Minggu, 28 Juli 2013

Ayah Muda



Menjadi ayah di usia muda adalah satu dari sekian banyak pilihan dalam hidup. Pilihan yang, menurut saya, nggak mudah. Sulit, sudah pasti. Dan dilematis. Di saat lingkungan terkini yang kebanyakan tidak mengajarkan bagaimana menjadi orang yang bertanggungjawab, menjadi ayah di usia yang masih rentan dengan godaan untuk lari dari tanggungjawab tentunya membawa tantangan tersendiri.

Saya adalah salah satunya. Terkadang, ketika melihat teman sebaya di luar sana yang masih asyik-masyuk dengan hingar-bingar dunia muda, saya pun hanya sibuk di rumah, mengganti celana putri saya karena mengompol atau pup. Atau ketika beberapa kolega berbicara tentang gadget terkini yang hendak dibeli, saya pun hanya menyibukkan diri dengan nutrisi apa yang akan saya berikan untuk anak tercinta saya. Di sisi lain, ada yang sibuk dengan urusan percintaan konyol yang tak kunjung berujung. Atau menggombal tak jelas di forum-forum dunia maya, maupun nyata.

Sebagian ada yang mengkritik saya. Gaji – alhamdulillah cukup – besar, pekerjaan prestisius (pegawai pajak prestisius ya?), dan seabrek fasilitas hidup yang bisa saya dapatkan dengan – cukup – mudah justru saya “tinggalkan” demi menghidupi sebuah keluarga kecil, yang pastinya akan mengandung banyak permasalahan yang nggak ringan. Ah, setiap pilihan  pastilah mengandung resiko. Saya hanya ingin mengambil pilihan dengan resiko ternikmat, meski itu melelahkan. Ya, saya akui, menjadi kepala di dua keluarga pada usia muda memang tidak mudah. Dan melelahkan.

Tapi saya tidak menyesal. Saya malahan bersyukur. Saya bersyukur, Allah telah menyelamatkan hidup saya dua kali. Pertama, ketika saya memutuskan untuk menikah di usia muda. Dan kedua, ketika Allah menakdirkan saya menjadi ayah di usia muda. Mungkin, jika Allah berkehendak lain, entah apa yang sedang saya lakukan di luar sana. Mungkin saya sedang asyik mengikuti khayalan-khayalan liar yang “lazim” terjadi di usia muda. Mungkin. Siapa tahu?

Dan, saya hendak menyampaikan apresiasi saya kepada ayah-ayah muda yang rela menukar usia muda mereka, usia suka-suka, dan usia gaya-gaya mereka dengan tumpukan cucian kain berbau pesing. Dengan tangisan dan rengekan di tengah malam buta. Dengan kegugupan dan kepanikan yang kerap menerpa ketika permasalahan membentur kemudaan yang minim pengalaman. Dan sebagainya.

Menjadi ayah di usia muda adalah sebuah karunia. Karunia untuk mampu bertanggungjawab di masa-masa yang “menggoda”. Meskipun untuk bisa menjadi laki-laki yang bertanggungjawab tidak harus harus menjadi ayah terlebih dulu. Namun setidaknya, tanggungjawab laki-laki yang berposisi sebagai seorang ayah, sudah pasti, tidak bisa disamakan dengan tanggungjawabnya seorang laki-laki lajang terhadap dirinya sendiri – saja.

Semoga Allah membalas amal kita semua dengan sebaik-baik balasan. Baik dunia maupun akhirat. Amin.[wahidnugroho.com]


Maaf, bila ada yang kurang berkenan. Penulis baru saja menjadi ayah
Maahas, April 2009

Sabtu, 13 Juli 2013

Menakar Keberpihakan Kita Dalam Prahara Mesir



Dengan semakin meluasnya dukungan atas presiden Mesir yang dikudeta oleh militer, Muhammad Mursi, dari beberapa pemimpin negara lain, seperti Perdana Menteri Turki recep Tayyip Erdogan, maka pagi ini saya membuka-buka buku Asbabun Nuzul karangan Imam Jalaluddin As Suyuthi pada bagian asbabun nuzul surat Ar Ruum dan mendapati sesuatu yang menarik di sana.

Ketika masa-masa awal kenabian, ada dua imperium besar yang menguasai dunia dan saling bertarung untuk menancapkan pengaruhnya ketika itu yakni Imperium Romawi dan Imperium Persia. Dalam sebuah pertarungan di awal abad ke 7, tersiar kabar bahwa pasukan Persia berhasil mengalahkan Romawi dan berhasil merebut Palestina ketika itu. Kabar kemenangan pasukan Persia ini pun sampai juga ke tanah Arab yang ketika itu tengah bergulat dengan kehadiran seorang laki-laki yang mengaku sebagai Nabi terakhir bernama Muhammad bin Abdullah.

Saat kabar kemenangan itu tersiar di tanah Haram, maka banyak orang-orang kafir Quraisy yang mengolok-olok kaum muslimin dengan berkata bahwa kerabat kalian telah dikalahkan oleh kerabat kami. Apa maksud dari olok-olok ini? Untuk diketahui bahwa orang-orang Persia merupakan penyembah api, mereka merupakan paganis yang dalam istilah islam disebut sebagai musyrikun sedangkan orang-orang Romawi menganut agama Nasrani yang disebut sebagai Ahlul Kitab dan karenanya diidentikan dengan pendahulu ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Sebagaimana orang-orang Quraisy yang juga menganut paganisme, yang karenanya sering disebut dalam buku-buku sejarah sebagai Musyrik Quraisy atau Kafir Quraisy, maka kemenangan kawan “seaqidah” mereka di Persia atas lawan mereka Romawi yang Ahlul Kitab merupakan bukti atas kebenaran pemahaman pagan mereka atas ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Maka tidak heran ketika kekalahan Romawi atas Persia itu pun sempat menyedihkan kaum muslimin dan kabar ini sempat diabadikan di bagian awal surat Ar Ruum yang berbunyi:

“Alif Laam Miin. Telah dikalahkan Bangsa Romawi, di negeri yang terdekat dan mereka setelah kekalahannya itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan setelah (mereka menang). Dan pada hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman.” [Ar Ruum 1-5]

Kabar tentang kemenangan Romawi sebagaimana yang disebutkan dalam surat Ar Ruum itu pun akhirnya tersiar juga ketika Rasulullah dan para sahabatnya tengah menjalani Perang Badar. Kabar kemenangan Romawi inilah yang ditunggu-tunggu oleh kaum muslimin sehingga mereka pun turut bergembira karenanya.

Kita mungkin akan mengerutkan dahi karena heran, kenapa kemenangan bangsa Romawi yang Ahli Kitab itu harus membuat kita gembira? Padahal apa urusannya kita orang Islam dengan para Ahli Kitab itu sehingga kita harus bergembira dengan kemenangan mereka?

Ini karena kedekatan aqidah antara Islam dengan Nasrani yang perbedaannya, menggunakan redaksi King Negus di Habsyi, ibarat sehelai rambut. Memang ada banyak perbedaan yang runcing antara Islam dan Nasrani, tapi itu tidak menjadikan keberpihakan kita terhadap mereka menjadi hilang dan menguap begitu saja. Memang perlu ada kajian yang lebih mendalam tentang status ke-Ahli Kitab-an orang-orang Nasrani saat ini, tapi bukan itu yang ingin saya bahas. Itulah sebabnya, Rasulullah merasa bergembira ketika mendapati kabar kemenangan Romawi atas Persia dan, dalam sebuah riwayat yang dhaif, ada ketidaksukaan yang terbit dari wajah Rasulullah ketika mengetahui bahwa kekalahan Romawi menjadi dalih olok-olok Pagan Quraisy atas orang-orang Islam.

Hari ini, kita bangsa Indonesia, disajikan sebuah drama kudeta yang sangat vulgar dan amoral yang sedang terjadi di bumi Kinanah Mesir. Drama yang dalam perjalanannya melengserpaksakan seorang presiden yang terpilih secara demokratis dan konstitusional, tanpa melalui jalur perebutan kekuasaan berdarah, bernama Muhammad Mursi. Drama kudeta yang mengakibatkan membanjirnya korban jiwa yang tak sedikit dan lebih banyak lagi korban yang luka-luka. Drama kudeta yang telah merampas hak-hak kemanusiaan untuk berpendapat dan menyiarkan fakta dengan cara memberangus kantor-kantor media. Maka sebagai bangsa yang besar, yang mengakui bahwa kemerdekaan adalah hak semua bangsa, dan karenanya unsur-unsur penindasan dan penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi, telah menjadi blueprint kebangsaan kita, yang bahkan dalam perjalanan kelahiran bangsa ini pun telah berhutang budi begitu banyak kepada Mesir karena pengakuan mereka terhadap kedaulatan negara ini, adalah sebuah keharusan bagi kita untuk turut mendukung Mursi dalam prahara ini. Dukungan kita mungkin bukan dukungan ideologis, tapi lebih karena dukungan kemanusiaan, akal sehat, dan hak asasi manusia. Itulah landasan keberpihakan kita kepada mereka, dan karena alasan itulah doa-doa yang khusyuk meluncur dalam shalat dan zikir kita untuk kebaikan negara itu dan orang-orang yang tinggal di negerinya.

Maka akan sangat heran bilamana masih ada orang yang gembira dengan kudeta militer di Mesir hanya karena yang dikudeta adalah orang yang berbeda pemahaman dan ideologi dengannya. Adalah sangat disayangkan bila dari lisan orang-orang Islam sendiri mengatakan bahwa kudeta itu akibat kesalahan metode orang-orang Ikhwan dalam memperjuangkan keyakinan mereka.

Maka, inilah wujud keberpihakan saya kepada perjuangan orang-orang Ikhwan di Mesir dan para pendukung Mursi meski saya tidak punya ikatan tanah air dengan mereka, meski saya tidak pernah bertemu dan berinteraksi dengan mereka. Karena ikatan ideologis sebagai seorang muslimlah saya melakukan pembelaan-pembelaan ini. Karena keberpihakan secara aqidah lah saya mendukung dan mendoakan kebaikan untuk mereka semua. Semoga Allah memberikan kemenangan untuk pendukung Mursi dan memberikan mereka kekuatan untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang telah dirampas secara menjijikan oleh kaum oposan yang dahulu, ironisnya, justru merupakan anjing penjaga demokrasi yang paling setia. [wahidnugroho.com]


Muspratama, Juli 2013

Jumat, 12 Juli 2013

Tadabbur: Menjadi Kaya



Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hambaNya dan rezeki yang baik-baik? Katakanlah, “Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka) pada hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui. [QS Al A’raaf 32]

Akhir-akhir ini, atau mungkin juga pendapat ini sudah berlangsung sejak lama, saya merasa bahwa menjadi seorang muslim yang kaya itu adalah sebuah kesalahan. Saya merasa bahwa menjadi kaya bukan bagian dari ajaran agama yang agung ini. Agama ini, bagi sebagian orang, menghendaki pemeluknya untuk menjadi golongan fakir miskin. Mereka, sebagian orang itu, menilai bahwa menjadi orang fakir dan miskin lebih terhormat ketimbang menjadi orang kaya. Sekian kisah dari masa lalu pun mereka gelontorkan demi menguatkan pendapat itu. Ada kisah mas kawin Ali r.a yang hanya berupa cincin besi, atau rumah Rasulullah yang nyaris tanpa perabot, serta kisah Umar r.a yang tidur beralaskan pelepah kurma hingga membekas di kulitnya.

Barangkali mereka lupa, bahwa buku-buku sirah Rasulullah sebagian besarnya membahas tentang perang, dimana perang-perang itu membutuhkan dana yang tak sedikit. Barangkali mereka lupa, bahwa para sahabat generasi awal yang berasal dari kalangan budak banyak yang dibebaskan secara cuma-cuma oleh Abu Bakar r.a dengan harta yang dimilikinya. Kita juga ingat dengan kisah dibelinya sumur orang Yahudi oleh Utsman r.a untuk diwakafkan kepada kaum muslimin. Kita mungkin ingat dengan mas kawin Rasulullah kepada Khadijah r.a yang sangat fenomenal bagi seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang menikahi seorang janda biliuner ketika itu: onta merah, yang bila diibaratkan hari ini seperti membeli sebuah mobil Ferrari seri terbaru dengan harga termahal.

Atau barangkali mereka belum pernah mendengar kisah sahabat Abdurrahman bin ‘Auf r.a, yang merupakan salah satu milyarder di zamannya, yang pernah memberikan santunan kepada veteran perang Badar masing-masing sebesar 400 dinar, dimana jumlah veteran yang disantuni adalah sebanyak seratusan orang, yang bila dijumlahkan ke dalam kurs rupiah saat ini maka nilai santunannya adalah sebesar Rp. 48 Milyar? Belum lagi dengan kisah-kisah sedekah beliau yang lain yang bila dijumlah dengan kurs rupiah saat ini hanya akan membuat kepala kita bergeleng dan lidah kita berdecak kagum. Pertanyaanya, apakah semua infak dan sedekah yang dikeluarkan oleh Abdullah bin ‘Auf membuatnya miskin?

Mari kita baca kisah ini.

Dengan begitu banyak yang diinfaqkan di jalan Allah, ketika beliau meninggal pada usia 72 tahun beliau masih juga meninggalkan harta yang sangat banyak yaitu terdiri dari 1000 ekor unta, 100 ekor kuda, 3,000 ekor kambing dan masing-masing istri mendapatkan warisan 80.000 Dinar. Padahal warisan istri-istri ini masing-masing hanya ¼ dari 1/8 (istri mendapat bagian seperdelapan karena ada anak, lalu seperdelapan ini dibagi 4 karena ada 4 istri). Artinya kekayaan yang ditinggalkan Abdurrahman bin Auf saat itu berjumlah 2,560,000 Dinar atau sebesar Rp 3.072 trilyun untuk kurs uang Rupiah.


Maka tak heran bila penduduk Madinah kala itu berkata tentang sosok Abdurrahman bin ‘Auf ini:

“Seluruh penduduk Madinah berkepentingan dengan Abdurrahman bin Auf pada hartanya. Sepertiga dipinjamkannya pada mereka, sepertiga untuk membayari hutang-hutang mereka, dan sepertiga sisanya dibagi-bagikan kepada mereka.”

Maka kita lihat saat ini sebagian besar pemeluk agama ini begitu alergi dengan kekayaan. Mata mereka akan mendelik dan pikiran kotor mereka akan segera menghantui bila melihat satu dua sahabat sesama muslimnya memiliki harta yang berlebih lagi berlimpah. Prasangka mereka akan membusuk ketika melihat sahabat sesama muslimnya memiliki barang-barang yang, katakanlah, berkategori mewah, padahal barang itu dibeli dengan uang yang berasal dari usahanya sendiri dan tidak meminta serta merugikan siapapun. Siapakah kita yang berhak menentukan mana yang boleh dan yang tidak boleh untuk dibelanjakan oleh sahabat kita dengan uangnya sendiri?

Ada banyak hal yang ingin saya tulis, tapi saya cukupkan sampai di sini dulu. Semoga Allah menguatkan sendi-sendi perekonomian kita dengan harta yang baik, melimpah lagi berkah. Amin. [wahidnugroho.com]


Muspratama, Juli 2013 

Rabu, 10 Juli 2013

Untitled

Hujan deras yang baru saja membasuh bumi yang berjelaga perlahan makin mereda meski awan gelap masih menggantung di langit. Antrean kendaraan semakin padat ketika matahari di ufuk barat makin merendah. Lampu-lampu gedung perkantoran sudah mulai dinyalakan sejak beberapa jam yang lalu ketika hujan deras itu turun. Asap dari knalpot mobil-mobil lawas yang berderet di jalan mulai memenuhi udara dan menyesakkan dada. Beberapa pengendara motor tampak ada yang terbatuk sedangkan yang lainnya nyaris tak terpengaruh dengan kondisi oksigen yang mulai menipis. Seorang pengendara vespa tampak menepi dan membuka helm antiknya yang berwarna putih bergaris biru di bagian tengahnya, menyeka dahinya yang berdebu dengan sebuah sapu tangan lusuh, mengambil air mineral yang terpasang di bawah stang, dan meneguknya barang satu dua kali tegukan lalu memasang kembali helm di kepalanya dan kembali melanjutkan perjalanannya. Seorang perempuan tua bertampang kotor dengan anak kecil yang tak kalah kotornya sedang mengemis di persimpangan dekat sebuah warung tenda bertuliskan Warung Sate Madura Cak Tejo yang tampak ramai dengan pengunjung.

Seiring rona langit yang makin menggelap, Jalal mengeluarkan motor Honda Win lawasnya dari deretan motor yang menyesaki tempat parkir di basement kantor. Bekas wudhu yang melekat di wajahnya masih terlihat jelas. Ia baru saja menunaikan shalat Maghrib bersama teman-temannya di Mushola basement. Jalal merapihkan letak jaket kulit yang warnanya sudah memudar di badannya itu, lalu memanggul ransel ke punggungnya dan memasang masker di wajah lelahnya. Setelah menstarter motornya beberapa kali dan gagal hidup, Jalal merundukkan kepalanya. Tangan kirinya lalu menggeser panel bensin yang ada di bawah tangki motornya dan kembali mencoba menstarter motor antiknya itu. Berhasil. Setelah menyapa satpam yang berjaga di bagian depan tempat parkir dan mengarah ke luar, Jalal melajukan kendaraannya ke jalanan yang berangsur sepi dengan kecepatan rendah. Rinai gerimis mulai jatuh kembali dari langit yang hitam. Malam ini nyaris tak ada angin yang sudi bertiup meski hanya sekejap.

Setelah melewati perempatan yang ramai, Jalal membelokkan arah motornya ke sebuah jalan kecil demi menghindari kemacetan di ruas jalan protokol di depan sana, yang meski sudah malam tetap saja dipenuhi antrean kendaraan. Terdengar suara guntur dari langit yang diikuti dengan jatuhnya rintik-rintik air hujan yang makin lama makin deras. Jalal kemudian menepikan motornya ke samping sebuah warung tenda yang berada di dekat kantor polisi dan berniat untuk meneduh di situ. Ketika masuk ke dalam warung, Jalal hanya mendapati dua orang lelaki yang sedang makan soto serta seorang bapak tua yang menyambutnya dengan senyum terkembang. Bagi bapak tua itu, tampaknya kedatangan Jalal merupakan anugerah dari Tuhan di tengah gemuruh hujan yang tumpah dari langit ini.

“Pesan apa, Mas?” tanya Karso ramah kepada Jalal yang belum melepaskan masker di wajah dan helm di kepalanya.

Perut Jalal langsung meronta ketika indra penciumannya menghirup bau soto yang menggugah selera di tengah hujan deras ini. Jalal melepaskan helm dan tasnya lalu meletakkannya di kursi panjang warung tenda itu. Maskernya sendiri ia kantongi di saku jaketnya.

“Soto ayam dan nasi satu porsi, Pak” jawab Jalal.

“Karso. Panggil saja saya Karso, Mas” sahut Karso ramah. Jalal tersenyum dan mengangguk. Matanya memandangi seisi warung tenda itu dan mulai menurunkan resleting jaketnya.

“Minumnya apa, Mas?” taya Karso lagi sambil tangannya meracik soto pesanan Jalal. Kepulan uap soto melayang-layang di atas belanga besar saat Karso mengisi mangkok bergambar ayam jago itu dengan beberapa centong kuah soto.

“Teh hangat saja, Lek.” Jalal merasa panggilan itu sangat pantas dialamatkan bagi Karso yang usianya jauh lebih tua daripada dirinya yang masih sangat muda. Karso mengangguk sambil mengangsurkan mangkok berisi soto ayam dan sepiring nasi putih yang sama-sama mengepulkan uap panas.

“Nama saya Jalal, Lek” ujar Jalal sambil menyiram beberapa sendok kuah soto ke atas nasinya.

“Oh iya, Mas Jalal” sahut Karso sambil menggeserkan letak kaleng berisi kerupuk udang ke dekat Jalal.

“Jalal saja, Lek. Kalau saya menaksir usia Lek Karso, sepertinya saya lebih cocok dipanggil tanpa embel-embel mas” kata Jalal sambil tertawa. Karso ikut tertawa. Uban di rambut dan keriput yang berkumpul di wajahnya terlihat bercahaya di bawah lampu warung yang terang-benderang. Dua orang lelaki yang barusan makan soto tampak sudah menyelesaikan aktifitas makan-makannya dan kini sedang mengobrol sambil merokok. Warung tenda yang kecil itu kini dipenuhi dengan kepulan asap rokok yang bercampur dengan aroma teh melati dan uap soto.

“Tehnya tolong jangan terlalu manis ya, Lek”, pinta Jalal sambil mengunyah nasi dan potongan daging ayam yang dibalas Karso dengan mengacungkan jari jempolnya ke udara. Tangan Jalal mulai membuka kaleng berisi kerupuk udang yang ada di dekatnya dan mengambil isinya sebuah. Suara riuh kerupuk, sendok yang berdenting dengan gelas ketika Karso mengaduk teh, obrolan kedua lelaki dan bunyi air hujan yang jatuh di atap warung yang terbuat dari terpal plastik campur aduk menjadi satu.

Jalal masih asyik menikmati soto dan nasi pulen panas yang terasa nikmat bukan main itu ketika tiba-tiba saja ada serumpun jari lentik mengangsurkan gelas berisi teh beraroma melati kepadanya. Setengah terkejut, Jalal lalu mengikuti gerakan jari-jari lentik itu dengan ujung matanya dan didapatinya ada tangan terbalut kaos lengan panjang berwarna putih susu yang tertangkap indra penglihatannya. Jalal mendongakkan kepalanya dan melihat sesosok perempuan muda berwajah manis berkulit sawo matang cerah dengan jilbab berwarna biru muda ada di hadapannya sedang tersenyum ramah.

“Ini teh hangat yang tidak terlalu manisnya, Mas” kata gadis berjilbab biru muda itu dengan suaranya yang pulen. Sepulen nasi hangat yang sedang dinikmatinya barusan.

Jalal menerimanya dengan mimik gugup dan mengangguk tanda berterima kasih. Lidahnya kelu dan lisannya tak mampu mengeluarkan suara. Seperti baru saja melihat pemandangan yang indah dan tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Kedua lelaki yang barusan mengobrol sambil merokok sudah pergi, meninggalkan Jalal dan berdua saja dengan gadis berjilbab biru muda itu di dalam warung tenda beraroma soto dan teh melati serta sisa-sisa bau asap tembakau. Beberapa saat kemudian, Karso datang dengan tubuh terbalut jas hujan berwarna kuning cerah dan memanggil gadis berjilbab biru muda itu untuk mendekat.

“Nis,” seru Karso sambil melepaskan jas hujan dan menggantungnya pada paku yang ada di salah satu sudut warung. Ia melihat ke arah Jalal yang tampak sedang melamun dan melepas senyum ramah kepadanya. Jalal membalas senyum itu dengan kikuk dan mulai menyesap teh melatinya yang suam kuku. Karso mengatakan sesuatu yang tidak terdengar jelas kepada gadis itu karena riuhnya suara air hujan yang makin lama makin deras.

Pada salah satu sudut di sebuah warung tenda, seorang pemuda tampak sedang memandangi makhluk berjilbab biru muda yang barusan dipanggil dengan nama “Nis” itu dengan pandangan yang tak dapat diterjemahkan artinya sambil berharap bahwa soto dan nasi pulen yang sedang disantapnya saat itu tak akan pernah habis. Entah kenapa, pemuda itu rasanya ingin memesan teh hangat yang tak terlalu manis lagi. [wahidnugroho.com]


Kamis, 04 Juli 2013

Tuh Kan, Gua Bilang Juga Apa?!



“Ia (Rasulullah) menuruti pendapat para sahabatnya,” tutur Abdullah bin Ubay bin Salul, dedengkot munafiqin Madinah kepada Rasulullah sesaat sebelum fajar di medan Uhud menyingsing, “dan tidak menuruti pendapatku. Wahai manusia, untuk apa kita membunuh diri kita sendiri di tempat ini?”

Itulah hasutan Abdullah bin Ubay kepada para pengikutnya untuk membelot dan berbalik arah ke Madinah serta menolak ikut berperang bersama Rasulullah. Maka berkuranglah sepertiga pasukan Rasulullah yang akan berlaga di Uhud karena ulah desertir Abdullah bin Ubay itu. Jumlah pasukan pembelot mungkin akan bertambah dengan pasukan Bani Haritsah dan Bani Salamah bila saja Allah tidak meneguhkan hati mereka untuk bertahan , hingga Allah menurunkan surat Ali Imran ayat 22 karenanya.

“Ketika dua golongan dari kalian ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu, karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin bertawakal.”

Ketika kita menarik kisah ini ke bagian awal, maka kita akan mengetahui bahwa Abdullah bin Ubay sebagai seorang sesepuh Madinah, yang karena kedatangan Rasulullah menjadi kehilangan pamor dan kesempatan untuk menjadi raja di Yatsrib pun sirna karenanya, merasa bahwa keputusan kaum mukminin keluar kota Madinah untuk menyongsong pasukan dari Makkah adalah keputusan yang tidak menghargai pendapatnya untuk bertahan di dalam kota. Pendapat yang uniknya justru senada dengan pendapat Rasulullah sendiri yang justru dianulir langsung oleh Rasul demi memenuhi permintaan beberapa sahabat yang tidak sempat ikut perang Badar. Hamzah, pamannya, adalah salah satu pihak yang paling getol untuk menyongsong pasukan Quraisy di luar perbatasan kota Madinah.

Kita semua tahu akhir dari kisah pilu di bukit Uhud ini. Pasukan yang dipimpin oleh Rasulullah nyaris kalah telak, beberapa sahabat utama dan penghafal Al Qur’an menemui syahid, termasuk paman Rasulullah, Hamzah bin Abdul Muthalib yang tewas mengenaskan di tangan Wahsyi. Selain itu, secara fisik Rasulullah mengalami patah gigi dan luka di bagian wajahnya. Kita semua tahu betul dengan kisah ini.

Sesampainya di Madinah, pasukan yang lelah dan kalah itu pun datang tanpa diiringi sambutan yang meriah. Berbeda jauh ketika mereka menang gemilang di Badar dahulu. Ketika pasukan yang lelah dan patah semangat ini berkumpul, maka berkatalah Abdullah bin Ubay, “Demi Allah, aku berkata tentang suatu perkara yang besar ketika aku berdiri mengatakan urusannya (Rasulullah).”

Perkataan yang tidak pada tempatnya ini pun memantik emosi para sahabat Rasulullah dari kaum Anshar yang langsung menarik baju Abdullah bin Ubay dan menyuruhnya untuk meminta maaf kepada Rasulullah perihal perkataannya yang tak senonoh itu. Namun Abdullah bin Ubay enggan menarik kata-katanya dan justru berkata, “Demi Allah, aku tidak butuh dia memintakan ampunan untukku.”

Dalam kisah perjuangan, akan selalu ada orang-orang yang merasa dirinya lebih pintar dan lebih besar daripada jamaah yang ketika pendapatnya diterima dia akan tersenyum dan ketawa girang seraya membesarkan peran dirinya, namun langsung berbalik dan merajuk ketika pendapatnya diabaikan. Perkataan Abdullah bin Ubay di atas bila diredaksikan dengan bahasa kita mungkin akan berbunyi seperti ini, “Tuh kan, gue bilang juga apa. Elu sih dulu nggak mau ngikutin kata-kata gue. Jadi kualat kan lu!”

Padahal palu musyawarah sudah diketuk dan kesepakatan sudah diambil. Maka pahit manis dan getirnya akan menjadi tanggungjawab bersama, bukan lagi tanggungjawab perorangan. Ketika rapat atau syuro sudah memutuskan pendapat A, maka meski pendapat A itu bertentangan jauh dengan keyakinan kita, tetap harus dijalankan dengan senang hati. Ketika di kemudian hari pendapat A itu ternyata salah dan mengundang kerugian kepada organisasi dan kita berkata “Tuh kan, gue bilang juga apa” maka itu sama halnya dengan posisi Abdullah bin Ubay, dedengkot munafiqin, paska kekalahan kaum mukmin di perang Uhud.

Hari ini kita disajikan sebuah potret yang memilukan dari negeri Mesir tentang sebuah kudeta tak beradab yang dilakukan oleh orang-orang yang justru sebelumnya menuhankan demokrasi dan mengelu-elukan Hak Asasi Manusia. Ketika Presiden Mursi jatuh, seberapa pun besarnya kekurangan yang ia miliki dan minimnya prestasi yang beliau buat, lalu ada sebagian saudara sesama muslimnya yang berkomentar, “Itulah akibat karena  kalian mengikuti strategi begitu, dan tidak mengikuti strategi kami yang begini”, maka apalah bedanya komentar-komentar itu dengan komentar Abdullah bin Ubay di atas?

Anda mungkin bisa membantu saya untuk menjawabnya. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Juli 2013
#prayforegypt
#prayformoursi
#prayforaceh