Rabu, 27 September 2017

Hukum Enam Tahun

Di enam tahun pertama, kita akan lebih banyak bicara ketimbang mereka.

Di enam tahun yang kedua, kita akan lebih banyak mendengar dan menyimak keluh-kesah mereka ketimbang mengumbar kata-kata.

Di enam tahun yang ketiga, kita harus tahu kapan waktunya menjadi pendengar dan kapan waktunya harus berbicara.

Di enam tahun yang keempat, kita perlu bersiap mengelus dada dan meluaskan rongga jiwa.

Di enam tahun yang kelima, kita akan kembali ke fase awal, tapi lawan bicara kita bukan lagi mereka, melainkan anak-anak dari anak-anak mereka.

Di enam tahun yang keenam, kita menghabiskan sisa hidup dengan saling mengenang merahjingga masa muda, lengkap dengan kebodohan-kebodohannya.

Di enam tahun yang ketujuh, aku tak tahu apakah sisa umurku dan umurmu masih berada pada lajur takdir yang sama.

Meruya, Juli 2017

Senin, 25 September 2017

Perawan dan Respon

Anak-anak melakukan kesalahan. Suatu hal yang wajar. Yang sudah diketahui adalah bahwa kesalahan itu dilakukan karena ketidaktahuan mereka. Ketidaktahuan itu ada di lapis pertama, sedangkan lapis keduanya adalah karena keingintahuan mereka. Ketidaktahuan yang melahirkan keingintahuan. Yang belum diketahui adalah satu: potensi risikonya seperti apa.

Yang terjadi kemudian adalah anak-anak melakukan eksperimen untuk mengkonversi ketidaktahuan mereka menjadi keingintahuan. Dari eksperimen itu lahir pengetahuan dan pengalaman. Kadang pengalaman yang didapat terlebih dulu, kadang pengetahuan yang mendahului pengalaman. Kadang keduanya datang secara bersamaan.

Ketika anak-anak berbuat kesalahan, baik dari segi perkataan maupun tindakan, saat melakukan eksperimen itu, maka orangtua yang bijak adalah mereka yang bisa menyiapkan respon  atas kesalahan itu dengan sebaik-baik kualitas. Jangan sampai respon kita selaku orangtua memberangus rasa ingin tahu mereka, termasuk semangat bereksperimen mereka, sampai ke akar-akarnya.

Kemampuan mengelola respon adalah bagian paling awal dari mitigasi risiko atas eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh anak-anak kita.

Mori Ranmaru adalah pelayan marga Oda. Ia dipelihara oleh Nobunaga sejak kecil dan menjadi salah satu pelayan kesayangan yang sangat dipercayainya. Meski mendapat limpahan kasih sayang dari Nobunaga, Ranmaru kerap dikritik karena sifatnya yang kelewat berterus-terang. Bahasa kekiniannya: mulutnya terlalu nyablak. Ia tidak bisa menahan komentarnya terhadap dinamika yang sedang terjadi di sekitarnya. Padahal, di zaman yang sedang dilanda kekacauan ketika itu, menjadi orang yang tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam adalah sifat yang sangat terpuji, terlebih jika objek pembicaraan itu adalah informasi yang sangat sensitif.

Sifat Ranmaru yang kelewat berterus-terang dan sulit menahan omongan itu diredaksikan oleh penulis Taiko, Eiji Yoshikawa, sebagai sifat seorang perawan yang sedang jatuh cinta, di mana pipinya mudah bersemu merah saat bersua dengan orang yang dicintainya. Perawan dijadikan sebagai simbol oleh Yoshikawa-sensei sebagai orang yang tidak mampu mengelola respon yang logis ketika mereka dikuasai emosi.

Menjadi orangtua berarti menjadi orang yang mampu untuk belajar mengelola responnya. Respon terhadap apapun, baik yang disukai maupun yang tidak, yang dilihat dari sosok anak-anak mereka. Respon dan cara kita mengelola respon adalah dua hal yang berbeda.

Suatu ketika, ada seorang pemuda yang mendatangi kanjeng Nabi dan berkata bahwa ia hendak meminta izin kepada beliau untuk berzina. Para sahabat yang mendengar perkataan itu langsung marah dan hendak memukuli pemuda itu karena kekurangajarannya. Namun tidak demikian dengan Rasulullah.

Ketika pemuda itu selesai menyampaikan maksudnya, Rasulullah menyuruh pemuda itu mendekat dan berkata padanya dengan intonasi suara yang lembut.

"Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan kepada ibumu?"

Pemuda itu terkejut mendapat respon seperti itu dari Rasulullah.

"Tidak ya Rasulullah."

"Demikian juga orang lain."

Ketika pemuda itu bungkam, Rasulullah melanjutkan.

"Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan kepada putrimu?"

Kepala pemuda itu makin terbenam.

"Demi Allah tidak, ya Rasulullah."

"Demikian juga orang lain."

Dan sebagai pertanyaan pamungkas, Rasulullah berkata kepadanya.

"Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan kepada bibi-bibimu?"

"Demi Allah tidak, ya Rasulullah!"

Bergetar suara pemuda itu sementara para sahabat yang ada di situ hanya bisa diam menyimak.

"Demikian juga orang lain."

Apa yang terjadi jika Rasulullah ketika itu menghardik pemuda itu atau membiarkan para sahabat memukulinya? Saya tidak tahu. Namun sejarah berkata bahwa Rasulullah telah mampu mengelola respon atas eksperimen (yang dalam hal ini negatif) yang ingin dilakukan oleh salah seorang sahabatnya. Umatnya.

Respon dan cara kita mengelola respon adalah dua hal yang berbeda. Menjadi orangtua berarti harus mampu belajar membedakan keduanya. [wahidnugroho]


Meruya, September 2017

Minggu, 17 September 2017

Penundaan

Dari ketiga putri saya, baru si sulung yang sudah bisa membaca sejak usia lima tahun. Sementara kedua adiknya masih belum bisa membaca. Sebenarnya si tengah sudah bisa mengeja, tapi dia kurang percaya diri menyampaikan hasil ejaannya kecuali mengeja nama kakaknya, namanya sendiri, dan nama adiknya.

Jadi, meski sudah hapal dengan huruf-huruf dan bisa mengejanya dengan cukup lancar, ia biasa cengar-cengir saja ketika saya tanya “Jadi bacaannya apa?”. Tapi karena saya memang tidak mau memaksanya, maka saya membiarkannya. Belakangan, ia sudah cukup rajin belajar mengeja sekaligus membacanya dan saya sering mendapatinya sedang mengeja huruf-huruf di komik Doraemon, Monica, dan komik-komik lain yang ada di rumah.

Sementara itu, si bungsu sama sekali belum bisa membaca. Tapi ia sangat senang dibacakan buku. Dalam beberapa kesempatan, saya, istri, dan kakak sulungnya bergantian membacakannya buku. Sedangkan untuk si sulung, saya lumayan sering menawarinya buku-buku non bergambar untuk dibacanya meski responnya masih belum menggembirakan. Tidak masalah, saya akan bersabar. Kalau terlalu dipaksa, nanti saya khawatir hasilnya jadi kurang bagus.

Maka ketika saya menyampaikan keputusan untuk meniadakan internet di rumah kepada ketiganya, respon mereka semuanya sama: menolak. Tapi saya berkata kepada mereka bahwa internet akan kembali diadakan setelah si bungsu dan si tengah sudah lancar membaca. Saya juga mendorong si sulung untuk membantu kedua adiknya agar bisa membaca, termasuk mengingatkannya untuk mengurangi bacaan-bacaan bergambar secara bertahap dan mengganti bacaannya dengan buku-buku lain yang melimpah di rumah. Termasuk menawarinya anggaran belanja buku secara rutin yang bisa dia manfaatkan sendiri sesukanya, tentu dengan supervisi dari saya sendiri.

Sebenarnya, ide meniadakan internet di rumah ini berasal dari istri. Meski saya sempat menguji idenya itu, secara umum saya menyukainya dan cenderung menyetujuinya. Bukan, bukan berarti saya tidak butuh internet sama sekali. Hanya saja, saya merasa belum mampu mengkondisikan keluarga saya agar bisa menaklukkannya. Saya mungkin sudah bisa menaklukkan internet, tapi keluarga saya belum. Menjadi egois adalah pilihan buruk. Maka opsi meniadakannya untuk sementaralah yang saya pilih.

Meniadakan internet, setelah meniadakan televisi, rasanya akan jadi pilihan yang tidak mudah. Tapi saya berprasangka baik kepadaNya bahwa ikhtiar ini bisa dijadikan sarana untuk memperbaiki diri melalui sarana lain. Benar bahwa ada kebaikan yang bisa direguk dari kedua sarana itu, tapi saya memilih untuk mencari kebaikan dari sumber lain dan menunda mencarinya dari keduanya.

Insya Allah semua akan ada saatnya. Mungkin besok, lusa, atau kapan nanti. Bukan saat ini. [wahidnugroho.com]


Meruya, September 2017

Bimbang Menimbang

Jika ada sesuatu dalam diri manusia yang tidak bisa dikuasainya, maka itu adalah hati. Manusia, sekuat apapun ia, tidak akan pernah bisa menguasai hatinya sendiri. Cinta dan benci terkadang datang tanpa diundang. Menyergap perlahan, lalu menguasai mereka dengan sedemikian tirannya. Tanpa ampun.

Bagaimana mungkin manusia bisa menguasai hatinya sedangkan ada Dia yang jadi pembatasnya, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Anfal ayat 24, “Bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.”

Bagaimana mungkin manusia bisa menguasai hatinya, jika hati manusia berada di bawah penguasaanNya. Sebagaimana sabda Kanjeng Rasulullah, "Sesungguhnya hati-hati Bani Adam seluruhnya berada di antara dua jemari Ar Rahman, laksana satu hati Ia bolak-balikkan hati tersebut sekehendakNya."

Bicara soal hati, maka bicara pula soal cinta. Karena cinta adalah perkara hati, dan hati adalah urusan Ilahi. Demikian Ibnu Hazm pernah berkata.

Itulah sebabnya kau tidak bisa memutuskan kemana cinta di dalam hatimu itu akan berlabuh. Kepada siapa benih-benih cinta itu akan kau tanam, lalu kau semai dan kau petik buahnya di kemudian hari. Karena hatimu bukan milikmu. Bolak-baliknya ia bukanlah urusanmu.

Oleh karenanya, ketika suatu hari Rasulullah ditanya tentang siapa wanita yang paling dicintainya, ia menjawab dengan tegas, “Aisyah.” Lalu ketika ia ditanya lagi, “Bagaimana dengan Khadijah?”. Dengan mata berkaca-kaca, Rasulullah menjawab, “Inni ruziqtu hubbaha.” Sesungguhnya aku dianugerahiNya cinta kepada Khadijah.”

Hari ini, kau mungkin tengah bimbang. Entah itu bimbang menentukan langkah, atau bimbang saat menimbang sebuah jawaban yang akan menentukan seperti apa masa depan cintamu kelak. Oleh karenanya, rapalkanlah doa “Allahumma inna na’udzubika minal hammi wal hazan”, Ya Allah aku berlindung padamu dari rasa sempit dan gelisah di dada, di setiap waktu senggangmu. Ingat-ingatlah bahwa cinta adalah perkara hati dan hati adalah urusan Ilahi. Maka serahkan semua keputusan cintamu hanya padaNya. Pada Dia yang Maha Membolak-balikkan hati manusia. [wahidnugroho.com]



Meruya, September 2017

Sabtu, 02 September 2017

Foto

“Mas Wahid, punya foto buat ditaruh di biodata, nggak?”

Tanya orang yang menjadi perantara proses taaruf saya dengan calon istri.

“Saya cari dulu.”

Maka mulailah saya mencari-cari foto saya dalam format tercetak. Kalau kejadiannya sekarang, mungkin bakalan lebih gampang. Tinggal cekrek, kirim whatsapp, beres. Tapi ini di awal tahun 2008, ketika Friendster dan Multiply masih merajalela dan pendiri Whatsapp, Jan Koum, masih sibuk bermain frisbee di Afrika.

Dan ternyata hasilnya nihil.

Ternyata saya tidak punya foto saya sendiri dalam kondisi yang terbaru. Saya lalu ingat dengan teman sekantor yang dulu, rasa-rasanya, pernah saya mintai tolong untuk mengambil foto saya dengan telepon seluler berkamera yang baru dibelinya. Setelah dicari, didapatilah foto ini. Saya mungkin pernah mengunggah foto ini di akun media sosial saya beberapa waktu yang lalu.

Ini adalah foto yang diambil di ruang TPT KPP Luwuk (belum lagi KPP Pratama Luwuk) sekitar akhir tahun 2007 dengan kamera yang ada di telepon seluler milik teman saya itu. Itulah salah satu foto saya yang diambil dengan tanpa menahan napas sebagaimana yang akan sering saya lakukan di tahun-tahun mendatang karena bertambahnya beban hidup. Baju cokelat itu saya beli di Golden Hill setelah saya menerima uang insentif yang sudah dikurangi belanja buku di Manado, ikat pinggang itu saya beli di Harmoni Ceger di malam menjelang keberangkatan ke Luwuk, dan celana cokelat itu adalah celana zaman kuliah yang saya bawa dari Jakarta.

Di foto itu, berat badan saya masih enam satu atau enam dua, masih kuat lari keliling lingkar luar Masjid Agung Luwuk tiga kali tanpa berhenti, masih mampu main sepakbola lapangan besar di Kilongan dan Persibal meski hanya tiga kali bolak-balik lari-lari manja, dan masih belum terlalu doyan makan ikan.

Saya lalu meminta foto itu dan mencetaknya di tempat cetak foto yang ada di samping Masjid Muttahidah itu. Setelah saya cetak, saya berikan foto itu kepada sang perantara. Proses taaruf lalu berjalan sampai ke jenjang pernikahan.

Ketika kita melihat foto yang diambil dari masa silam, kita seolah melihat sebentuk keajaiban. Bahwa secarik kertas telah berhasil memenjarakan tidak hanya cahaya dan waktu, tapi juga kenangan sekaligus; pahit manisnya. [wahidnugroho.com]



Meruya, September 2017

Senin, 28 Agustus 2017

Menikah Adalah Niat Baik

Seseorang bertanya kepada saya tentang apa makna sebenarnya dari menikah? Jawaban klisenya: menikah adalah ibadah. Tapi jika redaksi ‘ibadah’ masih terlalu mengawang-awang dan terkesan berat, maka saya akan berikan opsi selanjutnya: bahwa menikah adalah niat baik.

Ketika sepasang anak manusia hendak memasuki sebuah jenjang pernikahan, maka yang melandasi semuanya itu, seharusnya, adalah niat baik. Bahwa saat saya menikahi seorang wanita, maka tentulah saya berniat untuk membangun sebuah keluarga yang baik. Sudah pasti saya akan menjadikan keluarga saya sebagai anggota masyarakat yang baik dan bisa mendistribusikan kebaikan itu kepada sekitar.

Mustahil kiranya orang menikah dengan tujuan yang tidak baik, apalagi untuk merugikan orang lain. Jika memang kemungkinan ini ada, maka yang terjadi di antara keduanya bukanlah pernikahan. Pernikahan tidak mengakomodasi kemungkinan semacam itu.

Oleh karena menikah adalah niat baik, maka menyiapkannya pun juga perlu dengan cara yang baik. Demikian pula dalam menjalaninya. Niat baik laiknya didukung dengan ikhtiar yang baik pula. Karena jika tidak demikian, maka niat baik itu cenderung mengundang fitnah dan potensi keburukan bagi kedua belah pihak.

Maka modal utama dalam sebuah pernikahan, menurut saya, ada empat: semangat pengabdian, semangat belajar tanpa lelah, semangat berbagi tanpa henti, dan mengedepankan prasangka baik. Dengan menikah, maka kita meniatkannya sebagai bagian pengabdian kita kepadaNya. Dengan menikah, maka kita seolah memasuki sebuah universitas peradaban, tempat kita saling menyempurnakan dan memperbaiki satu sama lain. Dengan menikah, maka kita selalu menempatkan diri sebagai orang yang siap berbagi, baik itu dengan pasangan hidup maupun dengan anak-anak yang menjadi tanggungan kita kelak. Dengan menikah, maka itu artinya kita mengedepankan prasangka baik dan saling menerima kekurangan masing-masing seraya memperbaikinya secara berkesinambungan.

Menikah adalah niat baik. Kebaikan meliputi semua aspek ruang dan waktunya. Kebaikan saat mengawali, kebaikan saat menjalani, dan kebaikan saat mengakhiri. Menikah adalah niat baik. [wahidnugroho.com]




Meruya, Agustus 2017

Sabtu, 26 Agustus 2017

Hanya Raga, Bukan Jiwa

Pagi ini saya menyengaja berangkat ke kantor lewat jalur yang berbeda dari biasanya. Jalanan belum ramai benar meski di beberapa lokasi sudah terjadi sedikit antrian kendaraan. Semua berjalan biasa sebagaimana yang lazimnya terjadi di wilayah pinggiran Jakarta sampai akhirnya saya melihat sebuah pemandangan yang menarik.

Ada seorang suami dan istrinya yang sedang menggendong anaknya yang masih bayi berdiri di salah satu sisi jalan. Sebuah keluarga muda. Suaminya berpakaian necis, lengkap dengan jaket jas dan tas ransel berwarna hitam yang ditaruh di dekat kakinya. Sementara istrinya berpakaian rumahan: rapi, sederhana.

Dari gestur yang terlihat, sang suami sepertinya hendak berangkat kerja (atau ke suatu tempat) dan sang istri, beserta anaknya yang masih bayi, mengantarnya sampai ke pinggir jalan. Saya mengamati keluarga muda itu. Perkiraan saya, keduanya belum genap berusia dua puluh lima, atau di kisaran dua puluh lima dan dua puluh enam.

Pasangan muda itu tampak sedang berbincang kecil. Suasana lalu lintas yang tidak seberapa ramai tidak sampai membuat mereka saling menaikkan suara. Dari amatan saya, sang suami yang terlihat memegang kendali pembicaraan, sementara istrinya tampak khidmat menyimak.

Mungkin ia sedang berpesan kepada istrinya bahwa ia akan pulang terlambat. Saya membayangkan alasan-alasan yang mungkin dikatakan sang suami: bahwa situasi lalu lintas akhir-akhir ini sedang sulit diprediksi, bahwa atasannya di kantor memerlukan bantuannya untuk menyelesaikan pekerjaan yang tenggat waktunya akan habis, bahwa ia akan mengikuti pesta perpisahan teman kantor yang dimutasi ke suatu daerah, bahwa ia akan mengunjungi seorang kenalan yang istrinya baru saja melahirkan, dan alasan-alasan lainnya.

Istrinya tampak sesekali mengangguk dan beberapa detik kemudian, keduanya sudah tampak siap berpisah. Mungkin bus yang akan dinaiki oleh suaminya sudah dekat, atau taksi yang dipesan mereka sudah terlihat. Sang suami menggendong anaknya yang masih bayi, menciuminya, dan tampak sedang mengurapinya dengan kata-kata yang baik sementara sang istri memandangi bapak dan anak itu sambil tersenyum. Setelah menyerahkan sang anak kepada istrinya, ia lalu mencium pipi kiri dan kanan perempuan muda itu, yang diikuti dengan sang istri yang mencium tangan suaminya.

Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan adegan singkat itu karena antrean kendaraan yang ada di depan saya berangsur terurai dan saya harus maju terus. Peristiwa singkat yang baru saja saya lihat barusan itu bisa jadi merupakan peristiwa yang biasa-biasa saja. Mungkin ada yang menganggap bahwa peristiwa istri yang sedang melepas suami untuk bekerja adalah suatu kelaziman, sebagaimana para istri di zaman purba yang melepas suami-suami mereka berburu di alam bebas dan pulang ke rumah membawa hasil buruan yang bisa mereka nikmati.

Tapi saya kemudian tersadar, bahwa meski tampak sederhana, peristiwa kecil itu bisa jadi suatu kemewahan tersendiri bagi pasangan suami istri yang dipisahkan oleh jarak. Long distance love. Long distance relationship. Sebut saja demikian. Pasangan yang, mungkin, baru saja dikaruniai anak, lalu sang ayah harus keburu pergi ke tempat lain demi menyambung mimpi mereka sementara sang ibu menjaga dan membesarkan sang anak di rumah. Atau mereka yang berangkat saat langit masih gelap dan malam masih enggan beranjak. Meninggalkan anak-anak mereka yang masih terlelap dan wajah istri yang masih berbau bantal. Atau kemungkinan-kemungkinan lainnya. Saya tidak tahu.

Peristiwa berpisahnya suami dan istri di pinggir jalan yang agak ramai pagi hari itu mungkin terlihat biasa. Tapi saya tidak memandangnya demikian. Ada banyak dimensi yang terlibat dari peristiwa sederhana itu. Sesuatu yang tampak tenang di permukaan biasanya menyimpan kerumitannya tersendiri di bawah permukaannya. Peristiwa itu juga mengajarkan saya bersyukur, bahwa saya masih diberikan kesempatan untuk melakukan ritual itu betapapun masih jauh dari kata sempurna.

Namun betapapun pahitnya sebuah perpisahan, hati yang saling mencinta akan tetap terpaut. Karena lautan, jalanan, pegunungan, dan hutan-hutan hanya memisahkan raga dengan raga, bukan jiwa dengan jiwa. [wahidnugroho.com]


Meruya, Agustus 2017

Klerikal Adalah Periferal

Pada sebuah kesempatan yang sudah cukup lama berlalu, istri saya berkata kepada anak-anak yang disuruhnya membantu pekerjaan di dapur dengan alasan: supaya kalau sudah nikah nanti, mereka bisa jadi istri yang bisa mengurus rumahnya dengan baik.

Saya tidak sepenuhnya setuju dengan cara pandang semacam itu. Bahwa perempuan -- ketiga anak saya perempuan -- dihimbau agar melatih dirinya melakukan pekerjaan-pekerjaan klerikal seperti bersih-bersih rumah, memasak, mencuci, dan menyetrika baju; saya setuju. Tapi jika upaya melatih diri itu dikaitkan dengan kriteria baik tidaknya pernikahan dan dilekatkan pula dengan peran seorang istri, saya kurang setuju. Kemampuan klerikal, dalam pandangan saya, cenderung periferal. Cenderung.

Oleh karenanya, saya kemudian menawarkan alternatif sudut pandang versi saya kepadanya.

"Belajarlah memasak, belajarlah mencuci, belajarlah melakukan pekerjaan rumah bukan lantaran kamu kelak akan jadi istri, atau demikianlah syarat menjadi istri yang baik di mata suamimu. Tapi belajarlah mengerjakan semua itu karena: pertama, mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan itu tidak ada ruginya buat kalian. Menjadi bisa tidak ada ruginya. Kedua, jika dengan mampunya kalian melakukan pekerjaan semacam itu bisa membantu meringankan urusan orang lain (entah itu suami, orangtua, atau siapapun), maka kerjakanlah dengan sebaik-baiknya. Lakukan jika memang itu bisa memberi manfaat untuk kamu dan orang-orang yang hidupnya beririsan dengan hidupmu. Belajarlah karena memang kalian sendirilah orang pertama yang paling membutuhkan hasil dari proses belajar itu. Belajarlah untuk bisa bukan karena perasaan tidak enak terhadap orang lain, atau demi menyenangkan orang lain."

Istri yang bisa menyelesaikan pekerjaan rumah adalah baik. Tapi kebaikan seorang istri tidak bisa dinilai secara sepihak dari enak tidaknya masakannya, bisa tidaknya ia mengupas bawang merah dengan benar, mampu tidaknya ia membedakan merica dan ketumbar, rapi tidaknya setrikaannya, bersih tidaknya cucian bajunya, dan perkara-perkara klerikal lainnya. Istri yang baik, menurut saya, menyimpan tumpukan profil yang sangat komplek dan, bisa jadi, sangat subjektif. Karena pengkriteriaan (bahasa ini baku atau nggak ya, hehe) itu bisa sangat bergantung pada profil suami yang bersangkutan: latar belakang pendidikannya, termasuk juga pengalaman-pengalamannya saat bersinggungan dengan perkara keperempuanan.

Tema ini belum selesai saya dalami, dan mungkin akan memakan waktu yang sangat panjang. Saya, bersama istri, juga masih mencari formulasi yang tepat, atau setidaknya proporsional, mengenai profil ketiga putri kami terkait dengan peran-peran mereka di masa depan. Tapi, satu saja pesan awal saya buat mereka (sebagaimana yang selalu saya ulang-ulang untuk saya dan istri): bahwa kalau kamu tidak bisa memberi manfaat, maka jangan sampai merugikan.

Sementara itu dulu. Nanti akan disambung lagi, insya Allah. [wahidnugroho.com]


Meruya, Agustus 2017

Bohong

Istri mengabari saya tentang Azka yang menangis di sekolah karena dibohongi oleh teman sekelasnya. Buku yang sedang saya baca lalu saya beri penanda dan saya tutup sementara.

"Saking kesalnya dia, bukunya sampai dia robek-robek, bi," ujar makhluk cantik itu merinci situasi.

"Dia sebenernya udah diingetin sama temen-temennya yang lain supaya jangan berteman sama dia (yang bohongin dia itu)."

Tambahan informasi lagi.

"Panggil kesini anaknya," kata saya.

Saya lalu bertanya kepadanya perihal situasi yang tadi dihadapinya di sekolah, bagaimana ia meresponnya, dan tentang progres pertemanannya dengan si pembohong itu. Ia menjawabnya dengan tenang, nyaris tanpa emosi.

"Dia cuma bercanda, bi. Tapi mbak Azka nggak suka bercanda yang kayak begitu."

Saya menyimak.

"Tapi mbak Azka udah maafin dia kok, bi," ujarnya serius.

Saya lalu menyumbang saran padanya.

"Ini saran dari abi buat kamu. Besok kamu bilang ke, siapa tadi nama temanmu itu.."

Ia menyebut sebuah nama.

"Nah, sama dia, bahwa kamu akan maafin dia atas apa yang terjadi kemarin. Tapi kamu bilang juga ke dia bahwa kamu nggak akan percaya lagi apa katanya."

"Tapi kalau yang dia bilang itu bener gimana, bi?"

"Sebelum dia bohongin mbak Azka, dia juga bilang kalau yang dia bilang itu bener, kan?"

Ia tampak berpikir.

Saya sudah menyampaikan. Tentang bagaimana ia akan memutuskan bersikap, saya serahkan sepenuhnya padanya. [wahidnugroho.com]


Meruya, Agustus 2017

Cerita Tentang Harapan

Ia memang bukan yang pertama, dan ia tahu betul soal itu. Sebelum takdir mempertemukan kami berdua dalam ikatan pernikahan, saya terlebih dulu berproses dengan gadis lain yang kesemuanya berujung pada kegagalan. Bukan hanya sekali atau dua kali, tapi tiga kali. Tapi saya tidak akan merinci kegagalan-kegagalan itu di tulisan ini.


Saya lalu merenung tentang faktor yang membuat saya gagal berproses dengan gadis-gadis yang baik itu. Lama saya merenung sampai akhirnya saya menemukan satu benang merah yang menyatukan ketiganya, yakni harapan. Saya sadar, bahwa saya lalai telah menggantungkan harapan berhasil tidaknya proses taaruf itu kepada selainNya.


Padahal, proses taaruf, kata Mohammad Fauzil Adhim, adalah proses yang sangat sensitif. Sedikit saja terjadi penyimpangan meski dalam skala niat yang paling halus sekalipun, bisa menjungkirkan jalannya proses ke jurang kegagalan. Dan hal itulah yang terjadi pada ketiga proses taaruf saya yang dahulu tak berlanjut ke jenjang yang lebih serius; karena saya berharap terlalu banyak pada ikhtiar manusia.


Saya tidak pernah menyalahkan siapapun atas kegagalan-kegagalan itu kecuali menaruhnya di pundak saya sendiri. Yang salah bukanlah para ustadz dan ustadzah yang menjadi perantara, bukan pula sang gadis dengan keluarganya. Bukan. Yang salah adalah saya sendiri. Sayalah yang menanggungnya. Inilah yang menjadi titik tolak perubahan sikap saya ketika itu hingga akhirnya Allah memberikan saya kesempatan selanjutnya, yakni proses yang keempat.


Proses keempat, yakni proses yang berlangsung antara saya dengan istri saya saat ini, ternyata berbeda. Ketika kabar tentang seorang gadis yang siap dinikahi itu datang, jiwa dan pikiran saya terasa jauh lebih ringan. Saya tidak membuat prasangka apapun terhadap proses ini, termasuk kepada sosoknya yang saya belum tahu dengan pasti itu. Saya niatkan jalannya proses ini, seluruhnya, sesuai dengan kehendakNya. Saya berpasrah sepenuhnya.


Maka proses itu berlangsunglah dan Allah pun menunjukkan kuasaNya satu demi satu kepada proses itu. Kemudahan-kemudahan yang saya dapatkan, keringanan-keringanan yang saya terima, dan kelapangan-kelapangan yang saya alami sepanjang jalannya proses taaruf kemudian menjadi bukti sahihnya. Dan keinsafan saya atas semua bukti itu terjadi dalam jarak yang sangat personal.


Saya selalu percaya bahwa yang mustahil menuai kecewa adalah mereka yang tak pernah menanam harap. Dan menggantungkan harapan kepada Dia Yang Maha Berkehendak, membuat saya tak layak merasa kecewa sedikit pun dengan apapun keputusanNya.


“Kamu tahu, apa yang membedakan proses taarufku bersamamu dibandingkan dengan proses taarufku dengan yang sebelumnya?” tanya saya suatu hari kepadanya.


Kepala yang cantik itu menggeleng anggun.


“Bedanya pada harapan,” saya memulai cerita. Ia lalu mendekat.


Saya lalu menceritakannya sebagaimana yang telah saya tulis di atas dan kepala yang cantik itu pun semakin mendekat. Rapat. [wahidnugroho.com]



Meruya, Agustus 2017

Sabtu, 21 Januari 2017

Kehidupan

Suatu hari, putriku, dengan ransel besar di punggungnya, bertanya, "Ayah, apa itu kehidupan?"

Aku menjawab, "Anakku, kehidupan adalah anugerah Tuhan. Ia adalah kesempatan bagi manusia untuk memilih di antara dua: kebaikan atau keburukan."

Ia tampak tidak puas dan kembali bertanya.

"Ayah, aku belum mengerti tentang kebaikan dan keburukan. Jelaskan padaku tentang keduanya," pintanya lagi.

Kupandangi mata putriku yang jernih.

"Putriku, kebaikan adalah sesuatu yang bila kau kerjakan membuatmu bahagia. Dan keburukan, adalah sesuatu yang bila kau lakukan membuat hatimu ragu dan gelisah."

Ia, sepertinya, masih belum puas.

"Apa yang mengganggu pikiranmu, nak?"

"Tentang kehidupan, ayah."

"Bagaimana menurutmu?"

Ia terlihat ragu.

"Katakan saja. Aku siap menyimak pendapatmu."

"Menurutku, kehidupan adalah sesuatu yang terbuat dari kematian orang-orang yang menolak bungkam."

Aku tersentak. Ternyata aku sedang berhadapan dengan orang lain yang baru kukenal, yang berwujud sebagai anakku. Kata-katanya yang tajam itu tak pernah sedikitpun terlintas di benakku.

"Kau benar, nak. Orang-orang tanpa nama yang memilih mati tanpa dicatat sejarah demi membela masa depan yang tidak akan mereka nikmati itulah sejatinya yang telah mewariskan kehidupan untuk kita. Orang-orang yang penderitaan dan kematiannya hanya dianggap angka-angka dan angin lalu."

"Tapi aku masih belum mengerti, ayah." Ia menatapku lagi.

“Tentang orang-orang itu?”

Ia mengangguk.

"Mereka tidak harus selalu dimengerti, nak. Cukup dengan mengenang mereka, merapalkan doa untuk mereka, ayah yakin mereka akan berbahagia bahwa pengorbanan tanpa nama mereka tidak akan pernah sia-sia."

"Ayah, aku tak ingin bungkam. Aku menolak membisu."

Ia berkata begitu seolah kata-kataku sebelumnya tak pernah ada.

"Resikonya berat, nak. Apakah kau sanggup bersuara saat yang lainnya memilih bungkam? Apakah kau siap berpeluh saat yang lainnya memilih keluh? Siapkah kau diasingkan saat mereka bersatu dan bersekutu untuk mengalahkanmu?"

"Aku tidak tahu, tapi aku akan berusaha."

Wajahnya menyiratkan keteguhan. Matanya, ah, matanya yang jernih itu mengingatkanku akan sosok ibunya yang tegar.

"Aku tak mau, dan sudah pasti takkan mampu, mencegahmu, nak."

Ia mengangguk dengan kekuatan penuh.

"Ayah," katanya sambil mengelus rambutku, "sertakan aku dalam doa-doamu."

"Namamu tak pernah luput, anakku."

"Aku sadar, kelak kehidupan yang kuperjuangkan ini akan merampas kehidupanku sendiri. Akan tetapi, aku yakin bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan hambaNya berjuang sendirian."

"Keyakinanku sama dengan keyakinanmu, nak."

"Ayah," ujarnya lagi.

"Jika kelak aku mati demi memperjuangkan kehidupan di masa depan, aku ingin ayah mengingat-ingat syair ini:

Anakmu yang berani
Telah tersungkur mati
Ketika melawan tirani.
"

Kupandangi lagi wajahnya. Kuusap kepalanya yang dibalut kerudung merah saga. Kusentuh pipinya yang sewarna puspita.

"Aku pun ingin menyitir syair untukmu, nak:

Jika adalah yang harus kaulakukan
Ialah menyampaikan kebenaran
Jika adalah yang tidak bisa diperjualbelikan
Ialah yang bernama keyakinan
Jika adalah yang kau harus tumbangkan
Ialah segala pohon-pohon kezaliman
Jika adalah orang yang harus kau agungkan
Ialah hanya Rasul Tuhan
Jika adalah kesempatan memilih mati
Ialah syahid di jalan Ilahi.
"

Bening tercipta di sudut matanya. Ia mencium tanganku, pipiku. Kucium pipinya, harum rambutnya, halus tangannya.

"Berangkatlah, nak."

Jawabannya hanya sebait salam dan seutas senyum. Dan ia pun mulai melangkah meninggalkanku. Berjalan. Menjauh. Sendirian. [wahidnugroho.com]