Senin, 15 Februari 2016

Menjadi Wajar di Zaman Yang Makin Kurang Ajar

“Abi,” sulung saya memanggil. Di tangannya ada beberapa buah kedondong yang baru dipetiknya dari pohon di depan rumah.

“Mbak Azka mau kupas kedondong ini pakai pisau yang ada di sana,” katanya seraya menunjuk ke arah ruang tengah; ada kulit kedondong, sebuah piring plastik, dan dua buah pisau di sana, pertanda sudah ada yang mengupas kedondong sebelumnya dan meninggalkannya begitu saja.

Saya tidak langsung menyetujui permintaannya dan bertanya apakah ia siap menerima konsekuensi dari bermain pisau: jari terluka dan sebagainya. Ia berkata siap. Saya mengizinkannya dan membiarkan ia mengupas kedondong bersama seorang temannya. Saya kembali membaca sambil menyandarkan punggung sambil sesekali melirik ke arah putri sulung saya yang sedang mengupas kedondong yang berjarak sekitar enam atau tujuh langkah dari tempat saya duduk itu.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara mengaduh dari ruang tengah. Refleks, saya langsung menengok ke sana. Meski sudah mengantisipasi perkara jari terluka karena bermain pisau sebelumnya, saya tetap berharap agar jari sulung saya tidak kenapa-kenapa. Tapi harapan saya meleset. Beberapa detik kemudian, Azka berjalan ke arah saya dengan wajah meringis, tangan kanannya memegangi jari telunjuk kirinya yang tampak berdarah.

Saya memandanginya tanpa suara. Ia tampak mengerti dengan pandangan saya dan berkata, “Abi, tangan mbak Azka kena pisau tapi tidak sakit.”

Bibirnya tampak bergetar dan kelopak matanya tampak berkedut ketika mengatakan itu. Sepertinya ia telah mengumpulkan segenap keberaniannya untuk mengatakan hal yang bisa jadi berlawanan dengan yang dirasakannya.

“Tadi abi sudah bilang untuk hati-hati, kan?”

Ia mengangguk.

“Cuci tanganmu. Simpan pisaunya,” perintah saya yang langsung diikuti dengan segera olehnya.

Dalam perjalanan pulang, perkara jari Azka yang teriris pisau itu jadi bahan obrolan saya dan istri. Kami berdua sepakat bahwa jari anak perempuan yang teriris pisau ketika memotong sesuatu adalah dua hal yang wajar. Sesuatu yang udah-dari-sononya. Bahwa sebagai perempuan, adalah wajar jika jarinya pernah teriris pisau. Bahwa sebagai perempuan, adalah wajar jika salah satu – sekali lagi: salah satu – tugas dan fungsinya ketika dewasa kelak adalah berkutat di dapur, membuatkan makanan untuk suaminya dan anak-anaknya. Bahwa sebagai perempuan, adalah lumrah jika pisau adalah salah satu mitra kerjanya yang harus ia serateni dan kuasai benar-benar di masa mendatang. Jari seorang anak gadis yang teriris pisau adalah sebuah kelumrahan, sesuatu yang mendekati kodratnya selaku seorang perempuan. Termasuk soal anak perempuan yang prigel ngopeni rumah dan mengurus suami serta anak-anaknya. Setidaknya itu bagi saya, bagi istri saya, dan bisa jadi bagi sebagian besar daripada kita.

Jari yang teriris itu hanya contoh tentang kewajaran. Anak perempuan yang bisa memasak juga salah satu bentuk kewajaran lainnya. Mengajari anak perihal agama juga hal-hal yang wajar dilakukan oleh para orangtua kepada anak-anaknya.

Namun sekarang, hal-hal yang dulunya tabu dan saru kini berbalik menjadi lumrah dan wajar, bahkan layak diperjuangkan. Pernikahan sejenis itu salah satu contoh ketidakwajaran yang akhir-akhir ini sedang dipaksakan agar menjadi wajar oleh sebagian kalangan yang mungkin pikirannya sudah pindah ke (maaf) pantat.

Saya tidak tahu, ke depannya akan jadi apa dunia yang makin lama makin kurangajar ini. Perilaku-perilaku menyimpang itu, ketidakramahan itu, tontonan-tontonan sampah itu, kebingungan-kebingungan itu, semoga Allah mudahkan para orangtua, terutama saya, untuk membekali anak-anak kita dalam menghadapinya kelak. Amin.[wahidnugroho.com]


Kilongan, Februari 2016