Kamis, 30 Juni 2011

Tentang Marah

Rihlah peringatan Hari Keluarga Rabu (29/6) kemarin menyisakan banyak cerita. Salah satu yang saya dan istri ingat adalah sambutan yang disampaikan oleh ustadz kami, Iswan Kurnia Hasan Lc. Dalam sambutan singkatnya, beliau mencuplik sedikit cerita dari istri almarhum Haji Subhan yang terus-menerus pingsan saat mengenang sosok suaminya yang luar biasa itu. Dimana luar biasanya?

Ustadz Iswan berkata bahwa sepanjang usia pernikahan mereka tak pernah sekalipun almarhum memarahi istrinya. Itulah sebabnya, saat sang istri mengingat kembali momen itu, ia langsung jatuh pingsan berulang kali. Saya takjub. Sebagian besar keluarga yang menghadiri acara itu juga takjub. Anda yang membaca tulisan ini mungkin akan berdecak kagum dengan “ketangguhan” sang suami tersebut.

Saya pernah mendengar kisah lain yang sedikit berbeda tapi substansinya sama: kesabaran. Syahdan ada seorang suami yang tak pernah mengeluhkan masakan istri, baik enak maupun tidak. Saya tidak tahu secara persis bagaimana kelanjutan kisah ini, apakah sang istri tetap nyaman dengan ketidak-bisa-masaknya, atau sebaliknya. Terus terang saya tidak terlalu tertarik untuk mengetahuinya.

Kemarin siang, ketika kami berempat dalam perjalanan pulang ke rumah, istri saya menceritakan kembali kisah tentang almarhum Haji Subhan itu kepada saya. Sebabnya bagi istri saya jelas: saya termasuk kriteria suami yang sering memarahinya, sehingga istri saya perlu untuk membangkitkan kembali cerita itu untuk menyindir saya. Jawaban saya saat disindir seperti itu singkat saja, “Saya ini Wahid, bukan Haji Subhan!”. Intonasi saya jelas dan tegas.  

Di sisi lain, saya jadi merasa sedikit bersalah – sekali lagi: sedikit – dengan sindiran istri saya itu. Saya harus akui kalau saya bukanlah tipe suami yang seheroik dua kisah di atas. Ketika masakan istri saya tak enak, saya katakan dengan jujur. Ketika saya tak suka istri saya begini dan begitu, saya katakan terus terang. Ketika saya merasa tak nyaman, saya ungkapkan apa adanya. Saya memang tak suka memendam emosi dan lebih suka untuk mengungkapkannya.

Kadang, marah itu harus saya ungkapkan lewat kata-kata, kadang dengan diam. Bila emosi saya berada pada titik didih, saya biasanya diam atau memasang wajah masam. Saya bukan tipe suami yang marah dengan berisik. Biasanya, ketika emosi mereda, saya bicarakan permasalahan yang menggusarkan itu di dalam kamar ketika anak-anak sudah tertidur. Prinsip saya ketika sedang marah adalah, masalah tidak boleh dibawa tidur dan harus selesai hari ini juga. Kadang masalah itu selesai dengan singkat, kadang saya perlu mengulurnya beberapa jam.

Ketika mendengar dua kisah gemerlap di atas barusan, saya sempat sedikit tergoda untuk merubah diri menjadi sosok suami yang heroik tersebut, atau setidaknya mendekati. Tapi hasilnya justru membuat saya tak nyaman. Rasul saja pernah marah. Well, marahnya Rasul memang sangat beralasan, ada banyak kisah yang berserak tentang hal ini di dalam hadits beliau. Setidaknya alasan itu yang saya berikan kepada istri saya kemarin. Tapi sindiran itu cukup menggelisahkan saya, setidaknya membuat saya kembali mengintrospeksi diri, apakah saya sesering itu marah, atau memarahinya?

Jawaban atas pertanyaan saya di atas tentu hanya bisa dijawab oleh istri saya. Sekarang, sambil mencoba untuk berkompromi dengan godaan di atas, sepertinya saya butuh waktu sejenak untuk mengenang kembali saat-saat saya marah – dan memarahi – kepada istri saya. Apakah marah yang saya keluarkan itu sudah sesuai porsi dan situasinya, apakah marah yang saya lakukan itu sudah masuk akal alasannya, atau faktor-faktor lain yang menentukan konfigurasi dan komposisi emosi saya kepada wanita yang saya cintai itu.

Bismillah. [wahidnugroho.blogspot.om]


Simpong, Juni 2011
Ronda tengah malam.

Senin, 27 Juni 2011

Lelaki Baik Hati

Saya tidak terlalu kenal dengan lelaki berusia sekitar 80 tahunan itu. Posturnya yang tinggi kurus, kulitnya cerah bercahaya, rambutnya memutih di nyaris semua bagiannya tampak biasa saja di mata saya. Pembawaannya ramah, tak terlalu banyak bicara, dan senyum selalu mengembang dari wajahnya. Malam itu adalah momen pertama saya bersua dengannya.

“Acara kecil-kecilan ini dibuat sebagai wujud rasa syukur kami karena mobil kami telah sampai dengan selamat di Luwuk”, ujarnya sambil menunjuk ke arah mobil jenis land cruiser bermerk Ford itu. Beberapa undangan tampak mengalihkan wajahnya ke arah yang ditunjuk oleh lelaki itu. Tampak sebuah mobil berwarna hitam dengan nomer polisi berawalan L terparkir di sudut rumahnya. Lelaki tua itu tampak tersenyum penuh syukur.

Tak seberapa lama, di hadapan kami telah terhidang hidangan urap lengkap dengan tahu tempenya, serta masakan daging dan, tentu saja, ikan bakar dengan dabu-dabunya. Setelah menyilakan para undangan untuk makan, pandangan saya masih lekat kepada sosok lelaki itu. Ia tampak memberi isyarat kepada putrinya untuk mengambilkan makanan baginya. Putri lelaki itu, yang berusia sekitar 40’an tahun, beliau seorang ibu yang sangat baik, dengan sigap mengambilkan sedikit nasi dan beberapa lauk ke dalam piring berwarna putih susu. Lelaki itu kemudian tampak menikmati suguhan urap dan beberapa potong tahu tempe yang ada di hadapannya.

Itulah momen pertama, sekaligus terakhir saya bersua dengannya. Peristiwa yang sudah terjadi beberapa bulan yang lalu itu terbayang kembali di benak saya ketika Ahad siang kemarin (26/6) saya menerima telepon dari seseorang tentang kabar lelaki baik hati itu. Terbayang tentang kebaikan hati beliau saat mewakafkan seluruh tanahnya, meski sebagian akhirnya dibebaskan dengan cara patungan melalui wakaf tunai, untuk proyek pembangunan masjid dan juga sekolah Islam di kawasan yang terkenal dengan “kawasan lampu merah-nya” Luwuk itu. Saya juga teringat dengan kebaikan putri dan menantu lelaki baik hati itu ketika kami semua berpeluh saat menyelesaikan proses pembangunan masjid tersebut dan mereka begitu ringan tangan untuk membantu memenuhi segala keperluan pembangunan masjid itu.

Kebaikan lelaki itu seolah belum bertepi. Hari Sabtu (25/6) kemarin, saya dikabari oleh ketua yayasan kami, yayasan yang diamanahi untuk melaksanakan proyek pembangunan beberapa masjid dan sekolah Islam, bahwa kami baru saja dihadiahi sebuah mobil pick up oleh lelaki itu, lelaki yang baik hati itu. Mobil berwarna biru keluaran tahun 2008 itu adalah mobil yang biasa kami gunakan untuk mengangkut kayu, serta untuk keperluan distribusi logistik ketika terjadi kebakaran hebat di sebuah sudut kota ini beberapa waktu yang lalu.

Beberapa detik kemudian, suara di ujung telepon membuyarkan lamunan saya tentang sosok lelaki yang baik hati itu. “Innalillahi wa inna ilayhi raji’un”, sahut saya perlahan saat mendengar kabar tentang lelaki baik hati yang ternyata sudah beberapa hari terbaring koma di rumah sakit.

Ahad sore kemarin, saya kembali menemui lelaki itu. Ia tetap dengan tubuh kurusnya, kulit cerahnya dan rambutnya yang kian memutih. Perlahan saya menyentuh lengannya yang dingin dan mengamati wajahnya yang tampak tenang seraya merapalkan doa, “Allahumaghfirlahu warhamhu wa’afiyhi wa’fu’anhu”.

Lelaki baik hati itu bernama Haji Subhan. Ahad siang kemarin Allah telah memanggil beliau setelah hari-hari terakhirnya dihabiskan di rumah sakit karena gagal ginjal. Putrinya tampak terpukul dengan kejadian ini, beberapa sanak familinya juga tampak begitu sedih. Saya sendiri tidak mengenal beliau dengan baik, pun dengan kepribadiannya sehari-hari. Tapi kemuliaan hatinya, kebaikan budi dan keringanan tangannya saat membantu pembangunan masjid, sekolah dan kegiatan sosial lainnya telah membuat saya begitu kehilangan beliau. Kalaupun di yaumil akhir kelak, ketika segala amal dihisab dengan hitungan yang maha detail, saya tak berkeberatan untuk menjadi saksi atas segala kemuliaan hati lelaki yang baik itu di kala hidupnya. Sungguh, saya sama sekali tidak keberatan.


[wahidnugroho.blogspot.com]


Simpong, Juni 2011

Ceramah-Ceramah Hasan Al Banna: Iftitah



Ide ini sebenarnya sudah tumbuh sejak lama. Beberapa tahun yang lalu, saya berniat untuk mempublikasikan salinan buku Manhaj Haraki dan Ceramah-Ceramah Hasan Al Banna melalui blog ini, khususnya salinan buku Manhaj Haraki sudah pernah saya buat hingga sekitar tigapuluhan halaman. Entah karena kelalaian atau karena kejenuhan yang melanda, ditambah saya belum memiliki laptop kala itu dan beberapa kali gonta-ganti komputer kantor plus hilangnya flashdisk saya (apes banget sih hehe),  file word yang sudah saya buat itu hilang entah kemana. Tak terlacak, sampai hari ini.

Kali ini, ide yang dulu sempat tertunda akan coba saya realisasikan, hanya saja, buku yang akan saya salin adalah sebuah buku yang dulu pernah dicetak tebal bertajuk Ceramah-Ceramah Hasan Al Banna. Sejak beberapa tahun yang lalu, saya dilupakan kapan persisnya, buku ini mulai dicetak dalam dua jilid oleh penerbit Era Intermedia.

Pertanyaannya adalah, kenapa harus buku itu?

Saya telah melakukan survey kecil-kecilan di Google, dan sepertinya belum ada blogger/website yang memberikan porsi tertentu di blognya, dan juga fokus, untuk menyajikan tema ini (cmiiw). Padahal ada banyak sekali faidah dan juga kebaikan yang, insya Allah, berlimpah dari buku yang disusun oleh Ustadz Ahmad Isa Aasyur tersebut.

Oleh karenanya, perlu ada seseorang yang harus mau dan, semoga saja, mampu merealisasikannya. Sehingga, mutiara-mutiara yang terpendam itu bisa dinikmati pendarnya dan diambil manfaatnya yang berlimpah. Dan bagi para Anda yang membaca salinan ini, siapa tahu Anda bisa tertarik untuk membeli buku yang disusun berdasarkan kajian rutin yang dibawakan setiap hari Selasa oleh Imam Hasan Al Banna di markas besar Ikhwan. Sebuah kajian yang rutin disambangi oleh Syaikh Qardhawy, Syaikh Sayyid Sabiq, dan Syaikh Muhammad Ghadban di usia belia mereka. Kalau ulama sekelas beliau-beliau saja rutin mendatangi kajian Imam Syahid, apatah lagi kita.

Jadi, dengan mengucapkan basmallah dan menguatkan azzam di dada, proyek penyalinan buku berjudul Ceramah-Ceramah Hasan Al Banna ini akan saya mulai.

Semoga Allah mudahkan urusan ini dan menghitungnya sebagai timbangan kebaikan bagi saya dan kedua orangtua saya.

Amin.

[wahidnugroho.blogspot.com]


Simpong, Juni 2011

Minggu, 26 Juni 2011

[Sekali Lagi] Tentang Membaca Setelah Menikah



Bulan Juli tahun duaribusebelas, itu berarti usia pernikahan saya akan memasuki tahun keempatnya. Hmmm bener-bener nggak terasa. Seolah baru kemarin saya adalah seorang jomblo yang mengenaskan, kemudian menikah dengan seorang wanita yang cantik, lalu dikaruniai dua orang putri yang manis, pintar, dan lucu. Alhamdulillah, semua ini semata-mata karena nikmat Allah yang telah diberikannya kepada saya.

Pagi ini saya kembali membuka beberapa catatan lama. Ternyata, ada sebuah catatan di tahun 2007 yang pernah saya tulis berisikan daftar buku yang pernah saya baca dalam sebulan. Tercatat ada belasan buku yang berhasil saya tamatkan dalam sebulan. Waktu itu saya masih bujangan, of course.

Masa-masa awal pernikahan adalah momen yang penuh dengan euforia pengantin baru, absolutely. Laiknya sepasang insan yang baru menikah tanpa didahului pacaran, medio awal pernikahan tersebut didominasi dengan masa saling mengenal dan memahami antara saya dan istri. Proses yang tak mudah, tentu saja.

Berhubung sebelum menikah kami nggak saling kenal, percikan dan gesekan pun kerap terjadi antara kami berdua. Makanya nggak heran, kalau “prestasi” membaca saya di tahun 2008 yang lalu berada pada titik nadir. Hanya satu dua buku yang berhasil saya tamatkan ketika itu. Saya jadi ingat sebuah tulisan yang pernah saya buat beberapa saat setelah menikah dulu. Tulisan itu merupakan ekspresi kegelisahan saya terhadap pola baca saya yang terkoreksi dengan hadirnya “orang baru” dalam hidup, istri saya.

Sekarang, seiring bertambahnya usia pernikahan, bertambah pula rasa saling memahami antara saya dan istri walau percikan dan gesekan tadi masih ada. Pun ketika anak-anak terlahir, peran sebagai suami dan ayah saya coba jalanin dengan sebaik-baiknya, termasuk dalam urusan baca-membaca buku. Di tahun 2009, jumlah buku yang saya baca mengalami peningkatan yang cukup signifikan, begitu pula di tahun 2010 kemarin.

Setelah saya kalkulasi, berdasarkan ingatan saya yang cetek ini dan dbantu dengan beberapa catatan, jumlah buku yang sudah saya baca setelah menikah ternyata sudah melebihi angka 40. Alhamdulillah. Ternyata, ketakutan saya ketika hendak menikah dulu bahwasanya menikah bisa menghalangi saya untuk menamatkan buku tidak terbukti. Setidaknya buat saya sendiri.

Jumlah ini mungkin tidak seberapa bila dibandingkan dengan jumlah buku yang dihabiskan beberapa kenalan saya di Goodreads dalam setahun. Tapi dengan status saya sekarang, ditambah lagi dengan lingkungan yang menurut saya kurang mendukung upaya menamatkan sebuah buku, apa yang sudah saya capai, bagi saya pribadi, adalah hal yang cukup memuaskan.

Tulisan ini dibuat bukan untuk gede-rasa atau gaya-gayaan. Saya cuma ingin menunjukkan kepada anak-anak saya, siapa tau mereka akan membaca tulisan ini saat mereka dewasa kelak, bahwa abinya mereka ini pernah membuktikan kalau pernikahan bukanlah barrier – penghalang – untuk melakukan hal-hal yang luar biasa dalam hidup mereka. Bagi saya, menamatkan sebuah buku, setebal ataupun setipis apapun buku itu adalah hal yang luar biasa. Hal ini mungkin berbeda bagi lain orang, atau mungkin Anda yang sedang membaca catatan tak penting ini. Tidak masalah, sungguh tidak masalah.

Tujuan saya yang lain adalah ingin membudayakan membaca di keluarga kami. Makanya, sebagian orang heran dan kaget saat mengetahui ada orang pajak yang nggak punya televisi di rumahnya (emangnya pegawai pajak itu harus selalu punya televisi ya?). Tapi saya tetap bergeming. Televisi, walaupun ada banyak acara menarik disana, tetap tidak melebihi kebutuhan saya (dan keluarga) untuk membaca buku. Dan cara yang paling mudah untuk mewarnai kanvas hati anak-anak saya yang masih putih bersih itu adalah dengan cara menjadi role model, tauladan, dan contoh bahwa kedua orangtuanya adalah orang yang paling besar cintanya dengan buku dan membaca buku. Setidaknya begitu.

Demikianlah, moga Allah mudahkan ikhtiar ini. [wahidnugroho.blogspot.com]


Simpong, Juni 2011

Sabtu, 25 Juni 2011

Buku Buku Baru

Hari Rabu kemarin, saya kedatangan paket dari Jurangmangu. Isinya adalah buku-buku yang saya pesan di beberapa toko buku online, yang saya timbun di Jakarta, dan ketika beratnya sudah lebih dari 10 kilogram, buku-buku itu dikirim ke Luwuk melalui ekspedisi kargo. Maklum, ongkos kirim dengan ekspedisi standar biayanya lumayan mahal, jadilah diakalin pake cara begitu. Selain buku, paket seberat kurang lebih 18 kilogram itu juga berisi baju-baju buat Ummu Azka dan kedua putri saya. Nyicil baju sebelum lebaran gitu hehe... 

Berikut ini adalah daftar buku-buku yang baru datang Rabu kemarin:
  1. Manajemen Gerakan Dakwah Di Masa Krisis, Drg. Sukri Wahid
  2. Ceramah-Ceramah Hasan Al Banna Jilid 1 dan 2, Ahmad Isa Aasyur
  3. Aku dan Al Ikhwan Al Muslimun, Dr. Yusuf Qardhawy
  4. Perang Suci, Dr. Karen Armstrong
  5. Dari Puncak Baghdad, Tamim Anshary
  6. Max Havelaar, Multatuli
  7. Inilah Politikku, Muhammad Elvandi
  8. Fiqih Politik Hasan Al Banna, Muhammad Abdul Qadir Abu Faris
  9. Manhaj Tarbiyah, Muhammad Syadid
  10. Ar Rasul, Said Hawwa
  11. Afatun Ala Ath Thariq, Sayyid Muhammad Nuh
  12. Untuk Muslimah Yang Tak Pernah Lelah Berdakwah, Rochma Yulika, Umar Hidayat
  13. Tarbiyah Ijtima'iyah, Hadi Munawar
  14. Tidak Ada Alasan Bagimu Meninggalkan Dakwah, Abdul Aziz Al-Aidan
  15. Retorika Haroki, Amirudin Rahim
  16. Tarbiyah Siyasiyah, Ahmad Dzakirin
  17. Taqwim Da'awi, Abdullah Yusuf al-Hasan
Di bulan Juni ini sebenarnya ada 5 buku lagi  yang belum saya masukkan. Secara bukunya masih ditimbun di Jurangmangu, jadinya baru yang ini dulu aja deh. Mari membaca. [wahidnugroho.blogspot.com]



Simpong, Juni 2011


Jumat, 24 Juni 2011

[MYCOM] Training For Teen: Andaikan Belajar Semangkuk Bakso

 
Ahad (19/6) kemarin, bertempat di Aula Dinas Kesehatan Kabupaten Banggai, teman-teman dari Muslim Youth Community, disingkat MYCOM, ngadain sebuah acara yang keren banget lho, namanya Training For Teen. Kegiatan yang ngambil tema Andaikan Belajar Semangkuk Bakso ini diikuti oleh sekitar 60-an pelajar SMA dan Aliyah. Oh iya, pesertanya bukan cuman dari Luwuk aja lho, tapi juga diikuti teman-teman kita dari SMA di Toili sana.

Hmm, ngomong-ngomong tentang tema, kok judulnya lucu ya, Andaikan Belajar Semangkok Bakso? Ini maksudnya belajar sambil makan bakso, atau makan bakso sambil belajar, atau malah makan bakso bareng-bareng? Hehe... Ternyata, maksud dari judul itu adalah gimana caranya supaya belajar yang identik sama kegiatan yang mbetein, bikin bosen, n bikin males jadi kegiatan yang asik dan juga nikmat, senikmat semangkok bakso. Temen-temen suka donk sama bakso, apalagi kalo baksonya gratisan (halah).

Wuah, kayaknya asik nih hehe... Yup, asik banget. Training yang diadain dari pagi sampe sore ini, diisi oleh pemateri-pemateri yang asik dan gaul lho. Di antaranya Kak Heru yang mbawain materi tentang Asyiknya Ngaji, trus ada Kak Wahid yang mbawain materi Andaikan Belajar Semangkok Bakso, dan ada juga Kak Ikhlas yang memotivasi para peserta untuk selalu giat belajar dan juga meraih prestasi di sekolah.

Setelah dibuka oleh salah satu Dewan Pembina MYCOM, Bapak Nurkolis Sinung S.Pd. dan juga ketua MYCOM, Marlan Ma'alum S.Pi, acara yang dipandu oleh kak Khadafi ini berlangsung meriah dan hangat. Selain materi yang asik dan nggak bikin bosan, pemateri dan juga panitia menyediakan games yang menarik dan juga doorprize yang keren-keren lho. Ada sekitar 6 buah buku yang dibagikan oleh panitia selain hadiah menarik lainnya. Wah wah wah, besok-besok kalo MYCOM ngadain acara lagi, jangan lupa hadiahnya ditambah lagi ya kak, hehe...

Mendapat materi yang asik ini, para peserta meresponnya dengan beragam pertanyaan dan tanggapan. Malahan, ada sebuah sesi dimana beberapa orang peserta tampak asyik beradu argumen dengan sengitnya karena terjadi pro dan kontra saat pemateri membawakan sebuah studi kasus untuk mereka, padahal waktu itu sudah semakin sore lho. Wow, ternyata saking asiknya menikmati materi, mereka sampai lupa waktu lho hehe...

Oh iya, biar tambah mantap, ini dia beberapa dokumentasinya ^^


 Kak Wahid sedang membawakan materi
 

 Salah satu peserta sedang bertanya


 Salah seorang peserta putra sedang bertanya kepada Kak Ikhlas


Para peserta sedang bersiap menerima materi dari Kak Heru

Gak terasa, waktu sudah semakin sore. Para peserta pun tampak puas karena dapet banyak hadiah dari panitia (asik euy). Semoga apa yang teman-teman dapatkan bisa menjadi bekal untuk semakin berprestasi, baik di sekolah maupun di masyarakat ya. Amin. Sampai jumpa lagi di acara MYCOM selanjutnya.. ^^


[wahidnugroho.blogspot.com]



Simpong, Juni 2011

Bincang Buku: Trust Harga Sebuah Kepercayaan



Judul Buku    : Trust Harga Sebuah Kepercayaan
Pengarang    : Charles Epping
Penerbit    : Serambi
Halaman        : 536 halaman
Harga        : Rp. 36.000


Trust adalah sebuah novel bergenre thriller tentang seorang konsultan TI berkebangsaan Amerika di Helvetia Bank Zurich bernama Alex Payton yang menemukan sebuah kode unik dalam database rekening di bank tersebut. Kode yang belakangan diketahui sebagai sebuah nomer rekening perwalian tersebut menyeret Alex bertualang ke pelbagai negara dan Amerika untuk mencari siapa sebenarnya pemilik rekening bernilai nyaris setengah miliar dollar tersebut sekaligus menguak misteri yang menyelimuti rekenin tersebut.

Buku ini diawali dengan kisah Aladar Kohen yang akan menempuh perjalanan dari Hongaria menuju Swiss melewati Austria. Ini bukanlah perjalanan yang menyenangkan, karena Austria saat itu sudah dianeksasi oleh Nazi yang sedang berusaha untuk membangkitkan kembali Reich Jerman yang telah berusia ratusan tahun. Bagi seorang Yahudi tulen seperti Aladar, keluar dari Hongaria melalui Austri tentu bukan perkara mudah. Negara yang menjadi tujuan Aladar adalah Swiss. Di negeri itulah Aladar kemudian bertemu dengan seorang bankir di Helvetia Bank Zurich (HBZ) bernama Rudolph Tobler untuk membicarakan sebuah perjanjian antara mereka berdua untuk menyelamatkan harta keluarga Aladar. Aladar perlu melakukan hal ini agar harta mereka tidak disita oleh pihak Nazi.

Pada prolog buku ini kita akan diperkenalkan dengan yang namanya Treuhand Konten, rekening perwalian. Rekening perwalian adalah sebuah rekening yang dibuat atas nama orang lain (biasa atas nama bankir) yang bertujuan untuk menyembunyikan pemilik asli dari harta tersebut. Dengan semakin kuatnya tekanan Nazi terhadap orang-orang Yahudi di beberapa negara Eropa, maka Treuhand Konten ini menjadi jalan keluar yang masuk akal untuk menyelamatkan harta benda orang-orang Yahudi itu.

Rekening perwalian ini memiliki sistem yang sangat sederhana. Seorang nasabah mempercayakan hartanya kepada seorang bankir dalam jangka waktu yang tidak ditentukan dan kepemilikannya dapat diwariskan oleh keturunan sang nasabah, tentunya dengan menunjukkan identitas dan juga bukti-bukti yang memadai. Di negara Swiss sendiri, penggelapan atas pajak bukan termasuk tindak pidana. Sistem kerahasiaan bank Swiss, sebagaimana tertuang dalam Swiss Financial Market Supervisory Authority (FINMA) yang dikodifikasi secara resmi sejak tahun 1934 tidak mengizinkan para bankirnya untuk mempublikasikan identitas sang pemilik rekening. Di dalam sistem yang sangat ketat itulah rekening perwalian ini berlokasi.

Waktu bergulir. Seusai Perang Dunia dan juga histeria Nazi, dunia pun memasuki era modern termasuk dunia perbankan. Sejak diterbitkannya The Bank Secrecy Act of 1970, sistem kerahasiaan bank Swiss pun ikut terkoreksi. Hal inilah yang nanti akan ditemui oleh Alex Payton dan Rudolph Tobler Jr., putra tunggal Rudolph Tobler Sr., yang keduanya bertemu dengan cara yang cukup unik.

Kembali ke cerita.

Petualangan Alex dan Ruedi, panggilan Rudolph, serta beberapa teman Eropa dan Amerika Latinnya, untuk mencari pemilik sebenarnya dari rekening, yang belakangan diketahui, bernilai ratusan juta dolar tersebut membawa kita menyusuri negara-negara Eropa dan juga benua Amerika. Di buku ini kita akan disuguhi tentang seluk beluk dunia perbankan Swiss, eksotisme negara-negara Eropa dan kebudayaannya, petite histoire tentang Yahudi, sisi lain perang dunia, dunia komunikasi Hongaria, dan juga ketajaman indra penciuman sang penulis yang dituangkannya dalam sebuah narasi singkat padat. Mengenai keluasan dan kedalaman data tentang dunia perbankan di buku ini ternyata tidak mengherankan, karena penulisnya, Randy Charles Epping, adalah orang yang sudah puluhan tahun berkecimpung dalam dunia perbankan internasional, termasuk Swiss, termasuk dua titel master yang digondolnya dari Université de Paris IV-Sorbonne dan Yale University. Universitas yang disebut belakangan tersebut juga menjadi almamater dari Alex Payton, tokoh utama dalam novel ini.

Oh iya, saya sedikit lupa untuk membeberkan ketegangan yang melanda saya selama membaca buku ini mulai dari halaman pertama sampai akhir. Narasinya berjalan cepat, walau kadang ada bagian yang bertele-tele, seperti saat pertemuan Alex dengan Zsuzsi Vilmos di Hongaria. Buku ini juga diterjemahkan dengan sangat baik oleh tim penerjemah Serambi, sebuah penerbit yang cukup bereputasi dalam dunia penerjemahan buku-buku asing. Ketegangan buku ini mencapai klimaksnya di sepertiga akhir cerita. Pertemuan Alex dengan sindikat pencucian uang di Brazil serta komplotannya di Swiss, yang ternyata berhubungan dengan rekening perwalian tersebut, telah membahayakan hidup Alex dan juga teman-temannya. Saya sendiri tidak akan menulis banyak tentang hal tersebut. Sisanya bisa Anda nikmati dalam buku setebal 536 halaman ini.

Selamat membaca.


Simpong, Juni 2011
Menjelang Jum’atan, jadinya singkat aja ya hehe ^^
Yang mau donlot ebooknya bisa kemari
http://www.4shared.com/file/yAY4YIKQ/Charles_Epping_-_Trust_Harga_S.htm

Bincang Buku: Growing Up Bin Laden



Judul        : Growing Up Bin Laden
Pengarang    : Jean Sasson, Najwa Ghaneem, Omar bin Laden
Penerbit    : Literati
Tebal        : 543 halaman
Harga        : Rp. 109.000

“Aku sama sekali tak seperti ayah. Ketika dia menginginkan perang, aku menginginkan perdamaian. Dan kini kami mengambil jalan hidup yang berbeda, masing-masing menganggap diri kami benar. Ayah telah membuat pilihan, dan aku pun demikian. Aku, akhirnya, adalah penguasa bagi diriku sendiri. Aku tak keberatan hidup dengan cara itu.”
[Omar bin Laden]

Pertama kali melihat buku ini dipajang di etalase sebuah toko buku online, saya langsung tertarik untuk memilikinya. Berita kematian Osama bin Laden di Pakistan (berdasarkan klaim pihak militer US) yang terjadi beberapa hari yang lalu salah satu faktor ketertarikan saya itu. Walaupun ada banyak pro dan kontra seputar berita yang, bagi saya, masih sangat diragukan kebenarannya itu, sosok seorang Osama bin Laden yang penuh kontroversi menggelitik saya untuk mengetahui pribadinya secara mendalam.

Tak banyak memang buku-buku yang membahas sosok Osama bin Laden dari sumber terdekatnya, keluarganya. Sebelum Growing Up Bin Laden terbit, sudah ada beberapa buku yang membahas tentang The Most Wanted Family On Earth ini, seperti yang ditulis oleh Carmen bin Laden, yang sayangnya bukan ditulis oleh seorang bin Laden murni berhubung Carmen adalah istri dari saudara tiri Osama. Atau buku yang berjudul The Bin Laden yang ditulis oleh Steve Coll yang meskipun menuai banyak pujian tapi, sayangnya, tidak memuat data yang berasal dari sumber pertama di keluarga Bin Laden. Jadi, buku memoar ini bisa dikatakan sebagai sumber tervalid (mungkin untuk saat ini) yang berceritera tentang kehidupan seorang Osama bin Laden dari sumber yang paling dekat dalam hidupnya: Najwa Ghaneem, istri pertama Osama, dan Omar bin Laden, putra keempat Osama yang “gagal” diproyeksikan untuk menjadi The Next Osama.

Growing Up Bin Laden ini ditulis oleh Jean P. Sasson, seorang penulis wanita berkebangsaan Amerika yang sudah menghabiskan waktu puluhan tahun hidupnya untuk menulis buku-buku seputar kehidupan masyarakat Saudi. Sebagaimana penulis barat kebanyakan, tema-tema yang diangkat oleh Mrs. Sasson, seperti biasa, penuh dengan kontroversi. Ada banyak bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Beberapa yang cukup terkenal adalah trilogi The Princess yang mengisahkan tentang sisi lain kehidupan keluarga kerajaan Saudi yang, sebagaimana saya sebut sebelumnya, penuh dengan kontroversi.

Kembali ke bin Laden.

Najwa Ghaneem mengawali buku ini dengan kisah di masa kecilnya di Latakia, sebuah kota pelabuhan di Suriah. Kenangan-kenangannya akan negeri indah di sisi laut Mediterania itu, yang dilanjutkan dengan pertemuannya yang pertama kali dengan Osama, yang merupakan sepupunya, sampai akhirnya mereka menikah. Najwa Ghaneem mengakui bahwa Osama adalah seorang lelaki yang sudah membuatnya jatuh cinta saat pandangan pertama. Sosok Osama yang pendiam mendorong rasa penasaran Najwa untuk mengenalinya lebih mendalam. Setelah melalui usaha yang tak terlalu mulus, Osama dan Najwa akhirnya menikah di tahun 1974. Saat itu Osama berusia 17 tahun dan Najwa berusia nyaris dua tahun lebih muda. Tak lama kemudian, Osama dan Najwa pindah dari Suriah ke Jeddah.

Di Jeddah inilah Omar bin Laden terlahir sebagai putra keempat Osama pada tahun 1981 setelah sebelumnya tiga kakak laki-laki Omar lahir: Abdullah, Abdul Rahman, dan Sa’ad.  Perkenalannya dengan Abdullah Azzam, tokoh karismatik asal Palestina yang menggelorakan semangat keislaman Osama yang belakangan menjadi ikon perlawanan bangsa Afghan saat perang melawan Uni Soviet, serta invasi negari beruang merah itu ke Afghanistan pada tahun 1979 merubah pola pikir seorang Osama sehingga hari-harinya menjadi sibuk dengan penggalangan dana untuk membantu perjuangan saudara-saudara muslimnya di Afghanistan. Sebagai seorang organisatoris dan juga aktivis, Osama adalah orang terbaik yang bisa melakukannya.

Sebagai salah satu penyandang dana terbesar dan juga promotor paling berpengaruh di kawasan Arab yang selalu menyerukan donasi kepada Afghanistan, sosok Osama menjadi kian terkenal di mata internasional. Usaha yang awalnya hanya berkisar pada pengumpulan dana dan juga penyediaan logistik perang ini semakin berkembang. Osama merasa tak cukup hanya berpartisipasi di  balik layar. Oleh karenanya, setelah setengah dekade ia menghabiskan waktunya untuk melakukan penggalangan dana, Osama mulai aktif terjun ke dalam perang Afghan-Soviet bersama mentor spiritualnya, Abdullah Azzam.

Melalui sudut pandang istri pertama dan putra keempatnya, sepak terjang Osama memberikan beragam tanggapan bagi mereka berdua. Sebagai seorang istri yang selalu taat dan begitu mencintai suaminya, Najwa Ghaneem tidak mempermasalahkan jalan yang ditempuh oleh Osama meski usaha itu berisiko menghilangkan nyawanya. Ia selalu mendukung apa yang dilakukan oleh suaminya itu, meski terkadang isi hatinya berkata bahwa apa yang dilakukan oleh suaminya sudah lebih dari cukup.

Saat membaca kisah yang dituturkan oleh Najwa, saya agak sedikit heran dengan pribadi Osama yang tidak terbuka meski kepada istrinya sendiri. Pada beberapa bagian, saya melihat kekhawatiran yang melanda Najwa tidak dicover dengan penjelasan yang memadai dari suaminya tentang apa yang sebenarnya dia lakukan. Saya pun jadi bertanya pada diri saya sendiri, apakah tidak pernah ada komunikasi dua arah antara suami dan istri itu sampai sang istri harus berakrobat sedemikian rupa untuk mengasuh anak-anaknya saat sang suami pergi berjihad ke Afghanistan? Osama mungkin sudah menyediakan banyak hal dari segi materi, meski tak semuanya memadai karena pandangan sempitnya tentang modernisasi, tapi perhatian dan juga kasih sayang seorang ayah kepada anak-anaknya, yang jumlahnya tidak sedikit, ternyata cukup sulit saya dapatkan tercantum di buku ini. Ada beberapa bagian di buku ini yang merekam kegelisahan anak-anak Osama karena kurangnya perhatian dan kasih sayang dari ayah mereka.

Lain halnya dengan Omar. Sebagai anak yang paling perasa di antara putra-putri Osama yang lain, Omar tidak bisa menerima begitu saja apa yang dilakukan oleh ayahnya. Pemberontakan Omar terhadap ayahnya terekam dengan baik di buku ini, dengan subjektifitas yang kental tentunya. Omar merasa bahwa ayahnya terlalu ketat dalam menjalankan agama sehingga ia, saudara-saudaranya, dan juga ibunya, menjadi tersiksa karena ketatnya aturan yang diberikan oleh sang ayah. Di bagian awal buku ini, kita akan mendapati pribadi Omar yang dipenuhi dengan kegelisahan, ketidakpuasan, dan juga kekecewaan terhadap sosok ayahnya. Diliputi ketatnya aturan sang ayah dan hausnya kasih sayang seorang anak, yang sayangnya tidak mendapat respon memadai dari sang ayah, Omar tumbuh menjadi anak yang penyendiri dan pendiam.

Di buku ini kita juga akan melihat potret keluarga Osama secara jelas dan gamblang. Bagaimana kehidupan keluarga mereka yang kaya harus berakhir dengan sangat “mengenaskan” saat mereka harus diusir ke pegunungan Tora Bora di Afghanistan. Ada beberapa bagian yang menarik selain fokus penulis pada kedua tokoh Omar dan Najwa ini. Di antaranya adalah poligami Osama yang berjalan tanpa masalah, walau ada yang berakhir dengan perceraian, tapi itu pun berakhir dengan cara yang baik. Osama adalah lelaki yang sangat menghormati wanita dan begitu mencintai ibunya, begitu setidaknya kesan yang bisa saya dapat dari buku setebal 500an halaman ini.

Ada banyak blank information di buku ini tentang pribadi Osama yang sesungguhnya. Ketertutupan Osama terhadap anak dan istrinya, hanya bisa ditafsirkan sepenggal-sepenggal oleh Najwa dan Omar, tentunya dengan penilaian subjektif dari mereka berdua. Sehingga, walau buku ini, untuk sementara, adalah buku yang cukup intim membahas Osama, apa yang menjadi kegelisahannya terhadap Islam dan Barat tetap belum terekam dengan maksimal. Tapi usaha penulis layak diacungi jempol, terutama saat merangkai kenangan Najwa dan Ghaneem melalui beberapa bagian, sehingga membaca memoar ini laiknya membaca sebuah cerita novel.

Selain testimoni Najwa dan Omar, yang diakui penulisnya sebagai pengutipan sepenuhnya tanpa mengubah isi cerita, penulis juga mencantumkan opini pribadinya di beberapa bagian. Buku ini juga dilengkapi dengan gambar-gambar eksklusif keluarga Osama, data lengkap keluarga dan apa yang serta kronologis kejadian-kejadian penting mulai dari kelahiran Osama sampai tahun 2009, tahun disusunnya buku ini.

Sebagai orangtua, saya cukup kecewa dengan pola pendidikan yang diterapkan oleh Osama kepada keluarganya. Tanpa kompromi, minim komunikasi, dan penuh dengan dominasi. Beberapa di antaranya adalah penolakan Osama dengan kehidupan modern yang, menurut saya, sangat keterlaluan, pengekangan yang dia lakukan kepada anak-anaknya untuk menikmati masa kanak-kanak mereka, dan juga, ini yang paling mengecewakan, pola komunikasi yang cenderung searah dan tidak memberi ruang untuk perbedaan pendapat. Saya tadinya berharap, dibalik sisi kontroversi seorang Osama, terdapat sisi-sisi menyejukkan yang ia hadirkan ke dalam keluarganya, tapi ternyata harapan saya menemui jalan yang cukup terjal. Osama bin Laden mungkin bisa dibilang “sukses” menjadi seorang inspirator jihad bagu sebagian kalangan, aksinya banyak dipuji dan juga militansinya untuk membela Islam layak diperhitungkan, meski penuh kontroversi, tapi sebagai kepala keluarga Osama, secara naif, bisa dikatakan gagal untuk menyeimbangkan aktifitasnya di luar rumah dengan kewajibannya sebagai seorang ayah dan sebagai kepala keluarga.

Oh iya, di buku ini kita juga akan mendapatkan informasi berharga mengenai perselisihan Osama dengan keluarga besar kerajaan Arab Saudi serta pendapat-pendapatnya tentang para pejabat kerajaan, tentu saja melalui lisan seorang Omar. Selebihnya silakan Anda baca sendiri.

Membaca buku ini, saya jadi teringat dengan salah seorang tokoh besar Islam, yang telah berhasil membumikan fikrohnya hingga lebih ke 80 negara, Hasan Al Banna. Betapa beliau mampu menyeimbangkan kesibukannya di luar rumah dengan kewajibannya sebagai seorang kepala keluarga. Betapa Hasan al Banna telah berhasil mentarbiyah anak, istri, dan juga keluarga besarnya untuk bisa menerima, bahkan ikut terlibat, dalam usaha dakwahnya mulai dari skala Mesir dan Timur Tengah, hingga akhirnya mendunia.

Apa pendapat Anda tentang pengakuan seorang anak terhadap ayahnya di bawah ini?

“Kehidupan terasa menyenangkan ketika ayahku berada jauh, jauh sekali” [Omar bin Laden, halaman 124]

Bandingkan perkataan Saiful Islam al Banna tentang ayahnya, Hasan Al Banna.

“Ayah, semoga Allah merahmatinya, sangat lembut perasaannya. Beliau sangat memelihara perasaan anak-anak dengan begitu hati-hati. Beliau mempunyai kemampuan yang menjadikan kami menurut tanpa memerlukan perintah untuk mentaatinya. Kami menganggap beliau mempunyai wibawa demikian besar yang menjadikan kami senang mengikuti keinginannya dan tidak mau melawannya.” [Saiful Islam Al Banna, Ada Cinta Di Rumah Hasan Al Banna hal. 39]

Nah.
[wahidnugroho.blogspot.com]



Simpong, Juni 2011

Kenikmatan Yang Menenangkan

 

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”
(Ar-Ruum 21)

Malam beranjak larut. Lelaki muda itu sudah mematikan motor lawasnya sejak dari kejauhan karena tak ingin mengganggu tetangga dan keluarganya yang sedang terlelap. Sambil menggiring motor ke dalam rumahnya, lelaki muda itu menerawang ke langit malam yang tampak gelap kelabu. Sebentar lagi akan turun hujan tampaknya, pikirnya.

Sesampainya di depan pintu rumahnya, lelaki muda itu menguluk salam sambil mengetuk kaca jendela yang keduanya dilakukan dengan sama pelannya. Tak beberapa lama, lampu di dalam rumah itu dinyalakan. Tampak siluet wanita berjilbab dari balik gorden sedang berjalan ke arah pintu.

“Wa’alaikumsalam warahmatullah”, ujar suara di balik pintu yang merupakan istri lelaki itu. Wajah sang pemilik suara itu memancarkan senyuman terindahnya. Dibantunya sang suami untuk membereskan segala yang dibawanya. Tas laptop dan bungkusan berisi beberapa buku yang dibawa sang suami sudah berpindah ke tangannya. Sang suami menyandarkan tubuhnya sebentar di dinding ruang tamu tanpa kursi dan meja itu. Tak lama kemudian, sang istri datang dengan membawa segelas air putih yang langsung diserahkan kepada suaminya.

Indra penciuman lelaki itu menangkap aroma yang manis dari tubuh istrinya. Ditatapnya wajah sang istri sambil menikmati aroma yang menggetarkan itu. Cantik sekali, batinnya. Ditatap sang suami sedemikian rupa, wanita berkerudung itu jadi salah tingkah. “Anak-anak sudah tidur dari tadi”, ujarnya memecah kesunyian. Ada nada gugup dari ucapannya yang barusan.

“Aku mau cuci muka dan ganti baju dulu”, ucap sang suami sambil beranjak dari sandarannya. Wanita muda itu kemudian membantu suaminya untuk menanggalkan kemeja yang dipakainya. Saat sang istri melepaskan kancing baju suaminya satu persatu, sang suami memandangi kembali wajah istrinya yang lantas merona jingga karena menahan malu. Diusapnya wajah lembut sang istri dengan mesra. “Malam ini kamu cantik banget, sayang”, bisik suaminya sambil berlalu ke arah kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Beberapa saat usai membersihkan dirinya, pandangan sang suami tertuju kepada sosok istrinya. Tak seberapa lama, kedua anak manusia itu larut dalam gelora cinta yang paling purba.

***

Ada sumber energi dahsyat yang selalu membuat para lelaki sejati mengisi hidup mereka dengan semangat menggelora. Sumber energi itu adalah para wanita yang menjadi istri mereka. Bagi saya, istri adalah penawar dahaga di saat tubuh ini lelah berjelaga. Saat diri ini buntu menghadapi kilah dan ulah dunia, istrilah yang menjadi jalan keluarnya. Saat memandang wajah cantiknya, menghirup aroma legitnya, mendengar merdu suaranya, semangat yang meredup spontan berdegup.

Apabila mendengar suaranya, merasai aromanya, dan memandangi wajahnya sudah memberikan energi yang berlimpah, apatah lagi saat menikmati saat-saat intim bersamanya. Ada kenikmatan yang membanjiri lubuk hati ini ketika usai menunaikan tugas itu. Begitu pula ketika Allah menggunakan redaksi “litaskunuu ilayha” dalam firmanNya di atas, itu berarti ada kenikmatan yang lebih bersifat indrawi ketimbang maknawi dalam hubungan suami dan istri. Kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang telah menautkan cintanya dalam ikatan suci sebuah pernikahan. Kenikmatan yang bersumber dari mengalirnya gejolak syahwat di saluran yang tepat. Kenikmatan yang hanya bisa lahir dari percintaan yang halal nan berpahala. Kenikmatan yang menenangkan.

***

Syahwat terhadap para wanita merupakan sumber vitalitas yang memberikan para lelaki gairah untuk bekerja dan berkarya. Itulah sebabnya Islam mengatur penyaluran yang tepat agar ia memberikan efek produktivitas bagi kehidupan manusia. Saluran itu adalah menikah. Ketika pintu-pintu yang awalnya diharamkan menjadi halal, ketika itulah segenap emosi dan potensi manusia menjadi terarah. Seorang lelaki sejati adalah mereka yang meredakan gejolak emosinya saat menemui wanita mereka. Semua kelelahan jiwa raga, keletihan ragawi dan hati akan luluh meluruh ketika tangan kasar mereka disentuh kulit lembut istri mereka, saat aroma kecut mereka terhapus dengan wewangian dari tubuh istri mereka, ketika raga mereka berpadu dalam cinta suci nan kudus itu.

Sebagai penutup, kepada teman-teman saya para suami, mari kita simak nasihat yang indah dari Sayyid Muhammad Al Baqir ini.

"Wanita yang terbaik di antara kamu ialah yang membuang perisai malu ketika ia menanggalkan baju untuk suaminya, dan yang memasang kembali perisai malunya ketika ia berpakaian lagi."

Saat membuat tulisan ini, saya teringat dengan syair lagu Sheila On Seven yang berjudul Ingin Pulang.

Saat saat seperti ini
Pintu t’lah terkunci lampu t’lah mati
Kuingin pulang
Tuk segera berjumpa denganmu


Ah...

[wahidnugroho.blogspot.com]



Simpong, Juni 2011