Senin, 21 Mei 2012

Maafkan Abi, Nak


Hari itu saya merasa suntuk. Ada begitu banyak hal yang sedang berkecamuk dalam kepala saya. Ditambah dengan buruknya kondisi ruhiyah, dunia terasa begitu sesak di mata saya. Senyum menawan istri yang biasanya selalu menyejukkan jiwa kali ini tak mampu mengusir gejolak yang membara di dalam dada. Celotehan anak-anak yang biasanya terasa menentramkan kini begitu memekakkan telinga. Saya sedang mencari ketenangan ketika itu.

Ketika rasa suntuk itu sudah sampai pada puncaknya, kedua putri saya mengajak bermain. Dengan enggan saya mencoba untuk menghalau polah gesit mereka ditambah teriakan-teriakan khasnya. Saya sedang tidak ingin diganggu (tapi apa mereka tahu itu?).

Salah satu putri saya meminta saya untuk menggendongnya, tapi saya menolak – saya kira dengan cara yang kurang baik –. Ketika putri saya mulai menangis, saya hanya bisa terdiam. Wajah saya ketika itu mungkin tampak masam.

Begitu juga ketika putri saya yang lain mulai berteriak – entah apa yang saat itu diteriakkannya –, saya membuat isyarat telunjuk di mulut untuk menyuruhnya diam. Tentu saja sambil dibumbui pelototan mata agar putri saya langsung terdiam. Tapi teriakannya urung berhenti, bahkan bertambah keras yang membuat wajah saya semakin kecut. Bahkan tak jarang tangan ini harus mencubit kulit lembut mereka yang membuat mereka menangis sejadinya.

Entah apa yang sedang terjadi dengan saya ketika itu?

Dini hari tadi saya terbangun dan melihat kedua putri saya yang tengah tertidur nyenyak di sisi saya – dengan berbagai pose lucunya. Istri saya sudah jauh terlelap di kamar bersama Gendis, putri ke tiga saya. Sambil memandangi bekas iler yang mewarnai pipi gembil mereka berdua, saya berpikir betapa tak berdosanya anak-anak ini? Wajah mereka begitu bersih dan suci dari dosa. Hiruk pikuk dunia belum mereka hiraukan. Hari-hari mereka hanya diisi dengan bermain, menangis, tertawa, kadang merengek untuk meminta sesuatu, dan berteriak-teriak kedinginan kala saya mandikan dan malu-malu saat mereka hendak meminta diantar buang air besar.

Malam itu, sambil menciumi pipi mereka berdua yang berbau kecut – bau yang paling saya sukai – dan membelai rambut lembutnya, memori saya mulai memutar kembali hari-hari yang telah lewat bersama mereka. Kelucuan-kelucuan yang tercipta dari polah tingkah mereka. Kekesalan-kekesalan yang muncul karena ketidaktahuan dan kepolosan mereka. Ketika hati ini terasa keruh, polah tingkah yang lucu dan polos itu kadang berbuah cubitan kecil atau pelototan mata.

Ketika mengenang masa-masa yang telah lewat itu, tak terasa, air mata saya meleleh perlahan. Saya akui bahwa saya telah melakukan banyak kesalahan saat membersamai tumbuh kembang mereka. Ada begitu banyak kekhilafan saya yang tertimbun di relung jiwa mereka dan kelemahan-kelemahan saya yang membuat secuil kebahagiaan mereka menjadi ternoda. Malam itu saya segera membisikkan kata-kata maaf dan penyesalan saya kepada mereka berdua yang tengah terlelap. Saya tahu itu tak cukup, tapi saya merasa bahwa saya harus melakukannya demi meluaskan sesak yang membuncah di dalam dada. 

Saya merasa tak sanggup untuk melanjutkan kegelisahan ini. Semakin banyak saya menulis, saya merasa bahwa semakin banyak penyesalan yang akan saya buat. Semoga kesalahan dan kekhilafan di masa silam itu bisa saya perbaiki hari ini, esok, hingga akhir hayat kelak. Moga Allah kuatkan dan pantaskan diri ini untuk menjalankan amanah terbaikNya itu dengan sebaik-baiknya. Dan hanya kepadaNya kami meminta pertolongan. Amin. [wahidnugroho.com]



H2, Mei 2012