Sabtu, 02 September 2017

Foto

“Mas Wahid, punya foto buat ditaruh di biodata, nggak?”

Tanya orang yang menjadi perantara proses taaruf saya dengan calon istri.

“Saya cari dulu.”

Maka mulailah saya mencari-cari foto saya dalam format tercetak. Kalau kejadiannya sekarang, mungkin bakalan lebih gampang. Tinggal cekrek, kirim whatsapp, beres. Tapi ini di awal tahun 2008, ketika Friendster dan Multiply masih merajalela dan pendiri Whatsapp, Jan Koum, masih sibuk bermain frisbee di Afrika.

Dan ternyata hasilnya nihil.

Ternyata saya tidak punya foto saya sendiri dalam kondisi yang terbaru. Saya lalu ingat dengan teman sekantor yang dulu, rasa-rasanya, pernah saya mintai tolong untuk mengambil foto saya dengan telepon seluler berkamera yang baru dibelinya. Setelah dicari, didapatilah foto ini. Saya mungkin pernah mengunggah foto ini di akun media sosial saya beberapa waktu yang lalu.

Ini adalah foto yang diambil di ruang TPT KPP Luwuk (belum lagi KPP Pratama Luwuk) sekitar akhir tahun 2007 dengan kamera yang ada di telepon seluler milik teman saya itu. Itulah salah satu foto saya yang diambil dengan tanpa menahan napas sebagaimana yang akan sering saya lakukan di tahun-tahun mendatang karena bertambahnya beban hidup. Baju cokelat itu saya beli di Golden Hill setelah saya menerima uang insentif yang sudah dikurangi belanja buku di Manado, ikat pinggang itu saya beli di Harmoni Ceger di malam menjelang keberangkatan ke Luwuk, dan celana cokelat itu adalah celana zaman kuliah yang saya bawa dari Jakarta.

Di foto itu, berat badan saya masih enam satu atau enam dua, masih kuat lari keliling lingkar luar Masjid Agung Luwuk tiga kali tanpa berhenti, masih mampu main sepakbola lapangan besar di Kilongan dan Persibal meski hanya tiga kali bolak-balik lari-lari manja, dan masih belum terlalu doyan makan ikan.

Saya lalu meminta foto itu dan mencetaknya di tempat cetak foto yang ada di samping Masjid Muttahidah itu. Setelah saya cetak, saya berikan foto itu kepada sang perantara. Proses taaruf lalu berjalan sampai ke jenjang pernikahan.

Ketika kita melihat foto yang diambil dari masa silam, kita seolah melihat sebentuk keajaiban. Bahwa secarik kertas telah berhasil memenjarakan tidak hanya cahaya dan waktu, tapi juga kenangan sekaligus; pahit manisnya. [wahidnugroho.com]



Meruya, September 2017
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar