Masih ingat dengan almarhum papa Agus yang tempo hari saya
posting di linimasa media sosial saya? Papa Agus adalah tetangga saya yang
berprofesi sebagai tukang ojek. Ia meninggal mendadak karena sakit beberapa
pekan yang lalu.
Di masa hidupnya, nyaris setiap pagi saya bertukar sapa
dengannya. Bahkan, dalam sehari, saya bisa dua atau tiga kali berpapasan
dengannya di jalan. Setelah beliau meninggal, saya merasa ada sesuatu yang
hilang. Sesuatu yang meski sepele lagi remeh-temeh, tapi cukup memengaruhi
'ritme' hidup saya.
Padahal, kalau mau ditimbang-timbang, beliau bukan
siapa-siapanya saya. Kami dulu hanya sesekali saja berbincang dalam durasi yang
agak lama. Hanya ngobrol sekedar lalu dan basa-basi saja. Tapi ada sedikit rasa
kehilangan di dalam diri saya sepeninggalnya.
Ustadz Anis Matta paska wafatnya Ustadz Rahmat Abdullah
pernah menulis, "Setelah seseorang pergi, kita segera tahu 'ruang kosong'
apa yang ditinggalkan orang itu dalam hati kita.”
“Kesadaran kita tentang ruang kosong itu,” sambung beliau, “tidak
akan pernah begitu jelas selama orang itu masih hidup dan berada di antara
kita, sejelas ketika orang itu akhirnya pergi.”
“Ruang kosong yang dirasakan setiap orang pada seseorang
tentu saja berbeda-beda,” tutupnya.
Jika seorang papa Agus yang, ibaratnya, bukan siapa-siapanya
saya dan interaksi kami lebih banyak hanya berpapasan saja ketika di jalan
sudah menciptakan sebuah ruang kosong di dalam hati saya, apatah lagi jika saya
harus kehilangan orang-orang yang sehari-hari saya temui, saya ajak bicara, dan
saya ajak bercengkerama.
Itulah sebabnya, perpisahan dengan orang-orang tercinta
seperti menciptakan luka menganga yang sulit sembuhnya. Orang-orang tercinta
itu bisa berwujud orangtua, suami, istri, teman, sahabat, atau siapapun yang memberi
arti dalam hidup kita selama ini.
Ketika bapak meninggal delapan tahun yang lalu, saya merasa
bahwa ruang kosong yang beliau tinggalkan tidak kunjung tertutup. Ia bahkan
membesar dan makin menganga seiring berjalannya waktu, bahkan sampai saat ini. Ketika
saya menikah, ketika anak-anak saya lahir, ketika saya mendapatkan sesuatu dari
instansi tempat saya bekerja, saya baru menyadari bahwa semua kebahagiaan itu
terasa hambar karena tidak bisa saya bagi bersama dengannya.
“Pak, anakmu sudah menikah. Pak, cucumu sudah lahir. Pak,
gaji anakmu sekarang naik. Pak, anak bungsumu sudah lulus kuliah. Pak, anakmu
sudah bangun rumah,” adalah rentetan kabar gembira yang ingin sekali saya
sampaikan secara langsung kepadanya. Melihat terbitnya senyum dan mendengar
ungkapan bahagianya atas anugerah yang diterima anaknya ini adalah sesuatu yang
begitu saya tunggu-tunggu ketika saya mulai bekerja di perantauan nyaris sembilan
tahun yang lalu. Tapi itu semua sudah tidak mungkin. Beliau sudah tiada dan
saya masih harus berjuang untuk menutup ruang kosong itu dengan susah payah.
Ketika Qais dipaksa berpisah dengan Layla saat cinta mereka
sedang berada di puncaknya, ruang kosong itulah yang kemudian mengubah Qais
menjadi majnun karena cintanya kepada Layla terhalang sebuah tembok besar
bernama perpisahan. Seberapa besar ruang kosong yang hendak kita bangun
setelahnya adalah pilihan. Karena hidup harus terus berjalan, sepahit apapun
kenyataan yang telah menunggu kita di depan.
Teriring doa untuk bapak. [wahidnugroho.com]
Kilongan, Desember 2015
0 celoteh:
Posting Komentar