Rabu, 28 Oktober 2015

Bincang Buku: How Reading Changed My Life

Saya sedang membaca buku berjudul How Reading Changed My Life. Buku tipis bersampul putih dengan gambar seorang anak kecil yang sedang membaca sambil menyelonjorkan kakinya itu ditulis oleh Anna Quindlen. Saya membelinya dari Book Depository beberapa pekan yang lalu dan buku itu baru saja datang hari Selasa kemarin. Bambang, teman sekantor saya, memberitahu bahwa ada paket untuk saya ketika saya sedang berada di ruangan umum untuk menelepon wajib pajak. Selesai menelepon, saya langsung mengambil paket itu dan membongkar isinya yang ternyata adalah buku ini.

Buku ini sangat tipis. Paginasinya tidak sampai 100 halaman. Harganya juga cukup bersahabat untuk ukuran buku impor yang masih baru, meski ini merupakan buku lama. Hanya $8 sudah termasuk ongkir sampai ke meja saya di Luwuk. Buku di tangan saya ini adalah buku cetakan pertama yang terbit bulan Agustus tahun 1998, tujuh belas tahun yang lalu.

Ngomong-ngomong tentang toko online bernama Book Depository, ini adalah kali ke enam saya membeli buku dari toko online yang berbasis di United Kingdom itu. Sepanjang bulan Oktober 2015 ini, saya sudah kedatangan tiga buku dari Book-Dep, demikian saya biasa menyingkat nama toko itu.

Membaca buku ini, saya serasa sedang bercermin dan menatap wajah saya sendiri di sana. Buku ini mengajak saya untuk menikmati momen ketika berinteraksi dengan buku. Merasai citarasa masing-masing buku dan mencari inspirasi dan pelajaran hidup yang berserak di tiap-tiap halamannya. Namun, menurut saya, pesan utama yang ingin disampaikan Mrs. Quindlen dalam buku ini adalah agar kita bisa menjadikan buku sebagai sarana hiburan bagi hati dan jiwa.

Salah satu bagian yang membuat saya merasa sedang bercermin adalah ketika Mrs. Quindlen menulis demikian di halaman 5.

I have clear memories of that sort of life, of lifting the rocks on the creek that trickled through Naylor’s Run to search for crayfish, of laying pennies on the tracks of the trolley and running to fetch them, flattened, when trolley had passed. The best part of me was always at home, within some book that had been laid flat on the table to mark my place, its imaginary people waiting for me to return and bring them to life.

Sejak kecil, saya adalah anak yang kurang terlalu suka dengan kegiatan luar rumah. Dulu saya memang bermain layang-layang, sepedaan, mancing, ngeband, atau bola sepak di lapangan belakang rumah, tapi saya kurang bisa menikmatinya. Saya lebih suka menyendiri di rumah, dengan tumpukan kertas dan buku-buku komik yang berserak di meja saya di kamar, atau di ruang tamu. Ketika itu saya menulis puisi-puisi yang sangat jelek, atau sekedar membuat tulisan nggak jelas, biasanya menyalin lirik lagu atau membuat syair-syair picisan.

Ketika sudah berkeluarga pun saya masih tetap begitu. Berbanding terbalik dengan istri saya yang lebih suka jalan-jalan ke luar rumah, saya lebih memilih berdiam di kamar belakang yang berisi buku-buku pribadi saya dan membaca atau menulis sesuatu di sana. Biasanya berlangsung sejak pagi sampai siang. Atau sejak ba’da magrib sampai menjelang pagi dini hari meski belakangan ritual berdiam diri pada waktu malam sudah sedikit berkurang karena padatnya kegiatan. Terkadang, istri ngerasa gemas juga ngeliat suaminya yang kurang-bergerak ini. “Coba abi futsalan dulu sama ikhwan-ikhwan,” katanya pada suatu pagi ketika mendapati saya sedang ngejogrok di kamar belakang dengan tumpukan buku dan wajah yang masih kusut.

Memang, ini terdengar sangat egois. Namun saya berpikir bahwa hiburan awal bagi anak-anak harus ditemukan di rumah terlebih dulu sebelum mereka dapatkan di luar. Biarlah rumah jadi berantakan dan ribut nggak karuan, asalkan mereka terhibur dan senang itu sudah lebih dari cukup. Lagipula, dengan adanya anak-anak di rumah, menuntut kami sebagai orangtua untuk menyediakan kebutuhan mereka secara langsung dan segera seperti cemilan atau minuman ringan.


Kembali ke bukunya Mrs. Quindlen.

Buku ini juga memuat reading list di halaman-halaman paling belakang. Memuat beberapa rekomendasi buku baik fiksi maupun nonfiksi, anak-anak maupun dewasa, yang bisa dijadikan alternatif bacaan buat kita. Beberapa dari buku-buku yang didaftarnya itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan telah diterbitkan oleh penerbit-penerbit ternama sehingga memudahkan kita untuk memilikinya, dan membacanya. Daftar itu memang bukan daftar yang baku, karena disusun berdasarkan pengalaman pribadi penulis selama berinteraksi dengan buku-buku yang pernah dibacanya. Karena nggak baku, daftar itu, tentu saja, sangat fleksibel dan sangat terbuka untuk berubah. Karena pengalaman dan interaksi kita dengan buku, termasuk berapa buku yang sudah dibaca sampai tuntas, tentu saja berbeda antara satu sama lain.  

Bicara tentang buku-buku yang merubah hidup, saya sendiri pernah menuliskannya di blog ini beberapa waktu yang lalu. Tulisan itu ada di sini. Daftar itu tentu saja sangat subjektif dan terkait langsung dengan perkembangan diri saya. Tentu saja, daftar itu sangat mungkin untuk bertambah, bahkan kemungkinan itu amat sangat terbuka. Mungkin saya akan menuliskan edisi revisinya di blog ini suatu hari nanti.

Jadi, benarkah buku benar-benar bisa merubah, termasuk menggugah, hidup kita?  Saya nggak bisa memberikan jawaban pasti. Baca saja buku ini dan dapatkan jawabanmu sendiri. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Oktober 2015 

Jumat, 23 Oktober 2015

Luwuk dan Asap

Maret tahun 2007, saya pertama menginjakkan kaki di Luwuk. Sepanjang kurun waktu itu, belum pernah saya ngalamin yang namanya kabut asap di kota ini sebagaimana yang terjadi selama sebulanan terakhir ini. Kenapa sampe bisa kayak begitu? Saya nggak tau secara persis sebabnya apa. Konon kabarnya, ada pembukaan lahan sawit di dataran Bualemo sana oleh sebuah perusahaan yang dulu pernah saya sambangi. Kabar yang lain menyebutkan karena ada kebakaran lahan cengkeh seluas ratusan hektar di Taliabu. Atau bisa jadi ada sebab lain.

Awalnya, susah untuk mengabaikan kabut asap ini dan saya berprasangka baik bahwa semua ini akan segera berlalu. Tapi nyatanya makin hari makin parah saja. Sudah lama saya nggak liat pulau Peling dari teras rumah. Bukit Halimun yang biasanya keliatan jelas dari Muspratama juga gak keliatan. Saya juga baru tersadar kalau bukit-bukit yang memeluk kota ini jadi tampak berwarna kecoklatan. Pun ketika pulang melewati jalur dua, semak-semak yang tadinya cukup rapat sekarang sudah meranggas dan kering.

Tadi siang saya nganterin temen ke bandara dan kaget bahwa bukit We dan bukit-bukit di belakangnya gak terlihat dari daerah Kilo Delapan. Apatah lagi semenanjung di Luwuk Timur yang biasanya keliatan jelas pas hari cerah, makin gak nampak. Udara pagi yang biasanya segar, belakangan jadi berbau asap pembakaran. Seorang teman yang bekerja di maskapai penerbangan sempat bertanya, apakah tidak ada aksi solat meminta hujan supaya jarak pandang yang semakin terbatas ini bisa dicari jalan keluarnya? Saya bukan dalam posisi yang bisa menjawab pertanyaan itu, sayangnya.

Meski kondisi ini masih dalam level yang bisa ditolerir, saya suka bertanya-tanya, gimana dengan perasaan teman-teman saya yang kabut asapnya luar bisa pekat? Beberapa gambar yang berseliweran di linimasa membuat miris hati ini. Ada yang kabutnya udah macam berdiri di samping pembuat lalampa. Ada anak-anak yang pake selang buat mbantu pernafasan. Mau berbuat banyak tapi kemampuan terbatas. Mau menyalahkan pemerintah mentah-mentah, kok kayaknya kurang mbois juga. Secara masalah ini bukan semata-mata salahnya paduka presiden walopun belio tetap akan jadi sasaran empuk para ahlul-kritik, seperti saya ini salah satunya hahaha.

Di sisi lain, saya senang juga dengan banyaknya kepedulian yang ditunjukkan teman-teman di linimasa saya. Ada yang ngeshare kegiatan relawan, baik relawan partisan sebuah partey maupun relawan umum lainnya, di salah satu hutan yang terbakar, ada yang mbagi info donasi, ada yang posting situasi terkini di beberapa kota, dan ada yang bikin aksi penggalangan dana, sampe memposting sebait dua bait doa.

Apapun itu, semoga masalah asap ini bisa segera reda. Semoga Allah berkenan menurunkan hujanNya kepada bumi nusantara ini (aih, relijius sekali status saya ini hahaha) dan melukis senyum bahagia di wajah para penghuninya. Aamiin.

Saya tahu, ajakan berdoa ini mungkin akan ditanggapi beragam. Emang Tuhan pesbukan? Gitu kata tetangga. Emang Tuhan cuman ngurusin elu doank? Mungkin ada benernya. Buktinya saya masih gendut aja nih (abaikan). Bagaimanapun, ada hal-hal tertentu yang tidak bisa dijelaskan secara nalar. Dan saya percaya itu. Kalo sampeyan nggak mau percaya, ya, mengutip kata-kata baginda, "Itu bukan urusan saya!"

Salam asap,eh, salam doa. [wahidnugroho.com]


Tanjung, Oktober 2015

Sumber foto: Sarfin Laando

Cerpen

Harus saya akui, saya agak benci cerpen. Terserah apa kata orang, saya tetap agak benci cerpen. Penceriteraannya terlalu singkat dan kurang mendalam. Itu sebabnya, perbendaharaan bacaan cerpen saya cuman sedikit. Lebih banyak novel. Buku-buku kumcer yang ada di rumah pun hanya beberapa saja yang pernah saya baca, itu pun tidak tuntas. Artinya hanya satu dua cerpen saja dari beberapa cerpen yang ada di satu buku. Meski demikian, ada juga cerpen-cerpen yang saya suka meski jumlahnya nggak seberapa seperti cerpen-cerpennya mbak Helvy (Tiana Rosa), Izzatul Jannah, dan om Seno Gumira Ajidarma. Belakangan saya juga suka cerpen-cerpennya O Henry dan Guy de Maupassant.

Hari Rabu kemarin, saya ketemu kaka Beno di lapangan depan kantor Perpustakaan Daerah. Kami bertemu di stand Rumah Baca Jendela Ilmu​ dan saya mendapatinya sedang membolak-balikkan beberapa buku. Kaka Beno ini kawan baik saya selama di Luwuk. Di balik tampang sangarnya, kaka Beno adalah orang yang berhati lembut dan asyik diajak berdiskusi. Meski ada kesan temperamental pada dirinya, sebatas yang saya tahu, ia adalah orang yang kerap bertutur kata sopan bila ngobrol dengan saya.

Pernah suatu hari beberapa tahun yang lalu kami bertemu di pelabuhan rakyat. Saya mau menyeberang ke pulau untuk tugas kantor ketika itu. Mendapati saya yang lagi celingukan di dermaga, kaka Beno mendekat dan menyapa saya. Saya berkata bahwa saya mau ke pulau. Dia bertanya apakah sudah dapet tiket atau belum, mau sewa kamar atau tidak. Saya jawab belum dan mau. Ia langsung bergerak sigap dan mengajak saya ke salah satu loket penjualan tiket yang ada di dekat warung makan yang berderet di sisi barat pelabuhan. Setelah mendapatkan tiket dan kamar, berbekal bantuannya, saya mengobrol sedikit dengan kaka Beno, menanyakan kabar dan sebagainya dan seterusnya.

"Saya mau bangun rumah," katanya.

Saya tanya mau bangun dimana dan ia menyebutkan tempatnya. Disebutkannya nama-nama bahan bangunan yang akan dibelinya. Kami juga berbincang soal keluarga, dan soal remeh-temeh lainnya.

Setelah pertemuan di pelabuhan itu, saya jarang kembali bertemu dengannya. Paling hanya sekali dua kali saja yang hanya diwakili dengan lambaian tangan atau teriakan salam ketika berpapasan di pinggir jalan.

Lama tak ketemu, saya berjumpa lagi dengannya. Ia masih sama seperti dulu. Masih bertampang garang tapi murah senyum (lho). Di depan hamparan buku-buku, kami berbincang tentang beberapa judul buku yang menarik perhatian kami. Salah satu buku yang kami obrolkan adalah Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP)nya  mbak HTR.

Ia lalu bercerita tentang kisah masa lalunya ketika kali pertama membaca buku itu, kesan mendalam yang membekas usai membaca buku itu, dan komitmen yang lahir usai membacanya sampai selesai. Ia bertanya, bagaimana caranya bisa mendapatkan buku KMGP cetakan lama seperti yang sedang ditimangnya ketika itu. Sayangnya, itu pertanyaan yang sulit dijawab karena saya sendiri hanya punya satu eksemplar setelah buku KMGP saya yang lama raib entah kemana. Saya menawarinya buku KMGP terbitan baru yang berwarna ungu tapi dia menolak. Auranya kurang, demikian katanya sambil tersenyum.

Setelah itu kami berbincang banyak tentang buku dan saya merekomendasikan beberapa judul untuknya. Ia juga menawari saya koleksi buku-bukunya di rumah. Supaya ada yang mbaca, katanya. Saya berterima kasih dan menyambut baik tawaran itu.

Ternyata, pertemuan saya dengan kaka Beno membuat saya tersadar bahwa saya nggak benci-benci amat sama cerpen. Cuman emang kurang suka aja hehe. Obrolan dengan kaka Beno ketika itu membuat saya jadi teringat dengan cerpen Ketika Mas Gagah Pergi yang kali pertama saya baca waktu masih SMA dulu itu. Sekitar tiga atau empat belas tahun yang lalu, kalo saya nggak khilaf. Saya meminjamnya dari seorang teman ketika itu.

Cerpen lain yang saya suka adalah Sepotong Senja Untuk Pacarku-nya om Seno, dan kumpulan cerpen Palestina berjudul Hingga Batu Bicara. Saya juga suka cerpen Kado Pernikahan-nya mbak Dian Yasmina Fajri, dan salah satu cerpen di buku kumpulan cerpen Republika yang berjudul Pembisik. Cerpen dengan akhiran yang tak terduga itu ditulis oleh Wisran Hadi.

Nah, jadi tulisan ini sebenarnya mau mbahas soal kaka Beno atau soal cerpen ya? Hehe.. [wahidnugroho.com]

Tanjung, Oktober 2015

Kamis, 22 Oktober 2015

Pagi Itu


Pagi itu, sebagaimana pagi-pagi yang lain, yu Gendis menangis. Ia ngambek karena nggak ada yang mau memandikannya. Istriku sedang berganti baju dan aku sedang mengangkut barang-barang ke dalam mobil. Aku dan istri nyaris berdebat sebelum akhirnya putri sulungku, Azka, mengambil alih menampung permintaan Gendis. Dengan lembut, dibujuknya sang adik untuk mandi. Ia lalu menuntun adik bungsunya itu membuka baju dan digiringnya ia ke dalam kamar mandi. Beberapa detik kemudian, terdengar suara jebar-jebur dari kamar mandi. Aku tidak memerhatikan bagaimana anak sulungku itu memandikan adiknya. Aku mencoba mempercayainya dan membiarkannya ngopeni adiknya.

Mbak Azka sekarang sudah berusia enam setengah tahun. Sudah kelas 1 SD dan sudah bisa membaca sendiri. Ia pembelajar yang cepat tapi mudah bosan. Meski tak jarang berlaku menyebalkan, ia bisa berbalik seratus delapan puluh derajat menjadi anak yang manis dan kakak yang penyayang kepada adik-adiknya. Berbeda dengan ci Fidel yang usilnya nggak karuan, mbak Azka cenderung protektif dengan adik-adiknya meski kalau egoisnya lagi kumat dia akan jadi kakak paling pelit sedunia.

Tadi siang, aku membaca buku Munif Chatib yang berjudul Bella, Sekolah Tak Perlu Air Mata. Buku itu merupakan sebuah novel yang bercerita tentang anak disleksia. Aku belum membacanya sampai tuntas, baru masuk ke bab empat, sepertinya. Dituturkan dengan sederhana dan ringkas, meski objek ceritanya nggak sesederhana dan seringkas gaya berceritanya. Ketika membaca di bagian awal buku itu, aku langsung teringat dengan momen ketika anak-anakku lahir ke dunia ini. Selain mbak Azka yang lahir ketika aku sedang shalat subuh di masjid RSUD Luwuk, kelahiran kedua adiknya aku saksikan secara langsung. Aku menggengam tangan istriku yang mengejang kuat-kuat ketika itu. Aku masih ingat dengan suasananya, udaranya, warna langitnya, bau-bauannya.

Kini, telah bertahun-tahun peristiwa yang menakjubkan itu berlalu. Aku sempat melihat-lihat foto anak-anak ketika mereka masih bayi dulu. Aku menonton video saat aku memandikan mbak Azka yang direkam oleh istriku, juga polah-tingkah adik-adiknya yang menggemaskan. Betapa semuanya begitu cepat lewat. Anak-anak semakin besar, usiaku pun semakin menua, meski aku merasa masih sangat muda. Sering aku mengamati anak-anak yang sedang bermain bersama yang kerap berakhir dengan pertengkaran dan tangisan. Memerhatikan mimik mereka ketika marah, atau menangis, dan tertawa. Di bening matanya, terpantul kepolosan yang tanpa dosa. Memandangi itu aku langsung teringat dengan dunia yang fana ini. Betapa beratnya masa depan kalian, nak.

Selesai membaca buku itu, aku menelepon istriku yang sedang berada di rumah orangtuanya di Simpong. Kutanya apakah anak-anak sudah makan atau belum, apakah ia sudah makan atau belum, apakah ia sudah belanja ini dan belanja itu atau belum, dan pertanyaan-pertanyaan lain. Sayup-sayup kudengar suara salah satu putriku di belakang sana. Usai menelepon, aku jadi terpikir untuk menulis sesuatu, dan jadilah tulisan ini. Aku tak tahu, tulisan ini membahas tentang apa. Kubiarkan semua mengalir begitu saja.

Semoga Allah senantiasa menjaga keluargaku, dan keluarga kita semua. Aamiin. [wahidnugroho.com]

Tanjung, Oktober 2015

Ci Fidel dan Buku-Buku di Rumah

Istriku bercerita tentang ci Fidel, putri tengahku, ketika ia sedang menjaga stand Rumah Baca Jendela Ilmu di lapangan depan kantor Perpustakaan Daerah kemarin.


“Bi, kemarin aku liat ci Fidel ngambil buku KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya, semacam novel karya anak-anak usia 10-15 tahun) trus dia buka-buka itu buku. Mukanya serius sekali, bi,” urai istriku.


“Waktu itu,” lanjutnya, “ada ibu-ibu pegawai Perpustakaan Daerah yang bilang ke aku, ‘Bagus ya anak-anaknya senang baca buku.’ Mungkin dia bilang begitu karena ngeliat ci Fidel yang lagi asyik baca. Langsung aku jawab ke ibu itu, ‘Dia belum bisa baca bu. Dia cuman liat-liat bukunya aja.’ Kayaknya ci Fidel udah waktunya diajarin mbaca, bi” pinta istriku.


Aku tersenyam-senyum sendiri saat mendengar cerita itu. Gambaran putri keduaku yang sedang membaca dengan berbagai posenya langsung membayang di kepala. Memang di antara ketiga anakku, putri tengahku ini adalah anak yang paling tekun, meski kecepatan menalarnya tidak seprogresif kakak dan adiknya. Dia juga anak yang paling cuek dan nggak terlalu ambil pusing sama lingkungannya. Dia tipe anak yang akan melakukan apa yang disukainya, berbeda dengan kedua saudarinya yang rada-rada jaim dan suka merhatiin apa kata orang tentang mereka.


Ci Fidel memang belum bisa membaca. Umurnya baru lima tahun setengah. Dia baru mengenal huruf dan masih kesulitan mengeja kata. Berbeda dengan kakaknya yang nyaris tidak kuajari membaca karena sudah bisa membaca sendiri sejak usia lima tahun, Fidel memang sengaja kudiamkan dan membiarkannya belajar sendiri. Sukur-sukur si kakak mau ngajarin walau ternyata si kakak malah asyik sendiri dengan kemampuannya.


Sering aku mendapati ci Fidel duduk di pojokan ruang tamu, angrem di atas kasur yang dilipat di situ, di tangannya ada komik Kobo Chan atau Detective Conan, dan dia ketawa-ketawa sendiri waktu membolak-balik halamannya. Waktu kutanya “Fidel lagi ngapain?” dia akan njawab “Lagi ngeliat buku, bi.” Dia menjawab “ngeliat buku” dan bukan “membaca buku” hehe. Jujur amat nih anak yak.


“Coba suruh mbak Azka buat ngajarin dia,” usulku kepada istriku. “Kali aja dia mau.”


Istriku manggut-manggut.


Obrolan tentang ci Fidel yang pengen bisa baca ini akhirnya jadi tema obrolan kami di mobil waktu mau mengantar anak-anak ke sekolah tadi pagi.


“Kayaknya kita memang perlu meluangkan waktu buat ngajarin dia mbaca, mi.”


“Iya, bi. Kasian anak itu udah suka mau baca tapi belum bisa-bisa,” jawab istriku.


Anak-anakku, apapun yang terjadi, harus kuajari membaca dan, lebih dari itu, mengajari mereka agar mencintai buku-buku yang kumiliki di rumah. Seorang teman yang memiliki koleksi buku ribuan di rumahnya pernah berkata kepadaku yang kurang lebih demikian: “Aku punya ribuan buku, tapi anak-anak dan istriku nggak ada yang suka membaca. Sepertinya aku harus bersiap jika kelak buku-buku itu akan bernasib seperti buku-buku Adam Malik, yang diloakkan secara kiloan setelah kepulangan pemiliknya karena generasi penerusnya nggak ada yang suka dengan buku.”


Dan perasaan akan tiadanya generasi yang akan merawat buku-bukuku ketika aku tiada kelak itu sedikit banyak menghantuiku juga. Sepertinya aku perlu membicarakan ini dengan istriku dan menunggu responnya seperti apa. Ini memang tugas yang nggak gampang. Dan juga berat. Sebagian orang mungkin akan mencibir tugas ini, menganggapnya nggak-penting-penting-amat dan menyarankanku untuk memikirkan tugas yang lain. Tapi tidak. Ini tugasku. Apapun kata orang soal tugas itu bukan masalah buatku. Tidak mengapa. Yang menjadi kekhawatiranku adalah soal buku-buku itu. Semoga kelak ketika mereka besar, mereka bisa membaca tulisanku ini dan memahami kekhawatiran abinya ini. [wahidnugroho.com]



Tanjung, Oktober 2015

Senin, 12 Oktober 2015

Lelaki Yang Menggambar Sebuah Pohon Kecil


Hari Sabtu sore, seorang lelaki tampak duduk di sebuah batu kali besar yang teronggok di bawah naungan pohon tanjung. Sebuah potongan papan dijadikannya alas duduk agar terasa nyaman. Angin mengalun lembut, membelai rumputan, mencumbui dedaunan. Alam bergerak bersama, beresonansi, bersimfoni. Lalu lintas yang melengkungi taman itu tidak terlalu ramai. Satu dua kendaraan berlalu. Segerombolan anak muda berjalan menuju kantor Telkom yang berjarak selemparan batu dari tempat lelaki itu duduk. Seorang pekerja bangunan tampak mengamati lelaki itu dari balik pondasi padepokan pencak silat yang pengerjaannya belum jua rampung setelah sekian lama itu.

Untuk mengisi waktu, awalnya lelaki itu ingin membaca buku sebagaimana kebiasaannya yang selalu membawa bahan bacaan di dalam tasnya. Tapi ternyata buku yang dicarinya itu tertinggal di mobil yang diparkir di pinggir jalan sana. Lelaki itu kemudian melongok lagi ke dalam tas selempangnya dan mendapati sebuah buku catatan berkaver hitam koral. Lelaki itu lalu mengeluarkannya, membuka kompartemen lainnya yang cukup banyak itu demi mencari pensil atau pulpen atau alat tulis apapun yang ada di sana. Ia lalu menemukan pulpen berujung kecil dengan tinta hitam yang sedikit meluber di bagian ujungnya. Matanya menerawang ke segala arah, mencari sesuatu yang bisa menggerakkan tangannya untuk menulis sesuatu. Atau menggambar sesuatu. Sebuah pohon tanjung, pohon palem, semak bunga bougenville, tiang listrik, rumput kering, tugu Adipura, aspal yang memantulkan cahaya matahari sore yang lembut, bayang-bayang Masjid Agung di balik rimbun pepohonan, semuanya itu belum juga membuat tangannya bergerak.

Tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah pohon kecil yang tumbuh tak jauh dari tempatnya duduk. Dipandanginya pohon kecil, sepertinya itu pohon tanjung, yang dedaunannya berwarna hijau tua itu. Desau angin menggoyang-goyangkan ujung daunnya. Seperti penari yang sedang melenggak-lenggokkan pinggul dan tangannya seirama nada. Sinar matari sore yang lembut memagut permukaan daunnya yang sedang bergoyang-goyang itu. Ratusan, atau bahkan mungkin ribuan, semut merayapi bagian bawah batang pohon kecil itu. Dunia lalu menciut menjadi hanya antara lelaki itu dan sebatang pohon kecil dihadapannya itu. Matanya yang sedari tadi tampak gelisah, kini tertuju tajam pada pohon kecil itu saja. Tangannya bergerak, jemarinya bergerak, isi kepalanya bergerak. Lelaki itu mulai menggambar sebuah sketsa.

Mulanya adalah sebuah daun, lalu dua buah, tiga buah, dan berlembar-lembar daun digambarinya. Ia lalu menarik garis lurus dari atas ke bawah, membuat batang dan cabang-cabangnya yang mungil, mengarsir beberapa bagian, dan membuat garis-garis yang membentuk tulang daun itu baik secara horizontal maupun diagonal. Sebuah gerobak bakso dengan suara dentingan sendok yang beradu dengan mangkok keramik melewati taman itu. Namun ia tampak bergeming, ajeg dengan pohon kecil yang sedang digambarnya kala itu.

Selesai menggambar pohon, meski tak sempurna, lelaki itu lalu menggambar potongan balok kayu yang tergeletak pasrah di dekat pohon kecil itu. Dibuatnya sebuah garis, lalu dua buah garis, dan garis-garis lainnya yang bersatu menjadi sebentuk trapesium berdimensi tiga. Diarsirnya beberapa bagian agar tampak dramatis dan dibuatnya sekerat bayangan yang jatuh di sisi sebelah kirinya, karena matahari berada di balik punggung lelaki itu yang terlindung oleh naungan rimbun pohon tanjung.

Setelah pohon dan balok, lelaki itu lalu menambahi aksen tanah dan rerumputan yang mengelilingi pohon dan balok itu. Mulanya ia menambah segaris di sebelah kanan, segaris di sebelah kiri, lalu dua tiga dan bertumpuk-tumpuk garis di sekitarnya hingga membentuk sekumpulan rumput. Atau setidaknya seperti itulah menurutnya.

Gambar itu belum usai ketika seorang lelaki lainnya berperawakan besar, memanggul tas punggung, dan bermata agak sipit mendatanginya dengan senyum terkembang. Lelaki itu menyudahi ritual menggambar pohon kecil, balok kayu, dan rerumputan yang sejak sepuluh menit terakhir menguasainya itu dan menyapa lelaki yang baru saja datang itu. Ia menggumam perlahan, hanya dirinya saja yang bisa mendengar suaranya, bahwa kerja hari ini ibarat menyemai sebuah bibit yang lahir dari kegelisahan, termasuk juga optimisme, yang selalu menyemang di dalam lubuk jiwanya yang terdalam. Jauh di dalam hatinya, lelaki itu merapalkan doa kepada Sang Pemilik Mayapada, agar diberinya ia kekuatan dan kesabaran, juga ketekunan dan kelapangdadaan, ketika membersamai tumbuh kembang bibit itu hingga bertemu dengan takdirnya, semoga takdir yang baik, di masa depan. Semoga. [wahidnugroho.com]

Kilongan, Oktober 2015

Selasa, 06 Oktober 2015

Jangkar

Lelaki berwajah khas Indonesia timur itu tampak kuyu. Sesekali ia menguap dan meregangkan ruas-ruas tubuhnya yang terasa kaku. Seorang teman, sesama buruh pelabuhan, yang mendapati lelaki itu demikian berseloroh dengan nada menggoda.

“So itu ngana jangan talalo sering ba jangkar.”

Lelaki itu tertawa lepas. Giginya yang sebagian menguning tampak berkilauan ditimpa sinar matahari sore yang bersinar lembut.

“Jarang ba jangkar juga bisa bikin badan sakit-sakit,” jawabnya ceria dengan logat Luwuk yang kental.

Keduanya lalu tertawa dan melanjutkan pekerjaannya. Ada muatan yang harus segera mereka bongkar sore ini.

Awal mulanya saya tidak paham, apa yang dimaksud dengan ba jangkar itu. Saya juga tidak sempat bertanya kepada dua orang yang saling berdialog di atas karena ketika itu saya sedang terburu-buru. Beberapa tahun kemudian, saya akhirnya mengerti apa maksud dari istilah ba jangkar yang pertama kali saya dengar ketika kapal yang saya tumpangi merapat di Pelabuhan Rakyat itu: berhubungan suami istri.

Seorang tetangga sering sekali bercanda dengan istilah ba jangkar ini. Jika dilihatnya salah seorang dari kami sudah meminta izin pulang selepas yasinan pekanan di komplek meski waktu belum begitu larut, ia akan langsung nyeletuk sambil tertawa nakal, “So mo ba jangkar ini? Ba kode dulu ke landasan supaya di kase siap memang.” Kami semua jadi tertawa lepas mendengar candaannya yang agak ‘menjurus’ itu.

Tapi begitulah biasanya bapak-bapak kalau sedang berkumpul. Bahasannya tidak akan jauh-jauh dari harta, tahta, dan wanita. Termasuk soal ba jangkar. Jika ibu-ibu akan menjadikan tema ini sebagai bahasan yang menerbitkan rasa malu, mungkin tidak demikian bagi para bapak. Obrolan bapak-bapak seputar tema ba jangkar biasanya akan berlangsung gerr, nakal, dan sedikit eksperimental. Para bapak biasanya akan mudah menerjemahkan aktivitas sakral itu dengan istilah-istilah yang dekat dengan keseharian mereka. Apapun bentuknya. Mulai dari istilah jangkar, landasan, sampai ba paras rumput atau menyiangi rumput.

Pernah suatu hari salah seorang jamaah yasinan akan melanjutkan studinya di pulau Jawa. Praktis, ia akan meninggalkan anak-anak dan, terutama, istrinya dalam jangka waktu yang cukup lama. Salah seorang jamaah yasinan yang berjualan beras lalu bergurau kepadanya.

“Kalau soal beras itu te jadi soal. Tinggal kirim doi (uang), selesai masalah. Yang jadi masalah ini adalah soal keras. Mau te mau, harus didatang akan kalau te mau jadi masalah,” tukasnya dengan tawa yang keras. Kami semua tertawa. Beberapa jamaah hanya geleng kepala sambil ikut tersenyum. Suasana malam yang dingin lagi berangin berubah jadi menghangat.

Perkara ba jangkar ini memang urusan yang jangan sampai diremehkan. Sudah berapa banyak kehidupan rumah tangga yang berantakan karena urusan yang satu ini tidak terkelola dengan baik. Kuncinya adalah komunikasi. Bisa soal waktu dan tempat, durasi, gaya, termasuk juga soal pengantar dan penutupnya. Apalagi jika dibumbui sedikit imajinasi, sensasinya mungkin akan terasa berbeda. Semua bisa dibicarakan, semua bisa dikomunikasikan. Selama tidak melanggar syariat dan mengedepankan kepentingan bersama, kenapa tidak?

Mohon maaf. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Oktober 2015