Rabu, 21 September 2011

Kamis, 15 September 2011

Tentang Anak-Anak Kita

Sebuah kabar gembira datang dari ipar saya (saudara kembar istri) sore tadi. Persalinan putri pertamanya berjalan dengan lancar dan bayi yang dilahirkannya pun sehat. Mertua saya mengabarkannya dengan kata-kata yang menghambur bak air bah, seperti biasa yang beliau lakukan ketika sedang dilanda kepanikan. Alhamdulillah. Saya dan istri bahagia mendengarnya.

Mendengar kabar itu, dini hari ini saya terdorong untuk membuka-buka beberapa koleksi foto kedua putri saya, Azka dan Fidel. Nggak terasa, keduanya semakin tumbuh dan berkembang. Polahnya semakin lucu dan menggemaskan, celotehannya semakin meramaikan hari, meski terkadang membuat hati dan badan pegal melihat aksi-aksi akrobatiknya. Bahkan mertua saya yang awalnya perhatian banget sama kerapihan rumahnya, sekarang cuek aja kalo kedua cucunya itu datang dan menghamburkan seluruh isi rumahnya.

Rumah kontrakan kami pun nasibnya nggak jauh beda dari rumah mertua. Mungkin sedikit lebih “parah” berhubung semua mainan dan buku-buku putri kami ada di sini semuanya. Malah saya sempat berkelakar dengan istri kalau rumah yang berantakan tandanya kedua putri kami sehat, dan, sebaliknya, rumah yang rapih tandanya kedua atau salah satu putri kami sakit.

Nyaris semua barang di rumah kami, yang memang sudah tak berperabot, bernasib menjadi mainan kedua putri saya. Mulai dari piring, gelas, sendok, garpu, sotil, panci, bejana minum, sumpit, buku-buku, handphone, keranjang pakaian, tempat pensil, sampai kardus tempat menyimpan sepatu dan sandal kami juga bernasib sama.

Terkadang, saat hati sedang keruh, “kekacauan” itu lumayan melelahkan hati. Tapi di lain sisi, saya cukup senang memerhatikan polah kedua putri saya ketika mereka sedang akur-akurnya. Entah apa yang mereka berdua pikirkan sehingga yang awalnya saling pukul dan menangis akhirnya kembali rukun dan tertawa bersamaan dengan celotehan yang hanya mereka berdua mengerti.

Saya memang bukan orangtua yang sempurna. Saya pun sesekali marah, kesal, dan dongkol  dengan aksi kedua putri saya. Saya akui itu. Kadang ketika sedang gemas-gemasnya, dan sudah kehabisan stok senyum dan kata serta kesabaran, kulit halus lembut mereka harus sedikit saya cubit untuk sekedar menahan mereka melakukan hal-hal yang berbahaya. Ketika air mata menganak sungai dan suara tangis mereka membahana, ada rasa bersalah di dalam diri ini. Saya pun mewajibkan diri untuk meminta maaf kepada keduanya ketika saya telah mencubit atau memarahi mereka.

Dalam sebuah kesempatan saya pernah melihat seorang ibu yang memarahi habis-habisan anak bayinya. Anak itu belum genap tiga tahun usianya, tapi sang ibu memarahi sang anak dengan hamburan kata-kata yang tak mungkin dapat dicerna anak seusianya. Ketika tangis sang anak meledak, ikut meledak pula kemarahan si ibu. Saya hanya mengelus dada saat melihat aksi sang ibu yang cukup menyita perhatian itu. Entah siapa yang harus saya kasihani, anaknya kah, atau sang ibu, atau malah keduanya?

Pemandangan itu telah mengajari saya tentang banyak hal. Anak-anak kita tetaplah anak-anak. Mereka memiliki dunia mereka yang sudah pasti berbeda dengan dunia kita sebagai orang dewasa. Mereka memiliki pola pikir yang kerumitan dan kedalamannya hanya mereka yang bisa mengurai dan mengukurnya. Keluguan dan kepolosan mereka, rasa ingin tahu yang meluap-luap yang kadang membahayakan jiwa mereka, adalah sketsa kehidupan yang mewarnai setiap desah nafas jiwa para orangtua. Tugas orangtua hanyalah mengarahkan agar sketsa itu bermetamorfosa menjadi lukisan terindah yang bisa membekali mereka untuk mengesankanNya kelak.

Mohon maaf bila tulisan ini tak memberikan makna apapun bagi Anda yang sudah meluangkan waktu untuk membacanya. Saya hanya ingin meluapkan emosi yang bergolak di hati ini saat memandang wajah cantik kedua putri saya. Wajah yang selalu mengisi hari-hari saya dengan beragam ekspresi yang tak terhingga nominalnya. Itu saja.


Simpong, September 2011

Minggu, 04 September 2011

Bincang Buku: Ranah Tiga Warna & The Historian

Alhamdulillah, di awal bulan ke sembilan Masehi ini ada dua buku lagi yang sudah saya tamatkan. Buku pertama saya tamatkan dalam jangka waktu 2 hari: Ranah Tiga Warna, dan buku ke dua saya tamatkan dalam jangka waktu yang lumayan lama – sekitar 3 bulan: The Historian.

***

Ranah Tiga Warna

Secara jujur saya akui bahwa baru Tetralogi Buru, buku serial karangan penulis lokal yang sudah pernah saya tamatkan. Selama ini, saya agak menghindari buku-buku fiksi dalam bentuk serial karena saya paling benci – dipaksa – menunggu (baca: penasaran) menamatkan sebuah buku dan kekhawatiran akan berubahnya kualitas buku yang pertama dengan yang ke dua, ke tiga, dan seterusnya. Lian Hearn adalah salah satu penulis yang membuat saya “frustasi” dalam hal ini. Trilogi Klan Otori yang sudah susah payah saya tamatkan, ternyata harus ditambah lagi dengan buku ke empat. Syukurlah saya hanya meminjam buku itu dari seorang teman, jadi saya tak perlu membeli buku ke empatnya, termasuk minat saya yang menguap untuk membacanya. Kita semua tentu masih ingat dengan antusiasme masyarakat ketika seri ke empat Tetralogi Laskar Pelangi belum diterbitkan dan euforia mereka saat bukunya sudah ada di pasaran. Saya tak termasuk dalam pusaran euforia itu, toh buku pertamanya saja belum saya tamatkan. Ini memang soal selera, dan saya tak suka jika selera baca saya harus diatur tempo dan dosisnya oleh sesuatu bernama Penerbit.

Negeri Lima Menara pun awalnya saya kira bukan buku serial. Mungkin ini karena kelengahan saya untuk menguliti buku ini secara lebih detail. Siapa tahu di satu dua sudut memang ada tulisan “buku sekian dari trilogi anu” yang dicantumkan penerbitnya. Saya hanya menemukan buku ini berada di dalam barisan buku-buku berdebu milik seorang kawan di Palu yang kamar kosnya sedang saya pinjam untuk sebuah keperluan. Buku berukuran agak tebal itu berhasil saya tamatkan dalam jangka waktu kurang dari 24 jam.

Ketika sampai di akhir buku, saya lumayan kecewa karena ternyata kisahnya belum selesai dan saya jadi “dipaksa” untuk menuntaskan rasa penasaran itu dengan cara menunggu buku selanjutnya terbit. Setelah sempat terlupa dengan kisah rinci di buku pertama, saya harus berterimakasih dengan seorang teman di kantor yang ternyata memiliki buku Ranah Tiga Warna ini. Setelah sempat saya diamkan beberapa hari, di hari pertama Lebaran, saya langsung membaca buku ini dengan rakus.

Ranah Tiga Warna berkisah tentang Alif di masa kuliahnya di Bandung. Suka dukanya Alif dalam meniti kehidupan perantau di bumi parahyangan terekam dengan cukup detail di sini, termasuk kisah merah jingganya dengan gadis berkilau yang tinggal di dekat kostnya. Kisah berkembang dengan pengembaraan Alif dalam program pertukaran pelajar ke Kanada, sebuah tempat di benua Amerika yang telah lama ia impikan untuk menginjaknya. Buku ini mengajarkan mutiara ke dua bernama Man Shabara Zhafira, setelah mutiara Man Jadda Wa Jadda di buku pertama, yang berarti siapa yang bersabar dia akan beruntung.

Alur dan isi cerita di dalam buku ini pun seiring sejalan dengan kilau mutiara itu. Bang Fuadi lumayan banyak menyajikan kisah pilu nan sendu dari perantauan Alif, termasuk ketika ayahandanya meninggal dan dirinya mengalami kesulitan finansial. Di sini pembaca akan mengalami pasang surut emosi ketika Alif, seorang yang dikenal di buku pertama memiliki kemauan dan tekad yang membaja harus berhadapan dengan cobaan hidup yang tak mudah. Namun dengan kesabaran dan pikiran positif, semua masalah dan cobaan hidup yang melandanya bisa dilewati, meski tak mudah, bahkan memberikan banyak sekali bekalan hidup bagi Alif. Jujur saja, saya jadi termotivasi dan tergugah dengan beberapa keping kisah si Alif dan segala pernak-perniknya.

Memang ada beberapa bagian yang cukup lebay di buku ini, tapi itu bukan masalah bagi saya. Saya suka dengan narasi penulis, guyonan-guyonan dan celetukannya, dan semua penulis asal Sumatera Barat memang memiliki warna uniknya tersendiri dalam menarasikan dan melabelisasikan sesuatu. Penulis juga menyelipkan dosis merah-jingga yang lumayan berimbang dan proporsional di buku ini. Meski di penghujungnya dosis itu terasa agak menguat.

Akhir kisah ini agak klise dan lumayan gampang ditebak. Tapi saya tidak akan tulis akhirnya di sini, jadi silakan saja Anda nikmati sendiri bukunya.

***

The Historian

Berawal dari beberapa pucuk surat dan sebuah buku tua yang tergeletak di atas lemari perpustakaan pribadi ayahnya, seorang gadis muda melakukan penelusuran yang berliku dari sebuah kepingan sejarah di masa lalu yang belum tersusun secara lengkap hingga hari ini. Kisah berkembang dengan “wawancara” sang gadis dengan ayahnya sambil mengunjungi beberapa negara Eropa yang eksotis, mistis dan romantis. Dari kisah-kisah yang dituturkan sang ayah tentang masa lalunya yang gelap, maka dimulailah perburuan kepingan sejarah yang kelam itu sampai akhirnya mengantarkan mereka pada sumber kegelapan itu untuk kemudian memusnahkannya: Vlad Tepes si Penyula atau yang dikenal dengan nama Dracula.

Butuh waktu nyaris tiga bulan bagi saya untuk menamatkan buku yang sangat, sangat luar biasa ini. Membaca buku ini saya diajak untuk berkunjung ke negeri-negeri kuno di Eropa Tengah, menikmati aroma masa lalu dari tumpukan buku dan manuskrip-manuskrip antik di perpustakaan-perpustakaan besar Eropa yang berdebu, serta mengunjungi beberapa situs bersejarah dunia Kristen abad pertengahan yang diselimuti aroma mitos, legenda dan kisah-kisah takhayul seputar abad pertengahan, termasuk seluk-beluk kehidupan Dracula. Asyiknya buku ini tidak melulu soal kekejaman Dracula yang legendaris, tapi juga aspek politik, ekonomi, dan sosio-kultural Sang Penyula disajikan secara gamblang oleh penulisnya, termasuk perseteruan sepanjang hayatnya dengan Sultan Mehmed II Sang Penakluk (Muhammad Al Fatih) di Kostantinopel. Enam ratus halaman lebih sudah saya baca, tapi rasa penasaran – sekaligus ketakutan – saya belum juga terpenuhi, apakah Dracula benar-benar masih hidup di zaman modern ini?

Elizabeth Kostova konon memerlukan waktu – bayangkan – sepuluh tahun untuk menyelesaikan buku ini. Aroma buku ini sangat kelam, seram, tapi juga menggairahkan. Kostova sangat paham kapan dan dimana ia menempatkan gairah yang menggebu akan pengetahuan tentang sejarah dan kapan ia harus menempatkan horor yang mencekam dan memucatkan wajah. Terkadang, kisah horor itu agak sedikit terlupakan karena rasa ingin tahu akan bagian sejarah yang belum terkuak begitu kuat berdesakan di dalam tempurung akal saya.

Maka tak heran kalau setiap bagiannya ditulis dengan sangat detail, rinci, dan sangat menguasai tema yang berlipat-lipat. Saya sampai bisa merasakan kecutnya susu kambing yang disajikan Baba Yanka di sebuah desa di pedalaman Bulgaria kepada Paul, ayah sang gadis muda itu karena saking jelas narasi penulisnya. Oh iya, buku ini akan terasa nikmat bila dikrikiti pelan-pelan. Anda tentu takkan melewatkan pesona tanah Eropa yang dideskripsikan secara gamblang oleh Kostova.

Buku ini, menurut saya, seolah ingin mengatakan bahwa rasa ingin tahu terkadang bisa membunuh kita. Bisa dalam artian secara harfiah bisa sebaliknya. Kadang ada bagian dalam parade sejarah dunia yang panjang yang tidak ingin kita ketahui padahal ia nyata terjadi. Kisah-kisah hitam yang terjadi dalam sejarah manusia, bahkan dalam sejarah agama, perlu kita sikapi dengan arif dan bijaksana agar ada pelajaran dan hikmah yang bisa kita ambil darinya. Pengabaikan sejarah hitam nan kelam yang nyata terjadi itu justru akan semakin menjauhkan kita dari hakikat kemanusiaan yang memang tak lepas dari salah dan dosa serta menyuburkan benih-benih dendam kesumat yang menuntut kita untuk dibalaskan sampai tuntas.

Tak banyak yang bisa saya sajikan di tulisan ini. Saya merasa, suara dentangan lonceng di biara-biara di balik pegunungan Bulgaria, atau aroma kuno tanah Hongaria, serta bau debu manuskrip langka di perpustakaan Istanbul masih begitu menguasai indra ini.Selebihnya silakan Anda nikmati sendiri citarasanya.


Simpong, September 2011