Selasa, 26 Mei 2015

Melacak (Calon) Penguasa Yang Berwawasan Budaya


Oleh: Wahid Nugroho
Pengelola Rumah Baca Jendela Ilmu, Warga BTN Muspratama


Pilkada Banggai, serta beberapa kabupaten dan kota seprovinsi Sulawesi Tengah, sudah dekat. Rasa-rasanya hanya tinggal menghitung hari saja meski waktu yang tersisa masih sekitar enam atau tujuh bulan lagi. Di tengah makin terbatasnya waktu, para pasangan calon berakrobat sedemikian rupa demi meraih simpati warga agar mau memilih mereka kelak.

Segala rupa janji ditebarkan, segala macam rencana disuarakan. Rakyat pun disuguhi pentas janji dan orkes rencana, terlepas dari benar tidaknya dan terealisir atau gagalnya janji dan rencana tersebut. Aneka rencana dan tumpukan janji itu seharusnya jangan sekedar dijadikan pemanis kampanye belaka, namun seharusnya dijadikan sebagai dasar pertimbangan rakyat dalam menjatuhkan pilihan politiknya.

Meski secara resmi nama-nama pasangan calon yang akan berlaga belum lagi muncul ke hadapan publik, namun sudah ada satu dua nama yang kerap ditemui wajahnya dalam baliho-baliho yang kerap kita temui di beberapa sudut jalan. Alat-alat peraga itu bahkan sampai melakukan penetrasi ke nyaris semua jalan, persimpangan, dan pusat konsentrasi massa yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Banggai. Nama dan wajah yang kerap mengisi ruang publik kita tersebut kemudian menjadi semacam sinyal awal bahwa wajah-wajah itulah yang kelak akan berlaga dalam ajang, izinkan saya menggunakan istilah ini, perebutan kekuasaan bertajuk Pilkada Banggai, Pilkada Banggai Laut, Pilkada Sulteng, Pilkada Palu, dan sebagainya.

Dari semua calon yang akan bertarung di medan laga, belum nampak sebuah itikad yang menegaskan perhatian para calon tersebut dengan pembangunan yang menyentuh unsur kebudayaan yang berbasis pada kearifan lokal setempat. Memang jika kita berpikir secara pragmatis, kebutuhan akan peningkatan kualitas pendidikan dan kebudayaan berbasis kearifan lokal belum menjadi prioritas dalam pentas perpolitikan kita.

Bahkan jika kita ingin sedikit lebih berterus terang, belum terpenuhinya kebutuhan asasi rakyat kebanyakan yang mayoritas bersifat material menjadi pertimbangan yang terus-menerus disuarakan dan menjadi bahan jualan para politisi yang kerap terulang dari satu perhelatan politik ke perhelatan politik yang lain. Maka tidak heran jika isu kebudayaan dan pendidikan seolah menjadi anak tiri dalam setiap perhelatan pertarungan politik. Bahkan jika kita mau sedikit berterus terang, isu soal kebudayaan dan pendidikan masih menjadi sesuatu yang ada di awang-awang dan tidak populer. Padahal kedua hal tersebut, secara naif, bisa pula dikategorikan sebagai sebuah kebutuhan asasi manusia yang harus dipenuhi dan diberikan tempat yang layak.

Oleh karenanya, dari semua manuver yang dilakukan oleh para calon, belum terlihat itikad baik mereka untuk memberikan perhatian yang memadai pada bidang garapan yang satu ini. Rakyat pun demikian halnya. Maka jadilah kombinasi antara politisi yang tidak memberikan perhatian dengan rakyat yang tidak menaruh kepedulian membuat isu tentang peningkatan kualitas pendidikan dan eskalasi kebudayaan menjadi orang asing di negerinya sendiri.

Contoh yang paling riil adalah Perpustakaan Daerah yang sejak terbakar pada bulan Januari tahun 2014 silam belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah daerah. Seiring sejalan pula dengan para politisi, termasuk para calon bupati dan wakilnya, yang tidak menjadikan isu tentang pentingnya keberadaan perpustakaan daerah yang berkualitas sebagai “dagangan politiknya”. Padahal sehat tidaknya sebuah perpustakaan adalah salah satu indikator sehat tidaknya intelektual masyarakat.

Hanya saja, investasi dalam bidang ini memang tidak akan memberikan impact yang instan. Dalam bahasa yang lebih pragmatis, tidak ada benefit secara langsung yang dapat dinikmati karena sifatnya yang jangka panjang. Namun itu bukan berarti pengabaian terhadapnya bisa menjadi hal yang dimaklumi. Karena apa yang kita bangun saat ini akan kita wariskan untuk anak cucu kelak. Dan kita tentu tidak menghendaki warisan itu hanya berupa “ikan”, bukan kail dan pancing serta pengetahuan yang memungkinkan mereka untuk mencari ikan mereka sendiri. Dan pengetahuan itu sangat linear dengan ketersediaan bahan bacaan yang memadai dan, tentunya, eksistensi perpustakaan daerah yang menarik dan mampu menarik minat publik untuk mengunjungi dan memanfaatkannya.

Oleh karenanya, kiranya patut ditunggu, siapakah di antara para calon bupati dan wakil bupati yang akan berlaga dalam ajang “perebutan kekuasaan” bertajuk Pilkada kelak yang memerhatikan aspek satu ini. Sebut saja sebagai Penguasa Yang Berwawasan Budaya. Jika ada, maka dia pastilah sosok yang istimewa dan luar biasa, yang akan terukir namanya sebagai sosok yang memiliki kepekaan tinggi terhadap masa depan generasi penerus daerah ini di masa yang akan datang. Yang akan diingat sepanjang masa sebagai orang yang peduli dengan eskalasi kualitas sumber daya rakyatnya, bukan hanya elektabilitas dan popularitas diri dan keluarganya an sich.


Tulisan ini dimuat dalam harian Banggai News tanggal 25 Mei 2015

Senin, 25 Mei 2015

Akhir Mimpi Seratus Tahun



Sebelas tahun berlalu sejak krisis yang melanda Parma ketika dihantam badai skandal korupsi sang presiden yang disebut sebagai Skandal Parmalat. Krisis yang akhirnya berimbas pada buruknya performa Parma bahkan nyaris membuat klub itu terdegradasi pada musim 2004-2005 silam. Carut-marut kepemilikan Parma yang berlangsung sejak tahun 2003 akhirnya menemui titik cerah ketika Tomasso Ghirardi mengakuisisi Parma pada tahun 2007 dan menjadi presiden sejak saat itu. 

Meski sempat turun kasta semusim pada tahun 2008, Parma kemudian bangkit dan kembali ke Serie A di bawah asuhan Francesco Guidolin dan finish di klasemen ke 2 Serie B musim 2008-2009. Di musim perdananya setelah terdegradasi, Parma konsisten berada di papan tengah, melahirkan beberapa nama pemain bintang seperti Parolo, Candreva, dan menghidupkan kembali kehebatan si semut ajaib Giovinco. Parma bahkan sempat menyodok ke posisi enam pada musim 2013-2014 dan berhak meraih tiket ke Eropa setelah 7 tahun absen. Sebuah perayaaan seratus tahun berdirinya klub (centenary) yang manis. 

Namun perayaan itu kandas dan hingar-bingar yang ada langsung terasa senyap dan pahit ketika Parma akhirnya digantikan oleh Torino karena permasalahan pajak dan gaji pemain yang belum tuntas terbayar. Gagalnya Parma melakukan comeback ke Eropa itulah yang menjadi titik awal terbongkarnya kebobrokan situasi finansial klub yang berdiri pada tahun 1913 silam itu. Sebuah situasi yang membuat klub harus bergonti-ganti presiden klub sebanyak 4 kali sepanjang Desember 2014 sampai Januari 2015 mulai dari Ghirardi sampai Manenti. Nama terakhir bahkan bernasib nahas karena sempat ditahan oleh pihak berwajib Italia karena indikasi pencucian uang.

Kekisruhan yang melanda Parma berimbas pada performa buruk klub yang sempat mencicipi 2 kali piala UEFA itu. Tercatat sebanyak 3 kali Parma mengalami pengurangan poin sampai dengan 7 poin musim ini. Parma bahkan pernah menunda beberapa giornata karena klub tidak bisa menyediakan bus untuk para pemain! Musim 2014-2015 ini bahkan terasa jauh lebih buruk jika dibandingkan ketika Parma degradasi pada musim 2007-2008 silam. Ketika itu Parma berhasil mengemas 34 poin hasil dari 7 kali menang, 13 kali imbang, dan 18 kali kalah, termasuk selisih gol yang masih bisa “ditolerir”: minus 20. Hasil itu jauh lebih baik ketimbang musim 2014-2015 ini dimana Parma hanya bisa meraih 18 poin, hasil dari 6 kali menang, 7 kali imbang, dan 24 kali kalah dengan selisih gol minus 42! Andaipun di pertandingan terakhir nanti Parma menang, catatan itu tetap saja masih jauh lebih buruk!

Namun di balik performa Parma musim ini, kita tentu harus memandangnya dari sudut yang berbeda. Karena di tengah ketidakpastian dan carut-marutnya kondisi klub, para pemain, pelatih, dan jajarannya mampu memberikan kontribusi mereka yang terbaik. Sebuah performa yang menampar jajaran manajemen Parma karena buruknya perlakuan mereka terhadap para pelatih, pemain, staf, dan tifosi yang setia membersamai perjalanan klub yang sedang tersungkur ini.

Buruknya performa Parma pada musim ini menangguk simpati banyak pihak. Para mantan pemain, mantan pelatih, bahkan para rival menyampaikan simpati mereka kepada salah satu klub Italia yang sempat menjadi momok di era 90 sampai awal 2000an ini. Sebuah klub besar yang pernah melahirkan legenda-legenda sepakbola dunia ketika masa-masa jayanya dulu. Siapa yang tidak kenal Minotti, Barbutti, Asprila, Zola, Crespo, Chiesa, Gilardino, Amauri, Taffarel, Frey, Buffon, Cannavaro, Thuram, Nakata dan sederet nama-nama beken lainnya yang pernah mengisi ruang sejarah kita. Sampai saat ini bahkan belum ada satupun klub Italia yang berhasil menjuarai Europa League (dulu UEFA) setelah Parma menjuarainya pada tahun 1999 silam.

Sebagai seorang fans layar kaca, saya tentu bersedih dengan keadaan ini. Parma adalah klub sepakbola yang turut mendampingi tumbuh kembang saya sebagai anak yang besar di era 90an. Kesedihan yang bahkan jauh lebih mendalam dibandingkan ketika klub ini kalah di kandangnya sendiri dan akhirnya terdegradasi ketika melawan Inter Milan, yang ironisnya meraih gelar scudetto, pada tahun 2008 silam. Kesedihan yang mendalam itu hadir karena situasi relegasi Parma musim ini jauh berbeda dengan kisah relegasi pada tahun 2008 itu. Tragedi relegasi tahun ini serasa menyesakkan karena dibarengi dengan bayang-bayang bangkrutnya klub yang ekses lebih jauhnya adalah pembubaran klub, sama halnya dengan yang pernah terjadi dengan AC Siena dan AC Fiorentina beberapa tahun yang lalu. Meski apa yang dialami Parma tidak berhubungan secara langsung dengan saya, namun kabar buruk itu tentu saja akan membuat siapapun yang mengenal klub ini akan bersedih karenanya.

Seratus tahun yang lalu, para pendiri klub ini tentu tidak menyangka bahwa nyaris 80 tahun setelah berdirinya klub ini akan meraih gelar pertamanya, Coppa Italia, ketika itu. Gelar yang kemudian disusul dengan rentetan gelar-gelar lainnya seperti Super Coppa, Super Eropa, Winners Eropa, dan UEFA League selama kurun waktu sebelas tahun setelah kali pertama klub ini mencicipi atmosfir tertinggi sepakbola Italia pada tahun 1990 silam. Kini, perayaan seratus tahun berdirinya klub itu terasa semakin pahit, karena klub ini diberikan deadline sampai dengan tanggal 29 Mei 2015 oleh otoritas Italia untuk membereskan semua permasalahannya, termasuk mendapatkan pemilik baru yang akan mengarungi perjalanan klub ini di masa depan. Jika sampai hal itu tidak diindahkan, maka seratus tahun yang sudah lewat itu akan jadi catatan sejarah yang terpaksa diputus dan dihentikan denyutnya. Parma terancam bubar dan harus memulai semuanya dari awal kembali. Sebuah akhir dari mimpi seratus tahun yang akan mengubah wajah dari orang-orang yang mencintai, mendukung, bahkan membenci klub yang besar ini. Pahit, memang. [wahidnugroho.com] 



Kilongan, Mei 2015

Kekuasaan dan Perpustakaan



Oleh: Wahid Nugroho
Warga BTN Muspratama, Pengelola Rumah Baca Jendela Ilmu


The Royal Site of San Lorenzo de El Escorial, atau yang biasa disebut El Escorial, adalah sebuah bangunan yang pernah menjadi kediaman penguasa monarki Spanyol. El Escorial terletak di Kota San Lorenzo de Escorial, berjarak sekitar 45 km sebelah barat laut dari ibukota Spanyol, Madrid. Bangunan ini merupakan salah satu situs kerajaan yang sangat penting di Spanyol dan berfungsi sebagai biara, istana kerajaan, museum, dan sekolah. Namun reputasi El Escorial yang tersohor adalah karena perpustakaannya yang menjadi bagian paling penting dan menonjol dari bangunan tersebut.

Raja Felipe II, atau Philip II of Spain, adalah aktor di balik pembuatan bangunan yang sangat bersejarah itu. Sebagai seorang penguasa monarki Kerajaan Katolik di Spanyol, Felipe II lebih dikenal dengan banyaknya kekalahan yang dideritanya dalam perang ketimbang prestasinya. Meski begitu, ada peninggalan sang raja yang kemudian mengharumkan namanya sebagai sosok penting lahirnya Renaissance di tanah Eropa ketika itu. Peninggalan itulah yang sedang kita bahas saat ini: El Escorial.

Dengan pasokan emas yang tak terbatas dari ekspedisi Spanyol ke Dunia Baru di benua Amerika, Raja Felipe memerintahkan seorang arsitek kenamaan Spanyol bernama Juan Bautista de Toledo untuk merancang El Escorial menjadi bangunan yang termegah dan termewah. Juan Bautista, atau Joannes Baptista, yang lama berkarir di Spanyol pernah berkolaborasi dengan seniman kenamaan Italia, Michael Angelo, saat menyelesaikan mega proyek Tahta Suci Katolik yakni Basilika Santo Peter, di Vatikan, Roma.

Ada kisah menarik di balik megaproyek yang sangat ambisius dari Raja Felipe II ini. Doktor Fernando Baez, Kepala Perpustakaan Venezuela, dalam bukunya yang berjudul A Universal History of  the Destruction of Books menulis, “Menurut ‘Pernyataan Pendirian dan Sumbangan’ yang dikeluarkan oleh kerajaan bertanggal 22 April 1567, alasan pembangunan monumen ini berawal dari kemenangan di Saint Quentin pada 10 Agustus 1557 ketika pasukan Spanyol dalam jumlah kecil berhasil mengalahkan pasukan Prancis”. Dari sini, kita bisa mendapati sebuah kejadian yang sangat jarang terjadi dalam sejarah dimana sebuah kemenangan militer “dirayakan” dalam wujud pembangunan perpustakaan.

