banget. Paling cuman ditemenin sama acar bihun yang dicampur sama suwiran ikan cakalang. Kalo mau beda dikit ada yang naskunnya pake bakwan ato telor rebus. Dan – sebagaimana yang saya sebut di atas – tingkat kepedesan sambel adalah pembeda yang paling mencolok antara naskun yang leker sama yang biasa-biasa aza (maklum, daku sambel-freak sih hehe).

Urutan di bawah ini bukan nunjukin peringkat, cuman saya ketik sesuai ingatan saya aja.

Pertama, Nasi Kuning Jaton (Pelita)

Tau Jaton? Jaton adalah singkatan dari Jawa Tondano. Yap, penjual naskun ini berasal dari Jawa Tondano, meski doi ngakunya orang Banten bukan orang Jawa (lho?). Dengan warung imutnya, Naskun Jaton gak bisa dipandang enteng dari segi rasa. Nasinya pulen, rasanya gurih jiddan, dan pajabu ikan cakalang yang endang bambang. Belom lagi kering tempenya (orang Luwuk biasa nyebut “Acar”) yang kemeripik dan berbumbu pliket membuat warung imut ini sempat jadi langganan sarapan saya selama medio 2008-2010. Oh iya, yang paling “legend” dari naskun ini adalah sambalnya yang pedes syaithon. Padahal di awal rasa sambelnya agak-agak manis. Tapi lama-lama rasanya bikin keringet jagung nongol di jidat. Konon, kata si ibu penjualnya, kalo ada langganannya yang orang Manado beli naskun di sini, mereka berani bayar lebih buat nebus satu dua sendok makan sambelnya. Makanya gak heran kalo stok sambel di warung ini bisa nyampe 2 baskom gede.

Sayang ownernya udah pindah ke Manado karena ngikut sang anak. Dan dengan pindahnya sang owner, praktis nggak ada lagi naskun Jaton yang rasanya maknyoss itu.

Kedua, Nasi Kuning Wijayanti (Pelita)

Kalo ini induk-semang alias empunya kos-kosan temen sekantor saya. Dari segi naskunnya gurih dan berasa banget santennya. Taburannya juga beragam. Tapi yang paling sering ya ikan cakalang suwir yang dibalado pedes dan bihun tumis. Seporsi harganya cuman goceng, tapi udah ngenyangin banget.

Ketiga, Nasi Kuning Pasar Simpong

Penjual nasi kuning ini om-om paruh baya, orang Gorontalo. Biasanya si om ini ada di tekapenya pagi-pagi sambil bawa termos nasi yang gede banget dan nongkrong di salah satu sudut pasar dekat penjual buah. Naskunnya dari segi penampakan sih biasa-biasa aja: dibungkus daon pisang, plus acar bihun dan cakalang suwir. Harga naskunnya cuma noceng, tapi rasanya cuy, leker banged dah. Dan yang paling fenomenal itu sambelnya yang iblis banget pedesnyah. Saia sampe sakit perut gara-gara nenggak naskun ini 3 bungkus sekali makan hahaha (secara imut-imut banget ukuran naskunnya).

Sayang, sejak kebakaran Pasar Simpong beberapa waktu yang lalu, saya udah nggak dapet lagi dimana tempat nongkrong si Om ini.

Keempat, Nasi Kuning Pasar Sentral

Kalo ketiga tempat makan naskun di atas udah jadi langganan saya sejak lama, nah yang terakhir ini baru aja jadi tempat makan favorit saya gara-gara dikasih tau sama mertua yang sering banget muji-muji rasanya Naskun Pasar Sentral. Lokasi lapaknya lumayan nyempil. Kalo ente lewat Cokro 2000, di depannya kan ada warung makan Bakso tuh (lupa nama warungnya apa), nah, di sebelah warung bakso itu ada gang sempit. Masuk aja ikutin gang sempit itu. Ntar ente bakal ketemu sama antrian orang yang lagi beli naskun di situ.

Antrian? Yup, antrian cuy. Orang yang beli di situ biasa beli naskunnya lebih dari 5 bungkus. Padahal sebungkus yang harganya tiga rebu aja udah banyak. Tapi emang nagih banget sih rasanya. Dan kayak kebanyakan orang Gorontalo yang jago bikin naskun enak, naskun ini juga endang bambang banged. Acar bihunnya maknyus dan berasa banged bumbunya. Belom sambelnya yang pedes mamp*s. Bikin saia gak cukup makan sebungkus kalo nenggak naskun ini. Oh iya, waktu jualan Naskun Pasar Sentral ini mulai bakda Maghrib sampai tengah malem. So, kalo lagi laper tengah malem en pengen cari makanan yang murmer tapi laziz jiddan, satronin aje lapak naskun yang satu ini gan hehe..

Sebenernya ada satu lagi tempat makan naskun yang enak. Tekapenya ada di Teluk Lalong, di kios pinggir jalan yang ada di sebelahnya kantor DPRD. Seperti biasa, naskunnya dibungkus daun pisang. Dari segi rasa kalo dirate ya sekitar 7 dari 10 lah. Cuman berhubung tekapenya di samping jalan raya yang berdebu, kalo mau makan di tekape keknya kurang nyaman. Tapi kalo mau dikafanin buat ditenggak di rumah, ya monggo kerso mawon hehehe..

Ada yang mau nambahin? Saya juga bersedia dipanggil kalo ada yang mau nraktir makan, gak harus nasi kuning sih, asal jangan Onyop ato Mie Cakalang aja hahaha... Salam...


H2, Januari ‘12

Anak-Anak Kita Ibarat Rem

Apa elemen paling penting dari motor tercepat yang ada di kolong langit? Kalau saya yang ditanya seperti itu maka jawabannya sederhana saja: rem. Tentu sulit untuk dibayangkan jika Jorge Lorenzo atau Casey Stoner yang lagi asyik-masyuk ngebut dengan motor balapnya tapi ternyata tak ada rem yang terpasang disana. Setau say, cmiiw, teknik mengerem yang benar juga turut menentukan aksi si pembalap di lintasan.

Dalam hidup yang tak mudah ini, ada saja godaan untuk melakukan hal-hal yang tak pantas untuk dilakukan. Hal-hal yang dapat menodai kesucian fitrah kita sebagai seorang manusia yang mulia di sisiNya. Hal-hal yang dapat mengundang dosa dan murkaNya. Oleh karenanya, kita membutuhkan semacam “rem” yang dapat mengontrol gerak langkah kita agar tidak terlalu jauh melenceng dari garis hidup yang diridhoiNya.

Ada banyak sekali hal yang bisa dijadikan “rem” dalam hidup. Anak-anak, menurut saya, adalah satu di antara sekian banyak rem itu. Wajah mereka yang polos, aksi mereka yang lucu dan lugu, polah tingkah mereka yang menyenangkan hati, meski tak jarang memegalkan hati, adalah (salah satu) rem termujarab bagi setiap orangtua.

Ketika diri sedang malas ibadah, maka kekhawatiran anak-anak kita kelak akan mencontoh orangtuanya yang malas akan “membangunkan” semangat ibadah yang sedang tertidur pulas. Ketika diri malas membaca, maka kekhawatiran anak-anak kelak menjadi anak yang malas membaca akan melecut semangat baca kita yang tadinya tiarap. Maka anak-anak adalah rem agar kemalasan tak lagi hinggap, atau kelemahan tak lagi menambah lajunya.

Begitu juga ketika terbersit niat dalam diri ini untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Atau terpercik keinginan untuk melakukan hal-hal yang mengundang murkaNya. Maka dengan mengingat wajah-wajah polos itu, - betapa berbahagianya diri kita saat mereka semua terlahir di dunia dengan tangisnya yang membahana, atau betapa bersyukurnya diri ini saat Allah menitipkan amanahNya itu kepada kita sementara banyak pasangan lain yang belum jua diberiNya, kita hapal benar bau kecut dan ledis mereka atau rengekannya yang manja -, membuat niat yang tadinya melenceng kembali lurus. Yang tadinya lupa menjadi ingat, yang tadinya lemah menjadi kuat.

Saya bukan orangtua yang sempurna. Saya juga (sudah pasti) berbuat salah dan khilaf. Sesekali tergelincir dan mangkir. Satu dua bahkan berkali-kali alfa dan lupa. Istri saya adalah sosok yang pas untuk menggambarkan tentang diri saya secara apa adanya, lebih dan kurangnya. Tapi anak-anaklah yang membuat saya sadar bahwa hidup ini bukan untuk diri saya sendiri. Apalagi ketika mengingat firman Allah dalam surat At Tahrim “Jagalah diri dan keluargamu dari api neraka”, bergidik rasanya tubuh ini. Menjaga diri sendiri dari api neraka saja sudah begitu sulit, ditambah lagi dengan menjaga anggota keluarga kita.

Maka saya bersyukur kepada Allah karena telah menghadirkan sosok anak-anak itu dalam hidup saya. Bersyukur karena merekalah yang seharusnya menjadi penyemangat kita dalam berbuat baik dan memperbaiki diri, bersyukur karena merekalah yang menjaga diri ini dari melakukan perbuatan yang tidak baik.

Bantu abimu untuk selalu taat padaNya ya, nak.

Robbij’alni muqima sholati wa min dzurriyyatii. Robbana hablana min azwajina wa dzurriyyatina qurrota a’yun, waj’alna lil muttaqiina imaama. Aamiin yaa mujiib.



H2, Januari ‘12

Buku Yang Kubaca Season 2011

Melanjutkan tradisi yang sudah saya buat (semoga tradisi ini tidak dibid’ahkan hehe), kali ini saya mau menengok kembali buku-buku yang sudah selesai saya baca di tahun 2011 ini.

Terhitung ada sekitar enam buah buku yang berhasil saya tamatkan (dengan susah payah). Enam buku itu terdiri dari tiga buku nonfiksi dan tiga buku fiksi. Cukup menurun bila dibandingkan dengan tahun 2010 yang lalu ketika saya, alhamdulillah, berhasil menamatkan empat belas buku. Tidak banyak, memang. Tapi jumlah itu sudah cukup “menyelamatkan” rencana saya agar tidak melewatkan setahun pun tanpa menamatkan sebuah buku.

Berikut buku-buku yang sudah saya tamatkan:

Fiksi
  1. The Historian by Elizabeth Kostova
  2. Ranah Tiga Warna by A. Fuadi
  3. Trust, Harga Sebuah Kepercayaan by Charles Epping

Non Fiksi
  1. The Man Who Loved Books Too Much by Allison Hoover Bartlett
  2. Growing Up Bin Laden by Jean Sasson, Najwa Ghaneem, Omar bin Laden
  3. Sang Penjegal Kisah Ibnu Saud Menguasai Arabia by Harold Courtenay Armstrong

Dari semua buku di atas, hanya buku Ranah Tiga Warna yang ditulis oleh penulis lokal, dan sisanya penulis luar. Sedangkan buku yang paling saya rekomendasikan, andai hanya dikasih satu kesempatan, maka buku The Historian-lah yang akan saya pilih sebagai Book Of The Year versi saya untuk tahun 2011 (reviewnya bisa dilihat di blog ini).

Semoga ada peningkatan di tahun 2012 mendatang. Amin. [wahidnugroho.com]


H2, Desember 2011

Rabu, 18 Januari 2012

Di Suatu Masa Yang Akan Datang

Di suatu masa yang akan datang, kau dan aku. Saat usia telah menua, ketika raga mulai merenta, dan uban mewarna di kepala. Cinta tak lagi terukur lewat renjis tawa di udara, atau tingkah polah khas remaja. Tapi cinta jiwalah yang mengejawantah setiap langkah kita.

Di suatu masa yang akan datang, kau dan aku. Saat celoteh anak dan balita tak lagi mengisi hari, hanya sepi yang kan kita rasai. Kusesap aroma tubuhmu yang manis, di sela sore bertabur gerimis. Kau belai rambut di kepalaku yang kian menipis, kuraba jemarimu yang makin terkikis.

Di suatu masa yang akan datang, kau dan aku. Tak banyak yang bisa kita lakukan, hanya kedua mata yang saling berpandangan. Senyummu masih sama seperti dulu; sederhana, bersahaja, nan malu-malu.

Di suatu masa yang akan datang, kau dan aku. Kita mengenang kebersamaan yang telah lewat, meski berbilang tahun namun serasa begitu dekat.

Di suatu masa yang akan datang, kau dan aku. Meski genggamanku tak lagi kuat dan pelukanku tak lagi erat, namun cinta di dalam hati ini kan selalu tsabat, meluap-luap, kukuh, dan hangat. [wahidnugroho.com]


Tanjung, Januari 2012

Wasiatku Kepada Kalian, Wahai Ikhwan

 
Kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt. Kita ucapkan shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad, segenap keluarga dan sahabatnya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat.

Wahai Ikhwan yang terhormat, saya sampaikan salam penghormatan Islam, salam penghormatan dari Allah, yang baik dan diberkahi: Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sebelum kita memulai kajian tentang Kitab Allah swt, saya ingin mengingatkan wahai Ikhwan, bahwa ketika menyampaikan kajian-kajian ini, kita tidak semata-mata bertujuan untuk memperoleh pemahaman dan melakukan analisis ilmiah. Tujuan kita adalah membimbing ruhani dan akal untuk memahami makna-makna umum yang disinggung dalam Kitabullah. Sehingga dari sini kita dapat memiliki sarana untuk memahami Al Qur’anul Karim, ketika kita membacanya. Dengan demikian, kita telak melaksanakan sunah tadabur, tadzakur, dan mengambil pelajaran sebagaimana disebutkan di dalam kitab Allah swt “Sesungguhnya Kami telah mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran itu?” (QS Al Qamar 32). “Ini sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan orang-orang yang mempunyai pikiran mengambil pelajaran.” (QS Ahad 29).

Ikhwanku yang tercinta. Kajian-kajian tentang ayat-ayat Al Qur’an Al Karim yang hendak saya sampaikan ini, tidak saya maksudkan menghimpun secara lengkap dan luas aspek-aspek ilmiah dalam tema yang sedang kita bahas, tetapi saya sekedar ingin mengarahkan ruhani, hati, dan pikiran kepada maksud-maksud luhur yang dikehendaki oleh Kitab Allah swt, Al Qur’anul Karim, ketika mengemukakan suatu pengertian. Jika ini telah terwujud, wahai Akhi, maka di depan Anda dan di depan pembahas yang lain terbuka pintu yang lebar untuk mengadakan kajian dan analisa. Silakan mengkaji sekehendak Anda dan mempelajari sedetail-detailnya. Sungguh saya percaya, Ikhwan yang tercinta, saat-saat ketika kita berbahagia dengan perjumpaan kita semacam ini, tidak memberikan kesempatan yang leluasa kepada kita untuk mengadakan analisis ilmiah yang menguraikan tema pembahasan dari segala sisi.

Ikhwanku, satu-satunya tujuan kita dari kajian-kajian ini adalah agar kita merenungkan isi kitab Allah swt. Ia ibarat lautan yang kaya dengan mutiara. Dari sisi manapun Anda mendatanginya, Anda akan memperoleh kebaikan yang berlimpah ruah.

Karena itu, pembahasan kita berkisar pada tujuan-tujuan yang bersifat global dan umum, yang dikemukakan oleh ayat-ayat Al Qur’anul Karim. Ikhwan sekalian, marilah kita tolong-menolong untuk menyingkapnya. Alhamdulillah, tujuan-tujuan tersebut cukup jelas dan gamblang. Harapan kita, semoga masing-masing dari kita memperoleh kunci pemahaman Kitab Allah, untuk memahami ayat-ayatNya. Dengan demikian, ia dapat menggunakan kunci tersebut untuk berinteraksi langsung dengannya setiap kali ia memperoleh waktu luang dan setiap kali ia ingin menambah cahaya, faedah, dan manfaat yang ditimbanya dari Kitab ini.

Saya tidak mengklaim bahwa kajian-kajian ini merupakan puncak dari segala kajian, karena setiap kali manusia melakukan penjelajahan pikiran dan pandangan mereka terhadap kitab Allah swt, niscaya dia akan mendapati makna-maknanya ibarat gelombang laut yang tak pernah habis dan tidak bertepi. Karena Al Qur’an adalah firman Allah Yang Mahatinggi dan Mahabesar.

Pesan saya kepada kalian, wahai Ikhwan, hendaklah kalian menjalin hubungan dengan Al Qur’an setiap saat, supaya kalian mampu mendapatkan ilmu baru setiap kali berhubungan dengannya.

Ya Allah janganlah Engkau biarkan kami mengurus diri kami sendiri walau sekejap pum, atau lebih cepat dari itu, wahai Sebaik-baik Dzat Yang Maha Mengabulkan!

Hasan Al Banna

Sekilas Tentang Tokoh Ini

Saya mendengar tentang lelaki ini sejak sebelum beliau memindahkan dakwahnya dari Ismailia ke Kairo. Beliau seorang da’i yang sulit dicari bandingannya. Kaki beliau kokoh dalam menebarkan dakwah Islam. Saya sangat merasakan pengaruh yang positif dari beliau dalam perbaikan masyarakat. Itulah Imam Syahid Syaikh Hasan Al Banna – semoga Allah melimpahkan rahmat kepada beliau dan memasukkan beliau ke dalam syurgaNya yang luas, bersama para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih –. Saya berkenalan dengan beliau di Kairo. Saya sering menghadiri ceramah yang beliau sampaikan di kantor Ikhwanul Muslimin pertama maupun kantor kedua, setiap hari Selasa, yang akhirnya dikenal sebagai “Haditsuts Tsulatsa” atau yang beliau lebih suka menyebutnya “Atifatuts Tsulatsa”.

Hari Selasa ini, adalah hari-hari yang tersaksikan. Ribuan orang berkumpul dari berbagai penjuru Kairo, Iskandaria, sampai Aswan, bahkan dari luar Mesir. Mereka semua ingin mendengar Hasan Al Banna. Maka ia naik ke atas mimbar dengan jubah dan sorban putihnya, lalu sejenak mengitarkan pendangan kepada segenap hadirin, sebelum kemudian suara itu menggaung dengan kekuatan jiwa yang penuh dan kalimat-kalimat yang menyihir, yang segera merasuk dalam hati para pendengar. Suara itu tidak bertumpu pada retorika, juga tidak membakar emosi dengan teriakan. Suara itu sepenuhnya bertumpu pada kebenaran, membangun semangat dengan meyakinkan akal, menggelorakan jiwa dengan makna bukan dengan kata-kata, dengan ketenangan bukan dengan provokasi, dan dengan hujjah bukan dengan hasutan. Sehingga setiap orang yang pernah mendengarnya sekali, pasti akan terus mengikuti ceramah-ceramah itu secara rutin, betapapun kesibukan dan hambatannya.

Saya adalah salah seorang dari mereka yang terpesona dan antusias mendengarkan ceramah beliau, sehingga muncul keinginan pada diri saya untuk menyadurnya ke majalah “I’tisham”, meskipun pada masa itu orang-orang belum mengenal alat perekam (1940). Allah telah memberikan taufiq kepada saya untuk menyadurnya dengan metode yang jauh dari seni jurnalistik. Saya tidak mengerti dan tidak pernah mempelajari Stenografi dari seorangpun. Keinginan saya itu terwujud semata-mata karena ilham dan taufiq dari Allah swt agar saya berbahagia dengan terpeliharanya warisan agung ini. Semoga ia menjadi catatan amal baik saya. Maka, saya mulai mencatat ceramah hari Selasa itu sepanjang hidup Imam Syahid hingga menjelang wafatnya, rahimahullah.

Saya mempunyai suatu kebiasaan, datang ke kantor Ikhwanul Muslimin menjelang Maghrib untuk melaksanakan sholat jamaah. Suatu ketika, setelah adzan dan iqomat, Imam Syahid pernah meminta saya mengimami shalat. Saya menolak karena malu dan segan kepada beliau. Beliau akhirnya berkata, “Shalatlah dengan perintah!” Maka tidak ada pilihan lagi bagi saya kecuali melaksanakan perintah dan mengikuti keinginan beliau tersebut. Seusai shalat, saya kembali bersama para hadirin mendengarkan ceramah beliau. Di antara mereka, saya adalah satu-satunya yang mencatat ceramah itu. Meski demikian, saya tidak meminta tempat khusus untuk menulis. Saya duduk di bagian paling belakang majelis tersebut.

Ada satu paradoks yang menakjubkan, yaitu saya selalu dikejutkan oleh berakhirnya ceramah beliau. Saya dapat mengira bahwa hal yang sama dirasakan pula oleh hadirin yang lain. Itu terjadi lantaran beliau menarik perhatian para pendengar di akhir ceramah dengan gaya yang lebih memikat daripada yang digunakan beliau untuk menarik perhatian mereka di awal ceramah. Saya tidak mengetahui, apa rahasianya. Tetapi, itu merupakan salah satu kelebihan beliau yang paling menonjol. Karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja di antara hamba-hamba yang dikehendakiNya.

Pada tahun 1945, Allah telah memberikan taufiq kepada saya untuk melaksanakan kewajiban haji. Jum’iyah Syar’iyah memberikan kehormatan kepada saya untuk memimpin delegasinya. Di sana saya berjumpa dengan Imam Syahid, di Negeri Haram dan Tanah Suci. Saya mendengarkan beberapa ceramah yang disampaikan beliau di penginapan “Mesir” di Makkah bersama para pimpinan delegasi Islam, atas undangan beliau. Saya juga mendengarkan ceramah beliau di Mina, Madinah Munawarah, dan di Darul Hadits. Semuanya saya catat. Perlu saya sebutkan di sini bahwa delegasi-delegasi itu berdatangan dari berbagai penjuru: dari Indonesia, Jawa, Srilanka, India, Madagaskar, Nigeria, Kamerun, Iran, dan Afghanistan. Mereka berkenalan dan berkumpul dengan beliau. Beliau berbincang-bincang dengan setiap delegasi mengenai masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian mereka, tentang masalah dan problema yang mereka hadapi. Beliau menarik perhatian mereka, seakan-akan beliau datang dari negeri mereka, bukan mereka yang datang kepada beliau.

Karena itu wajar jika orang-orang berpandangan bahwa Hasan Al Banna merupakan figur yang unik di tengah-tengah manusia, bahkan di kalangan para pemimpin. Dengan watak dan karakternya, beliau telah mengukir sejarah dan mengubah arah perjalanannya. Beliau juga tergolong unik ketika wafat. Tidak ada yang menyalatkan beliau di masjid kecuali ayahnya. Tidak seorang pun di antara para pengikut beliau yang memenuhi dunia itu, yang berjalan di belakang keranda beliau, lantaran sebuah alasan yang sederhana, yaitu karena mereka pada masa itu sedang memenuhi penjara.

Walaupun Imam Syahid Hasan Al Banna telah meninggal dunia, tetapi pemikiran beliau tidak akan mati. Pengaruh beliau masih ada dan terus berkembang, yang berwujud generasi-generasi yang dicetak beliau “di atas “meja hidangan” Islam dengan metode modern dan terlihat dalam perkembangan gerakan Islam yang mendunia, dimana beliau merupakan figur yang pertama kali menabur benihnya. Sungguh Hasan Al Banna adalah mujadid (pembaharu) Islam di abad ke dua puluh. [wahidnugroho.com]


Ahmad Isa ‘Asyur