Minggu, 16 Desember 2007

Gus Pur


Gus Pur. Saya pikir hampir tidak ada yang tidak kenal dengan nama yang satu kini. Tapi kalau ternyata ada di antara Anda ada yang belum tahu, maka saya akan sedikit menjelaskannya kepada Anda.

Gus Pur adalah seorang tokoh yang menjadi tiruan Gus Dur dalam sebuah acara parodi Newsdotcom yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Tokoh ini diperankan dengan nyaris sempurna oleh Handoyo, seorang PNS di lingkungan Depkes yang sekitar tiga setengah tahun lagi akan pensiun.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membahas tentang kehidupan seorang Handoyo a.k.a Gus Pur secara panjang lebar. Tulisan ini hanya akan menyinggung tentang peran yang dimainkan Handoyo itu, yakni Gus Pur. Kita menyebutnya sebagai epigon, atau bahasa umumnya berarti mengikuti/mengekor.

Epigon adalah sebuah hal yang tidak dapat dipisahkan dari dunia tulis-menulis. Epigon dalam dunia kepenulisan berarti kita mengikuti gaya tulisan seseorang dalam karya yang kita buat. Menjadi epigon sebenarnya bukanlah sebuah kesalahan. Karena ternyata para penulis besar pun juga melakukannya.

Lihat saja Pramoedya Ananta Toer yang mengaku bahwa tulisannya benar-benar terpengaruh dengan gaya tulisan John Steinbeck. John Steinbeck adalah pengarang peraih Nobel Sastra kelahiran Amerika Serikat yang digjaya dengan novel-novel realisnya seperti Mice and Man (diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Pram menjadi Manusia dan Tikus), The Grapes of Wrath dan Pearl. Atau seorang Muhammad Anis Matta yang sangat terpengaruh dengan gaya analisa dan sistematis dari Hasan Al Banna dan bertutur yang cekatan dari seorang David J. Schwartz dalam setiap tulisannya.

Menjadi epigon, menurut Nursalam A.R, berarti menjadi seorang bayi. Ia butuh mengamati dan ia butuh asupan bergizi. Sehingga, dalam tahap awal proses kreatif seorang penulis, ia membutuhkan semacam model yang dijadikannya sebagai acuan atau koridor dalam membuat tulisan-tulisannya kemudian.

Namun, masih menurut Nursalam, bayi butuh menjadi dewasa. Ia butuh menjadi diri sendiri. Para penulis atau pengarang besar meraksasa karena mereka kreatif membebaskan diri dari meniru gaya para penulis terdahulu yang dikagumi. Di sinilah seorang penulis jangan sampai membatasi kemampuan mengeksplorasi tulisannya pada karya-karya penulis yang dikaguminya saja. Karena penulis seperti itu hanya akan selamanya akan kerdil dalam bayang-bayang orang-orang besar yang dikaguminya itu. Nursalam menyebutnya sebagai, “Sang epigon primitif ini tak akan pernah mengungguli para pengarang aslinya”.

Bagi seorang penulis yang masih belajar, proses epigonisasi ini jelas dibutuhkan, namun harus ada batas jarak yang ditetapkan sebagai batas waktu baginya untuk terus menjadi seorang epigon dan berubah menjadi dirinya sendiri yang orisinil. Bahkan ada sebuah obsesi untuk jauh melampaui orang yang ditirunya itu. Jika tidak, maka kita hanya akan berada di bawah bayang-bayang orang yang kita kagumi sekaligus mengubur dalam-dalam eksistensi kita sebagai seorang manusia yang memiliki banyak potensi, dan juga unik.


Daftar pustaka: Artikel berjudul “Menjadi Epigon, Salahkah?” oleh Nursalam A.R. dari www.penulislepas.com Datu Adam, Desember 2007
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar