Jumat, 04 Desember 2015

Ruang Kosong

Masih ingat dengan almarhum papa Agus yang tempo hari saya posting di linimasa media sosial saya? Papa Agus adalah tetangga saya yang berprofesi sebagai tukang ojek. Ia meninggal mendadak karena sakit beberapa pekan yang lalu.

Di masa hidupnya, nyaris setiap pagi saya bertukar sapa dengannya. Bahkan, dalam sehari, saya bisa dua atau tiga kali berpapasan dengannya di jalan. Setelah beliau meninggal, saya merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang meski sepele lagi remeh-temeh, tapi cukup memengaruhi 'ritme' hidup saya.

Padahal, kalau mau ditimbang-timbang, beliau bukan siapa-siapanya saya. Kami dulu hanya sesekali saja berbincang dalam durasi yang agak lama. Hanya ngobrol sekedar lalu dan basa-basi saja. Tapi ada sedikit rasa kehilangan di dalam diri saya sepeninggalnya.

Ustadz Anis Matta paska wafatnya Ustadz Rahmat Abdullah pernah menulis, "Setelah seseorang pergi, kita segera tahu 'ruang kosong' apa yang ditinggalkan orang itu dalam hati kita.”

“Kesadaran kita tentang ruang kosong itu,” sambung beliau, “tidak akan pernah begitu jelas selama orang itu masih hidup dan berada di antara kita, sejelas ketika orang itu akhirnya pergi.”

“Ruang kosong yang dirasakan setiap orang pada seseorang tentu saja berbeda-beda,” tutupnya.

Jika seorang papa Agus yang, ibaratnya, bukan siapa-siapanya saya dan interaksi kami lebih banyak hanya berpapasan saja ketika di jalan sudah menciptakan sebuah ruang kosong di dalam hati saya, apatah lagi jika saya harus kehilangan orang-orang yang sehari-hari saya temui, saya ajak bicara, dan saya ajak bercengkerama.

Itulah sebabnya, perpisahan dengan orang-orang tercinta seperti menciptakan luka menganga yang sulit sembuhnya. Orang-orang tercinta itu bisa berwujud orangtua, suami, istri, teman, sahabat, atau siapapun yang memberi arti dalam hidup kita selama ini.

Ketika bapak meninggal delapan tahun yang lalu, saya merasa bahwa ruang kosong yang beliau tinggalkan tidak kunjung tertutup. Ia bahkan membesar dan makin menganga seiring berjalannya waktu, bahkan sampai saat ini. Ketika saya menikah, ketika anak-anak saya lahir, ketika saya mendapatkan sesuatu dari instansi tempat saya bekerja, saya baru menyadari bahwa semua kebahagiaan itu terasa hambar karena tidak bisa saya bagi bersama dengannya.

“Pak, anakmu sudah menikah. Pak, cucumu sudah lahir. Pak, gaji anakmu sekarang naik. Pak, anak bungsumu sudah lulus kuliah. Pak, anakmu sudah bangun rumah,” adalah rentetan kabar gembira yang ingin sekali saya sampaikan secara langsung kepadanya. Melihat terbitnya senyum dan mendengar ungkapan bahagianya atas anugerah yang diterima anaknya ini adalah sesuatu yang begitu saya tunggu-tunggu ketika saya mulai bekerja di perantauan nyaris sembilan tahun yang lalu. Tapi itu semua sudah tidak mungkin. Beliau sudah tiada dan saya masih harus berjuang untuk menutup ruang kosong itu dengan susah payah.

Ketika Qais dipaksa berpisah dengan Layla saat cinta mereka sedang berada di puncaknya, ruang kosong itulah yang kemudian mengubah Qais menjadi majnun karena cintanya kepada Layla terhalang sebuah tembok besar bernama perpisahan. Seberapa besar ruang kosong yang hendak kita bangun setelahnya adalah pilihan. Karena hidup harus terus berjalan, sepahit apapun kenyataan yang telah menunggu kita di depan.

Teriring doa untuk bapak. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Desember 2015
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar