Kamis, 19 Januari 2012

Anak-Anak Kita Ibarat Rem

Apa elemen paling penting dari motor tercepat yang ada di kolong langit? Kalau saya yang ditanya seperti itu maka jawabannya sederhana saja: rem. Tentu sulit untuk dibayangkan jika Jorge Lorenzo atau Casey Stoner yang lagi asyik-masyuk ngebut dengan motor balapnya tapi ternyata tak ada rem yang terpasang disana. Setau say, cmiiw, teknik mengerem yang benar juga turut menentukan aksi si pembalap di lintasan.

Dalam hidup yang tak mudah ini, ada saja godaan untuk melakukan hal-hal yang tak pantas untuk dilakukan. Hal-hal yang dapat menodai kesucian fitrah kita sebagai seorang manusia yang mulia di sisiNya. Hal-hal yang dapat mengundang dosa dan murkaNya. Oleh karenanya, kita membutuhkan semacam “rem” yang dapat mengontrol gerak langkah kita agar tidak terlalu jauh melenceng dari garis hidup yang diridhoiNya.

Ada banyak sekali hal yang bisa dijadikan “rem” dalam hidup. Anak-anak, menurut saya, adalah satu di antara sekian banyak rem itu. Wajah mereka yang polos, aksi mereka yang lucu dan lugu, polah tingkah mereka yang menyenangkan hati, meski tak jarang memegalkan hati, adalah (salah satu) rem termujarab bagi setiap orangtua.

Ketika diri sedang malas ibadah, maka kekhawatiran anak-anak kita kelak akan mencontoh orangtuanya yang malas akan “membangunkan” semangat ibadah yang sedang tertidur pulas. Ketika diri malas membaca, maka kekhawatiran anak-anak kelak menjadi anak yang malas membaca akan melecut semangat baca kita yang tadinya tiarap. Maka anak-anak adalah rem agar kemalasan tak lagi hinggap, atau kelemahan tak lagi menambah lajunya.

Begitu juga ketika terbersit niat dalam diri ini untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Atau terpercik keinginan untuk melakukan hal-hal yang mengundang murkaNya. Maka dengan mengingat wajah-wajah polos itu, - betapa berbahagianya diri kita saat mereka semua terlahir di dunia dengan tangisnya yang membahana, atau betapa bersyukurnya diri ini saat Allah menitipkan amanahNya itu kepada kita sementara banyak pasangan lain yang belum jua diberiNya, kita hapal benar bau kecut dan ledis mereka atau rengekannya yang manja -, membuat niat yang tadinya melenceng kembali lurus. Yang tadinya lupa menjadi ingat, yang tadinya lemah menjadi kuat.

Saya bukan orangtua yang sempurna. Saya juga (sudah pasti) berbuat salah dan khilaf. Sesekali tergelincir dan mangkir. Satu dua bahkan berkali-kali alfa dan lupa. Istri saya adalah sosok yang pas untuk menggambarkan tentang diri saya secara apa adanya, lebih dan kurangnya. Tapi anak-anaklah yang membuat saya sadar bahwa hidup ini bukan untuk diri saya sendiri. Apalagi ketika mengingat firman Allah dalam surat At Tahrim “Jagalah diri dan keluargamu dari api neraka”, bergidik rasanya tubuh ini. Menjaga diri sendiri dari api neraka saja sudah begitu sulit, ditambah lagi dengan menjaga anggota keluarga kita.

Maka saya bersyukur kepada Allah karena telah menghadirkan sosok anak-anak itu dalam hidup saya. Bersyukur karena merekalah yang seharusnya menjadi penyemangat kita dalam berbuat baik dan memperbaiki diri, bersyukur karena merekalah yang menjaga diri ini dari melakukan perbuatan yang tidak baik.

Bantu abimu untuk selalu taat padaNya ya, nak.

Robbij’alni muqima sholati wa min dzurriyyatii. Robbana hablana min azwajina wa dzurriyyatina qurrota a’yun, waj’alna lil muttaqiina imaama. Aamiin yaa mujiib.



H2, Januari ‘12
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar