Senin, 01 Desember 2014

Cemburunya Seorang Ayah

Akhir-akhir ini saya mudah merasa gelisah, terutama ketika memandangi ketiga putri saya baik saat mereka sedang bermain bersama-sama di rumah maupun ketika bermain dengan teman-teman di luar rumah. Saya tidak tahu perasaan apa ini. Tiba-tiba saja hati ini disergap rasa khawatir, gelisah, bahkan sedikit takut. Kadang kekhawatiran itu muncul begitu saja tanpa pemberitahuan.

Kadang ia langsung hilang namun tak jarang ia bertahan agak lama dan baru bisa pergi ketika saya memandangi lekat-lekat wajah ketiga putri saya, atau mengacak-acak rambutnya yang agak apak dan tubuhnya yang berbau sedikit kecut. Tak jarang pula kegelisahan itu menguap saat saya memegang tangan mereka yang mungil, mengusap-usap permukaannya yang halus dan rapuh.

Pernah suatu hari saya sengaja mengamati permainan ketiga anak saya bersama teman-temannya. Memang tidak semua temannya perempuan, ada juga anak laki-laki yang berumuran lebih muda, sebaya, dan lebih tua. Saat saya mengamati putri sulung saya bermain begitu asyik dengan salah satu teman laki-lakinya, entah kenapa terbit rasa cemburu di hati saya. Saat permainan mereka semakin seru, rasa sesak di dada karena cemburu semakin menjadi-jadi saja hingga saya kerap ‘melerai’ permainan mereka itu.

Saya juga merasa cemburu ketika putri-putri saya bermain ke luar rumah tanpa jilbab terpasang di kepala mungil mereka, atau ketika aurat kecil mereka tak sengaja terbuka. Tak bosan-bosannya saya dan istri mengingatkan ketiga putri kami agar selalu berjilbab saat ke luar rumah, atau memerhatikan aurat mereka saat bermain. Seruan ini memang belum bisa dipenuhi sepenuhnya oleh mereka. Tak apa, saya dan istri pun masih bersabar karenanya. Namun rasa cemburu ketika rambut mereka terurai dan kulit kepala mereka tampak bercahaya karena dibasuh keringat tak bisa saya tahan.

Saya juga merasa cemburu ketika lisan mereka mengucapkan kata-kata yang buruk, atau ketika menyenandungkan lagu-lagu populer yang berlirik tak mendidik. Saya cemburu ketika mereka menangis karena dikasari temannya, atau bersedih ketika dituduh melakukan yang tidak-tidak oleh kawan-kawannya di sekolah. Saya merasa cemburu ketika mereka menceritakan nama-nama teman lelaki mereka di sekolah. Saya merasa cemburu ketika mereka memuji-muji sebuah nama baik yang saya kenal maupun tidak.

Perasaan ini masih belum saya mengerti sepenuhnya berhubung ini adalah hal baru bagi saya. Semacam gejolak hati yang belum terdefinisi. Semacam bagian kecil dari jenak-jenak kehidupan yang belum saya dapatkan istilahnya. Cemburu itu apa sebenarnya? Saya tidak tahu. Cemburukah kegelisahan, ketakutan, dan kekhawatiran itu? Saya tidak tahu. Jika ia memang begitu, darimanakah datangnya? Saya juga belum tahu. Atau memang seperti inikah yang namanya kekhawatiran orangtua? Ketika terjadi sesuatu pada anak-anak yang berada di luar kuasa mereka? Saya tidak tahu. Benarkah perasaan ini? Salahkah merasa seperti ini? Saya juga belum tahu.

Yang saya tahu, dari kekhawatiran, ketakutan, dan kegelisahan itulah saya kemudian memiliki sebenih harap yang saya semai dalam sujud dan munajat saya yang tak sempurna. Saya tahu, harapan itu mungkin tidak pantas saya sampaikan padaNya. Namun kepada siapa lagi saya berharap kalau bukan kepada Dia? Harapan yang tak mungkin saya gantungkan hanya kepada istri saya, kepada nenek mereka, kepada guru-guru mereka, kepada teman-teman sepermainan mereka, kepada para tetangga, bahkan kepada diri saya sendiri.

Rabbij’alni muqimash shalaati wa min dzuriyyati. Rabbana wataqabbal du’a. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Desember 2014 

Reaksi:

1 komentar: