Rabu, 28 Oktober 2015

Bincang Buku: How Reading Changed My Life

Saya sedang membaca buku berjudul How Reading Changed My Life. Buku tipis bersampul putih dengan gambar seorang anak kecil yang sedang membaca sambil menyelonjorkan kakinya itu ditulis oleh Anna Quindlen. Saya membelinya dari Book Depository beberapa pekan yang lalu dan buku itu baru saja datang hari Selasa kemarin. Bambang, teman sekantor saya, memberitahu bahwa ada paket untuk saya ketika saya sedang berada di ruangan umum untuk menelepon wajib pajak. Selesai menelepon, saya langsung mengambil paket itu dan membongkar isinya yang ternyata adalah buku ini.

Buku ini sangat tipis. Paginasinya tidak sampai 100 halaman. Harganya juga cukup bersahabat untuk ukuran buku impor yang masih baru, meski ini merupakan buku lama. Hanya $8 sudah termasuk ongkir sampai ke meja saya di Luwuk. Buku di tangan saya ini adalah buku cetakan pertama yang terbit bulan Agustus tahun 1998, tujuh belas tahun yang lalu.

Ngomong-ngomong tentang toko online bernama Book Depository, ini adalah kali ke enam saya membeli buku dari toko online yang berbasis di United Kingdom itu. Sepanjang bulan Oktober 2015 ini, saya sudah kedatangan tiga buku dari Book-Dep, demikian saya biasa menyingkat nama toko itu.

Membaca buku ini, saya serasa sedang bercermin dan menatap wajah saya sendiri di sana. Buku ini mengajak saya untuk menikmati momen ketika berinteraksi dengan buku. Merasai citarasa masing-masing buku dan mencari inspirasi dan pelajaran hidup yang berserak di tiap-tiap halamannya. Namun, menurut saya, pesan utama yang ingin disampaikan Mrs. Quindlen dalam buku ini adalah agar kita bisa menjadikan buku sebagai sarana hiburan bagi hati dan jiwa.

Salah satu bagian yang membuat saya merasa sedang bercermin adalah ketika Mrs. Quindlen menulis demikian di halaman 5.

I have clear memories of that sort of life, of lifting the rocks on the creek that trickled through Naylor’s Run to search for crayfish, of laying pennies on the tracks of the trolley and running to fetch them, flattened, when trolley had passed. The best part of me was always at home, within some book that had been laid flat on the table to mark my place, its imaginary people waiting for me to return and bring them to life.

Sejak kecil, saya adalah anak yang kurang terlalu suka dengan kegiatan luar rumah. Dulu saya memang bermain layang-layang, sepedaan, mancing, ngeband, atau bola sepak di lapangan belakang rumah, tapi saya kurang bisa menikmatinya. Saya lebih suka menyendiri di rumah, dengan tumpukan kertas dan buku-buku komik yang berserak di meja saya di kamar, atau di ruang tamu. Ketika itu saya menulis puisi-puisi yang sangat jelek, atau sekedar membuat tulisan nggak jelas, biasanya menyalin lirik lagu atau membuat syair-syair picisan.

Ketika sudah berkeluarga pun saya masih tetap begitu. Berbanding terbalik dengan istri saya yang lebih suka jalan-jalan ke luar rumah, saya lebih memilih berdiam di kamar belakang yang berisi buku-buku pribadi saya dan membaca atau menulis sesuatu di sana. Biasanya berlangsung sejak pagi sampai siang. Atau sejak ba’da magrib sampai menjelang pagi dini hari meski belakangan ritual berdiam diri pada waktu malam sudah sedikit berkurang karena padatnya kegiatan. Terkadang, istri ngerasa gemas juga ngeliat suaminya yang kurang-bergerak ini. “Coba abi futsalan dulu sama ikhwan-ikhwan,” katanya pada suatu pagi ketika mendapati saya sedang ngejogrok di kamar belakang dengan tumpukan buku dan wajah yang masih kusut.

Memang, ini terdengar sangat egois. Namun saya berpikir bahwa hiburan awal bagi anak-anak harus ditemukan di rumah terlebih dulu sebelum mereka dapatkan di luar. Biarlah rumah jadi berantakan dan ribut nggak karuan, asalkan mereka terhibur dan senang itu sudah lebih dari cukup. Lagipula, dengan adanya anak-anak di rumah, menuntut kami sebagai orangtua untuk menyediakan kebutuhan mereka secara langsung dan segera seperti cemilan atau minuman ringan.


Kembali ke bukunya Mrs. Quindlen.

Buku ini juga memuat reading list di halaman-halaman paling belakang. Memuat beberapa rekomendasi buku baik fiksi maupun nonfiksi, anak-anak maupun dewasa, yang bisa dijadikan alternatif bacaan buat kita. Beberapa dari buku-buku yang didaftarnya itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan telah diterbitkan oleh penerbit-penerbit ternama sehingga memudahkan kita untuk memilikinya, dan membacanya. Daftar itu memang bukan daftar yang baku, karena disusun berdasarkan pengalaman pribadi penulis selama berinteraksi dengan buku-buku yang pernah dibacanya. Karena nggak baku, daftar itu, tentu saja, sangat fleksibel dan sangat terbuka untuk berubah. Karena pengalaman dan interaksi kita dengan buku, termasuk berapa buku yang sudah dibaca sampai tuntas, tentu saja berbeda antara satu sama lain.  

Bicara tentang buku-buku yang merubah hidup, saya sendiri pernah menuliskannya di blog ini beberapa waktu yang lalu. Tulisan itu ada di sini. Daftar itu tentu saja sangat subjektif dan terkait langsung dengan perkembangan diri saya. Tentu saja, daftar itu sangat mungkin untuk bertambah, bahkan kemungkinan itu amat sangat terbuka. Mungkin saya akan menuliskan edisi revisinya di blog ini suatu hari nanti.

Jadi, benarkah buku benar-benar bisa merubah, termasuk menggugah, hidup kita?  Saya nggak bisa memberikan jawaban pasti. Baca saja buku ini dan dapatkan jawabanmu sendiri. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Oktober 2015 
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar