Rabu, 31 Desember 2014

Mari Bersemangat Untuk Belajar Al Qur'an

Libur panjang kemarin, ada pelatihan bertajuk Standarisasi Guru Al Quran TPA/TKA dengan metode Tilawati selama dua hari. Acara yang dihelat oleh Yayasan Mitra Insan Madani bersama dengan Badan Koordinasi TPA Kabupaten Banggai dan Pesantren Nurul Falah Surabaya ini berlangsung di gedung KONI yang kini bertempat di belakang kantor Dinas Perikanan. Acara pelatihan ini ditujukan kepada guru PAUD dan para pengajar TPA sekota Luwuk agar tercipta standarisasi pengajaran Al Qur’an sesuai dengan standar ala Tilawati. Meski sempat tertarik untuk ikut sejak beberapa pekan yang lalu, saya sendiri tidak ikut acara itu karena hari Rabunya saya masih masuk kantor dan keesokan harinya ada keperluan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan.

Sehari sebelum acara berlangsung, saya menawarkan kepada takmir masjid dan imam ke tiga masjid BTN Muspratama agar hadir menjadi wakil dari TPA Muspratama. Namun kedua orang itu berhalangan. Saya meminta nama guru mengaji di komplek yang bisa diajukan untuk mengikuti acara itu yang justru dijawab agar istri saya saja yang ikut. Istri saya, well, dia memang saya dorong untuk ikut. Setelah pak takmir berkata demikian, saya berpesan kepadanya bahwa ia akan mewakili TPA BTN Muspratama meski dengan mewakili saya, selaku sekretaris yayasan MIM, pun sebenarnya sudah lebih dari cukup. Singkat cerita, istri sayalah yang akhirnya hadir di acara pelatihan itu.

Acara pelatihannya berlangsung meriah. Wakil Bupati Banggai, bapak Herwin, yang membuka acara. Saya sendiri tidak ikut acara pembukaannya karena harus ke kantor. Pesertanya kurang lebih enam puluhan orang yang terdiri dari wajah-wajah yang cukup familiar dengan saya. Ada pak ustadz Yunus yang imam masjid BTN Nusagriya, ada teman pengajar TPA di masjid Kampung Baru, dan wajah-wajah lain yang biasa saya temui dalam acara-acara yang dihelat komunitas pengajar TPA di kota Luwuk ini, termasuk beberapa qori yang pernah saya dapati wajahnya dalam satu dua kesempatan. Selain itu, saya juga melihat guru-guru KBIT dan SDIT Madani yang juga jadi pesertanya. Wajar, karena acara ini memang ditujukan untuk mereka. Termasuk imam masjid Al Ukhuwwah Tanjung, ustadz Rahmat Al Hafidz, yang juga guru tahfidz anak-anak Madani, demikian kami biasa menyebut sekolah itu.

Pelatihan di hari pertama selesai menjelang Maghrib. Dalam perjalanan pulang, saya mendengar kesan-kesan dari istri dan teman-temannya yang pulang bareng mobil kami. Saya memberikan beberapa saran kepada guru-guru yang bersemangat ini tentang tips-tips memiliki bacaan Al Qur’an yang baik dan benar. Tips-tips yang ternyata diamini para guru itu karena ternyata para trainer dari Tilawati pun mengatakan hal yang kurang lebih sama. Hari pertama, seingat saya, dihadiri oleh lebih dari 60-an peserta.

Pelatihan hari ke dua, yang jumlah pesertanya ternyata agak berkurang menjadi sekitar 55-an peserta, diisi dengan tema-tema aplikatif seperti metode pembelajaran, microteaching, dan juga munaqosyah sebagai ajang penilaian apakah bacaan Al Qur’an mereka selama ini sudah sesuai standar atau masih ada yang harus diperbaiki. Saya memantau kegiatan para peserta pelatihan melalui grup whatsapp yang saya ikuti, berhubung semua anggota grup adalah juga peserta pelatihan, kecuali saya. Melihat para ustadz dan ustadzah yang bersemangat untuk mempelajari Al Qur’an membuat saya jadi ikutan bersemangat. Saya bersyukur bahwa di antara sekian banyak orang yang ada di Luwuk ini, masih ada cukup banyak orang yang punya kepedulian dengan Al Qur’an, yang dalam hal ini adalah para pengajar TPA dan guru-guru PAUD.

Acara munaqosyah sendiri berlangsung hingga malam dan penutupan serta pengumuman siapa-siapa saja yang bacaannya sudah sesuai standar Tilawati. Tercatat, dari sekitar lima puluhan peserta, hanya ada 6 orang yang kualitas bacaan Al Qur’annya sudah sesuai standar. Keenam orang itu empat di antara saya kenal, namun dua yang lain tidak. Saya sendiri tidak heran dengan hasil yang diumumkan oleh para trainer dari Tilawati meski agak kaget juga bahwa ada satu dua wajah, para qori, yang ternyata bacaannya masih jauh dari standar. Memang kalau boleh jujur, tanpa bermaksud merasa diri sudah lebih baik dari orang-orang itu, saya melihat bahwa masih banyak sekali para imam masjid di kota Luwuk ini yang kualitas bacaan Al Qur’annya masih belum benar. Mereka memang pembaca yang baik, bacaan mereka merdu, tapi banyak yang tidak benar. Kalau dihitung-hitung, mungkin hanya satu dua masjid saja yang punya imam dengan kualitas bacaan Al Qur’an sesuai dengan standar ilmu tajwid. Beberapa masjid yang kualitas bacaan imamnya benar adalah masjid Al Ukhuwwah Tanjung, Imam ke 2 dan ke 3 Masjid Agung Luwuk, tetangga saya yang juga imam ke 2 Masjid Ar Rahman BTN Muspratama, Imam Masjid Al Manshurah di depan kantor Depag Kampung Baru, dan imam utama masjid BTN Kilo Lima. Selebihnya, bacaan para imam masjid di daerah ini masih sangat jauh dari ideal. Beberapa di antaranya bahkan punya kualitas bacaan yang sangat buruk. Ini masih di dalam kota Luwuk, belom ke luar kota. Kondisi ini seharusnya jadi catatan bagi pihak yang berwenang dan memiliki kompetensi agar hal-hal semacam kualitas bacaan para imam masjid bisa lebih diperbaiki di masa mendatang dengan mengesampingkan hal-hal seperti relasi dan rasa tidak enak yang cenderung berekses negatif.

Istri saya sendiri ketika hasilnya diumumkan ternyata tidak sesuai harapannya, meski saya tidak kaget dengan kualitas bacaan Al Qur’annya yang masih belum ideal khususnya pada beberapa bagian yang sulit seperti makhorijul huruf dan ayat-ayat gharibah. Apa yang saya dapatkan dari acara pelatihan itu, khususnya yang terjadi pada istri saya, membuat saya punya tugas ekstra untuk lebih memperhatikan kualitas bacaan Al Qur’annya. Itulah sebabnya, paska pelatihan itu, istri saya jadi lebih banyak bertanya soal hukum-hukum tajwid dan bagaimana cara membacanya ketika ia selesai mengaji dan saya sedang ada di dekatnya. Saya menyarankan kepadanya agar mengesampingkan dulu nama-nama hukum dan lebih berkonsentrasi pada cara membaca yang benar. Karena untuk apa kita hapal seabreg hukum tajwid jika kita tidak tahu cara melafalkannya dengan benar?

Saya juga menyarankan kepada istri saya agar informasi tentang metode ini disampaikan kepada ibu-ibu majelis taklim di komplek. Saran yang akhirnya dijalankannya dengan sebuah kesimpulan bahwa saya diminta untuk mengajari ibu-ibu komplek mengaji. Saya agak keberatan dengan permintaan yang berat itu karena masih ada ustadz Yunus, imam masjid BTN Nusagriya, yang sudah lulus standarisasi Tilawati tempo hari sedangkan saya tidak mengikuti pelatihan itu. Kalau mau dikorek-korek lagi, sebenarnya ada banyak sekali orang yang ingin belajar membaca Al Qur’an dengan benar. Jauh sebelum pelatihan Tilawati ini diadakan, saya sempat membuat acara tahsin (semacam pengajian membaca Al Qur’an) bersama teman-teman kantor yang diadakan di mushala kantor pada bulan puasa kemarin. Meski pesertanya tidak banyak, saya melihat bahwa adanya sebuah lembaga tahsin merupakan sebuah keniscayaan di kota ini. Apalagi kalau melihat kondisi para imam masjid sebagaimana yang sudah saya tulis di atas.

Saya menulis seperti ini bukan berarti karena saya lebih baik dari para imam tersebut, atau tahu lebih banyak daripada orang-orang yang saya sebutkan sebelumnya. Bukan. Saya hanya prihatin dengan kondisi kaum muslimin di Luwuk yang semangat belajar Al Qur’annya cukup tinggi namun tidak bisa diakomodir secara optimal oleh orang-orang yang berkompeten. Beberapa tahun yang lalu, yayasan kami, Mitra Insan Madani, pernah membuat sebuah lembaga tahsin dan tahfidz Al Qur’an yang pada perkembangannya mandeg karena kesibukan pengelolanya. Saya sempat meminta kepada para pengelola tersebut agar kembali duduk bersama untuk membahas pengembangan lembaga itu dan hajatnya yang besar untuk daerah ini di masa depan. Sebuah permintaan yang sampai detik ini masih menjadi masalah yang harus dicari jalan keluarnya.

Ala kulli haal, mari kita bersemangat mempelajari Al Qur’an, termasuk juga mengajari istri dan anak-anak kita membaca Al Qur’an dan menularkan kecintaan atas Al Qur’an kepada mereka. Karena salah satu karakteristik manusia yang rabbani adalah “..karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”, sebagaimana yang telah Allah swt firmankan dalam surat Ali Imran ayat 79. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Desember 2014 
Semacam catetan acakadut

Selasa, 30 Desember 2014

Istriku Seleraku

Siang itu saya dan istri baru saja menghadiri pesta pernikahan seorang teman. Dalam perjalanan pulang, saya bertanya kepada istri tentang busana yang dikenakan teman-teman akhwatnya. Saya tanyakan bagaimana kesannya tentang busana-busana itu dan apakah ia mau mengenakan busana-busana semacam itu. Busana yang saya maksud adalah setelan gamis berbahan jersey dengan jilbab bergo yang berbahan sama. Busana muslim yang sedang ngetrend akhir-akhir ini sebagai ekses dari sinetron-sinetron, anggap saja, islami yang bertebaran di televisi. Artis cantik berjilbab lebar yang wajahnya kerap wara-wiri di layar kaca dengan mengenakan busana itu menjadi agen promotor yang tepat. Meski saya benci sinetron, namun saya akui bahwa busana muslim seperti itu memang bagus dan menutup lekukan tubuh wanita dengan cukup baik, dengan catatan asal bahannya nggak tipis dan transparan.

Kembali ke soal dialog. Istri saya ketika ditanya seperti itu ia justru balik bertanya, “Abi suka kalau aku pake gamis macam itu?”

Ini yang saya suka darinya. Ketika saya menanyakan tentang sesuatu yang terkait dengan penampilannya, ia sering bertanya kembali apakah saya suka jika ia mengenakan busana itu atau nggak. Ketika ia bercerita tentang jilbab-berwarna-gelap-yang-lebarnya-kayak-sprei saya bertanya apakah ia mau memakai jilbab seperti itu. Ia menjawab dengan kembali bertanya kepada saya sebagaimana yang sudah saya tulis di atas. Kalau soal jilbab yang saya maksud barusan, saya memang melarangnya memakai jilbab seperti itu karena “Nanti kamu keliatan kayak Peni.” Peni – well, nama aslinya adalah Vini dan Peni adalah nama “tenarnya” hehe – adalah kembaran istri saya yang juga berjilbab lebar.

Soal busana istri, saya memang suka dengan penampilannya yang tampak old fashion meski tetap chicky dan trendy. Saya suka kalau ia berjilbab polos yang ditempeli bros sederhana dengan gamis atau setelan katun warna-warni yang membuat dirinya tampak seperti akhwat SMA meski (baru) beranak tiga hehe. Saya kurang suka kalau ia memakai jilbab yang terlalu panjang, atau terlalu lebar. Saya juga kurang suka kalau ia memakai pakaian berwarna gelap seperti dongker, cokelat tua, dan hitam. Saya suka ia yang tampil dengan sederhana, biasa-biasa saja, tapi tetep syar’i dan, kata orang jawa, mantesin.

Saya lebih suka kalau ia memakai pakaian yang berwarna-warni, tanpa make up seperti bedak, lipstik, dan kosmetik aneka rupa. Pernah ia membeli produk kosmetik merk tertentu yang katanya – well, sebenernya sih kata temen-temennya hehe –  bisa bikin wajah begini dan begitu. Saya keberatan dan saya bilang kepadanya bahwa “Wajahmu itu wajah kampung. Gak perlu dipoles ini itu udah mulus dari sononya. Cukup dicuci pake air dan dirawat pake bahan-bahan tradisional aja sesekali.” Ia awalnya tampak meragukan pendapat saya. Tidak masalah. Akhirnya ia jadi juga memakai produk itu dan wajahnya jadi tampak “belepotan”. Jerawat tumbuh di sini dan di sana. Ada warna kehitaman yang timbul di salah satu sudut wajahnya. Kosmetik itu mungkin nggak cocok dengan kulitnya yang “ndeso”. Ia pun meninggalkan kosmetik itu dan berkata kepada saya “Iya ya bi, aku nggak cocok pake kosmetik ini itu” dan akhirnya memilih madu dan air biasa untuk membersihkan wajahnya beberapa hari sekali. Saya sering bilang kepadanya “Jadi besok-besok pas kamu ditanya sama temen-temenmu bagaimana caranya mukamu bisa mulus kayak gitu, lebih baik kamu jawab ‘Aku nggak pake apa-apa. Cuman pake air dan madu aja’ ato kamu jawab dengan ‘Aku pake kosmetik ini dan itu dan sebagainya dengan harga sekian dan sekian’? Coba kamu pikir baik-baik.

Jadi, istri saya adalah selera saya. Bisa jadi, selera saya yang terejawantahkan padanya nggak ngetrend-ngetrend amat. Ndak apa-apa. Bisa jadi selera saya itu nggak ngikutin perkembangan mode terbaru. Ya ndak masalah tho? Yang penting tetep menutup aurat dan nggak nunjukkin lekukan tubuh itu sudah lebih dari cukup, dan pastinya lebih menentramkan. Karena kualitas seorang muslimah bukan dilihat dari apa merk kosmetiknya, berapa harga gamisnya, dan seberapa banyak koleksi tas dan sepatunya. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Desember 2014

Jumat, 05 Desember 2014

Mencintai Setelah Menikahi

Mencintai setelah menikahi, benarkah? Atau, bisakah?

Pertanyaan semacam itulah yang kerap menghantui pikiran para pemuda (dan mungkin juga pemudi) yang hendak memutuskan untuk melangsungkan pernikahan tanpa dilandasi cinta sebelum akad diucapkan. Di tengah-tengah kampanye menikah atas nama cinta yang tersemat pada lagu-lagu cinta, film dan drama-drama romantis, serta buku-buku novel merah jambu yang banyak bertebaran di sekitar kita, memilih untuk menikah tanpa dilandasi cinta sebelumnya bisa jadi pilihan yang, bagi sebagian orang, sekali lagi bisa jadi, bodoh. Dan naif.

Saya mungkin termasuk dari salah satu orang yang naif itu. Karena proses pernikahan saya dengan istri memang tidak dilandasi cinta. Saya lebih senang menyebut bahwa pernikahan saya diawali oleh sebuah niat, yang insya Allah, baik. Bahwa saya ingin menikah karena ingin lebih menjaga diri dari sesuatu yang saya takutkan akan saya lakukan bila saya tidak segera menikah.

Maka demikianlah jadinya. Saya dikenalkan pada calon istri saya, ketika itu, oleh seorang ustadzah yang saya tahu kebaikannya. Kami lalu memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius: ta’aruf atau perkenalan. Setelah bertukar biodata dan melakukan beberapa pertemuan dengan keluarga calon istri, serta meminta kekuatan hati kepadaNya, saya lalu memutuskan untuk mengkhitbahnya (melamar) tak sampai dua pekan setelah saya dan dirinya memutuskan untuk berta’aruf. Sebulan kemudian, kami pun menikah. Pada sebuah sore yang syahdu di rumah mertua, saya mengucapkan janji suci itu di hadapan penghulu, keluarga, dan juga teman-teman yang menemani saya. Sekarang, saat ketiga anak kami telah lahir, tumbuh besar, dan mengisi hari-hari kami selama ini, saya kerap bertanya-tanya, benarkah saya sudah mencintainya, perempuan yang saya nikahi nyaris tujuh tahun silam itu?

Ketika perenungan saya semakin intens dan dalam, pertanyaan saya pun berganti menjadi: cinta itu sebenarnya apa sih? Bagaimana wujudnya, aroma, dan teksturnya? Jika memang saya telah berhasil mencintai istri saya setelah ijab kabul itu diucapkan, maka indikatornya apa? Apakah saat saya bekerja dari pagi sampai sore, mencari uang tambahan dengan menjual ini dan itu baik di dunia maya dan dunia nyata, mencari peluang dengan merencanakan ini dan itu meski ada beberapa rencana yang kandas dan gagal, seperti itukah yang dikatakan cinta? Apakah ketika istri saya masih tertidur pulas karena kelelahan mengurus rumah lalu saya bangun terlebih dulu, merapihkan kasur dan bantal tempat saya tidur di ruang tamu, lalu pergi ke dapur dan membuatkan pisang goreng untuk anak-anak dan membangunkan istri dan anak-anak saya ketika pisang goreng telah siap, itukah cinta? Atau saat saya secara spontan ingin mencuci piring dan ngoseki kamar mandi ketika istri saya tidak sempat melakukannya, itukah cinta? Atau saat saya melihat buku-buku yang berserakan tak karuan di ruang tamu, kamar tidur, dan sudut-sudut rumah yang lain, lalu saya bangkit dan merapihkan semua buku-buku itu kembali ke tempatnya semula, itukah cinta? Atau ketika saya memandangi wajah istri saya dengan perasaan yang tak bisa saya tahu maknanya, mengusapi dahinya dengan lembut, mengacak-acak rambutnya yang harum, dan memeluk tubuhnya tanpa sebab saat kami tidur bersisian pada suatu malam, bisakah itu saya sebut sebagai sebuah cinta? Atau saat ia pergi ke luar kota sendirian selama beberapa hari karena saya tak bisa menemaninya dan saya khawatir bila terjadi apa-apa dengannya, itukah cinta? Atau saat saya sendiri yang pergi beberapa hari atau pekan ke luar kota untuk suatu urusan, lantas saya merindukan suara dan sentuhannya, itukah cinta?

Jika semua itu memang cinta, atau setidak-tidaknya bisa kita sebut sebagai pengejawantahan cinta, maka mungkin memang demikianlah adanya. Sehingga saat suatu malam istri saya bertanya apakah saya mencintainya, saya pun menjawabnya dengan agak ragu, karena saya sendiri belum yakin apakah semua hal yang telah saya lakukan untuknya, ucapkan kepadanya, dan pikirkan atasnya adalah cinta itu sendiri? Atau harus ada bentuk cinta lain yang harus saya usahakan sehingga saya pun bisa menjawab pertanyaan yang sederhana itu dengan penuh percaya diri: Ya, saya cinta sama kamu!

Saya pernah mendengar sebuah kajian bahwa cinta itu adalah sesuatu yang abstrak. Karena ia abstrak, maka tak bisa diukur dengan sesuatu yang kongkrit. Kalau memang begitu, maka semua hal yang sudah saya lakukan selama ini bisa saya anggap bukan sebagai wujud cinta karena, misalnya, menggoreng pisang, membersihkan kamar mandi, merapihkan buku-buku  dan memandikan anak-anak adalah sesuatu yang kongkrit. Itulah sebabnya, saya agak gamang ketika ditanyai, apakah saya mencintainya? Karena pertanyaan itu, meski singkat dan sepele, tidak mudah untuk dijawab. Bisa jadi jawaban itu hanya untuk menyenangi hatinya, atau menenangkan jiwanya, tapi saya butuh sebuah jawaban yang lebih dari itu sehingga jawaban saya bukan sekedar basa-basi pemanis lidah belaka.

Saya juga pernah membaca dalam sebuah buku yang saya lupa judulnya, tapi saya ingat penulisnya: Mohammad Fauzil Adhim, bahwa istri memang kerap merepetisi, menggandakan, dan menalu-nalukan pertanyaan yang serupa kepada suaminya hanya untuk meyakinkan, dan menenangkan, mereka bahwa suaminya memang masih mencintainya, masih merindukannya, masih membutuhkannya, dan masih menganggapnya ada karena di luar sana bertebaran gadis-gadis muda nan terawat yang bisa saja menggoda lelaki mereka tuk berpaling. Pertanyaan semacam itu memang kerap datang tak diduga dan membuat para suami tergagap untuk menjawabnya. Bisa jadi ia datang ketika tubuh sang istri tak lagi semenarik dulu, kulitnya tak lagi sekencang dulu, aromanya tak sewangi dulu, rambutnya tak seterawat dulu, dan perutnya tak lagi serata dulu. Bisa jadi. Itu sebabnya, mereka butuh semacam penegasan verbal yang, setidak-tidaknya, bisa menenangkan mereka.

Oleh karenanya, saat istri saya bertanya kepada saya apakah saya mencintainya, saya kerap meminta waktu untuk memandanginya, menyentuhi kulitnya, atau mengingat-ingat apakah saya telah mengatakan sesuatu yang tidak membuatnya nyaman. Karena bisa jadi, pertanyaan itu terlontar dikarenakan sikap dan gestur saya yang tidak seperti biasanya.

Untuk menutup celotehan ini, mungkin akan lebih tepat jika saya sendiri yang bertanya kepadanya: apakah kau, setelah aku melakukan segala hal untukmu itu, merasa bahwa aku sudah bisa dianggap telah mencintaimu? Apakah pulang malam ini bisa disebut cinta? Memang ada banyak sekali kata-kata seperti: bisa jadi, mungkin, apakah, dan seabreg tanda tanya yang bertebaran di sana sini lebih dikarenakan saya memang belum terlalu yakin apakah semua yang telah saya lakukan untuknya selama ini bisa dengan gagah berani saya katakan bahwa itu semua adalah bukti cinta saya kepadanya. Saya memang tidak berani mengaku-ngaku bahwa itu adalah sebuah wujud cinta, tapi saya berani jamin bahwa, jika memang itu cinta, maka itu halal adanya. Adakah yang lebih menenangkan dan menentramkan dari sebuah cinta yang telah dihalalkan olehNya? Celotehan ini mungkin tidak bisa menjawab pertanyaan yang ada di bagian awal tulisan ini. Anggap saja ini adalah semacam pencarian yang belum mendapatkan jawabnya. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Desember 2014 

Senin, 01 Desember 2014

Cemburunya Seorang Ayah

Akhir-akhir ini saya mudah merasa gelisah, terutama ketika memandangi ketiga putri saya baik saat mereka sedang bermain bersama-sama di rumah maupun ketika bermain dengan teman-teman di luar rumah. Saya tidak tahu perasaan apa ini. Tiba-tiba saja hati ini disergap rasa khawatir, gelisah, bahkan sedikit takut. Kadang kekhawatiran itu muncul begitu saja tanpa pemberitahuan.

Kadang ia langsung hilang namun tak jarang ia bertahan agak lama dan baru bisa pergi ketika saya memandangi lekat-lekat wajah ketiga putri saya, atau mengacak-acak rambutnya yang agak apak dan tubuhnya yang berbau sedikit kecut. Tak jarang pula kegelisahan itu menguap saat saya memegang tangan mereka yang mungil, mengusap-usap permukaannya yang halus dan rapuh.

Pernah suatu hari saya sengaja mengamati permainan ketiga anak saya bersama teman-temannya. Memang tidak semua temannya perempuan, ada juga anak laki-laki yang berumuran lebih muda, sebaya, dan lebih tua. Saat saya mengamati putri sulung saya bermain begitu asyik dengan salah satu teman laki-lakinya, entah kenapa terbit rasa cemburu di hati saya. Saat permainan mereka semakin seru, rasa sesak di dada karena cemburu semakin menjadi-jadi saja hingga saya kerap ‘melerai’ permainan mereka itu.

Saya juga merasa cemburu ketika putri-putri saya bermain ke luar rumah tanpa jilbab terpasang di kepala mungil mereka, atau ketika aurat kecil mereka tak sengaja terbuka. Tak bosan-bosannya saya dan istri mengingatkan ketiga putri kami agar selalu berjilbab saat ke luar rumah, atau memerhatikan aurat mereka saat bermain. Seruan ini memang belum bisa dipenuhi sepenuhnya oleh mereka. Tak apa, saya dan istri pun masih bersabar karenanya. Namun rasa cemburu ketika rambut mereka terurai dan kulit kepala mereka tampak bercahaya karena dibasuh keringat tak bisa saya tahan.

Saya juga merasa cemburu ketika lisan mereka mengucapkan kata-kata yang buruk, atau ketika menyenandungkan lagu-lagu populer yang berlirik tak mendidik. Saya cemburu ketika mereka menangis karena dikasari temannya, atau bersedih ketika dituduh melakukan yang tidak-tidak oleh kawan-kawannya di sekolah. Saya merasa cemburu ketika mereka menceritakan nama-nama teman lelaki mereka di sekolah. Saya merasa cemburu ketika mereka memuji-muji sebuah nama baik yang saya kenal maupun tidak.

Perasaan ini masih belum saya mengerti sepenuhnya berhubung ini adalah hal baru bagi saya. Semacam gejolak hati yang belum terdefinisi. Semacam bagian kecil dari jenak-jenak kehidupan yang belum saya dapatkan istilahnya. Cemburu itu apa sebenarnya? Saya tidak tahu. Cemburukah kegelisahan, ketakutan, dan kekhawatiran itu? Saya tidak tahu. Jika ia memang begitu, darimanakah datangnya? Saya juga belum tahu. Atau memang seperti inikah yang namanya kekhawatiran orangtua? Ketika terjadi sesuatu pada anak-anak yang berada di luar kuasa mereka? Saya tidak tahu. Benarkah perasaan ini? Salahkah merasa seperti ini? Saya juga belum tahu.

Yang saya tahu, dari kekhawatiran, ketakutan, dan kegelisahan itulah saya kemudian memiliki sebenih harap yang saya semai dalam sujud dan munajat saya yang tak sempurna. Saya tahu, harapan itu mungkin tidak pantas saya sampaikan padaNya. Namun kepada siapa lagi saya berharap kalau bukan kepada Dia? Harapan yang tak mungkin saya gantungkan hanya kepada istri saya, kepada nenek mereka, kepada guru-guru mereka, kepada teman-teman sepermainan mereka, kepada para tetangga, bahkan kepada diri saya sendiri.

Rabbij’alni muqimash shalaati wa min dzuriyyati. Rabbana wataqabbal du’a. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Desember 2014