Sabtu, 13 Juli 2013

Menakar Keberpihakan Kita Dalam Prahara Mesir



Dengan semakin meluasnya dukungan atas presiden Mesir yang dikudeta oleh militer, Muhammad Mursi, dari beberapa pemimpin negara lain, seperti Perdana Menteri Turki recep Tayyip Erdogan, maka pagi ini saya membuka-buka buku Asbabun Nuzul karangan Imam Jalaluddin As Suyuthi pada bagian asbabun nuzul surat Ar Ruum dan mendapati sesuatu yang menarik di sana.

Ketika masa-masa awal kenabian, ada dua imperium besar yang menguasai dunia dan saling bertarung untuk menancapkan pengaruhnya ketika itu yakni Imperium Romawi dan Imperium Persia. Dalam sebuah pertarungan di awal abad ke 7, tersiar kabar bahwa pasukan Persia berhasil mengalahkan Romawi dan berhasil merebut Palestina ketika itu. Kabar kemenangan pasukan Persia ini pun sampai juga ke tanah Arab yang ketika itu tengah bergulat dengan kehadiran seorang laki-laki yang mengaku sebagai Nabi terakhir bernama Muhammad bin Abdullah.

Saat kabar kemenangan itu tersiar di tanah Haram, maka banyak orang-orang kafir Quraisy yang mengolok-olok kaum muslimin dengan berkata bahwa kerabat kalian telah dikalahkan oleh kerabat kami. Apa maksud dari olok-olok ini? Untuk diketahui bahwa orang-orang Persia merupakan penyembah api, mereka merupakan paganis yang dalam istilah islam disebut sebagai musyrikun sedangkan orang-orang Romawi menganut agama Nasrani yang disebut sebagai Ahlul Kitab dan karenanya diidentikan dengan pendahulu ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Sebagaimana orang-orang Quraisy yang juga menganut paganisme, yang karenanya sering disebut dalam buku-buku sejarah sebagai Musyrik Quraisy atau Kafir Quraisy, maka kemenangan kawan “seaqidah” mereka di Persia atas lawan mereka Romawi yang Ahlul Kitab merupakan bukti atas kebenaran pemahaman pagan mereka atas ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Maka tidak heran ketika kekalahan Romawi atas Persia itu pun sempat menyedihkan kaum muslimin dan kabar ini sempat diabadikan di bagian awal surat Ar Ruum yang berbunyi:

“Alif Laam Miin. Telah dikalahkan Bangsa Romawi, di negeri yang terdekat dan mereka setelah kekalahannya itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan setelah (mereka menang). Dan pada hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman.” [Ar Ruum 1-5]

Kabar tentang kemenangan Romawi sebagaimana yang disebutkan dalam surat Ar Ruum itu pun akhirnya tersiar juga ketika Rasulullah dan para sahabatnya tengah menjalani Perang Badar. Kabar kemenangan Romawi inilah yang ditunggu-tunggu oleh kaum muslimin sehingga mereka pun turut bergembira karenanya.

Kita mungkin akan mengerutkan dahi karena heran, kenapa kemenangan bangsa Romawi yang Ahli Kitab itu harus membuat kita gembira? Padahal apa urusannya kita orang Islam dengan para Ahli Kitab itu sehingga kita harus bergembira dengan kemenangan mereka?

Ini karena kedekatan aqidah antara Islam dengan Nasrani yang perbedaannya, menggunakan redaksi King Negus di Habsyi, ibarat sehelai rambut. Memang ada banyak perbedaan yang runcing antara Islam dan Nasrani, tapi itu tidak menjadikan keberpihakan kita terhadap mereka menjadi hilang dan menguap begitu saja. Memang perlu ada kajian yang lebih mendalam tentang status ke-Ahli Kitab-an orang-orang Nasrani saat ini, tapi bukan itu yang ingin saya bahas. Itulah sebabnya, Rasulullah merasa bergembira ketika mendapati kabar kemenangan Romawi atas Persia dan, dalam sebuah riwayat yang dhaif, ada ketidaksukaan yang terbit dari wajah Rasulullah ketika mengetahui bahwa kekalahan Romawi menjadi dalih olok-olok Pagan Quraisy atas orang-orang Islam.

Hari ini, kita bangsa Indonesia, disajikan sebuah drama kudeta yang sangat vulgar dan amoral yang sedang terjadi di bumi Kinanah Mesir. Drama yang dalam perjalanannya melengserpaksakan seorang presiden yang terpilih secara demokratis dan konstitusional, tanpa melalui jalur perebutan kekuasaan berdarah, bernama Muhammad Mursi. Drama kudeta yang mengakibatkan membanjirnya korban jiwa yang tak sedikit dan lebih banyak lagi korban yang luka-luka. Drama kudeta yang telah merampas hak-hak kemanusiaan untuk berpendapat dan menyiarkan fakta dengan cara memberangus kantor-kantor media. Maka sebagai bangsa yang besar, yang mengakui bahwa kemerdekaan adalah hak semua bangsa, dan karenanya unsur-unsur penindasan dan penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi, telah menjadi blueprint kebangsaan kita, yang bahkan dalam perjalanan kelahiran bangsa ini pun telah berhutang budi begitu banyak kepada Mesir karena pengakuan mereka terhadap kedaulatan negara ini, adalah sebuah keharusan bagi kita untuk turut mendukung Mursi dalam prahara ini. Dukungan kita mungkin bukan dukungan ideologis, tapi lebih karena dukungan kemanusiaan, akal sehat, dan hak asasi manusia. Itulah landasan keberpihakan kita kepada mereka, dan karena alasan itulah doa-doa yang khusyuk meluncur dalam shalat dan zikir kita untuk kebaikan negara itu dan orang-orang yang tinggal di negerinya.

Maka akan sangat heran bilamana masih ada orang yang gembira dengan kudeta militer di Mesir hanya karena yang dikudeta adalah orang yang berbeda pemahaman dan ideologi dengannya. Adalah sangat disayangkan bila dari lisan orang-orang Islam sendiri mengatakan bahwa kudeta itu akibat kesalahan metode orang-orang Ikhwan dalam memperjuangkan keyakinan mereka.

Maka, inilah wujud keberpihakan saya kepada perjuangan orang-orang Ikhwan di Mesir dan para pendukung Mursi meski saya tidak punya ikatan tanah air dengan mereka, meski saya tidak pernah bertemu dan berinteraksi dengan mereka. Karena ikatan ideologis sebagai seorang muslimlah saya melakukan pembelaan-pembelaan ini. Karena keberpihakan secara aqidah lah saya mendukung dan mendoakan kebaikan untuk mereka semua. Semoga Allah memberikan kemenangan untuk pendukung Mursi dan memberikan mereka kekuatan untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang telah dirampas secara menjijikan oleh kaum oposan yang dahulu, ironisnya, justru merupakan anjing penjaga demokrasi yang paling setia. [wahidnugroho.com]


Muspratama, Juli 2013

Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar