Suatu hari, putriku, dengan ransel besar di punggungnya, bertanya, "Ayah, apa itu kehidupan?"
Aku menjawab, "Anakku, kehidupan adalah anugerah Tuhan. Ia adalah kesempatan bagi manusia untuk memilih di antara dua: kebaikan atau keburukan."
Ia tampak tidak puas dan kembali bertanya.
"Ayah, aku belum mengerti tentang kebaikan dan keburukan. Jelaskan padaku tentang keduanya," pintanya lagi.
Kupandangi mata putriku yang jernih.
"Putriku, kebaikan adalah sesuatu yang bila kau kerjakan membuatmu bahagia. Dan keburukan, adalah sesuatu yang bila kau lakukan membuat hatimu ragu dan gelisah."
Ia, sepertinya, masih belum puas.
"Apa yang mengganggu pikiranmu, nak?"
"Tentang kehidupan, ayah."
"Bagaimana menurutmu?"
Ia terlihat ragu.
"Katakan saja. Aku siap menyimak pendapatmu."
"Menurutku, kehidupan adalah sesuatu yang terbuat dari kematian orang-orang yang menolak bungkam."
Aku tersentak. Ternyata aku sedang berhadapan dengan orang lain yang baru kukenal, yang berwujud sebagai anakku. Kata-katanya yang tajam itu tak pernah sedikitpun terlintas di benakku.
"Kau benar, nak. Orang-orang tanpa nama yang memilih mati tanpa dicatat sejarah demi membela masa depan yang tidak akan mereka nikmati itulah sejatinya yang telah mewariskan kehidupan untuk kita. Orang-orang yang penderitaan dan kematiannya hanya dianggap angka-angka dan angin lalu."
"Tapi aku masih belum mengerti, ayah." Ia menatapku lagi.
“Tentang orang-orang itu?”
Ia mengangguk.
"Mereka tidak harus selalu dimengerti, nak. Cukup dengan mengenang mereka, merapalkan doa untuk mereka, ayah yakin mereka akan berbahagia bahwa pengorbanan tanpa nama mereka tidak akan pernah sia-sia."
"Ayah, aku tak ingin bungkam. Aku menolak membisu."
Ia berkata begitu seolah kata-kataku sebelumnya tak pernah ada.
"Resikonya berat, nak. Apakah kau sanggup bersuara saat yang lainnya memilih bungkam? Apakah kau siap berpeluh saat yang lainnya memilih keluh? Siapkah kau diasingkan saat mereka bersatu dan bersekutu untuk mengalahkanmu?"
"Aku tidak tahu, tapi aku akan berusaha."
Wajahnya menyiratkan keteguhan. Matanya, ah, matanya yang jernih itu mengingatkanku akan sosok ibunya yang tegar.
"Aku tak mau, dan sudah pasti takkan mampu, mencegahmu, nak."
Ia mengangguk dengan kekuatan penuh.
"Ayah," katanya sambil mengelus rambutku, "sertakan aku dalam doa-doamu."
"Namamu tak pernah luput, anakku."
"Aku sadar, kelak kehidupan yang kuperjuangkan ini akan merampas kehidupanku sendiri. Akan tetapi, aku yakin bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan hambaNya berjuang sendirian."
"Keyakinanku sama dengan keyakinanmu, nak."
"Ayah," ujarnya lagi.
"Jika kelak aku mati demi memperjuangkan kehidupan di masa depan, aku ingin ayah mengingat-ingat syair ini:
Anakmu yang berani
Telah tersungkur mati
Ketika melawan tirani."
Kupandangi lagi wajahnya. Kuusap kepalanya yang dibalut kerudung merah saga. Kusentuh pipinya yang sewarna puspita.
"Aku pun ingin menyitir syair untukmu, nak:
Jika adalah yang harus kaulakukan
Ialah menyampaikan kebenaran
Jika adalah yang tidak bisa diperjualbelikan
Ialah yang bernama keyakinan
Jika adalah yang kau harus tumbangkan
Ialah segala pohon-pohon kezaliman
Jika adalah orang yang harus kau agungkan
Ialah hanya Rasul Tuhan
Jika adalah kesempatan memilih mati
Ialah syahid di jalan Ilahi."
Bening tercipta di sudut matanya. Ia mencium tanganku, pipiku. Kucium pipinya, harum rambutnya, halus tangannya.
"Berangkatlah, nak."
Jawabannya hanya sebait salam dan seutas senyum. Dan ia pun mulai melangkah meninggalkanku. Berjalan. Menjauh. Sendirian.
[wahidnugroho.com]