Rabu, 30 Desember 2015

Auratmu Harga Diriku

Dalam sebuah pesta pernikahan yang meriah di sebuah gedung, tampak sepasang suami istri yang baru saja datang. Keduanya masih berusia muda, berpostur proporsional, tampak terawat, dan berpendidikan. Sang suami mengenakan setelan jas resmi berbahan katun yang halus dengan kemeja hitam yang tidak dikancing pada bagian atasnya, bersepatu hitam mengkilat, dan potongan rambut trendi masa kini. Sementara sang istri mengenakan pakaian yang sedikit ‘menggelisahkan’. Ia memakai setelan cropped top yang menunjukkan beberapa bagian kulitnya yang cerah terawat. Rambutnya yang panjang dan halus terurai begitu saja di atas bahunya yang kencang. Ia mengenakan sepatu hak lancip berwarna senada dengan pakaiannya.


Saat pasangan muda itu berjalan mendekati tempat pengantin yang sedang berbahagia, pandangan mata para tamu yang ada di ruangan itu tertuju kepada keduanya. Entah apa yang ada dalam benak sang suami ketika mata-mata nyalang para lelaki yang ada di ruangan itu ‘menikmati’ setiap senti dari bagian tubuh istrinya yang terbuka.


Meski saya tidak kenal sama sekali dengan pasangan itu, namun, di lubuk hati yang terdalam, saya merasa malu dengan penampilan sang istri. Entah kenapa.


Umar Tilmisani, Mursyid Am Ketiga Ikhwanul Muslimun, berkisah dalam memoarnya yang berjudul Dzikroyat la Mudzakirat tentang kecemburuan dosis tingginya kepada sang istri yang begitu dicintainya. Dalam buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Bukan Sekedar Kenangan, Syaikh Umar yang parlente dan bercita rasa tinggi itu berkata bahwa “Setelah menikah denganku, selama 17 tahun istriku tidak pernah keluar rumah untuk berkunjung ke keluarganya, atau menghadiri undangan dan kematian tanpa memakai mobil. Ia tidak pernah menggunakan trem, bus ataupun berjalan kaki di jalan, karena aku sangat ghirah (cemburu) kepadanya. Aku cemburu melihat sinar matahari menerpa tubuhnya, atau udara membelit pakaiannya. Dan istriku sangat tahu benar akan perasaanku itu. Karena itu ia tidak pernah merasa dirinya dibatasi sehingga ia harus marah padaku.”


Walau tidak sepenuhnya setuju dengan yang dilakukan oleh Syaikh Umar, pada sebahagian yang lain, saya merasa ada sesuatu yang telah diwakili oleh pandangan beliau terkait dengan bagaimana seorang lelaki, dalam hal ini suami, perlu bersikap terhadap istrinya masing-masing. Sesuatu itu adalah kecemburuan.


Lelaki, atau sebagian lelaki, tidak seekspresif perempuan dalam hal cemburu. Tidak selalu cemburu itu diejawantahkan dalam bentuk wajah yang masam, tampang yang muram, atau bentakan penuh geram. Lelaki biasanya menyimpan cemburu dalam diam namun tetap mengingat dan mencatat.


Suatu hari, istri pernah bertanya kepada saya. “Abi pernah cemburu sama aku?” demikian tanyanya. Ia sepertinya perlu menanyakan hal itu karena sepanjang usia pernikahan kami yang masih belia ini, saya nyaris tak pernah mengutarakan rasa cemburu kepadanya. Berbeda dengan dirinya yang kerap berterus-terang dengan perasaan cemburunya, ia mungkin merasa bahwa suaminya ini terlalu lurus-lurus saja dalam hal perasaan. Ketika itu saya menjawabnya dengan kata “Belum” dan ia masih merasa belum puas dengan jawaban itu dan kerap mengulang-ulang pertanyaannya dalam beberapa kesempatan.


Cemburu, bagi saya, tidak melulu soal orang lain. Cemburu bagi saya mungkin terlampau sederhana bentuknya, bahkan tampak remeh lagi sepele bagi orang lain. Namun sesuatu yang tampak sepele, remeh, dan biasa itu tidak demikian halnya bagi saya.


Kecemburuan saya kepada istri adalah ketika saya mendapati sehelai dua helai rambutnya yang menyembul dari balik jilbabnya, atau ketika lengan bajunya menyingkap pergelangan tangannya, atau saat rok panjangnya menyingkap bagian yang kerap membuat saya tertegun itu saat ia naik di atas motornya, atau saat pakaian yang dikenakannya menyembulkan beberapa lekuk tubuhnya, atau ketika jilbab yang dipakainya tampak menerawang dan tembus pandang. Cemburu bagi saya adalah soal aurat. Sekecil apapun. Karena aurat istri adalah harga diri suami. Ketika aurat yang seharusnya diperuntukkan hanya untuk kita, sebagai suami, seorang itu lantas ditunjukkan dan dipamerkan kepada orang lain yang tidak berhak, maka disitulah sebenarnya harga diri suami sedang terinjak-injak.


Bagaimana mungkin seorang suami yang mengaku mencintai istrinya membiarkan orang lain bisa – maafkan pemilihan kata saya ini – mencicipi aurat istrinya secara bebas? Bagaimana mungkin seorang laki-laki sejati – sekali lagi maafkan pemilihan kata saya ini – menjajakan aurat istrinya kepada orang lain tanpa merasa sedikitpun terluka harga dirinya karenanya? Bagaimana mungkin seorang lelaki merasa bangga bahwa istrinya bisa dinikmati lekukan tubuhnya, cerah warna kulitnya, harum dan lembut rambutnya, dan menyesapi aroma tubuhnya oleh orang lain?


Saya tidak mengerti. Sungguh saya tidak mengerti. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Desember 2014 

Jumat, 04 Desember 2015

Ruang Kosong

Masih ingat dengan almarhum papa Agus yang tempo hari saya posting di linimasa media sosial saya? Papa Agus adalah tetangga saya yang berprofesi sebagai tukang ojek. Ia meninggal mendadak karena sakit beberapa pekan yang lalu.

Di masa hidupnya, nyaris setiap pagi saya bertukar sapa dengannya. Bahkan, dalam sehari, saya bisa dua atau tiga kali berpapasan dengannya di jalan. Setelah beliau meninggal, saya merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang meski sepele lagi remeh-temeh, tapi cukup memengaruhi 'ritme' hidup saya.

Padahal, kalau mau ditimbang-timbang, beliau bukan siapa-siapanya saya. Kami dulu hanya sesekali saja berbincang dalam durasi yang agak lama. Hanya ngobrol sekedar lalu dan basa-basi saja. Tapi ada sedikit rasa kehilangan di dalam diri saya sepeninggalnya.

Ustadz Anis Matta paska wafatnya Ustadz Rahmat Abdullah pernah menulis, "Setelah seseorang pergi, kita segera tahu 'ruang kosong' apa yang ditinggalkan orang itu dalam hati kita.”

“Kesadaran kita tentang ruang kosong itu,” sambung beliau, “tidak akan pernah begitu jelas selama orang itu masih hidup dan berada di antara kita, sejelas ketika orang itu akhirnya pergi.”

“Ruang kosong yang dirasakan setiap orang pada seseorang tentu saja berbeda-beda,” tutupnya.

Jika seorang papa Agus yang, ibaratnya, bukan siapa-siapanya saya dan interaksi kami lebih banyak hanya berpapasan saja ketika di jalan sudah menciptakan sebuah ruang kosong di dalam hati saya, apatah lagi jika saya harus kehilangan orang-orang yang sehari-hari saya temui, saya ajak bicara, dan saya ajak bercengkerama.

Itulah sebabnya, perpisahan dengan orang-orang tercinta seperti menciptakan luka menganga yang sulit sembuhnya. Orang-orang tercinta itu bisa berwujud orangtua, suami, istri, teman, sahabat, atau siapapun yang memberi arti dalam hidup kita selama ini.

Ketika bapak meninggal delapan tahun yang lalu, saya merasa bahwa ruang kosong yang beliau tinggalkan tidak kunjung tertutup. Ia bahkan membesar dan makin menganga seiring berjalannya waktu, bahkan sampai saat ini. Ketika saya menikah, ketika anak-anak saya lahir, ketika saya mendapatkan sesuatu dari instansi tempat saya bekerja, saya baru menyadari bahwa semua kebahagiaan itu terasa hambar karena tidak bisa saya bagi bersama dengannya.

“Pak, anakmu sudah menikah. Pak, cucumu sudah lahir. Pak, gaji anakmu sekarang naik. Pak, anak bungsumu sudah lulus kuliah. Pak, anakmu sudah bangun rumah,” adalah rentetan kabar gembira yang ingin sekali saya sampaikan secara langsung kepadanya. Melihat terbitnya senyum dan mendengar ungkapan bahagianya atas anugerah yang diterima anaknya ini adalah sesuatu yang begitu saya tunggu-tunggu ketika saya mulai bekerja di perantauan nyaris sembilan tahun yang lalu. Tapi itu semua sudah tidak mungkin. Beliau sudah tiada dan saya masih harus berjuang untuk menutup ruang kosong itu dengan susah payah.

Ketika Qais dipaksa berpisah dengan Layla saat cinta mereka sedang berada di puncaknya, ruang kosong itulah yang kemudian mengubah Qais menjadi majnun karena cintanya kepada Layla terhalang sebuah tembok besar bernama perpisahan. Seberapa besar ruang kosong yang hendak kita bangun setelahnya adalah pilihan. Karena hidup harus terus berjalan, sepahit apapun kenyataan yang telah menunggu kita di depan.

Teriring doa untuk bapak. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Desember 2015

Rabu, 28 Oktober 2015

Bincang Buku: How Reading Changed My Life

Saya sedang membaca buku berjudul How Reading Changed My Life. Buku tipis bersampul putih dengan gambar seorang anak kecil yang sedang membaca sambil menyelonjorkan kakinya itu ditulis oleh Anna Quindlen. Saya membelinya dari Book Depository beberapa pekan yang lalu dan buku itu baru saja datang hari Selasa kemarin. Bambang, teman sekantor saya, memberitahu bahwa ada paket untuk saya ketika saya sedang berada di ruangan umum untuk menelepon wajib pajak. Selesai menelepon, saya langsung mengambil paket itu dan membongkar isinya yang ternyata adalah buku ini.

Buku ini sangat tipis. Paginasinya tidak sampai 100 halaman. Harganya juga cukup bersahabat untuk ukuran buku impor yang masih baru, meski ini merupakan buku lama. Hanya $8 sudah termasuk ongkir sampai ke meja saya di Luwuk. Buku di tangan saya ini adalah buku cetakan pertama yang terbit bulan Agustus tahun 1998, tujuh belas tahun yang lalu.

Ngomong-ngomong tentang toko online bernama Book Depository, ini adalah kali ke enam saya membeli buku dari toko online yang berbasis di United Kingdom itu. Sepanjang bulan Oktober 2015 ini, saya sudah kedatangan tiga buku dari Book-Dep, demikian saya biasa menyingkat nama toko itu.

Membaca buku ini, saya serasa sedang bercermin dan menatap wajah saya sendiri di sana. Buku ini mengajak saya untuk menikmati momen ketika berinteraksi dengan buku. Merasai citarasa masing-masing buku dan mencari inspirasi dan pelajaran hidup yang berserak di tiap-tiap halamannya. Namun, menurut saya, pesan utama yang ingin disampaikan Mrs. Quindlen dalam buku ini adalah agar kita bisa menjadikan buku sebagai sarana hiburan bagi hati dan jiwa.

Salah satu bagian yang membuat saya merasa sedang bercermin adalah ketika Mrs. Quindlen menulis demikian di halaman 5.

I have clear memories of that sort of life, of lifting the rocks on the creek that trickled through Naylor’s Run to search for crayfish, of laying pennies on the tracks of the trolley and running to fetch them, flattened, when trolley had passed. The best part of me was always at home, within some book that had been laid flat on the table to mark my place, its imaginary people waiting for me to return and bring them to life.

Sejak kecil, saya adalah anak yang kurang terlalu suka dengan kegiatan luar rumah. Dulu saya memang bermain layang-layang, sepedaan, mancing, ngeband, atau bola sepak di lapangan belakang rumah, tapi saya kurang bisa menikmatinya. Saya lebih suka menyendiri di rumah, dengan tumpukan kertas dan buku-buku komik yang berserak di meja saya di kamar, atau di ruang tamu. Ketika itu saya menulis puisi-puisi yang sangat jelek, atau sekedar membuat tulisan nggak jelas, biasanya menyalin lirik lagu atau membuat syair-syair picisan.

Ketika sudah berkeluarga pun saya masih tetap begitu. Berbanding terbalik dengan istri saya yang lebih suka jalan-jalan ke luar rumah, saya lebih memilih berdiam di kamar belakang yang berisi buku-buku pribadi saya dan membaca atau menulis sesuatu di sana. Biasanya berlangsung sejak pagi sampai siang. Atau sejak ba’da magrib sampai menjelang pagi dini hari meski belakangan ritual berdiam diri pada waktu malam sudah sedikit berkurang karena padatnya kegiatan. Terkadang, istri ngerasa gemas juga ngeliat suaminya yang kurang-bergerak ini. “Coba abi futsalan dulu sama ikhwan-ikhwan,” katanya pada suatu pagi ketika mendapati saya sedang ngejogrok di kamar belakang dengan tumpukan buku dan wajah yang masih kusut.

Memang, ini terdengar sangat egois. Namun saya berpikir bahwa hiburan awal bagi anak-anak harus ditemukan di rumah terlebih dulu sebelum mereka dapatkan di luar. Biarlah rumah jadi berantakan dan ribut nggak karuan, asalkan mereka terhibur dan senang itu sudah lebih dari cukup. Lagipula, dengan adanya anak-anak di rumah, menuntut kami sebagai orangtua untuk menyediakan kebutuhan mereka secara langsung dan segera seperti cemilan atau minuman ringan.


Kembali ke bukunya Mrs. Quindlen.

Buku ini juga memuat reading list di halaman-halaman paling belakang. Memuat beberapa rekomendasi buku baik fiksi maupun nonfiksi, anak-anak maupun dewasa, yang bisa dijadikan alternatif bacaan buat kita. Beberapa dari buku-buku yang didaftarnya itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan telah diterbitkan oleh penerbit-penerbit ternama sehingga memudahkan kita untuk memilikinya, dan membacanya. Daftar itu memang bukan daftar yang baku, karena disusun berdasarkan pengalaman pribadi penulis selama berinteraksi dengan buku-buku yang pernah dibacanya. Karena nggak baku, daftar itu, tentu saja, sangat fleksibel dan sangat terbuka untuk berubah. Karena pengalaman dan interaksi kita dengan buku, termasuk berapa buku yang sudah dibaca sampai tuntas, tentu saja berbeda antara satu sama lain.  

Bicara tentang buku-buku yang merubah hidup, saya sendiri pernah menuliskannya di blog ini beberapa waktu yang lalu. Tulisan itu ada di sini. Daftar itu tentu saja sangat subjektif dan terkait langsung dengan perkembangan diri saya. Tentu saja, daftar itu sangat mungkin untuk bertambah, bahkan kemungkinan itu amat sangat terbuka. Mungkin saya akan menuliskan edisi revisinya di blog ini suatu hari nanti.

Jadi, benarkah buku benar-benar bisa merubah, termasuk menggugah, hidup kita?  Saya nggak bisa memberikan jawaban pasti. Baca saja buku ini dan dapatkan jawabanmu sendiri. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Oktober 2015 

Jumat, 23 Oktober 2015

Luwuk dan Asap

Maret tahun 2007, saya pertama menginjakkan kaki di Luwuk. Sepanjang kurun waktu itu, belum pernah saya ngalamin yang namanya kabut asap di kota ini sebagaimana yang terjadi selama sebulanan terakhir ini. Kenapa sampe bisa kayak begitu? Saya nggak tau secara persis sebabnya apa. Konon kabarnya, ada pembukaan lahan sawit di dataran Bualemo sana oleh sebuah perusahaan yang dulu pernah saya sambangi. Kabar yang lain menyebutkan karena ada kebakaran lahan cengkeh seluas ratusan hektar di Taliabu. Atau bisa jadi ada sebab lain.

Awalnya, susah untuk mengabaikan kabut asap ini dan saya berprasangka baik bahwa semua ini akan segera berlalu. Tapi nyatanya makin hari makin parah saja. Sudah lama saya nggak liat pulau Peling dari teras rumah. Bukit Halimun yang biasanya keliatan jelas dari Muspratama juga gak keliatan. Saya juga baru tersadar kalau bukit-bukit yang memeluk kota ini jadi tampak berwarna kecoklatan. Pun ketika pulang melewati jalur dua, semak-semak yang tadinya cukup rapat sekarang sudah meranggas dan kering.

Tadi siang saya nganterin temen ke bandara dan kaget bahwa bukit We dan bukit-bukit di belakangnya gak terlihat dari daerah Kilo Delapan. Apatah lagi semenanjung di Luwuk Timur yang biasanya keliatan jelas pas hari cerah, makin gak nampak. Udara pagi yang biasanya segar, belakangan jadi berbau asap pembakaran. Seorang teman yang bekerja di maskapai penerbangan sempat bertanya, apakah tidak ada aksi solat meminta hujan supaya jarak pandang yang semakin terbatas ini bisa dicari jalan keluarnya? Saya bukan dalam posisi yang bisa menjawab pertanyaan itu, sayangnya.

Meski kondisi ini masih dalam level yang bisa ditolerir, saya suka bertanya-tanya, gimana dengan perasaan teman-teman saya yang kabut asapnya luar bisa pekat? Beberapa gambar yang berseliweran di linimasa membuat miris hati ini. Ada yang kabutnya udah macam berdiri di samping pembuat lalampa. Ada anak-anak yang pake selang buat mbantu pernafasan. Mau berbuat banyak tapi kemampuan terbatas. Mau menyalahkan pemerintah mentah-mentah, kok kayaknya kurang mbois juga. Secara masalah ini bukan semata-mata salahnya paduka presiden walopun belio tetap akan jadi sasaran empuk para ahlul-kritik, seperti saya ini salah satunya hahaha.

Di sisi lain, saya senang juga dengan banyaknya kepedulian yang ditunjukkan teman-teman di linimasa saya. Ada yang ngeshare kegiatan relawan, baik relawan partisan sebuah partey maupun relawan umum lainnya, di salah satu hutan yang terbakar, ada yang mbagi info donasi, ada yang posting situasi terkini di beberapa kota, dan ada yang bikin aksi penggalangan dana, sampe memposting sebait dua bait doa.

Apapun itu, semoga masalah asap ini bisa segera reda. Semoga Allah berkenan menurunkan hujanNya kepada bumi nusantara ini (aih, relijius sekali status saya ini hahaha) dan melukis senyum bahagia di wajah para penghuninya. Aamiin.

Saya tahu, ajakan berdoa ini mungkin akan ditanggapi beragam. Emang Tuhan pesbukan? Gitu kata tetangga. Emang Tuhan cuman ngurusin elu doank? Mungkin ada benernya. Buktinya saya masih gendut aja nih (abaikan). Bagaimanapun, ada hal-hal tertentu yang tidak bisa dijelaskan secara nalar. Dan saya percaya itu. Kalo sampeyan nggak mau percaya, ya, mengutip kata-kata baginda, "Itu bukan urusan saya!"

Salam asap,eh, salam doa. [wahidnugroho.com]


Tanjung, Oktober 2015

Sumber foto: Sarfin Laando

Cerpen

Harus saya akui, saya agak benci cerpen. Terserah apa kata orang, saya tetap agak benci cerpen. Penceriteraannya terlalu singkat dan kurang mendalam. Itu sebabnya, perbendaharaan bacaan cerpen saya cuman sedikit. Lebih banyak novel. Buku-buku kumcer yang ada di rumah pun hanya beberapa saja yang pernah saya baca, itu pun tidak tuntas. Artinya hanya satu dua cerpen saja dari beberapa cerpen yang ada di satu buku. Meski demikian, ada juga cerpen-cerpen yang saya suka meski jumlahnya nggak seberapa seperti cerpen-cerpennya mbak Helvy (Tiana Rosa), Izzatul Jannah, dan om Seno Gumira Ajidarma. Belakangan saya juga suka cerpen-cerpennya O Henry dan Guy de Maupassant.

Hari Rabu kemarin, saya ketemu kaka Beno di lapangan depan kantor Perpustakaan Daerah. Kami bertemu di stand Rumah Baca Jendela Ilmu​ dan saya mendapatinya sedang membolak-balikkan beberapa buku. Kaka Beno ini kawan baik saya selama di Luwuk. Di balik tampang sangarnya, kaka Beno adalah orang yang berhati lembut dan asyik diajak berdiskusi. Meski ada kesan temperamental pada dirinya, sebatas yang saya tahu, ia adalah orang yang kerap bertutur kata sopan bila ngobrol dengan saya.

Pernah suatu hari beberapa tahun yang lalu kami bertemu di pelabuhan rakyat. Saya mau menyeberang ke pulau untuk tugas kantor ketika itu. Mendapati saya yang lagi celingukan di dermaga, kaka Beno mendekat dan menyapa saya. Saya berkata bahwa saya mau ke pulau. Dia bertanya apakah sudah dapet tiket atau belum, mau sewa kamar atau tidak. Saya jawab belum dan mau. Ia langsung bergerak sigap dan mengajak saya ke salah satu loket penjualan tiket yang ada di dekat warung makan yang berderet di sisi barat pelabuhan. Setelah mendapatkan tiket dan kamar, berbekal bantuannya, saya mengobrol sedikit dengan kaka Beno, menanyakan kabar dan sebagainya dan seterusnya.

"Saya mau bangun rumah," katanya.

Saya tanya mau bangun dimana dan ia menyebutkan tempatnya. Disebutkannya nama-nama bahan bangunan yang akan dibelinya. Kami juga berbincang soal keluarga, dan soal remeh-temeh lainnya.

Setelah pertemuan di pelabuhan itu, saya jarang kembali bertemu dengannya. Paling hanya sekali dua kali saja yang hanya diwakili dengan lambaian tangan atau teriakan salam ketika berpapasan di pinggir jalan.

Lama tak ketemu, saya berjumpa lagi dengannya. Ia masih sama seperti dulu. Masih bertampang garang tapi murah senyum (lho). Di depan hamparan buku-buku, kami berbincang tentang beberapa judul buku yang menarik perhatian kami. Salah satu buku yang kami obrolkan adalah Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP)nya  mbak HTR.

Ia lalu bercerita tentang kisah masa lalunya ketika kali pertama membaca buku itu, kesan mendalam yang membekas usai membaca buku itu, dan komitmen yang lahir usai membacanya sampai selesai. Ia bertanya, bagaimana caranya bisa mendapatkan buku KMGP cetakan lama seperti yang sedang ditimangnya ketika itu. Sayangnya, itu pertanyaan yang sulit dijawab karena saya sendiri hanya punya satu eksemplar setelah buku KMGP saya yang lama raib entah kemana. Saya menawarinya buku KMGP terbitan baru yang berwarna ungu tapi dia menolak. Auranya kurang, demikian katanya sambil tersenyum.

Setelah itu kami berbincang banyak tentang buku dan saya merekomendasikan beberapa judul untuknya. Ia juga menawari saya koleksi buku-bukunya di rumah. Supaya ada yang mbaca, katanya. Saya berterima kasih dan menyambut baik tawaran itu.

Ternyata, pertemuan saya dengan kaka Beno membuat saya tersadar bahwa saya nggak benci-benci amat sama cerpen. Cuman emang kurang suka aja hehe. Obrolan dengan kaka Beno ketika itu membuat saya jadi teringat dengan cerpen Ketika Mas Gagah Pergi yang kali pertama saya baca waktu masih SMA dulu itu. Sekitar tiga atau empat belas tahun yang lalu, kalo saya nggak khilaf. Saya meminjamnya dari seorang teman ketika itu.

Cerpen lain yang saya suka adalah Sepotong Senja Untuk Pacarku-nya om Seno, dan kumpulan cerpen Palestina berjudul Hingga Batu Bicara. Saya juga suka cerpen Kado Pernikahan-nya mbak Dian Yasmina Fajri, dan salah satu cerpen di buku kumpulan cerpen Republika yang berjudul Pembisik. Cerpen dengan akhiran yang tak terduga itu ditulis oleh Wisran Hadi.

Nah, jadi tulisan ini sebenarnya mau mbahas soal kaka Beno atau soal cerpen ya? Hehe.. [wahidnugroho.com]

Tanjung, Oktober 2015

Kamis, 22 Oktober 2015

Pagi Itu


Pagi itu, sebagaimana pagi-pagi yang lain, yu Gendis menangis. Ia ngambek karena nggak ada yang mau memandikannya. Istriku sedang berganti baju dan aku sedang mengangkut barang-barang ke dalam mobil. Aku dan istri nyaris berdebat sebelum akhirnya putri sulungku, Azka, mengambil alih menampung permintaan Gendis. Dengan lembut, dibujuknya sang adik untuk mandi. Ia lalu menuntun adik bungsunya itu membuka baju dan digiringnya ia ke dalam kamar mandi. Beberapa detik kemudian, terdengar suara jebar-jebur dari kamar mandi. Aku tidak memerhatikan bagaimana anak sulungku itu memandikan adiknya. Aku mencoba mempercayainya dan membiarkannya ngopeni adiknya.

Mbak Azka sekarang sudah berusia enam setengah tahun. Sudah kelas 1 SD dan sudah bisa membaca sendiri. Ia pembelajar yang cepat tapi mudah bosan. Meski tak jarang berlaku menyebalkan, ia bisa berbalik seratus delapan puluh derajat menjadi anak yang manis dan kakak yang penyayang kepada adik-adiknya. Berbeda dengan ci Fidel yang usilnya nggak karuan, mbak Azka cenderung protektif dengan adik-adiknya meski kalau egoisnya lagi kumat dia akan jadi kakak paling pelit sedunia.

Tadi siang, aku membaca buku Munif Chatib yang berjudul Bella, Sekolah Tak Perlu Air Mata. Buku itu merupakan sebuah novel yang bercerita tentang anak disleksia. Aku belum membacanya sampai tuntas, baru masuk ke bab empat, sepertinya. Dituturkan dengan sederhana dan ringkas, meski objek ceritanya nggak sesederhana dan seringkas gaya berceritanya. Ketika membaca di bagian awal buku itu, aku langsung teringat dengan momen ketika anak-anakku lahir ke dunia ini. Selain mbak Azka yang lahir ketika aku sedang shalat subuh di masjid RSUD Luwuk, kelahiran kedua adiknya aku saksikan secara langsung. Aku menggengam tangan istriku yang mengejang kuat-kuat ketika itu. Aku masih ingat dengan suasananya, udaranya, warna langitnya, bau-bauannya.

Kini, telah bertahun-tahun peristiwa yang menakjubkan itu berlalu. Aku sempat melihat-lihat foto anak-anak ketika mereka masih bayi dulu. Aku menonton video saat aku memandikan mbak Azka yang direkam oleh istriku, juga polah-tingkah adik-adiknya yang menggemaskan. Betapa semuanya begitu cepat lewat. Anak-anak semakin besar, usiaku pun semakin menua, meski aku merasa masih sangat muda. Sering aku mengamati anak-anak yang sedang bermain bersama yang kerap berakhir dengan pertengkaran dan tangisan. Memerhatikan mimik mereka ketika marah, atau menangis, dan tertawa. Di bening matanya, terpantul kepolosan yang tanpa dosa. Memandangi itu aku langsung teringat dengan dunia yang fana ini. Betapa beratnya masa depan kalian, nak.

Selesai membaca buku itu, aku menelepon istriku yang sedang berada di rumah orangtuanya di Simpong. Kutanya apakah anak-anak sudah makan atau belum, apakah ia sudah makan atau belum, apakah ia sudah belanja ini dan belanja itu atau belum, dan pertanyaan-pertanyaan lain. Sayup-sayup kudengar suara salah satu putriku di belakang sana. Usai menelepon, aku jadi terpikir untuk menulis sesuatu, dan jadilah tulisan ini. Aku tak tahu, tulisan ini membahas tentang apa. Kubiarkan semua mengalir begitu saja.

Semoga Allah senantiasa menjaga keluargaku, dan keluarga kita semua. Aamiin. [wahidnugroho.com]

Tanjung, Oktober 2015

Ci Fidel dan Buku-Buku di Rumah

Istriku bercerita tentang ci Fidel, putri tengahku, ketika ia sedang menjaga stand Rumah Baca Jendela Ilmu di lapangan depan kantor Perpustakaan Daerah kemarin.


“Bi, kemarin aku liat ci Fidel ngambil buku KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya, semacam novel karya anak-anak usia 10-15 tahun) trus dia buka-buka itu buku. Mukanya serius sekali, bi,” urai istriku.


“Waktu itu,” lanjutnya, “ada ibu-ibu pegawai Perpustakaan Daerah yang bilang ke aku, ‘Bagus ya anak-anaknya senang baca buku.’ Mungkin dia bilang begitu karena ngeliat ci Fidel yang lagi asyik baca. Langsung aku jawab ke ibu itu, ‘Dia belum bisa baca bu. Dia cuman liat-liat bukunya aja.’ Kayaknya ci Fidel udah waktunya diajarin mbaca, bi” pinta istriku.


Aku tersenyam-senyum sendiri saat mendengar cerita itu. Gambaran putri keduaku yang sedang membaca dengan berbagai posenya langsung membayang di kepala. Memang di antara ketiga anakku, putri tengahku ini adalah anak yang paling tekun, meski kecepatan menalarnya tidak seprogresif kakak dan adiknya. Dia juga anak yang paling cuek dan nggak terlalu ambil pusing sama lingkungannya. Dia tipe anak yang akan melakukan apa yang disukainya, berbeda dengan kedua saudarinya yang rada-rada jaim dan suka merhatiin apa kata orang tentang mereka.


Ci Fidel memang belum bisa membaca. Umurnya baru lima tahun setengah. Dia baru mengenal huruf dan masih kesulitan mengeja kata. Berbeda dengan kakaknya yang nyaris tidak kuajari membaca karena sudah bisa membaca sendiri sejak usia lima tahun, Fidel memang sengaja kudiamkan dan membiarkannya belajar sendiri. Sukur-sukur si kakak mau ngajarin walau ternyata si kakak malah asyik sendiri dengan kemampuannya.


Sering aku mendapati ci Fidel duduk di pojokan ruang tamu, angrem di atas kasur yang dilipat di situ, di tangannya ada komik Kobo Chan atau Detective Conan, dan dia ketawa-ketawa sendiri waktu membolak-balik halamannya. Waktu kutanya “Fidel lagi ngapain?” dia akan njawab “Lagi ngeliat buku, bi.” Dia menjawab “ngeliat buku” dan bukan “membaca buku” hehe. Jujur amat nih anak yak.


“Coba suruh mbak Azka buat ngajarin dia,” usulku kepada istriku. “Kali aja dia mau.”


Istriku manggut-manggut.


Obrolan tentang ci Fidel yang pengen bisa baca ini akhirnya jadi tema obrolan kami di mobil waktu mau mengantar anak-anak ke sekolah tadi pagi.


“Kayaknya kita memang perlu meluangkan waktu buat ngajarin dia mbaca, mi.”


“Iya, bi. Kasian anak itu udah suka mau baca tapi belum bisa-bisa,” jawab istriku.


Anak-anakku, apapun yang terjadi, harus kuajari membaca dan, lebih dari itu, mengajari mereka agar mencintai buku-buku yang kumiliki di rumah. Seorang teman yang memiliki koleksi buku ribuan di rumahnya pernah berkata kepadaku yang kurang lebih demikian: “Aku punya ribuan buku, tapi anak-anak dan istriku nggak ada yang suka membaca. Sepertinya aku harus bersiap jika kelak buku-buku itu akan bernasib seperti buku-buku Adam Malik, yang diloakkan secara kiloan setelah kepulangan pemiliknya karena generasi penerusnya nggak ada yang suka dengan buku.”


Dan perasaan akan tiadanya generasi yang akan merawat buku-bukuku ketika aku tiada kelak itu sedikit banyak menghantuiku juga. Sepertinya aku perlu membicarakan ini dengan istriku dan menunggu responnya seperti apa. Ini memang tugas yang nggak gampang. Dan juga berat. Sebagian orang mungkin akan mencibir tugas ini, menganggapnya nggak-penting-penting-amat dan menyarankanku untuk memikirkan tugas yang lain. Tapi tidak. Ini tugasku. Apapun kata orang soal tugas itu bukan masalah buatku. Tidak mengapa. Yang menjadi kekhawatiranku adalah soal buku-buku itu. Semoga kelak ketika mereka besar, mereka bisa membaca tulisanku ini dan memahami kekhawatiran abinya ini. [wahidnugroho.com]



Tanjung, Oktober 2015

Senin, 12 Oktober 2015

Lelaki Yang Menggambar Sebuah Pohon Kecil


Hari Sabtu sore, seorang lelaki tampak duduk di sebuah batu kali besar yang teronggok di bawah naungan pohon tanjung. Sebuah potongan papan dijadikannya alas duduk agar terasa nyaman. Angin mengalun lembut, membelai rumputan, mencumbui dedaunan. Alam bergerak bersama, beresonansi, bersimfoni. Lalu lintas yang melengkungi taman itu tidak terlalu ramai. Satu dua kendaraan berlalu. Segerombolan anak muda berjalan menuju kantor Telkom yang berjarak selemparan batu dari tempat lelaki itu duduk. Seorang pekerja bangunan tampak mengamati lelaki itu dari balik pondasi padepokan pencak silat yang pengerjaannya belum jua rampung setelah sekian lama itu.

Untuk mengisi waktu, awalnya lelaki itu ingin membaca buku sebagaimana kebiasaannya yang selalu membawa bahan bacaan di dalam tasnya. Tapi ternyata buku yang dicarinya itu tertinggal di mobil yang diparkir di pinggir jalan sana. Lelaki itu kemudian melongok lagi ke dalam tas selempangnya dan mendapati sebuah buku catatan berkaver hitam koral. Lelaki itu lalu mengeluarkannya, membuka kompartemen lainnya yang cukup banyak itu demi mencari pensil atau pulpen atau alat tulis apapun yang ada di sana. Ia lalu menemukan pulpen berujung kecil dengan tinta hitam yang sedikit meluber di bagian ujungnya. Matanya menerawang ke segala arah, mencari sesuatu yang bisa menggerakkan tangannya untuk menulis sesuatu. Atau menggambar sesuatu. Sebuah pohon tanjung, pohon palem, semak bunga bougenville, tiang listrik, rumput kering, tugu Adipura, aspal yang memantulkan cahaya matahari sore yang lembut, bayang-bayang Masjid Agung di balik rimbun pepohonan, semuanya itu belum juga membuat tangannya bergerak.

Tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah pohon kecil yang tumbuh tak jauh dari tempatnya duduk. Dipandanginya pohon kecil, sepertinya itu pohon tanjung, yang dedaunannya berwarna hijau tua itu. Desau angin menggoyang-goyangkan ujung daunnya. Seperti penari yang sedang melenggak-lenggokkan pinggul dan tangannya seirama nada. Sinar matari sore yang lembut memagut permukaan daunnya yang sedang bergoyang-goyang itu. Ratusan, atau bahkan mungkin ribuan, semut merayapi bagian bawah batang pohon kecil itu. Dunia lalu menciut menjadi hanya antara lelaki itu dan sebatang pohon kecil dihadapannya itu. Matanya yang sedari tadi tampak gelisah, kini tertuju tajam pada pohon kecil itu saja. Tangannya bergerak, jemarinya bergerak, isi kepalanya bergerak. Lelaki itu mulai menggambar sebuah sketsa.

Mulanya adalah sebuah daun, lalu dua buah, tiga buah, dan berlembar-lembar daun digambarinya. Ia lalu menarik garis lurus dari atas ke bawah, membuat batang dan cabang-cabangnya yang mungil, mengarsir beberapa bagian, dan membuat garis-garis yang membentuk tulang daun itu baik secara horizontal maupun diagonal. Sebuah gerobak bakso dengan suara dentingan sendok yang beradu dengan mangkok keramik melewati taman itu. Namun ia tampak bergeming, ajeg dengan pohon kecil yang sedang digambarnya kala itu.

Selesai menggambar pohon, meski tak sempurna, lelaki itu lalu menggambar potongan balok kayu yang tergeletak pasrah di dekat pohon kecil itu. Dibuatnya sebuah garis, lalu dua buah garis, dan garis-garis lainnya yang bersatu menjadi sebentuk trapesium berdimensi tiga. Diarsirnya beberapa bagian agar tampak dramatis dan dibuatnya sekerat bayangan yang jatuh di sisi sebelah kirinya, karena matahari berada di balik punggung lelaki itu yang terlindung oleh naungan rimbun pohon tanjung.

Setelah pohon dan balok, lelaki itu lalu menambahi aksen tanah dan rerumputan yang mengelilingi pohon dan balok itu. Mulanya ia menambah segaris di sebelah kanan, segaris di sebelah kiri, lalu dua tiga dan bertumpuk-tumpuk garis di sekitarnya hingga membentuk sekumpulan rumput. Atau setidaknya seperti itulah menurutnya.

Gambar itu belum usai ketika seorang lelaki lainnya berperawakan besar, memanggul tas punggung, dan bermata agak sipit mendatanginya dengan senyum terkembang. Lelaki itu menyudahi ritual menggambar pohon kecil, balok kayu, dan rerumputan yang sejak sepuluh menit terakhir menguasainya itu dan menyapa lelaki yang baru saja datang itu. Ia menggumam perlahan, hanya dirinya saja yang bisa mendengar suaranya, bahwa kerja hari ini ibarat menyemai sebuah bibit yang lahir dari kegelisahan, termasuk juga optimisme, yang selalu menyemang di dalam lubuk jiwanya yang terdalam. Jauh di dalam hatinya, lelaki itu merapalkan doa kepada Sang Pemilik Mayapada, agar diberinya ia kekuatan dan kesabaran, juga ketekunan dan kelapangdadaan, ketika membersamai tumbuh kembang bibit itu hingga bertemu dengan takdirnya, semoga takdir yang baik, di masa depan. Semoga. [wahidnugroho.com]

Kilongan, Oktober 2015