Rabu, 24 Oktober 2012

Ladang Amal Itu Bernama Kekurangan


Orang bijak bilang seperti ini, “Tidak ada manusia yang sempurna”. Sehebat-hebatnya manusia, dia tetaplah makhluk yang punya kekurangan. Begitu pula dengan pasangan hidup kita. Tak ada yang namanya “The Perfect Couple” alias pasangan yang sempurna. Karena berangkat dari konsep awal manusia yang berkekurangan, pasangan yang memiliki kekurangan pun menjadi sebuah keniscayaan.

Atau supaya pembahasan ini tidak terlalu ruwet, mari kita susun sebuah persamaan yang dapat sedikit menyederhanakannya. Persamaan itu kurang lebihnya seperti ini (tolong diingat) :

CSTS + CITS = PYBKS + LA

Keterangan Rumus :

CSTS = Calon Suami Tak Sempurna
CITS = Calon Istri Tak Sempurna
PYBKS = Pasangan Yang Berkurang Ketidaksempurnaannya
LA = Ladang Amal

Ketika seorang lelaki tak sempurna menikahi seorang perempuan yang juga tak sempurna, maka hasilnya bukanlah sebuah pasangan yang sempurna, tetapi pasangan yang berkurang ketidaksempurnaannya. Sehingga, kalau ada yang menilai pasangannya, entah suami atau istrinya, adalah pasangan yang sempurna, maka saya hanya bisa meminta maaf kalau telah menyebutnya sebagai kebohongan. Benar sekali. Ia telah membohongi dirinya, pasangannya, dan juga orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Logikanya sederhana saja. Saat kita menikah, maka terbukalah tirai dan sekat-sekat yang selama ini menutupi jati diri kita yang asli. Segala yang tersembunyi menjadi tampak, segala yang tak terlihat menjadi jelas dan terang. Sang suami yang mungkin dahulunya adalah sosok yang selalu parlente, kini telah terbuka ‘aibnya’. Bisa jadi ia aslinya orang yang paling malas mandi dan tidurnya selalu mendengkur. Begitu juga sebaliknya. Sang istri yang dulu tampak selalu tenang dan jaim, ternyata sosok aslinya begitu cerewet dan terlalu perhitungan.

Saat kita menemui sekian kekurangan itu pada diri masing-masing pasangan kita, maka anggap saja itu adalah ladang amal baru bagi kita. Ladang amal yang dapat ditanami dengan tumbuhan kesabaran, pengertian, dan juga semangat saling memperbaiki kekurangan masing-masing. Perlu waktu untuk melakukan semua itu, memang. Prosesnya mungkin akan berjalan tak seindah dan senikmat yang disangka. Nikmati saja dengan penuh keikhlasan, insya Allah semuanya akan bernilai ibadah.

Sebab, alangkah banyak pasangan yang memutuskan untuk bercerai dikarenakan ketidaksabaran mereka dalam menerima kekurangan pasangannya. Begitu juga dengan para bujang yang kerap maju mundur untuk melangkah ke jenjang pernikahan dikarenakan ketidaksiapan mereka untuk menerima kekurangan pasangannya, atau sebaliknya, kekhawatiran bahwa pasangannya tidak bisa menerima kekurangannya.

Islam memang menawarkan kepada para suami dan istri untuk merekonsiliasi kekurangan fatal yang ada pada diri mereka masing-masing. Seperti kisah Hadiqah r.a dan Tsabit r.a. Hanya saja, bahasan kita saat ini bukanlah kekurangan yang berat dan sukar diterima, kita hanya sedang membahas kekurangan-kekurangan sepele yang sebenarnya masih dapat kita bicarakan sambil mereguk secangkir teh hangat.

Mohon maaf jika bahasan ini dirasa sedikit nakal. Mohon maaf juga jika dirasa kurang pantas. Tapi saya telah bertekad untuk mengungkapkannya demi kenyamanan dan kelapangan yang bisa kita rasakan dalam mengarungi hidup berumahtangga ini serta sebagai bekal bagi saya pribadi, tentu saja, dan juga bagi saudara-saudara saya yang belum dipertemukan Allah dengan pasangan hidupnya.

Jadi, mulai hari ini, tatap lekat-lekat pasangan kita. Lihatlah kekurangannya, nilailah kelebihannya. Sediakan ruang yang luas di hati kita untuk menerima sebanyak-banyaknya kekurangan yang ia miliki. Siapkan waktu untuk mengapresiasi segala kelebihan yang pasangan kita punyai. Tataplah hari esok, dan percayalah, dunia tak akan berhenti berputar hanya karena pasangan kita memiliki kekurangan yang manusiawi untuk dipanjangkalilebarkalitinggikan.

Mohon maaf. [wahidnugroho.com]


(Tanjung, Oktober Dobel-T)