Selasa, 25 Desember 2012

The Confession Of A Parmagiani


“It is a strange truth that a love for a particular football club means that your moods and reference points should be so in sync with tens of thousands of others.”


****

Awalnya adalah semangat ‘ingin beda’. Tapi semangat “ingin beda” itu kemudian bermetamorfosis menjadi cinta (tsah).

Setiap kita pasti punya cerita dibalik kecintaan dan dukungan kita terhadap sebuah klub sepakbola, apapun dan dimanapun klub tersebut. Cerita itu bisa jadi tak selalu logis. Bisa jadi sisi emosionalnya lebih dominan. Tapi apapun ceritanya ia tetap layak untuk diapresiasi sebagai bentuk kejujuran dan ketulusan hati.

Saya suka FC Parma (dulu namanya AC Parma).

Lho, Parma itu apa? Merk keju ya?

Parma itu klub bola dari Italia sono.

Ih kok nggak terkenal ya? Nggak kayak Juventus, Inter, Milan, Lazio, etc?

Lho, emang kalo suka itu harus jadi terkenal dulu ya?

Akhir pekan adalah momen yang selalu dinanti insan bola dimanapun mereka berada. Karena di akhir pekan itulah biasa digelar pertandingan sepakbola dari klub-klub besar Eropa. Saya bukan supporter garis keras. Saya supporter garis miring. Tapi saya selalu menanti kabar dari klub yang saya dukung. Saya senang dan gembira ketika mereka menang, saya sedih ketika mereka kalah dan pulang dengan tangan kosong.

Saya merasa deg-degan ketika melihat pertandingan mereka, baik via streaming atau nonton di TV tetangga. Saya merasa gelisah ketika mereka dalam keadaan tertinggal, merasa sumringah ketika mereka dalam keadaan memimpin, dan harap-harap cemas ketika kondisi masih berimbang. Saya mengikuti berita beberapa pemainnya, kisah-kisahnya di masa lalu, maupun prediksi-prediksinya di masa mendatang.

Saya mengoleksi beberapa barang yang berhubungan dengannya. Jersey, scarf, pennant, handuk, topi, jaket, kaos, dan lain-lain. Ketika saya kecil dulu, saya pernah beberapa kali bolak-balik sebuah toko olahraga hanya karena ingin melihat jersey klub kecintaan saya itu dipajang. Meski tak bisa membeli karena tak punya uang, tapi melihat corak biru kuningnya saja sudah membuat hati ini senang.

Tapi saya sadar, bila dukungan ini nyaris tanpa hingar bingar. Berita-berita di media pun tak banyak yang memuat kisah klub ini. Mungkin karena basis suporternya tidak semeriah basis suporter klub lain. Tidak menjual. Tidak populer. Tidak ngepop. Atau apalah. Tidak mengapa. Itu tidak menjadi masalah buat saya.

Pun ketika ada yang menyebut klub yang saya dukung itu sebagai klub medioker, klub papan bawah, klub tak berdana tebal, klub minim pemain bintang, klub tak populer, klub gak berprestasi, itu juga tak jadi masalah buat saya. Dukung mendukung tidak berhubungan dengan faktor-faktor itu. Mendukung itu soal resonansi jiwa, dan jiwa tak berkompromi dengan materi.

Mereka bilang pendukung sejati itu yang selalu nobar, selalu futsalan bareng komunitas, punya jersey original sekian dan sekian, punya koleksi merchandise begini dan begitu. Tapi bagi saya pendukung sejati adalah mereka yang selalu mendukung klub bagaimanapun kondisinya, yang senang ketika menang, yang gelisah ketika kalah, dan gamang ketika kondisi imbang.

Pemain datang silih berganti. Pelatih pun datang dan pergi, seiring pasang surut sebuah prestasi. Tapi kecintaan tetaplah kecintaan. Tanpa syarat.

So, this is my confession. How bout you? [wahidnugroho.com]


H2, Desember 2012

Parma siamo noi


Sebut Saja Namanya Joni

Sebut saja namanya Joni. Temannya Joni bernama, sebut saja juga, David. Joni berbadan atletis, berkulit hitam legam. Tindak-tanduknya cekatan dan tak malumalu bertanya kepada bosnya yang berdarah Chinese itu. David juga berkulit legam. Namun dia lebih pendiam ketimbang Joni. Ketika bosnya menyuruh dia melakukan ini, David menurut. Ketika bosnya memerintahkan itu, David menjalankan. Dimana saya kenal mereka berdua? Di toko bangunan saat saya sedang membeli ubin.

Dalam beberapa kesempatan yang sempit, saya menyempatkan bertanya beberapa hal kepada Joni. Sudah berapa lama kerja di sini, sudah berkeluarga atau belum, asal darimana, sampai soal yang sensitif: besaran gaji dan bonus yang dia terima. Joni komunikatif dan dia menjawab semua pertanyaan kurang adab saya dengan dalih basa-basi itu.

Saya pun akhirnya mengetahui kalau Joni ini berasal dari Bulagi, Banggai Kepulauan. Umurnya lebih muda setahun daripada saya. Dia sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak yang masih kecil. Sedangkan David belum berkeluarga. Yak benar, keduanya Nasrani. Hal itu saya ketahui ketika Joni berkata bahwa dia akan pulang kampung untuk merayakan Natal bersama keluarganya. Begitu juga David.

Sore itu, menjelang tutup toko, saya membeli sekitar lima puluh dos ubin berukuran sekian kali sekian. Karena saya nggak punya mobil bak, dan karena mobil si Ko’ bensinnya cuman sedikit, maka saya mengontak teman saya yang punya angkot untuk saya sewa mengangkut ubin-ubin yang beratnya membahana itu. Saya menjanjikan kepada si Ko’ bahwa nanti saya yang tanggung biaya angkut dan biaya antarnya. Saya juga minta kepada Ko’ supaya nanti si Joni dan David yang ikut dengan saya. Si Ko’ yang murah senyum itu menyetujui usulan saya.

Sesampai di tempat yang dituju, kedua pegawai toko bangunan itu dengan cekatan langsung membongkar muatan yang lumayan banyak itu. Awalnya saya mencoba untuk membantu, namun ternyata kardus berisi ubin itu lumayan berat. Walhasil saya mundur dan melihat kerja mereka berdua dari teras rumah.

Ketika semua ubin sudah dipindahkan dari dalam mobil ke dalam rumah, saya berbicara lagi kepada Joni. Sedangkan David berada tak jauh dari kami berdua.

Saya tanya kepada Joni, “Kapan mo pulang ka Bulagi?”

“Sobantar malam, Pak”, jawab Joni.

 “So beli hadiah natal buat nga pe anak?”, tanya saya lagi.

“Belum, pak”, jawabnya sambil tersipu.

Saya lalu membuka tas selempang mungil saya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. Saya serahkan uang itu kepada Joni.

“Ini dari saya buat ngana. Sekian nga kase buat David, sekian nga ambe buat ba bili hadiah natal. Terima kase so bantu saya ba angkat tegel kamari e”, ujar saya.

Joni dan David saling beradu pandang. Mungkin mereka bingung ada orang berjenggot tipis (berkumis tipis dan berdompet tipis juga :hammer) bercelana cingkrang yang selalu ngomong “salamlikum ane ente” di handphonenya itu menyerahkan hadiah buat mereka. Hadiah natal?

Karena uang yang saya sodorkan belum juga diterima, maka saya tarik tangan si Joni dan meletakkan uang yang tak seberapa jumlahnya itu kepadanya. Joni tampak sangat senang. Senyumnya mengembang. Begitu juga David. Keduanya kemudian mengucapkan terima kasih kepada saya. Karena keduanya senang, saya juga ikut senang.

Lalu untuk apa saya tulis ini? Buat pencitraan? Buat gaya-gayaan kalo saya ini dermawan gitu? Atau ada motif politis karena 2014 udah dekat (halah)?

Kok duitnya gak disumbang buat masjid? Buat anak yatim? Kok dikasih ke orang Nasrani? Buat Natalan pulak?

Anda yang membaca tulisan ini berhak menilai saya dengan nilai apapun. Saya tidak keberatan. Monggo. Saya hanya senang melihat orang lain senang. Dan saya senang menghargai kerja keras orang lain, siapapun dia, semampu yang saya bisa.

Jadi, sampeyan ngucapin Selamat Natal buat Joni dan David?

Mau tau aja atau mau tau banget? [wahidnugroho.com]



Muspratama, Desember 2012
Menjelang Maghrib