Rabu, 10 Juli 2013

Untitled

Hujan deras yang baru saja membasuh bumi yang berjelaga perlahan makin mereda meski awan gelap masih menggantung di langit. Antrean kendaraan semakin padat ketika matahari di ufuk barat makin merendah. Lampu-lampu gedung perkantoran sudah mulai dinyalakan sejak beberapa jam yang lalu ketika hujan deras itu turun. Asap dari knalpot mobil-mobil lawas yang berderet di jalan mulai memenuhi udara dan menyesakkan dada. Beberapa pengendara motor tampak ada yang terbatuk sedangkan yang lainnya nyaris tak terpengaruh dengan kondisi oksigen yang mulai menipis. Seorang pengendara vespa tampak menepi dan membuka helm antiknya yang berwarna putih bergaris biru di bagian tengahnya, menyeka dahinya yang berdebu dengan sebuah sapu tangan lusuh, mengambil air mineral yang terpasang di bawah stang, dan meneguknya barang satu dua kali tegukan lalu memasang kembali helm di kepalanya dan kembali melanjutkan perjalanannya. Seorang perempuan tua bertampang kotor dengan anak kecil yang tak kalah kotornya sedang mengemis di persimpangan dekat sebuah warung tenda bertuliskan Warung Sate Madura Cak Tejo yang tampak ramai dengan pengunjung.

Seiring rona langit yang makin menggelap, Jalal mengeluarkan motor Honda Win lawasnya dari deretan motor yang menyesaki tempat parkir di basement kantor. Bekas wudhu yang melekat di wajahnya masih terlihat jelas. Ia baru saja menunaikan shalat Maghrib bersama teman-temannya di Mushola basement. Jalal merapihkan letak jaket kulit yang warnanya sudah memudar di badannya itu, lalu memanggul ransel ke punggungnya dan memasang masker di wajah lelahnya. Setelah menstarter motornya beberapa kali dan gagal hidup, Jalal merundukkan kepalanya. Tangan kirinya lalu menggeser panel bensin yang ada di bawah tangki motornya dan kembali mencoba menstarter motor antiknya itu. Berhasil. Setelah menyapa satpam yang berjaga di bagian depan tempat parkir dan mengarah ke luar, Jalal melajukan kendaraannya ke jalanan yang berangsur sepi dengan kecepatan rendah. Rinai gerimis mulai jatuh kembali dari langit yang hitam. Malam ini nyaris tak ada angin yang sudi bertiup meski hanya sekejap.

Setelah melewati perempatan yang ramai, Jalal membelokkan arah motornya ke sebuah jalan kecil demi menghindari kemacetan di ruas jalan protokol di depan sana, yang meski sudah malam tetap saja dipenuhi antrean kendaraan. Terdengar suara guntur dari langit yang diikuti dengan jatuhnya rintik-rintik air hujan yang makin lama makin deras. Jalal kemudian menepikan motornya ke samping sebuah warung tenda yang berada di dekat kantor polisi dan berniat untuk meneduh di situ. Ketika masuk ke dalam warung, Jalal hanya mendapati dua orang lelaki yang sedang makan soto serta seorang bapak tua yang menyambutnya dengan senyum terkembang. Bagi bapak tua itu, tampaknya kedatangan Jalal merupakan anugerah dari Tuhan di tengah gemuruh hujan yang tumpah dari langit ini.

“Pesan apa, Mas?” tanya Karso ramah kepada Jalal yang belum melepaskan masker di wajah dan helm di kepalanya.

Perut Jalal langsung meronta ketika indra penciumannya menghirup bau soto yang menggugah selera di tengah hujan deras ini. Jalal melepaskan helm dan tasnya lalu meletakkannya di kursi panjang warung tenda itu. Maskernya sendiri ia kantongi di saku jaketnya.

“Soto ayam dan nasi satu porsi, Pak” jawab Jalal.

“Karso. Panggil saja saya Karso, Mas” sahut Karso ramah. Jalal tersenyum dan mengangguk. Matanya memandangi seisi warung tenda itu dan mulai menurunkan resleting jaketnya.

“Minumnya apa, Mas?” taya Karso lagi sambil tangannya meracik soto pesanan Jalal. Kepulan uap soto melayang-layang di atas belanga besar saat Karso mengisi mangkok bergambar ayam jago itu dengan beberapa centong kuah soto.

“Teh hangat saja, Lek.” Jalal merasa panggilan itu sangat pantas dialamatkan bagi Karso yang usianya jauh lebih tua daripada dirinya yang masih sangat muda. Karso mengangguk sambil mengangsurkan mangkok berisi soto ayam dan sepiring nasi putih yang sama-sama mengepulkan uap panas.

“Nama saya Jalal, Lek” ujar Jalal sambil menyiram beberapa sendok kuah soto ke atas nasinya.

“Oh iya, Mas Jalal” sahut Karso sambil menggeserkan letak kaleng berisi kerupuk udang ke dekat Jalal.

“Jalal saja, Lek. Kalau saya menaksir usia Lek Karso, sepertinya saya lebih cocok dipanggil tanpa embel-embel mas” kata Jalal sambil tertawa. Karso ikut tertawa. Uban di rambut dan keriput yang berkumpul di wajahnya terlihat bercahaya di bawah lampu warung yang terang-benderang. Dua orang lelaki yang barusan makan soto tampak sudah menyelesaikan aktifitas makan-makannya dan kini sedang mengobrol sambil merokok. Warung tenda yang kecil itu kini dipenuhi dengan kepulan asap rokok yang bercampur dengan aroma teh melati dan uap soto.

“Tehnya tolong jangan terlalu manis ya, Lek”, pinta Jalal sambil mengunyah nasi dan potongan daging ayam yang dibalas Karso dengan mengacungkan jari jempolnya ke udara. Tangan Jalal mulai membuka kaleng berisi kerupuk udang yang ada di dekatnya dan mengambil isinya sebuah. Suara riuh kerupuk, sendok yang berdenting dengan gelas ketika Karso mengaduk teh, obrolan kedua lelaki dan bunyi air hujan yang jatuh di atap warung yang terbuat dari terpal plastik campur aduk menjadi satu.

Jalal masih asyik menikmati soto dan nasi pulen panas yang terasa nikmat bukan main itu ketika tiba-tiba saja ada serumpun jari lentik mengangsurkan gelas berisi teh beraroma melati kepadanya. Setengah terkejut, Jalal lalu mengikuti gerakan jari-jari lentik itu dengan ujung matanya dan didapatinya ada tangan terbalut kaos lengan panjang berwarna putih susu yang tertangkap indra penglihatannya. Jalal mendongakkan kepalanya dan melihat sesosok perempuan muda berwajah manis berkulit sawo matang cerah dengan jilbab berwarna biru muda ada di hadapannya sedang tersenyum ramah.

“Ini teh hangat yang tidak terlalu manisnya, Mas” kata gadis berjilbab biru muda itu dengan suaranya yang pulen. Sepulen nasi hangat yang sedang dinikmatinya barusan.

Jalal menerimanya dengan mimik gugup dan mengangguk tanda berterima kasih. Lidahnya kelu dan lisannya tak mampu mengeluarkan suara. Seperti baru saja melihat pemandangan yang indah dan tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Kedua lelaki yang barusan mengobrol sambil merokok sudah pergi, meninggalkan Jalal dan berdua saja dengan gadis berjilbab biru muda itu di dalam warung tenda beraroma soto dan teh melati serta sisa-sisa bau asap tembakau. Beberapa saat kemudian, Karso datang dengan tubuh terbalut jas hujan berwarna kuning cerah dan memanggil gadis berjilbab biru muda itu untuk mendekat.

“Nis,” seru Karso sambil melepaskan jas hujan dan menggantungnya pada paku yang ada di salah satu sudut warung. Ia melihat ke arah Jalal yang tampak sedang melamun dan melepas senyum ramah kepadanya. Jalal membalas senyum itu dengan kikuk dan mulai menyesap teh melatinya yang suam kuku. Karso mengatakan sesuatu yang tidak terdengar jelas kepada gadis itu karena riuhnya suara air hujan yang makin lama makin deras.

Pada salah satu sudut di sebuah warung tenda, seorang pemuda tampak sedang memandangi makhluk berjilbab biru muda yang barusan dipanggil dengan nama “Nis” itu dengan pandangan yang tak dapat diterjemahkan artinya sambil berharap bahwa soto dan nasi pulen yang sedang disantapnya saat itu tak akan pernah habis. Entah kenapa, pemuda itu rasanya ingin memesan teh hangat yang tak terlalu manis lagi. [wahidnugroho.com]


Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar