Senin, 02 Maret 2015

Hari Ini, Delapan Tahun Yang Lalu

Hari ini delapan tahun yang lalu, saya sedang berada di ruang tamu rumah saya di Jurangmangu, duduk di atas sofa tua yang beberapa bagiannya sudah nyaris jebol, memandangi pohon belimbing wuluh dan bunga tanjung yang merimbun di halaman depan. Aroma bunga melati yang ditanam oleh bapak ketika kami baru pindah ke tempat ini pada pertengahan tahun 92 silam menguar hingga ke dalam rumah. Sepeda motor bebek milik bapak yang dibelinya ketika pensiun pada tahun 2001 terparkir di teras, sementara motor tua berwarna jingga berplat merah, yang dulu kerap saya bawa ke sekolah dan ke kampus, yang plat nomornya sudah bengkok tak karuan itu, teronggok begitu saja di dekat pohon bunga melati.

Hari ini, delapan tahun yang lalu, saya baru saja kembali dari bank tadi siang, menarik sejumlah uang yang langsung saya belikan tiket pesawat.  Tiga hari lagi adalah hari keberangkatan saya ke Palu yang akan dilanjutkan ke Luwuk. Seorang teman, kakak kelas saya, sudah saya kabari perihal kedatangan saya untuk menumpang singgah di tempatnya sebelum bertolak ke Luwuk. Segala perasaan tumpah ruah sore itu. Sambil memandangi lembaran tiket pesawat, tiket pesawat pertama saya ketika itu, dan menikmati harum aroma bunga melati, pikiran saya berkelana ke segala arah. Raga ini memang berada di ruang tamu ini, tapi jiwa saya tidak. Tiga hari lagi, adalah masa perpisahan. Masa untuk memulai rajutan impian yang sudah disematkan paska kelulusan saya dari sebuah sekolah kedinasan. Masa untuk berpisah dengan kedua orangtua dan adik lelaki saya satu-satunya demi menunaikan komitmen saya kepada negara. Segalanya terasa gelap dan membuat saya tidak mengerti. Bingung, takut, sekaligus berdebar-debar penuh harap, campur aduk menjadi satu. Di usia saya yang baru menginjak awal dua puluhan ketika itu, merantau jauh dari rumah adalah hal baru bagi saya.

Hari ini, delapan tahun yang lalu. Bapak saya yang belum sembuh benar dari sakitnya itu berkata kepada saya. "Nuk, nanti kamu di sana jangan begini dan jangan begitu, sebisa mungkin begini dan begitu" dan seterusnya. Bapak, di sela-sela diamnya, ternyata paham benar akan kebiasaan buruk anak sulungnya ini. Diingatkannya segala hal yang menjadi kelemahan dan kekurangan saya, dikuatkannya segala hal yang menjadi kekuatan saya.

Hari ini, delapan tahun yang lalu. Saya menyengaja berdiam diri di rumah. Mamak saya yang berwajah lelah itu bertanya kepada saya untuk sekedar memastikan barang-barang apa yang mungkin akan dilewatkan oleh putra sulungnya ini. Ketika saya memandangi wajahnya yang semakin tirus paska sakitnya bapak, saya mendapati ada bekas bulir air mata di salah satu sudut matanya. Mamak sepertinya baru saja menangis, entah menangisi apa.

Malam ini, delapan tahun yang lalu. Saya memandangi adik lelaki saya satu-satunya yang baru lulus SMA itu. Saya berpikir, bagaimana caranya mendampinginya melanjutkan studi ketika saya tak berada di tengah-tengah keluarga ini dan bapak yang sakit-sakitan dan sudah pensiun sudah semakin lemah dan menua?

Hari ini, delapan tahun yang lalu. Saya mencoba berjalan ke luar rumah dan menyusuri kembali jalan-jalan yang sering saya lewati dengan berjalan kaki. Mendapati bahwa saya akan berpisah dengan gang, rumah, tiang listrik, pepohonan, gardu, lapangan, masjid, dan wajah-wajah yang menyesaki tempat ini dalam waktu yang, mungkin, lama, saya merasa bahwa hal-hal yang selama ini tampak biasa-biasa saja menjadi begitu berarti dan bermakna.

Hari ini, delapan tahun yang lalu. Siapa yang sangka bahwa itulah hari-hari terakhir saya mendapati wajahnya yang renta, mendengar suaranya yang parau secara langsung, menyentuh kulit tuanya yang makin keriput, dan menyangga tubuhnya yang makin melemah? Andai saya tahu jika itu adalah detik-detik terakhir sebelum berpisah dengannya beberapa bulan kemudian, saya tentu takkan melewatkan barang sedetikpun dengan meninggalkannya, memintanya bercerita tentang masa lalunya yang panjang, dan getir.

Hari ini, delapan tahun yang lalu. Hari ketika mimpi-mimpi tak kunjung terbeli dan harapan yang kunjung menjadi nyata. [wahidnugroho.com]


Tanjung, Maret 2015