Jumat, 12 Juli 2013

Tadabbur: Menjadi Kaya



Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hambaNya dan rezeki yang baik-baik? Katakanlah, “Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka) pada hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui. [QS Al A’raaf 32]

Akhir-akhir ini, atau mungkin juga pendapat ini sudah berlangsung sejak lama, saya merasa bahwa menjadi seorang muslim yang kaya itu adalah sebuah kesalahan. Saya merasa bahwa menjadi kaya bukan bagian dari ajaran agama yang agung ini. Agama ini, bagi sebagian orang, menghendaki pemeluknya untuk menjadi golongan fakir miskin. Mereka, sebagian orang itu, menilai bahwa menjadi orang fakir dan miskin lebih terhormat ketimbang menjadi orang kaya. Sekian kisah dari masa lalu pun mereka gelontorkan demi menguatkan pendapat itu. Ada kisah mas kawin Ali r.a yang hanya berupa cincin besi, atau rumah Rasulullah yang nyaris tanpa perabot, serta kisah Umar r.a yang tidur beralaskan pelepah kurma hingga membekas di kulitnya.

Barangkali mereka lupa, bahwa buku-buku sirah Rasulullah sebagian besarnya membahas tentang perang, dimana perang-perang itu membutuhkan dana yang tak sedikit. Barangkali mereka lupa, bahwa para sahabat generasi awal yang berasal dari kalangan budak banyak yang dibebaskan secara cuma-cuma oleh Abu Bakar r.a dengan harta yang dimilikinya. Kita juga ingat dengan kisah dibelinya sumur orang Yahudi oleh Utsman r.a untuk diwakafkan kepada kaum muslimin. Kita mungkin ingat dengan mas kawin Rasulullah kepada Khadijah r.a yang sangat fenomenal bagi seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang menikahi seorang janda biliuner ketika itu: onta merah, yang bila diibaratkan hari ini seperti membeli sebuah mobil Ferrari seri terbaru dengan harga termahal.

Atau barangkali mereka belum pernah mendengar kisah sahabat Abdurrahman bin ‘Auf r.a, yang merupakan salah satu milyarder di zamannya, yang pernah memberikan santunan kepada veteran perang Badar masing-masing sebesar 400 dinar, dimana jumlah veteran yang disantuni adalah sebanyak seratusan orang, yang bila dijumlahkan ke dalam kurs rupiah saat ini maka nilai santunannya adalah sebesar Rp. 48 Milyar? Belum lagi dengan kisah-kisah sedekah beliau yang lain yang bila dijumlah dengan kurs rupiah saat ini hanya akan membuat kepala kita bergeleng dan lidah kita berdecak kagum. Pertanyaanya, apakah semua infak dan sedekah yang dikeluarkan oleh Abdullah bin ‘Auf membuatnya miskin?

Mari kita baca kisah ini.

Dengan begitu banyak yang diinfaqkan di jalan Allah, ketika beliau meninggal pada usia 72 tahun beliau masih juga meninggalkan harta yang sangat banyak yaitu terdiri dari 1000 ekor unta, 100 ekor kuda, 3,000 ekor kambing dan masing-masing istri mendapatkan warisan 80.000 Dinar. Padahal warisan istri-istri ini masing-masing hanya ¼ dari 1/8 (istri mendapat bagian seperdelapan karena ada anak, lalu seperdelapan ini dibagi 4 karena ada 4 istri). Artinya kekayaan yang ditinggalkan Abdurrahman bin Auf saat itu berjumlah 2,560,000 Dinar atau sebesar Rp 3.072 trilyun untuk kurs uang Rupiah.


Maka tak heran bila penduduk Madinah kala itu berkata tentang sosok Abdurrahman bin ‘Auf ini:

“Seluruh penduduk Madinah berkepentingan dengan Abdurrahman bin Auf pada hartanya. Sepertiga dipinjamkannya pada mereka, sepertiga untuk membayari hutang-hutang mereka, dan sepertiga sisanya dibagi-bagikan kepada mereka.”

Maka kita lihat saat ini sebagian besar pemeluk agama ini begitu alergi dengan kekayaan. Mata mereka akan mendelik dan pikiran kotor mereka akan segera menghantui bila melihat satu dua sahabat sesama muslimnya memiliki harta yang berlebih lagi berlimpah. Prasangka mereka akan membusuk ketika melihat sahabat sesama muslimnya memiliki barang-barang yang, katakanlah, berkategori mewah, padahal barang itu dibeli dengan uang yang berasal dari usahanya sendiri dan tidak meminta serta merugikan siapapun. Siapakah kita yang berhak menentukan mana yang boleh dan yang tidak boleh untuk dibelanjakan oleh sahabat kita dengan uangnya sendiri?

Ada banyak hal yang ingin saya tulis, tapi saya cukupkan sampai di sini dulu. Semoga Allah menguatkan sendi-sendi perekonomian kita dengan harta yang baik, melimpah lagi berkah. Amin. [wahidnugroho.com]


Muspratama, Juli 2013 

Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar