Sabtu, 30 Juli 2016

Foto Sang Raja


Hubungan Ikhwanul Muslimin dan Raja Farouq, bisa dibilang, tidak pernah harmonis. Ketika terjadi perang di Palestina pada tahun 1948 dan Ikhwan turun andil membantu pejuang Palestina di sana, bahkan konon hingga membuat Israel nyaris kalah karenanya, Raja Farouqlah orang yang memerintahkan milisi Ikhwan untuk dipulangkan dan akhirnya menangkapi mereka sesampainya di Mesir.

Dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa Hasan Hudaibi, Mursyid Aam ke-dua Ikhwan, mendapatkan sebuah hadiah dari seorang pejabat kerajaan berupa gambar Raja Farouq dengan pigura yang sangat indah dan mewah. Bahkan supaya tampak lebih eksklusif, foto itu juga dibubuhi tandatangan Sang Raja. Harapan sang pejabat, Hudaibi akan memasang pigura itu di ruang depan kantor Ikhwan sebagai bentuk dukungan kepada pemerintah.

Hudaibi kemudian menerima pigura itu dengan senang hati seraya berjanji akan memasangnya di tempat terbaik. Mengetahui bahwa Hudaibi bersedia memasang pigura itu, sang pejabat kemudian pamit untuk pulang.

Hari berlalu namun pigura itu tak jua dipasang di kantor Ikhwan. Seseorang kemudian bertanya kepada Hudaibi, di mana gerangan pigura itu ditempatkan.

“Aku memasangnya di rumah,” jawab Hudaibi kalem.

Sebagian anggota Ikhwan kemudian berkunjung ke rumah sang Mursyid Aam demi melihat dimana beliau memasang pigura tersebut. Namun ketika mereka datang, pigura itu masih tidak tampak. Akhirnya terjadi bisik-bisik di kalangan Ikhwan mengenai di mana beliau memasang pigura itu.

Ketika itu, salah satu anggota Ikhwan meminta izin untuk ke kamar mandi.  Namun alangkah kagetnya ia ketika melihat foto itu tergeletak begitu saja di lantai kamar mandi. Ia pun lalu menanyakan hal itu kepada Mursyid yang menjawabnya dengan tenang, “Inilah tempat yang tepat baginya.”

Demikianlah Hasan Hudaibi yang terkenal dengan sikap tanpa komprominya.

Pada tahun 1952, Raja Farouq digulingkan dari kekuasaannya melalui sebuah kudeta militer yang digawangi oleh Gamal Abdun Naser. Setelahnya, corak monarki dihapuskan dan Mesir menganut sistem pemerintahan republik sementara Raja Farouq diasingkan ke Monako sampai akhir hayatnya.

Ketika revolusi terjadi, banyak media massa yang awalnya memuja-muji Raja Farouq berbalik menjadi pihak yang kerap mencaci-maki dirinya di lembar-lembar koran dan di halaman-halaman berita mereka. Padahal di masa Raja Farouq berada pada puncak kekuasaannya, media-media itulah yang selalu menjadi corong pemerintah dan selalu memuji-muji kebijakan raja.

Ketika itu, seseorang menemui Hasan Hudaibi dan bertanya kenapa ia tidak ikut seperti media-media oportunis yang mencaci-maki Raja itu. Padahal di masa kekuasaannya, Raja Farouq telah banyak melukai dan memenjarakan kader-kader Ikhwan. Namun dengan kebesaran hatinya, Hudaibi melarang kader-kader Ikhwan untuk menghina dan merendahkan martabat raja yang telah jatuh itu.

Beliau berkata, “Itu (menghina orang yang sudah terpuruk) bukan sifat seorang ksatria dan bukan ajaran Nabi saw. Ikhwan tidak akan turut dalam makar jahat dan memperparah kondisi orang yang sedang terluka.”

Semoga ada pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah di atas.[wahidnugroho.com]


Saaba, Juli 2016

Senin, 11 Juli 2016

Kalau Sudah Cinta Jangan Manja


Sudah sering saya berkata terusterang kepadanya bahwa produk-produk kecantikan itu tidak berguna banyak, jika tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali, baginya. Meski ia kerap berdalih dan beralasan bahwa itu adalah bagian dari ikhtiarnya merawat wajahnya yang sudah kelewat terawat itu, saya tetap tidak mengacuhkannya dan bergeming dengan keyakinan awal: bahwa produk kosmetik itu hanya akan merusak wajahnya.
            Istri yang kelewat pesolek itu, bagi saya, adalah istri yang terlalu meragukan kesejatian cinta suaminya. Sebegitunya? Karena mereka beranggapan bahwa cinta suaminya kepadanya hanya bersifat fisikal semata. Kasat mata dan tergantung pada warna yang teraba. Maka jadilah bibir digincu sedemikian tebal, rambut yang sudah lurus halus ditata sedemikian ikal, pipi yang mulus dipupur sedemikian kimpal dengan dalih agar suaminya betah memandanginya dan tidak berpaling ke perempuan lain yang jauh lebih menarik daripada dirinya. Aih, lemah sekali cintamu wahai lelaki!
            Saya bersyukur bahwa istri saya bukan pesolek tulen. Ia, bisa dibilang, adalah seorang pesolek yang buruk. Bahkan sangat buruk. Setidaknya menurut saya. Karena ia sudah merebut perhatian saya meski tanpa pulasan ini itu di wajahnya. Memang, cukup sering ia dipuji oleh teman-temannya perihal wajahnya yang seperti wajah bayi itu. Pertanyaannya, perlukah pujian-pujian itu ada jika pujian dari suaminya yang seorang ini sudah berbobot milyaran kali lebih baik dari pujian-pujian yang jumlahnya hanya satu dua cuil itu?
            Beribu maaf saya kepada para pengusaha produk kecantikan. Bukan saya hendak meragukan kualitas jualan sampeyan. Sama sekali bukan. Ini soal istri saya, selera saya, kesukaan saya, subjektifitas saya, yang menganggap bahwa produk-produk yang beredar itu sama sekali tidak garis lurus dengan kuantitas dan kualitas cinta saya padanya, istri saya itu. Betapa kehormatan saya serasa dicoreng-moreng ketika cinta saya kepadanya diragukan lantaran fisiknya yang tak lagi seginak-ginuk dan seclemeguk seperti dulu?
            Padahal, dengan semakin bertambahnya usia pernikahan, cinta antara suami dan istri itu sudah harus lepas dari unsur-unsur badaniah ansich. Ketika usia pernikahan semakin bertambah, masalah cinta tidak lagi diukur dari perkara jerawat di jidat, pipi terawat, dan bibir berkilat. Sungguh, cinta tidak semanja itu.
Cinta yang sudah dimakan usia seharusnya sudah jauh naik derajat dan bukan seperti cinta ala remajaremaji usia dini.
            Memang, istri bersolek sesekali tidak mengapa. Itu sudah bagian dari fitrah kaum hawa. Para suami pun perlu mengantarkan istri mereka ke salon kecantikan dan perawatan tubuh. Toh itu buat kebaikan kita, para suami, juga. Saya juga tidak masalah dengan itu. Wajar, lazim, dan memang sudah seharusnya demikian. Yang jadi masalah adalah ketika cinta itu sedemikian rapuh dan lemahnya sehingga ia harus diteteki terus-menerus dengan rupa-rupa fisikal itu. Itu, cinta yang membosankan semisal itu, sama sekali, bukan cinta versi saya.
            Bertahun lalu, dari sebuah buku, saya mendapati sebuah kalimat dari Ibnu Hazm yang berkata bahwa “Cinta hilang karena hilangnya sebab. Jika sebabnya abadi maka cintapun akan turut mengabadi. Jika sebabnya fana maka cintapun hanya sementara.”
Kurang lebih demikian bunyinya.
Dari situ, saya kemudian bertekad bahwa cinta ini akan saya gantungkan pada Sang Maha Segala. Bahwa cinta yang murni lagi suci lagi sejati itu harus dijauhkan dari aspek-aspek yang fana, yang sementara, dan dibatasi masa. Termasuk soal pada wajah mulus, kulit kencang, bibir merekah, dan rambut terurai. Bahwa ada asbab cinta yang lebih mulia lagi kekal yang tak perlu dipulas gincu pupur sedemikian tebal.
Pada akhirnya, tulisan ini lebih saya tujukan untuk kaum adam ketimbang kaum hawa. Bahwa cintamu seharusnya tidak (selalu) semanja itu. Dan buat kaum hawa, lintasan pikiran ini bukan apologi suami yang kurang bersemangat membelikan produk ini itu buatmu. Ini hanya soal selera dan citarasa perkara cinta.
Terakhir, terkenang saya dengan sepenggal syair Anis Matta:

Suatu saat dalam sejarah cinta kita
Raga tak lagi saling membutuhkan
Hanya jiwa kita sudah melekat dan menyatukan
Rindu mengelus rindu

            Kiranya demikian. [wahidnugroho.com]

Saaba, Juli 2016