Agaknya Raja Felipe sedikit terinspirasi oleh Lorenzo de Medicci, founding father Dinasti Medici, sebuah dinasti yang pernah berkuasa di Tuscan dan sempat menjadi dinasti terkaya di Eropa. Sebuah dinasti yang bahkan pernah “menyumbangkan” tiga orang Paus yakni Leo X, Clement VII, dan Leo XI dan sempat menguasai dunia perpolitikan di Italia sepanjang abad 13 sampai 17. Salah satu peninggalan penting dari dinasti yang memiliki core business The Bank Of Medici itu adalah Basilika San Lorenzo, sebuah kapel yang lebih dikenal karena koleksi buku-buku di dalam perpustakaannya yang mahsyur. Perpustakaan yang megah itu ditajuki Bibliotheca Laurenziana atau Perpustakaan Laurentian. Koleksi perpustakaan yang dibuka untuk umum pada tahun 1571 ini antara lain adalah catatan sejarah peninggalan abad ke 8 seperti Codex Amiatinus (Alkitab) dan versi tertua dari Naturalis Historia (ensiklopedia Romawi kuno) serta koleksi-koleksi lainnya.

Namun jauh sebelum Felipe II dan Medici, Khalifah Abdurrahman III (929-961), penguasa Bani Ummayah yang berkuasa di Spanyol ketika itu, bisa jadi adalah penguasa politik paling awal yang mewariskan sebuah perpustakaan yang megah di dalam komplek istana Medina Az Zahara di Cordoba ketika berkuasa. Pengelolaan perpustakaan yang kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, Al Hakam II (961-976) , yang merupakan penggila buku itu, kemudian menjadi simbol kemajuan peradaban islam di Spanyol yang bertahan sampai abad ke 17 sebelum dihancurkan oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabel. Al Hakam II juga merupakan tokoh penting dalam dunia kepustakaan sebelum masa renaissance Eropa, karena semasa kepemimpinannya mengampuh dinasti Umayyah di Spanyol-lah banyak sekali dibangun perpustakaan di negeri yang berada di semenanjung Iberia itu.

Berdasarkan kisah di atas, kita bisa melihat bahwa ada kesamaan yang linear dari Khalifah Abrurrahman III of Cordoba, Felipe II, dan Lorenzo de Medicci, yakni mereka merayakan kesuksesan yang sudah mereka raih dalam bidang militer, politik, dan ekonomi dalam wujud sebuah perpustakaan. Momen perebutan kekuasaan berwujud Pemilihan Kepala Daerah yang sebentar lagi akan kita helat akan menyuguhkan kepada kita, siapa di antara para calon penguasa yang akan bertarung tersebut yang benar-benar memiliki concern yang kuat dengan dunia pendidikan dan kemajuan kebudayaan daerahnya. Dan concern itu terujud dalam perhatiannya yang tinggi dengan perpustakaan. Paska terbakarnya gedung Perpustakaan dan Arsip Daerah nyaris satu setengah tahun yang lalu, upaya pemerintah daerah untuk memulihkan aset daerah yang berharga itu nyaris sepi kalau bisa dibilang sama sekali tidak ada. Karena pengabaian, pengabaian atas apapun, dari sebuah kekuasaan adalah salah satu dosa besar yang tidak terampuni.

Oleh karenanya, adalah sebuah hal yang sangat historikal dan akan dikenang dengan sangat kuat oleh para generasi penerus kita jika kepala daerah yang kelak terpilih itu menjadikan pembangunan perpustakaan sebagai salah satu bentuk “perayaan kemenangan”-nya. Karena sejarah mencatat, bahwa barangsiapa yang memiliki perpustakaan terbesar maka dialah yang akan menguasai dunia. Bagaimana dengan (calon) penguasa di Kabupaten Banggai, adakah di antara mereka yang punya perhatian dengan hal yang satu ini? Saya berharap ada. Semoga Anda punya harapan yang sama dengan saya.




Tulisan ini dimuat di Harian Luwuk Post tanggal 25 Mei 2015.