Kamis, 15 September 2011

Tentang Anak-Anak Kita

Sebuah kabar gembira datang dari ipar saya (saudara kembar istri) sore tadi. Persalinan putri pertamanya berjalan dengan lancar dan bayi yang dilahirkannya pun sehat. Mertua saya mengabarkannya dengan kata-kata yang menghambur bak air bah, seperti biasa yang beliau lakukan ketika sedang dilanda kepanikan. Alhamdulillah. Saya dan istri bahagia mendengarnya.

Mendengar kabar itu, dini hari ini saya terdorong untuk membuka-buka beberapa koleksi foto kedua putri saya, Azka dan Fidel. Nggak terasa, keduanya semakin tumbuh dan berkembang. Polahnya semakin lucu dan menggemaskan, celotehannya semakin meramaikan hari, meski terkadang membuat hati dan badan pegal melihat aksi-aksi akrobatiknya. Bahkan mertua saya yang awalnya perhatian banget sama kerapihan rumahnya, sekarang cuek aja kalo kedua cucunya itu datang dan menghamburkan seluruh isi rumahnya.

Rumah kontrakan kami pun nasibnya nggak jauh beda dari rumah mertua. Mungkin sedikit lebih “parah” berhubung semua mainan dan buku-buku putri kami ada di sini semuanya. Malah saya sempat berkelakar dengan istri kalau rumah yang berantakan tandanya kedua putri kami sehat, dan, sebaliknya, rumah yang rapih tandanya kedua atau salah satu putri kami sakit.

Nyaris semua barang di rumah kami, yang memang sudah tak berperabot, bernasib menjadi mainan kedua putri saya. Mulai dari piring, gelas, sendok, garpu, sotil, panci, bejana minum, sumpit, buku-buku, handphone, keranjang pakaian, tempat pensil, sampai kardus tempat menyimpan sepatu dan sandal kami juga bernasib sama.

Terkadang, saat hati sedang keruh, “kekacauan” itu lumayan melelahkan hati. Tapi di lain sisi, saya cukup senang memerhatikan polah kedua putri saya ketika mereka sedang akur-akurnya. Entah apa yang mereka berdua pikirkan sehingga yang awalnya saling pukul dan menangis akhirnya kembali rukun dan tertawa bersamaan dengan celotehan yang hanya mereka berdua mengerti.

Saya memang bukan orangtua yang sempurna. Saya pun sesekali marah, kesal, dan dongkol  dengan aksi kedua putri saya. Saya akui itu. Kadang ketika sedang gemas-gemasnya, dan sudah kehabisan stok senyum dan kata serta kesabaran, kulit halus lembut mereka harus sedikit saya cubit untuk sekedar menahan mereka melakukan hal-hal yang berbahaya. Ketika air mata menganak sungai dan suara tangis mereka membahana, ada rasa bersalah di dalam diri ini. Saya pun mewajibkan diri untuk meminta maaf kepada keduanya ketika saya telah mencubit atau memarahi mereka.

Dalam sebuah kesempatan saya pernah melihat seorang ibu yang memarahi habis-habisan anak bayinya. Anak itu belum genap tiga tahun usianya, tapi sang ibu memarahi sang anak dengan hamburan kata-kata yang tak mungkin dapat dicerna anak seusianya. Ketika tangis sang anak meledak, ikut meledak pula kemarahan si ibu. Saya hanya mengelus dada saat melihat aksi sang ibu yang cukup menyita perhatian itu. Entah siapa yang harus saya kasihani, anaknya kah, atau sang ibu, atau malah keduanya?

Pemandangan itu telah mengajari saya tentang banyak hal. Anak-anak kita tetaplah anak-anak. Mereka memiliki dunia mereka yang sudah pasti berbeda dengan dunia kita sebagai orang dewasa. Mereka memiliki pola pikir yang kerumitan dan kedalamannya hanya mereka yang bisa mengurai dan mengukurnya. Keluguan dan kepolosan mereka, rasa ingin tahu yang meluap-luap yang kadang membahayakan jiwa mereka, adalah sketsa kehidupan yang mewarnai setiap desah nafas jiwa para orangtua. Tugas orangtua hanyalah mengarahkan agar sketsa itu bermetamorfosa menjadi lukisan terindah yang bisa membekali mereka untuk mengesankanNya kelak.

Mohon maaf bila tulisan ini tak memberikan makna apapun bagi Anda yang sudah meluangkan waktu untuk membacanya. Saya hanya ingin meluapkan emosi yang bergolak di hati ini saat memandang wajah cantik kedua putri saya. Wajah yang selalu mengisi hari-hari saya dengan beragam ekspresi yang tak terhingga nominalnya. Itu saja.


Simpong, September 2011
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar