Dalam
sebuah pesta pernikahan yang meriah di sebuah gedung, tampak sepasang suami
istri yang baru saja datang. Keduanya masih berusia muda, berpostur
proporsional, tampak terawat, dan berpendidikan. Sang suami mengenakan setelan
jas resmi berbahan katun yang halus dengan kemeja hitam yang tidak dikancing
pada bagian atasnya, bersepatu hitam mengkilat, dan potongan rambut trendi
masa kini. Sementara sang istri mengenakan pakaian yang sedikit
‘menggelisahkan’. Ia memakai setelan cropped top yang menunjukkan
beberapa bagian kulitnya yang cerah terawat. Rambutnya yang panjang dan halus
terurai begitu saja di atas bahunya yang kencang. Ia mengenakan sepatu hak
lancip berwarna senada dengan pakaiannya.
Saat pasangan muda itu berjalan mendekati tempat pengantin yang sedang
berbahagia, pandangan mata para tamu yang ada di ruangan itu tertuju kepada
keduanya. Entah apa yang ada dalam benak sang suami ketika mata-mata nyalang
para lelaki yang ada di ruangan itu ‘menikmati’ setiap senti dari bagian tubuh
istrinya yang terbuka.
Meski
saya tidak kenal sama sekali dengan pasangan itu, namun, di lubuk hati yang
terdalam, saya merasa malu dengan penampilan sang istri. Entah kenapa.
Umar
Tilmisani, Mursyid Am Ketiga Ikhwanul Muslimun, berkisah dalam memoarnya yang
berjudul Dzikroyat la Mudzakirat tentang kecemburuan dosis tingginya kepada
sang istri yang begitu dicintainya. Dalam buku yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan judul Bukan Sekedar Kenangan, Syaikh Umar yang parlente
dan bercita rasa tinggi itu berkata bahwa “Setelah menikah denganku, selama 17
tahun istriku tidak pernah keluar rumah untuk berkunjung ke keluarganya, atau
menghadiri undangan dan kematian tanpa memakai mobil. Ia tidak pernah
menggunakan trem, bus ataupun berjalan kaki di jalan, karena aku sangat ghirah
(cemburu) kepadanya. Aku cemburu melihat sinar matahari menerpa tubuhnya, atau
udara membelit pakaiannya. Dan istriku sangat tahu benar akan perasaanku itu. Karena
itu ia tidak pernah merasa dirinya dibatasi sehingga ia harus marah padaku.”
Walau
tidak sepenuhnya setuju dengan yang dilakukan oleh Syaikh Umar, pada sebahagian
yang lain, saya merasa ada sesuatu yang telah diwakili oleh pandangan beliau
terkait dengan bagaimana seorang lelaki, dalam hal ini suami, perlu bersikap
terhadap istrinya masing-masing. Sesuatu itu adalah
kecemburuan.
Lelaki,
atau sebagian lelaki, tidak seekspresif perempuan dalam hal cemburu. Tidak
selalu cemburu itu diejawantahkan dalam bentuk wajah yang masam, tampang yang
muram, atau bentakan penuh geram. Lelaki biasanya menyimpan cemburu dalam diam
namun tetap mengingat dan mencatat.
Suatu
hari, istri pernah bertanya kepada saya. “Abi pernah cemburu sama aku?”
demikian tanyanya. Ia sepertinya perlu menanyakan hal itu karena sepanjang usia
pernikahan kami yang masih belia ini, saya nyaris tak pernah mengutarakan rasa
cemburu kepadanya. Berbeda dengan dirinya yang kerap berterus-terang dengan
perasaan cemburunya, ia mungkin merasa bahwa suaminya ini terlalu lurus-lurus
saja dalam hal perasaan. Ketika itu saya menjawabnya dengan kata “Belum” dan ia
masih merasa belum puas dengan jawaban itu dan kerap mengulang-ulang
pertanyaannya dalam beberapa kesempatan.
Cemburu,
bagi saya, tidak melulu soal orang lain. Cemburu bagi saya mungkin terlampau
sederhana bentuknya, bahkan tampak remeh lagi sepele bagi orang lain. Namun
sesuatu yang tampak sepele, remeh, dan biasa itu tidak demikian halnya bagi
saya.
Kecemburuan
saya kepada istri adalah ketika saya mendapati sehelai dua helai rambutnya yang
menyembul dari balik jilbabnya, atau ketika lengan bajunya menyingkap
pergelangan tangannya, atau saat rok panjangnya menyingkap bagian yang kerap
membuat saya tertegun itu saat ia naik di atas motornya, atau saat pakaian yang
dikenakannya menyembulkan beberapa lekuk tubuhnya, atau ketika jilbab yang
dipakainya tampak menerawang dan tembus pandang. Cemburu bagi saya adalah soal
aurat. Sekecil apapun. Karena aurat istri adalah harga diri suami. Ketika aurat
yang seharusnya diperuntukkan hanya untuk kita, sebagai suami, seorang itu
lantas ditunjukkan dan dipamerkan kepada orang lain yang tidak berhak, maka
disitulah sebenarnya harga diri suami sedang terinjak-injak.
Bagaimana
mungkin seorang suami yang mengaku mencintai istrinya membiarkan orang lain
bisa – maafkan pemilihan kata saya ini – mencicipi aurat istrinya secara bebas?
Bagaimana mungkin seorang laki-laki sejati – sekali lagi maafkan pemilihan kata
saya ini – menjajakan aurat istrinya kepada orang lain tanpa merasa sedikitpun
terluka harga dirinya karenanya? Bagaimana mungkin seorang lelaki merasa bangga
bahwa istrinya bisa dinikmati lekukan tubuhnya, cerah warna kulitnya, harum dan
lembut rambutnya, dan menyesapi aroma tubuhnya oleh orang lain?
Kilongan,
Desember 2014
izin share ya bang.
BalasHapussilakan
BalasHapus