Sabtu, 29 Desember 2007

Darius dan Donna

Tadi pagi (Senin, 24/12) saya sarapan di rumah makan Sudi Mampir yang ada di dekat kantor. Sambil menikmati sarapan, saya mendengarkan acara infotainment yang sedang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi swasta dari televisi yang ada di rumah makan tersebut. Acara tersebut sedang menyiarkan tentang rencana pasangan selebriti Indonesia yang hendak mengisi liburan mereka dengan berwisata ke luar negeri. Kedua selebriti tersebut bernama Donna Agnesia dan Darius Sinathriya (bener nggak ya tulisannya).

“Liburan akhir tahun ini kami sekeluarga berencana untuk liburan ke luar negeri, tepatnya ke Australia”, begitu kurang lebih ujar sang suami kepada wartawan infotainment tersebut.

Sayangnya, saya sedang tidak berniat untuk membahas liburan si Darius dan Donna. Toh saya tidak memiliki hubungan apa-apa dengan kedua orang tersebut. Akan tetapi, sebagaimana kedua orang itu, saya juga punya rencana untuk mengisi liburan akhir tahun nanti. Ke luar negeri? Sepertinya tidak. Mau pulang ke Jakarta? Tidak juga. Lalu mau kemana ya?

Setidaknya ada dua kegiatan yang sudah saya agendakan. Pertama, saya akan naik gunung ke daerah yang namanya Batu Tikar pada tanggal 30 Desember sampai 1 Januari 2008 nanti bersama teman-teman saya di kepanduan. Kedua, tepat sebelum berangkat, saya dan kawan-kawan berencana untuk menghadiri acara walimahan (resepsi pernikahan) seorang kawan di Luwuk. Demikianlah dua agenda saya di liburan akhir tahun nanti insya Allah.

Lalu, apa hubungan tulisan ini dengan Darius dan Donna? Yah, saya jadi teringat dengan perkataan, entah Donna atau Darius saya lupa, yang katanya bersyukur bahwa tahun ini mereka dapat merayakan tahun baru ke dua mereka sebagai suami isteri. Sebagaimana kawan saya yang hendak menikah menjelang akhir tahun nanti, maka mereka pun juga akan melewati tahun 2008 masehi sebagai sepasang suami isteri.

Lalu bagaimana dengan saya? Wah, sepertinya saya (terpaksa) harus lulus dari tahun 2007 ini dengan tetap berpredikat sebagai seorang bujangan (hiks) kembali. Kasian deh gue....

Eit, tapi tunggu! Bukannya masih ada tahun baru Hijriah? Hmmmm.... Bisakah?


Datu Adam, Desember 2007
Ngantuk (-_-)’

Minggu, 16 Desember 2007

Gus Pur


Gus Pur. Saya pikir hampir tidak ada yang tidak kenal dengan nama yang satu kini. Tapi kalau ternyata ada di antara Anda ada yang belum tahu, maka saya akan sedikit menjelaskannya kepada Anda.

Gus Pur adalah seorang tokoh yang menjadi tiruan Gus Dur dalam sebuah acara parodi Newsdotcom yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Tokoh ini diperankan dengan nyaris sempurna oleh Handoyo, seorang PNS di lingkungan Depkes yang sekitar tiga setengah tahun lagi akan pensiun.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membahas tentang kehidupan seorang Handoyo a.k.a Gus Pur secara panjang lebar. Tulisan ini hanya akan menyinggung tentang peran yang dimainkan Handoyo itu, yakni Gus Pur. Kita menyebutnya sebagai epigon, atau bahasa umumnya berarti mengikuti/mengekor.

Epigon adalah sebuah hal yang tidak dapat dipisahkan dari dunia tulis-menulis. Epigon dalam dunia kepenulisan berarti kita mengikuti gaya tulisan seseorang dalam karya yang kita buat. Menjadi epigon sebenarnya bukanlah sebuah kesalahan. Karena ternyata para penulis besar pun juga melakukannya.

Lihat saja Pramoedya Ananta Toer yang mengaku bahwa tulisannya benar-benar terpengaruh dengan gaya tulisan John Steinbeck. John Steinbeck adalah pengarang peraih Nobel Sastra kelahiran Amerika Serikat yang digjaya dengan novel-novel realisnya seperti Mice and Man (diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Pram menjadi Manusia dan Tikus), The Grapes of Wrath dan Pearl. Atau seorang Muhammad Anis Matta yang sangat terpengaruh dengan gaya analisa dan sistematis dari Hasan Al Banna dan bertutur yang cekatan dari seorang David J. Schwartz dalam setiap tulisannya.

Menjadi epigon, menurut Nursalam A.R, berarti menjadi seorang bayi. Ia butuh mengamati dan ia butuh asupan bergizi. Sehingga, dalam tahap awal proses kreatif seorang penulis, ia membutuhkan semacam model yang dijadikannya sebagai acuan atau koridor dalam membuat tulisan-tulisannya kemudian.

Namun, masih menurut Nursalam, bayi butuh menjadi dewasa. Ia butuh menjadi diri sendiri. Para penulis atau pengarang besar meraksasa karena mereka kreatif membebaskan diri dari meniru gaya para penulis terdahulu yang dikagumi. Di sinilah seorang penulis jangan sampai membatasi kemampuan mengeksplorasi tulisannya pada karya-karya penulis yang dikaguminya saja. Karena penulis seperti itu hanya akan selamanya akan kerdil dalam bayang-bayang orang-orang besar yang dikaguminya itu. Nursalam menyebutnya sebagai, “Sang epigon primitif ini tak akan pernah mengungguli para pengarang aslinya”.

Bagi seorang penulis yang masih belajar, proses epigonisasi ini jelas dibutuhkan, namun harus ada batas jarak yang ditetapkan sebagai batas waktu baginya untuk terus menjadi seorang epigon dan berubah menjadi dirinya sendiri yang orisinil. Bahkan ada sebuah obsesi untuk jauh melampaui orang yang ditirunya itu. Jika tidak, maka kita hanya akan berada di bawah bayang-bayang orang yang kita kagumi sekaligus mengubur dalam-dalam eksistensi kita sebagai seorang manusia yang memiliki banyak potensi, dan juga unik.


Daftar pustaka: Artikel berjudul “Menjadi Epigon, Salahkah?” oleh Nursalam A.R. dari www.penulislepas.com Datu Adam, Desember 2007

Membaca Puisi



Membaca puisi adalah salah satu kebiasaan saya selain membaca buku-buku fiksi lainnya seperti novel dan cerpen. Saya tidak ingat persis, kapan pertama kali memiliki kebiasaan ini. Yang jelas, saya sangat menikmati kegiatan membaca puisi sebagai sebuah sarana penyegaran hati. Terkadang, saya menemukan beberapa kosa kata baru dan menarik dari puisi yang saya baca, hingga diri ini terdorong untuk mencatat kemudian mencari maknanya. Atau sekedar untuk menuruti kecenderungan jiwa yang sedang ingin tenggelam dalam suasana melankolis, romantis, sampai kritis.

Di antara puisi yang saya baca, ada beberapa penulis yang sangat saya sukai karya-karya puisinya. Di antaranya adalah Ibnu Hazm, Chairil Anwar, Taufik Ismail, Sapardi Djoko Damono, Anis Matta, Yon's Revolta, Rudolph Damanik, Abdurahman Faiz, Astrid Widjaja dan masih banyak lagi. Demikianlah nama beberapa sastrawan yang kerap saya nikmati karya-karyanya, terutama puisi. Bahkan tak jarang saya juga menghapal beberapa bait yang menjadi favorit saya.

Sayangnya, saya bukan tergolong orang yang cukup cerkas dalam hal berinteraksi dengan puisi. Sehingga terkadang, saya hanya menikmati aspek keindahan bahasanya saja, tanpa menghiraukan pesan implisit yang terkandung di dalamnya tanpa bisa menentukan apakah ini puisi bagus atau tidak. Tapi tak jarang, saya juga ingin menerka-nerka, apa gerangan pesan yang coba disampaikan sang pengarang lewat untaian bait-bait puisi ini. Orang biasa menyebut penggalian pesan ini sebagai sebuah penafsiran tematik.

Berangkat dari sini, saya jadi teringat dengan pesan dari salah seorang sastrawan besar negeri ini yang bernama Sapardi Djoko Damono. Katanya, "Puisi yang bagus (baca: indah), ibarat ‘sebiji kacang di balik kaca kristal’. Dari luar terlihat bahwa itu sebiji kacang, tapi tampak lebih indah, mungkin fantastik dan memesona. Seperti ada misteri, dari satu sisi seperti kembar, dari sudut pandang lain bisa tampak puluhan kacang. Kadang-kadang samar atau gemebyar ketika ada pantulan cahaya dari luar. Sebiji kacang yang memesona. Kacang itu adalah isi puisi, dan kaca kristal itu estetika puisi".

Rumit juga ya? Tapi benarkah sebuah puisi selalu serumit itu? Saya sendiri berpendapat: tidak. Karena sebuah puisi pada hakikatnya memang akan mengandung banyak tafsir, demikian ujar Ahmadun Yosi Herfanda. Masuk akal juga. Lha wong Al Qur'an saja yang nyata-nyata firman Allah juga mengalami banyak penafsiran, apatah lagi puisi yang jelas-jelas berasal dari manusia biasa. Sebagaimana puisi mengandung multitafsir maka, kata A. Teeuw, terbuka kemungkinan terjadinya salah tafsir.

Lalu bagaimana caranya agar dialektika penafsiran itu tidak muncul saat kita menikmati sebuah puisi? Suminto A. Sayuti mengatakan bahwa, "Kemungkinan tafsir puisi tergantung pada kekayaan intelektual pembaca. Semakin kaya pengetahuan pembaca akan makin dapat memberikan tafsir yang kaya pula pada puisi".

Jadi, semakin luas pengetahuan kita, khususnya dalam bidang sastra maupun dalam hal cakupan bacaan kita, akan memudahkan kita dalam menerjemahkan pesan dari sebuah puisi dengan cermat dan tepat. Selain itu, sense of art yang cukup tajam dari seorang penikmat puisi juga dapat mengendus pesan-pesan yang coba disampaikan oleh pengarang melalui puisi itu.

Tapi pada intinya, setiap kita berhak untuk menilai arti sebuah puisi, termasuk menentukan mutu dan kualitas isinya, mulai dari tukang gali sumur sampai ke tingkatan direktur. Puisi yang bagus bukanlah puisi dengan gaya bahasa yang njelimet dan menbuat mumet pembacanya, tapi puisi yang bagus adalah puisi yang dapat mengajak penikmatnya untuk berdialog dengan lebih lugas tanpa bantuan pengantar apapun dari seorang kritisi sastra. Sebagaimana ujar Ahmadun Yosi Herfanda, "Andalah, pembaca, yang paling berhak untuk menikmati, berdialog langsung, sekaligus memberi tafsir yang lebih kaya pada sebuah karya sastra".

Terakhir, izinkan saya mengutip sebuah puisi yang menjadi kesukaan saya yang kerap saya senandungkan saat dalam kesendirian.
Suatu saat dalam sejarah cinta kita Kita mengenang masa depan kebersamaan Kemana cinta kan berakhir Di saat tak ada akhir

(Akhir Sejarah Cinta Kita oleh Muhammad Anis Matta)
Datu Adam, Desember 2007

Sabtu, 08 Desember 2007

Menulis Sajalah…


"Jangan memikirkan apa yang hendak Anda tulis, tapi tulislah apa yang sedang Anda pikirkan!" (Muhammad Anis Matta)

IJINKAN saya bertanya kepada Anda: apa hubungan antara angka dua puluh enam dengan bulan November? Mungkin keduanya tidak akan bermakna apapun bagi Anda. Tapi, dua hal tersebut memiliki makna tertentu bagi saya. Kenapa? Karena selama bulan November 2007 kemarin saya telah membuat tulisan sejumlah dua puluh enam judul. Selain itu, ada enam judul tulisan yang merupakan salinan dari buku-buku yang saya baca, dan sembilan belas judul lainnya yang belum saya kembangkan menjadi sebuah tulisan.

Entah ada angin apa yang membuat saya bisa melakukan semua ini. Alhamdulillah. Bisa jadi ini adalah akibat "pergaulan bebas" yang terjadi antara saya dengan tumpukan buku yang berserakan di kamar. Saya pernah mendengar ucapan seorang penulis, bahwa efek samping orang yang suka membaca adalah menulis. Baik menuliskan kembali apa yang sudah dibacanya, maupun menulis hal-hal lainnya yang dibahas ataupun disinggung dalam bacaannya itu. Benar-benar efek samping yang menarik.

Pada hakikatnya, saya setuju sekali dengan ide itu: orang yang suka membaca biasanya suka pula menulis. Saya pikir, inilah yang sedang terjadi dalam diri saya. Setelah sekian kurun waktu bergaul dengan tumpukan buku, lahirlah semacam "rasa ingin menyampaikan" apa yang sudah saya baca itu kepada orang lain. Rasa ingin menyampaikan itu dikemas dengan bahasa yang dibentuk melalui pemikiran seorang saya berdasarkan informasi yang ada di dalam buku yang saya baca itu. Maka lahirlah beberapa coretan kecil saya yang isinya mengulas tentang buku-buku itu dan hal-hal yang berhubungan dengannya.

Sebenarnya kebiasaan menulis ini sudah terbangun saat saya masih duduk di bangku SMA. Dahulu saya pernah ditunjuk untuk membuat mading ROHIS. Dari situlah kebiasaan corat-coret saya bermula. Kebiasaan ini semakin mendapatkan tempat ketika saya diamanahi sebagai mentor, karena saya paling suka membuat artikel-artikel sebagai materi untuk saya sampaikan kepada binaan saya. Apalagi setelah saya ditugaskan untuk menjadi anggota organisasi kemahasiswaan di kampus, dimana saya juga diserahkan kunci sekretariatnya. Sehingga jadilah saya sering berkutat di sekretariat itu sekedar untuk melampiaskan hajat corat-coret saya di sana.

Baiklah, kembali ke masalah tulisan. Dalam suatu kesempatan, ada seseorang yang pernah bertanya, bagaimana caranya untuk mulai menulis. Jawaban dari pertanyaan ini sangatlah sederhana: Menulis. Itu saja. Jangan pernah berpikir bahwa kita tidak berbakat sehingga tulisan kita tidak sedap dibaca. Jangan. Buang jauh-jauh kekhawatiran itu di dalam diri kita yang hendak mulai menulis. Karena menulis itu bukan urusan bakat semata. Menulis itu lebih karena adanya pembiasaan untuk menulis. Dengan banyak berlatih, maka kita akan semakin mengetahui kelebihan dan kelemahan kita.

Jangan lupa pula untuk mempublikasikan tulisan kita kepada orang lain, bisa lewat blog, email, atau forum diskusi. Karena biasanya akan ada yang memberikan respon terhadap tulisan kita itu termasuk mengkritisi dan memberikan masukan. Nah, dari sinilah kita akan mendapatkan banyak sekali pelajaran yang bisa kita gunakan untuk meningkatkan kualitas tulisan kita. "Hanya tulisan yang dipublikasikan saja yang punya nyawa dan pengaruh kepada pembacanya", demikian ujar Edi Zaques, seorang pengarang buku-buku bestseller.

Jadi, kepada kita semua yang hendak menulis saya serukan, "menulis sajalah!". Janganlah kita memikirkan apa yang akan kita tulis, menarik atau tidak tulisan kita itu, dan sebagainya, namun tuliskanlah saja apa yang sedang kita pikirkan dan rasakan. Tulislah saja dengan apapun cara yang kita suka. Jangan takut salah, karena tidak ada kata salah dalam proses belajar. Semuanya adalah sebuah proses yang sedang kita jalani menuju ke arah yang lebih baik, khususnya dalam urusan tulis-menulis, dan saya pikir ini adalah sebuah upaya awal untuk merangsang 'nafsu menulis' kita. Selanjutnya, terserah Anda.

Datu Adam, Desember 2007

Menciptakan Sejarah Kita Sendiri


Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. (Pramoedya Ananta Toer)


HARI Sabtu (10/11) lalu adalah sebuah hari yang sangat bersejarah dalam perjalanan kepenulisan saya. Bersejarah, karena pada hari itulah tulisan saya untuk yang pertama kalinya dimuat oleh salah satu media cetak lokal di Luwuk, yakni Luwuk Post. Luwuk Post adalah bagian dari Jawa Post News Network.

Waktu itu, saya menulis sebuah opini panjang yang berjudul "Tarbiyah (Harus) Menjawab Tantangan Zaman, Sebuah Otokritik Bagi PKS Kabupaten Banggai". Mungkin karena saking panjangnya, tulisan itu sampai harus dibagi menjadi dua bagian alias bersambung.

Ide dari tulisan tersebut hanyalah sekedar penyegaran sekaligus evaluasi tarbawi bagi gerakan Tarbiyah yang ada di Indonesia, khususnya di Kabupaten Banggai, dalam merespon perkembangan zaman yang makin sarat dengan tantangan ini. Termasuk melakukan kilas balik dua puluh lima tahunan ke belakang terhadap kiprah dan review terhadap periodeisasi gerakan Tarbiyah di Indonesia selama kurun waktu tersebut.

Saya sadar, bahwa bahasan ini tergolong cukup berat dan kurang terlalu diminati bagi orang kebanyakan. Bahkan tulisan saya ini bisa dikatakan tergolong 'rawan' akan kritikan dan bukan tidak mungkin, kecurigaan. Demikianlah jelas teman saya yang membaca tulisan saya itu. Namun, saya tidak ingin menulis hanya karena ingin menyenangkan semua pihak. Saya menulis karena saya ingin menyuarakan apa yang saya pikirkan dan rasakan. Kegundahan saya, kecemasan saya, termasuk harapan-harapan saya terhadap perkembangan gerakan ini di masa depan. Adapun jika ada yang ingin mengkritisi, mencaci-maki, mencurigai dan sejenisnya, maka saya siap untuk meladeninya. Tentu saja dalam ruang dialog yang sama, yakni dalam bentuk tulisan dan bukan tudingan-tudingan yang penuh dengan kecurigaan yang dangkal dan tidak ilmiah.

Oleh karenanya, saya tidak ingin merasa puas sampai pada titik ini saja. Ke depannya, saya menargetkan untuk bisa mencantumkan tulisan saya di media tersebut setidaknya dua kali dalam sebulan. Target ini mengharuskan saya untuk menggesah diri lebih maksimal lagi. Salah satunya ialah dengan lebih banyak membaca dan menganalisa perputaran dunia ini secara lebih cermat dan cerdas dari sudut pandang gerakan Tarbiyah.

Tentu saja, ikhtiar ini harus didahului dengan mengikhlaskan niat saya dan memfokuskan orientasinya pada perbaikan ummat. Saya berharap, coretan kecil ini bisa menjadi seruan yang gaungnya bisa memenuhi salah satu sudut sejarah manusia. Karena baru inilah yang saya bisa lakukan di sela keterbatasan saya sebagai manusia biasa. Semoga Allah meridhoi ikhtiar saya ini. Amin ya rabbal 'alamiin. Dan kepada Anda semua saya serukan: Ayo menulis! Dan ciptakanlah sejarahmu sendiri.

Datu Adam, November 2007

Kamis, 06 Desember 2007

Tidak (Dulu) Untuk Fiksi



Berdasarkan coretan yang saya buat beberapa waktu yang lalu tentang hutang baca buku saya yang makin menumpuk, akhirnya saya pun membuat keputusan di atas. Keputusan ini berubah menjadi tekad yang ingin saya wujudkan dalam beberapa waktu ke depan, setidaknya sampai bulan Januari tahun besok. Ya, betul. Saya ingin berhenti dulu membaca buku-buku fiksi, baik itu berupa cerpen maupun novel.

Ada beberapa alasan yang melandasi keinginan saya ini. Alasan pertama adalah untuk mengganti suasana terhadap bacaan-bacaan saya saja. Saya menyadari bahwa membaca novel terlalu banyak terkadang akan menimbulkan pemikiran yang terlalu fleksibel, bahkan cenderung terlalu cair, selain juga akan berpengaruh kurang baik pada stabilitas emosi saya. Hal itu menurut saya bisa menjadi kontraproduktif, karena dunia ini berjalan pada tataran realitas, dan tidak semua novel yang saya baca berhubungan langsung dengan realitas itu. Walaupun ada satu dua yang memilikinya.

Saya mempunyai dasar empirik mengenai hal ini. Karena setelah saya hitung-hitung, ternyata sudah ada lebih dari sembilan belas novel yang saya baca dalam tujuh bulan terakhir ini. Jumlah yang menurut saya tidak sedikit. Jumlah ini jika saya bandingkan dengan buku-buku nonfiksi yang sudah saya baca hingga bulan ini, maka angka itu saya rasa sudah terlampau banyak. Apalagi buku-buku fiksi yang saya baca rata-rata berhalaman tebal dan sebaliknya untuk buku-buku nonfiksi.

Oleh karenanya, saya mulai mengarahkan bacaan-bacaan saya kepada buku bergenre nonfiksi terutama yang membahas tentang sejarah dan pemikiran Islam. Sehingga mulailah saya membaca buku-buku yang lebih bernuansa ilmiah seperti Bangkit Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah karangan Doktor Muhammad Ash-Shalabi, Wajah Dunia Islam karangan Doktor Sayyid Muhammad Al Wakil, Otobiografi Hasan Al Banna karangan Anis Al Hajaji, Dari Kader Untuk Bangsa yang merupakan kumpulan tulisan kader-kader PKS di media cetak, Aku Menggugat Maka Aku Kian Beriman karangan Jeffrey Lang, dan tiga buah buku Tarikh Al Ikhwan Al Muslimun karangan Syaikh Jum'ah Amin Abdul Aziz.

Sedangkan buku-buku novel seperti The Bartimaeus Trilogy, dua novel karangan Najib Kailani, beberapa novel karangan Agatha Christie, dan sebuah novel berjudul Sognando Palestina karangan Randa Ghazy, yang belakangan ini sedang saya nikmati, harus saya simpan dulu untuk sementara. Nanti kalau waktunya sudah tepat, maka saya akan kembali melahap buku-buku novel itu.

Alasan selanjutnya adalah karena saya sedang ingin membuat sebuah tulisan yang sedikit bernuansa ilmiah namun memiliki gaya bertutur seperti sebuah novel yang hidup dan renyah. Itulah mengapa saya banyak membaca novel dalam beberapa bulan terakhir ini. Salah satu sebabnya ialah karena saya ingin mengadopsi teknik penyampaian sebuah fakta ilmiah melalui tulisan yang ringan dan imajinatif seperti itu, tentu saja, dengan tanpa menghilangkan unsur keilmiahannya.

Adapun novelis yang sangat ingin saya comot gaya berceritanya adalah Najib Kailani. Kenapa Najib Kailani dan bukan Eiji Yoshikawa atau Najib Mahfudz? Satu saja jawabnya: karena Najib Kailani-lah yang menurut saya telah berhasil menyajikan cerita sejarah dengan cara yang apik, menarik, jujur, dan mampu menggerakkan pembacanya. Itulah yang saya lihat dari beberapa karyanya, mulai dari Ar-Rihlah Ilallah, Mawakib Al Abrar, Al Yaumul Maw'ud, dan Layali Turkistan, yang kesemuanya adalah novel sejarah.

Lalu, kisah apa yang sebenarnya ingin saya ceritakan kembali melalui versi seorang saya yang masih belajar ini? Setidaknya ada dua kisah. Yang pertama adalah tentang pasukan Al Inkisyariyah dalam Kesultanan Turki Utsmani, khususnya dalam hal sistem rekrutmennya yang menurut saya banyak dikaburkan oleh sejarah. Yang kedua adalah kisah tentang pembunuhan Hasan Al Banna dan konspirasi di baliknya.

Sebenarnya sudah ada beberapa, baik buku, artikel, bahkan tesis, yang membicarakan tentang tema ini. Adapun saya hanya berusaha untuk belajar membuat sebuah tulisan yang sedikit ilmiah namun memiliki bahasa penyampaian yang renyah dan mudah dicerna.

Ada beberapa referensi yang sudah saya siapkan terkait dengan dua tema besar itu dan kini saya sedang dalam proses untuk membacanya sampai habis. Saya berharap ini adalah sarana pembelajaran bagi saya sekaligus sebagai upaya pelurusan sejarah tentang sebuah peristiwa yang sudah terjadi berpuluh tahun, bahkan berabad-abad yang lalu. Kapan terealisirnya? Wallahu 'alam, saya belum tahu. Tapi 'ala kulli haal, semoga Allah meridhoi dan memudahkan ikhtiar sederhana ini. Amin.


Datu Adam, November 2007

Sepotong Karton dan Tumpukan Hutang




Setidaknya ada lima belas buku yang masih mengantri untuk saya baca semenjak pertengahan bulan Oktober kemarin hingga pertengahan November ini. Saya mengetahuinya dari sepotong karton yang terpasang di dinding kamar saya. Sepotong karton itulah yang memuat "jadwal baca buku" saya dalam sebulan. Isinya mulai dari judul buku, pengarang, penerbit, mulai baca, selesai baca, dan keterangan yang berisi kesan saya atas buku yang sudah saya baca itu.

Kolom-kolom yang sudah saya isi baru pada bagian judul buku, pengarang, penerbit, dan tanggal mulai baca. Sisanya masih menunggu untuk diberikan 'keputusan', khususnya pada bagian yang paling esensial yaitu: tanggal selesai baca dan keterangan. Karena bagian itulah yang menunjukkan bahwa saya sudah selesai membaca dan memberikan pendapat singkat terhadap apa yang sudah saya baca itu. Tapi kenyataannya, kolom-kolom itu masih saya 'gantung' tanpa kejelasan alias masih kosong. Inilah yang saya katakan sebagai "tumpukan hutang".

Tumpukan hutang itu adalah daftar buku yang sedang saya baca dan belum saya selesaikan membacanya, sebagaimana yang sudah saya singgung di atas. Adapun kelimabelas buku yang menjadi "tumpukan hutang" itu adalah:

1. Why Men Don't Listen And Women Can't Read Maps karangan Allan dan Barbara Pease
2. Sognando Palestina karangan Randa Ghazy
3. Night At Turkistan karangan Najib Kailani
4. Wajah Dunia Islam karangan Dr. Sayyid Muhammad Al Wakil
5. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah karangan Dr. Ali Ash-Shalabi
6. Dari Kader Untuk Bangsa karangan Kader PKS
7. Kumpulan Kisah-Kisah Dinasti Ming karangan Feng Menglong
8. Aku Menggugat Maka Aku Kian Beriman karangan Dr. Jeffrey Lang
9. Perang Eropa Jilid 1 Karangan P.K. Ojong
10. Supernova 2 karangan Dee
11. Dua buku karangan Jonathan Stroud berjudul The Amulet Of Samarkhand dan The Golem's Eye, serta
12. Tiga buku Tarikh Al Ikhwan Al Muslimun karangan Jum'ah Amin Abdul Aziz

Semua ini terjadi karena kesalahan saya yang suka menunda-nunda bacaan saya dan karena, ini yang terburuk, seringnya saya tergoda untuk 'menyelingkuhi' komitmen baca saya di awal. Selain itu, menumpuknya hutang tersebut juga dikarenakan ada beberapa kesibukan yang kerap 'merampas' waktu baca buku yang memang sudah saya alokasikan sebelumnya. Ah, tapi intinya sama saja, semua ini sebenarnya karena manajemen waktu saya yang buruk. Saya pikir, itulah letak utama kesalahan saya.

Memang, membaca buku telah menjadi 'ritual' wajib bagi saya setiap harinya. Seolah ada yang kurang jika satu hari berlalu tanpa membaca selembar buku pun, tentu saja di luar membaca Al Quran. Pokoknya, tiada hari tanpa membaca buku. Kurang lebih begitulah idealisme saya.

Oleh karenanya, saya tidak ingin lagi menggantung nasib buku-buku yang sudah terlanjur saya cantumkan di potongan karton itu. Apalagi di belakang sana sudah mengantri banyak sekali buku yang harus saya baca. Sehingga, untuk menguatkan kembali semangat baca saya dan memenej waktu saya secara lebih baik, saya pun akhirnya mengambil jalur yang cukup radikal, yakni dengan memberikan batas waktu penyelesaian hutang tersebut. Bahasa kerennya waktu Jatuh Tempo.

Bahkan, mau tidak mau saya juga harus menyiapkan Surat Tagihan Pembaca (STP), Surat Teguran (ST) karena tidak membaca, hingga Surat Paksa (SP) agar membaca. Karena kalau tidak begitu, bisa-bisa saya hanya akan menjadi kutu buku, dan bukan lagi predator buku. Yah, kurang lebih begitulah.
Datu Adam, November 2007 Katanya hari ini mau ada kunjungan anggota DPR ke Luwuk.

Minggu, 02 Desember 2007

Investasi Intelektual


Beberapa waktu yang lalu saya membuat daftar buku-buku yang telah saya beli sampai dari bulan Maret (yakni dari waktu keberangkatan saya ke Luwuk) sampai bulan November di tahun 2007 ini. Setelah saya hitung-hitung ternyata jumlahnya mencapai tiga puluh enam buku dengan total harga hampir mencapai angka dua juta rupiah. Jika dibuat rata-rata, itu berarti saya membelanjakan uang minimal Rp. 210.000 dalam sebulan selama kurun waktu Maret sampai Oktober akhir.


Dari jumlah ke tiga puluh enam buku itu, enam di antaranya adalah buku yang sebelumnya sudah pernah saya baca namun saya belum memilikinya, yakni: Ayat-Ayat Cinta, Arsitek Peradaban, Menuju Cahaya, Karena Angin Cinta, Dari Gerakan Ke Negara, dan Pilar-Pilar Kebangkitan Umat. Sedangkan sisanya adalah buku yang benar-benar belum pernah saya baca.


Yang menarik, dari ketigapuluhenam buku itu, ada tujuh belas buku yang bergenre novel. Ini berarti hampir lima puluh persen dari total buku yang saya beli. Hal lainnya yang sedikit berbeda adalah, saya membeli buku berbahasa arab untuk yang pertama kalinya dalam hidup saya. Satu jilid kitab Tafsir Ibnu Katsir yang saya pesan lewat kawan saya di Jakarta. Sedangkan hal menarik lainnya adalah, saya 'berhasil' menemukan satu buku yang sudah saya cari-cari dari tahun 2003 lalu, yakni buku karangan Ustadz Anis Matta berjudul Menikmati Demokrasi.


Berikut adalah daftar buku yang sudah saya beli dalam kurun waktu Maret sampai November 2007 baik yang saya beli ketika saya di Luwuk, Manado, Palu, Makassar maupun Jakarta:

1. The Alchemist --> Paulo Coelho
2. Langit-langit Cinta (Ahlul Hamidia) --> Najib Kailani
3. Meretas Kebebasan (Mawakib Al Ahrar) --> Najib Kailani
4. The Devil's Dance --> Saddam Husein
5. Laila Majnun --> Nizami
6. Blessing In Disguise --> Dr. Khalid Ad Disuqi
7. Sognando Palestina --> Randa Ghazy
8. Karena Angin Cinta (Al Yaumul Maw'uud) --> Najib Kailani
9. Dari Gerakan Ke Negara --> Anis Matta
10. Menuju Cahaya --> Anis Matta
11. Arsitek Peradaban --> Anis Matta
12. Pilar-Pilar Kebangkitan Umat --> Muhammad Abdullah Al Khatib
13. Ayat-Ayat Cinta --> Habibburahman El Shirazy
14. Dzikir-Dzikir Cinta --> Anam Khoirul Anam
15. Problem dan Solusi Kaderisasi --> Abdul Hamid Al Bilali
16. Tarbiyah Askariyah --> Khalid Ahmad Syantut
17. Potret 28 Tokoh Tabiin --> Azhari Ahmad Mahmud
18. Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim --> Salim A. Fillah
19. Taj Mahal --> John Shors
20. Pangeran Pencuri --> Cornelia Funke
21. Night At Turkistan (Layali Turkistan) --> Najib Kailani
22. Mempelai Sang Dajjal (Ar Rihlah Illallah) -->Najib Kailani
23. Di Danau Tak Berbatas --> Tim O'Brien
24. Tafsir Ibnu Katsir edisi Bahasa Arab 4 Jilid --> Ibnu Katsir
25. Maling Sebuah Republik --> Sunaryono K.S. Basuki
26. Saudagar Buku Dari Kabul --> Asne Seierstad
27. Why Men Don't Listen And Women Can't Read Maps à Allan and Barbara Pease
28. Maharani --> Pearl S. Buck
29. Dari Kader Untuk Bangsa --> DPP PKS
30. 11 Amanah Lelaki Menjemput Keping Hikmah --> Bayu Gawtama
31. 3 buku Tarikh Al Ikhwan Al Muslimun jilid 1-3 --> Jum'ah Amin Abd. Aziz
32. Menikmati Demokrasi --> Anis Matta


Sebenarnya saya masih merasa belum cukup atas apa yang sudah saya lakukan ini. Karena saya masih punya rencana untuk membeli buku-buku yang masuk ke dalam daftar "Buku Wajib Punya" saya. Setidaknya ada sekitar lima puluhan buku lagi yang masih ingin saya buru dengan anggaran mencapai jumlah enam juta rupiah. Kapan tercapainya? Wallahu 'alam. Karena saya masih ingin menikmati buku-buku yang saya beli itu hingga habis dulu.


Saya termasuk tipe orang yang suka membeli buku dengan cara mencicil satu demi satu. Karena saya merasa kalau saya membeli buku dalam skala massif (alias sekali banyak), biasanya buku-buku itu tidak akan terselesaikan semua dan tak jarang 'nasibnya' berubah dari barang bacaan menjadi barang pajangan. Saya tidak mau seperti itu.


Akan tetapi lain halnya jika ada even seperti book fair dan sejenisnya, maka biasanya saya akan memborong buku seperti orang kesetanan. Namun saya lebih menjadikan ajang book fair atau expo seperti itu untuk mencari buku-buku lawas dan jarang ada di toko. Atau sekedar mencari buku-buku dari penerbit yang tidak terlalu 'terkenal' dan sulit dicari. Itu saja.


Saya menganggap urusan belanja buku ini sebagai sarana investasi intelektual. Bahkan saya lebih senang jika harus membelanjakan uang saya untuk membeli buku ketimbang untuk belanja baju atau barang-barang keperluan lainnya. Entah kenapa, kantong ini serasa lebih 'lapang' jika harus disalurkan untuk membeli buku ketimbang membeli hal-hal selainnya. Ini bukan berarti hal-hal lain tidak penting bagi saya. Tapi memang itulah yang saya rasakan selama ini.


Harapan saya sederhana saja. Saya ingin memiliki sebuah perpustakaan keluarga yang bisa menjadi sarana rekreasi intelektual di rumah saya kelak. Perpustakaan inilah yang ingin saya jadikan sebagai salah satu sumber bahan baku bagi madrasah keluarga sekaligus tabungan ilmu bagi keturunan saya suatu hari nanti. Dan menurut saya, demi masa depan, tak ada yang dikatakan sia-sia untuk merajutnya menjadi sesuatu yang bernilai kebaikan dan berorientasi pada perbaikan. Semoga saja.





Datu Adam, November 2007

Thanx banget buat Bang Yaser yang sudah menyumbangkan buku Agatha Christie dan Stephen R. Covey-nya kepada saya

Membacalah, Selagi Bisa



“Pengetahuan itu sendiri adalah kekuasaan/kekuatan.”

(Dikutip dari Meditationes Sacræ De Hæresibus karya Francis Bacon)

Sedang baca buku apa bulan ini? Demikianlah bunyi sebuah topik yang pernah saya lontarkan dalam sebuah forum diskusi di intranet DJP. Tidak ada maksud apapun kecuali sekedar menyediakan sebuah ruang untuk mengevaluasi sampai sejauh mana kita memanfaatkan waktu luang yang tidak banyak itu dengan kegiatan yang positif, dalam hal ini mengisinya dengan kegiatan membaca buku.

Saya sendiri senantiasa meluangkan waktu satu hingga dua jam sehari untuk membaca buku, atau minimal empat jam per pekan. Buku-buku yang saya baca memiliki tema yang beragam. Mulai dari buku-buku keislaman, seperti fiqih, sirah (sejarah), pemikiran barat, sampai buku-buku sastra, entah itu novel, cerpen, maupun puisi. Saya juga tidak membatasi sumber bacaan saya itu hanya dari buku. Adakalanya saya membaca artikel-artikel yang saya download dari internet, atau sekedar membaca tulisan-tulisan sebagian dari Anda semua di Intrablog ini. Kalau ada yang menarik, maka saya akan men-downloadnya, untuk kemudian saya nikmati isinya di kala senggang.

Membaca, ujar salah satu kawan saya di Intrablog (komunitas blog di intranet DJP), ibarat berwisata ke sebuah tempat yang baru. Di sana kita akan menemui hal-hal yang sebelumnya tidak ketahui. Ada banyak pengetahuan akan hal baru yang akan kita temui di tempat itu. Sedangkan menurut Bowman and Bowman (1991: 265) membaca merupakan sarana yang tepat untuk mempromosikan suatu pembelajaran sepanjang hayat (life-long learning). Membaca berarti melakukan suatu teknik bagaimana cara mengekplorasi “dunia” mana pun yang kita pilih dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan tujuan hidup kita.

Islam sebagai agama yang sempurna, menempatkan kegiatan asasi ini sebagai wahyunya yang pertama. Bahwa gerbang utama untuk menjadi tahu itu adalah dengan membaca. Ini adalah unsur yang paling asasi dari ilmu. Ilmu mendahului iman, begitu jelas para ulama. Oleh karenanya, adalah hal yang sangat tidak masuk akal jika kita menilai islam sebagai diin yang tidak peduli dengan pendidikan. Justru islamlah, menurut saya, agama yang menegaskan bahwa agama dan ilmu bukan sesuatu yang berbeda. Mereka sama-sama penting dan saling memengaruhi.

Seorang doktor matematika asal Amerika yang bernama Jeffrey Lang bahkan menilai bahwa wahyu pertama yang berarti “Bacalah!” itu adalah sebuah indikasi Islam sebagai agama yang modern dan peka terhadap perkembangan zaman. Perintah ini, membaca, hampir tidak ditemukan dalam ajaran agama lainnya.

Karen Armstrong mencoba merekam kenyataan ini dalam bukunya yang berjudul Buddha. Di dalam bukunya tersebut, Doktor Armstrong mengatakan bahwa, “Ada sebuah doktrin tak tertulis bahwa menyusun biografi Siddharta Gautama adalah suatu tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran Buddha. Bahkan bila ada orang yang berupaya mencari tahu tentang sosok sang Buddha, seorang biksu pendiri aliran Lin-Chi Buddha Zen mengatakan, ‘Jika anda bertemu dengan Sang Buddha, bunuh saja’”(sebagaimana tertera pada bagian kata pengantar dari bukunya yang berjudul “Buddha”, diterbitkan oleh Bentang).

Dan setahu saya, dalam keyakinan lain, ada sebuah doktrin yang menyuruh untuk menuangkan timah panas ke dalam telinga sebagian ummat yang dianggap tak pantas untuk membaca kitab sucinya. Selain adanya privatisasi hak sebagian orang yang diberi otoritas untuk dapat mengakses kepada kitab sucinya, sedangkan selainnya tidak. Islam tidak seperti itu. Perintah membaca menegaskan bahwa islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia, yakni menuntut ilmu. Allah ternyata sudi untuk berkomunikasi dengan hambaNya, tidak seperti mereka yang suka memonopoli fasilitas itu secara sepihak dan mengklaimnya dengan alasan agama.

Oleh karenanya, adalah sebuah hal yang sangat aneh dan menggelikan bilamana ada seorang muslim yang tidak suka membaca. Padahal itu adalah perintah purba yang paling asasi dari Tuhannya. Langsung kepada hamba-hambaNya. Jadi, membacalah selagi kita ada dan bisa. Seperti halnya Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup yang berkata bahwa, “Aku tahu, setiap kali aku membuka sebuah buku, aku akan bisa menguak sepetak langit. Dan jika aku membaca sebuah kalimat baru, aku akan sedikit lebih banyak tahu dibandingkan sebelumnya. Dan segala yang kubaca akan membuat dunia dan diriku menjadi lebih besar dan luas.”

Ayo membaca!




Datu Adam, Oktober 2007

Susahnya Menulis




"menulis itu sulit! Tetapi saat kita tidak menulis malah lebih sulit"

(Fajar Agustanto)

Dua pekan terakhir ini adalah masa-masa sulit saya untuk menulis. Saya tidak tahu mengapa. Padahal inspirasi tulisan itu berserak dimana-mana dan datang silih berganti. Namun begitulah, tangan serasa kaku dan imajinasi di dalam kepala ini seolah tak memiliki sanad yang kuat dengan ide yang tengah berhamburan itu. Intinya, saya sedang berada dalam posisi sulit untuk menulis.

Saya akui, menulis memang bukan kerja yang mudah. Bahkan bisa dibilang sulit bagi kaum pemula seperti saya. Namun saya tidak sepenuhnya setuju jika menulis adalah urusan bakat semata. Saya menilai bahwa menulis adalah sebuah hasil dari pembiasaan dan pembelajaran. Pembiasaan untuk menyampaikan pikiran dan perasaan dalam media yang bisa dinikmati orang lain, yakni tulisan itu sendiri.

Pemikiran ini saya dapatkan saat memerhatikan komunitas blog ini, yang boleh dikatakan sebagai wadah bagi penulis-penulis pemula, terutama saya. Maka mulailah saya untuk menulis. Dan saya akui, menulis itu tidak mudah. Redaksinya lainnya, menulis itu susah. Tapi saya tidak mau menyerah. Susahnya menulis itu lebih dikarenakan keengganan kita untuk menyuarakan apa yang ada di hati dan pikiran kita. Inilah, menurut saya, yang menjadi dinding penghalang pertama bagi orang yang ingin menulis, atau ingin menjadi penulis.

Intinya, menulis itu susah. Menulis itu tidak mudah. Itulah dinding penghalangnya. Namun ternyata akan lebih sulit lagi, akan lebih susah lagi jika kita tidak menulis. Inilah jalan keluarnya. Yakni dengan memosisikan kesulitan itu tidak pada saat menulisnya, namun pada saat ke-tidakmenulis-nya. Sehingga judul tulisan ini akan lebih tepat jika berbunyi, Susahnya Jika Tidak Menulis. Tapi biarlah. Anggap judul di atas sebagai trik saya untuk menarik perhatian pembaca, khususnya Anda. He3x..

Kesimpulannya, ciptakanlah perasaan tak nyaman dalam diri kita jika tidak menulis. Atau menurut istilah saya, jari ini dianggap mati jika tidak lagi menulis. Maka menulislah, walaupun tidak ada yang membaca tulisan kita. Menulislah walaupun tulisan kita tidak pernah dimuat di media cetak. Menulislah, walaupun tulisan kita dihujat. Menulislah, karena ini adalah kerja untuk keabadian. Jadi menulislah, karena betapa sulitnya jika kita tidak menulis.



Datu Adam, ba'da Shubuh

Iftitah

Assalamu'alaykum wr wb.

Selamat datang di blog sederhana saya ini. Saya berharap agar karya sederhana ini bisa membagi manfaat bagi kita semua. Masukan dan saran perbaikan saya harapkan dari Anda semuanya. Terima kasih.

Wassalamu'alaykum wr wb