Rabu, 17 Agustus 2016

Belajar Dari Saitama

Setelah lama nggak move on dari anime Dragon Ball yang jadi tontonan favorit saya sejak kecil, di samping Doraemon, dan sembilan tahun setelah saya menamatkan nonton serial anime Death Note, saya akhirnya kembali menonton serial anime mulai dari episud 1 sampai tamat di season perdananya. Anime yang saya maksud adalah One Punch Man.

One Punch Man adalah kisah tentang Saitama; seorang lelaki kebanyakan berkepala plontos dan berbodi cungkring (kecuali kalau doi lagi fight-mode) yang bekerja sebagai pahlawan paruhwaktu di kota Z dengan mengenakan kostum culun berwarna kuning cerah dan sayap yang fungsinya masih misterius sampai detik ini. Kekuatan Saitama terletak pada pukulannya yang super-duper-ekstra-kuat. Yang kekuatannya bahkan sampai dibanding-bandingkan dengan Son Goku dan Superman oleh para jihadisnya masing-masing. Meski saya percaya Saitama mungkin selevel dengan Son Goku pada Kaioo Shin 2 atau 3 (bagian ini bisa diabaikan).

Pada episud ke 3, Saitama dan murid-tak-dianggap-nya, Genos, melabrak ke laboratorium milik Doktor Genus. Di tempat itu, Saitama bertemu (maksudnya berhadapan) dengan Asura Rhino. Semacam mutan berbentuk kumbang yang warnanya mirip Manusia Vaksin di episud perdana, yang dianggap sebagai ciptaan terkuat dan terkejam oleh Doktor Genus. Tolong jangan bingung dengan nama Genos dan Doktor Genus, apalagi Doktor Gero, karena ketiganya sama sekali berbeda satu sama lain. Bagian ini anggap aja sebagai selingan.

Lanjut ke Doktor Genus, eh, Saitama.

Kagum (mungkin juga bercampur dengan secuil heran dan sepercik takut – halah) dengan kekuatan yang dimiliki oleh Saitama, Asura kemudian bertanya apa yang ia (maksudnya Saitama) lakukan sampai kekuatannya bisa sehebat itu. Sebuah pertanyaan yang juga mengagetkan Genos (sekali lagi, mohon jangan confused sama nama ini) karena meski heran dengan kekuatan sang guru namun ia (maksudnya Genos) tak pernah menanyakannya. Saitama lalu menjawab dengan mantap bahwa kekuatannya itu berasal dari latihan push up, sit up, dan squat sebanyak masing-masing seratus kali sehari ditambah lari 10 km secara simultan. Ia (maksudnya Saitama) berkata bahwa latihan yang berat itu dilakukannya terus-menerus, bahkan sampai kepalanya botak karena saking melelahkannya.

Jawaban itu tentu saja disambut dengan ekspresi kaget baik oleh Asura, Genos, maupun Doktor Genus (sekali lagi jangan kebolak-balik!). Bagaimana mungkin latihan fisik yang semanusiawi dan sesepele itu bisa melahirkan kekuatan yang mampu menghancurkan gunung dan membunuh monster dalam satu kali pukulan santai (bahasanya Saitama adalah normal punch)? Saya sempet ngerasa ‘gubrak’ sedikit waktu dialog itu nongol. Hla kok latihannya nggak seekstrim Son Goku yang sampe harus masuk ruangan bergravitasi tinggi sebelum berangkat ke Namec buat ngelawan Freeza, atau kayak Son Gohan yang harus masuk ruangan tanpa dimensinya Mister Popo sebelum ikut Tenkaichi Budokai-nya si Cell? Tapi akhirnya saya mafhum, bahwa dalam dunia komik apapun bisa terjadi. Termasuk teori 100 push-up, situp, dan squat, dan 10 km lari bisa menghasilkan manusia sehebat Saitama. Lagian mau diprotes kayak apa juga gak bakal ngaruh, jadinya saya ngikut alur logikanya sensei Yusuka Murata sebagai kreator si Saitama ajah dah.

Jadi sebenernya tulisan ini tentang apa sih? Kok dari tadi mbahas Saitama dan nyerempet ke Dragon Ball terus?

Jadi begini.

Suatu hari, saya membaca buku yang berjudul Prophetic Parenting. Buku itu ditulis oleh Syaikh Dr. Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid dan diterbitkan oleh Pro-U Media. Buku berkelir toska itu sangat bagus dan perlu dibaca baik oleh para orangtua muda, orangtua yang sudah tidak muda, maupun oleh para calon orangtua dalam mengopeni dan menyerateni (ini bahasa Indonesianya apa ya) anak-anaknya menjadi generasi penerus umat yang gilang-gemilang.

Ada bagian menarik dalam buku itu yang pingin saya kutip dalam tulisan ini. Isinya demikian:

“Perlu ada usaha dan kerja keras secara terus-menerus dalam mendidik anak, memperbaiki kesalahan mereka, dan membiasakan mereka mengerjakan kebaikan.”

Bagian di atas merupakan respon Dr. Suwaid kepada surat Tahrim ayat 6 yang berbunyi tentang “Peliharalah diri dan keluargamu dari api neraka”.

Sebelumnya, Dr. Suwaid mengutip kata-kata para sahabat, tabiín, dan ulama terhadap ayat tersebut yang di antaranya adalah demikian.

Ali ibn Abi Thalib r.a. berkata, “Ajarilah diri kalian dan keluarga dalam kebaikan.”

Al Hakim dalam Mustadraknya berkata, “Hendaknya seorang muslim memerintahkan dirinya dan keluarganya untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mereka melakukan kemaksiatan.”

Muqatil dalam Al Kasysyaf berkata, “Peliharalah dirimu dengan meninggalkan kemaksiatan dan mengerjakan ketaatan.”

Demikianlah, mendidik anak dan keluarga harus dilakukan secara simultan. Yakni dengan mengajari, mendidik, mengingatkan, menjaga, meluruskan kesalahan, dan memerhatikan kembang-tumbuh mereka secara terus-menerus, tak mudah putus-asa, dan tak kenal lelah. Memang ini akan sangat merepotkan, apalagi kita pun juga punya kebutuhan yang harus dipenuhi untuk diri kita sendiri. Namun di dunia yang makin tak ramah ini, terus-menerus bersaing dengan para penjaja kebatilan dan kemaksiatan yang mencekoki para generasi penerus dengan hal-hal yang negatif dan merusak, adalah upaya mutlak yang wajib dilakukan.

Suatu hari, saya mendapati ada beberapa butir nasi di dasar bak di kamar mandi. Permukaan air di bak itu tampak berminyak. Dalam pikiran saya, pelakunya sudah jelas: si sulung, karena kedua adiknya kalau cuci tangan pasti di tempat cuci piring. Dan benar saja, ketika saya menanyakan kepada si sulung tadi cuci tangan setelah makannya bagaimana, ia pun mengaku bahwa ia tadi mengobok bak mandi itu dengan tangannya yang masih berminyak dan ditempeli nasi sekaligus mengakui kesalahannya.

Kejadian itu memang sepele tapi cukup saya sesali. Karena saya sudah berulangkali mengingatkan si sulung tentang tatacara mencuci tangan yang baik tapi ia kerap mengulangi kebiasaan buruknya itu. Jika dalam perkara remehtemeh saja ia tidak bisa disiplin dan menjaga komitmennya, bagaimana jika ia harus menjaga komitmen yang lebih besar lagi? Sebut saja dalam perkara menutup aurat, menjaga akhlak, dan memelihara semangat beribadah. Atau komitmen-komitmen lain yang mungkin akan melibatkan peranserta masyarakat dimana ia akan tumbuh dan berkembang kelak.

“Barangsiapa  yang dengan sengaja,” tutur Ibnul Qayyim Al Jauziyah, “tidak mengajarkan apa yang bermanfaat bagi anaknya dan meninggalkannya begitu saja, berarti dia telah melakukan suatu kejahatan yang besar.”

Na’udzubillah, tsumma na’udzubillahi min dzaalik.

Moga kita dijauhkan dari sifat-sifat demikian dan Allah anugerahi kita dengan keistiqomahan untuk terus setia mendidik dan membentuk anak-anak kita sesuai dengan kehendakNya. [wahidnugroho.com]


Jurangmangu, Mei 2016