Rabu, 14 September 2016

Elegi Cinta Seorang Lelaki

Setelah sepuluh tahun dipenjara rezim tiran, hal pertama yang ingin dilakukan oleh lelaki itu adalah menikah. Betapa hampanya dunia tanpa kehadiran kekasih hati di sisi, demikian mungkin yang dirasakannya. Ingatannya lalu berkelana di masa silam ketika dua proses pertunangannya menemui kegagalan.

Kegagalan yang pertama adalah dengan gadis yang berasal dari desanya sendiri. Gadis itu sebenarnya tidak terlalu cantik. Namun lelaki itu tetap memutuskan untuk menambatkan hati kepadanya. Ia lebih memilih untuk jatuh cinta pada akhlak yang abadi ketimbang raga yang fana.

Tiga tahun kemudian setelah lelaki itu merampungkan studinya di luar kota, lelaki itu kembali ke desanya. Cinta lelaki itu kepada sang gadis desa masih ada dan lelaki itu sangat berharap untuk segera menikahinya. Tapi apa lacur? Gadis itu ternyata sudah keburu dinikahi orang lain. Hati lelaki itu hancur. Ia merasakan patah hati untuk pertama kali dalam hidupnya yang masih belia.

Sedangkan kegagalannya yang kedua terjadi ketika lelaki itu baru menginjak usia dua puluh tiga. Ketika itu ia baru saja lulus kuliah dan bekerja di sebuah lembaga pemerintah sebagai seorang pengajar. Gadis yang diincarnya memiliki kesamaan dengan gadis yang pertama. Ia tidak terlalu cantik tapi memiliki kepribadian yang menawan meski usia mereka terpaut cukup jauh: sepuluh tahun!

Benih-benih kegagalan itu bermula dari proses peminangan. Ketika itu, sang gadis tampak menangis. Air mata menganaksungai di pipinya. Lelaki itu bertanya apa yang terjadi dan gadis itu menjawab bahwa sebelum proses lamaran ini ia telah menjalin cinta dengan tetangganya yang merupakan perwira militer. Mendengar pengakuan gadis itu, hati lelaki itu serasa hancur dihantam palu godam. Pertunangan itu pun akhirnya dibatalkan karena lelaki itu tak bisa menahan penderitaan hatinya.

Dalam tahun-tahun kesunyiannya, lelaki itu makin tenggelam dalam kesendiriannya. Ia bahkan sempat melanjutkan studinya ke Amerika melalui beasiswa pemerintah. Meski dikelilingi dengan banyaknya gadis Barat yang cantik, namun hatinya hampa. Ia tetap bergeming dengan kesendiriannya.

Di tanah rantau itulah, semangatnya berislam tumbuh. Ia pun akhirnya memutuskan sebagai aktivis sebuah organisasi islam dan larut di dalam aktivitasnya yang begitu menyita waktu. Saking tersitanya waktu lelaki itu hingga ia tak sempat untuk menikah dan melipurlarakan hatinya.

Waktu berlalu dan lelaki itu lalu pulang ke negara tanah kelahirannya. Usianya sudah lewat kepala empat ketika itu. Di sela-sela kesibukannya yang padat, lelaki itu tetap berharap untuk bisa menikah. Ia pun sempat melakukan proses taaruf dengan seorang wanita. Namun lagi-lagi, peruntungan tidak berpihak kepadanya. Keterlibatannya sebagai aktivis organisasi islam itu membuatnya ditangkap oleh rezim tiran pemerintah. Ia pun dihukum penjara selama lima belas tahun. Masih dalam keadaan membujang. Betapa malangnya.

Sepuluh tahun kemudian, lelaki itu kemudian dibebaskan karena alasan kesehatan. Usianya sudah nyaris enam puluh tahun ketika itu. Meski begitu, ia tetap bertekad kuat untuk menikah dan itulah hal pertama yang dilakukannya setelah keluar dari penjara. Menikah.

Dalam proses pencariannya, kembali ia dipertemukan dengan seorang wanita yang baik. Itu pun setelah ia menjalani proses yang tak mudah, dan tak singkat. Lelaki itu kembali merancang rencananya untuk segera meminang wanita itu. Namun belum sempat lelaki itu menyampaikan niat baiknya, rezim tiran pemerintah kembali menangkapnya karena aktivitas politiknya.

Satu tahun setelah ia menghirup udara kebebasan, lelaki itu kembali dipenjara. Satu tahun kemudian, lelaki itu syahid di tiang gantungan.

Lelaki itu adalah Sayyid Quthb.

Pemikirannya cemerlang dan aktivitasnya di panggung dunia memang gemilang. Tapi tidak dengan kehidupan cintanya. [wahidnugroho.com]



Saaba, Agustus 2016

Perempuan Bertopeng Gorila

Pertigaan Pasar Bengkok selalu ramai. Sesuatu yang sudah berlangsung lama, bahkan sejak saya masih sekolah dulu. Mobil dan motor berdesak-desakan, mencari ruang yang tersisa demi mengejar waktu menuju pulang, tempat dimana keluarga tercinta telah menanti di rumah. Tempat dimana punggung dan kaki yang penat tenang bertetirah.

Saya lalu membelokkan motor ke kiri, ke jalan Hasyim Asyhari, berusaha menghindari tumpukan kendaraan dari dan ke arah Pasar Bengkok. Antrian kendaraan makin menjadi-jadi, sementara waktu magrib makin mendekat. Perkiraan saya, sekira pukul enam lewat lima menit saya sudah sampai di rumah, insya Allah.

Ketika gang masuk ke dalam SMK Farmasi Tangerang sudah dekat, telinga saya menangkap suara musik yang cukup keras dari depan rumah makan yang ada di dekat situ. Sebuah topeng gorila berbulu hitam kemudian muncul dari kepala seseorang yang saya taksir seorang perempuan. Saya bisa pastikan bahwa wajah di balik topeng itu adalah seorang perempuan karena, meski bertopeng gorila, orang itu justru memakai semacam gamis terusan dengan tonjolan di sekitar dada. Di lehernya, terlingkar tali karet yang menggantungkan sebuah pengeras suara berbentuk salon kotak yang sedang memainkan musik pop terbaru dengan volume maksimal.

Awalnya, saya ingin mengabaikan pemandangan itu. Pengamen, atau apalah namanya, dengan aksesoris seperti itu di ibukota dan wilayah pinggirannya cukup mudah dijumpai. Tapi upaya pengabaian saya itu gagal karena saya mendapati sebuah pemandangan yang membuat saya berhenti sejenak untuk memerhatikan lebih jauh.

Selesai memutar musik di depan sebuah rumah makan, perempuan bertopeng gorila itu kemudian memanggil-manggil seseorang yang berada pada jarak yang tidak begitu jauh dari tempatnya saat itu: seorang anak kecil berkerudung dengan tampang yang selusuh baju dan kedua kakinya. Anak kecil itu dengan setengah berlari mengikuti perempuan bertopeng dengan kantong plastik berisi uang receh di tangannya. Saya menduga keduanya adalah pasangan ibu dan anak. Berdua mereka berjalan ke arah Pasar Bengkok lalu entah kemana lagi. Sementara suara musik berdesibel tinggi sayup-sayup hilang ditelan suara klakson dan deru kendaraan.

Saat antrian kendaraan perlahan menghanyutkan saya ke arah yang berlawanan dengan pasangan anak-beranak itu, ingatan saya melayang ke masa silam. Saya jadi teringat dengan mamak yang ketika itu berjualan kerupuk gendar. Aktivitas yang sebenarnya masih juga beliau lakukan sampai sekarang.

Kerupuk gendar adalah kerupuk yang terbuat dari nasi. Biasanya, nasi yang digunakan sebagai bahan utama kerupuk adalah nasi sisa atau nasi yang sudah-mau-akan-basi. Tapi mamak biasa memakai nasi yang masih baru sebagai bahan baku kerupuknya, meski nasi itu terbuat dari beras yang kualitasnya tidak terlalu bagus.

Dulu, waktu bagian belakang rumah saya di Jurangmangu masih berupa tanah kosong dan belum disesaki rumah seperti sekarang ini, mamak biasa menjemur irisan bakal-calon-kerupuk gendar yang masih basah di atas jemuran pakaian yang sudah diatur sedemikian rupa supaya bisa digunakan untuk menjemur kerupuk yang dijejer di permukaan triplek.

Tak hanya di atas tempat jemuran, mamak biasa memanfaatkan kursi, meja, atau bagian atap bekas kandang ayam yang sudah tidak terpakai untuk menempatkan triplek-triplek untuk menjemur kerupuk itu. Biasanya, ketika sudah siang atau sepulang sekolah, saya akan disuruh mamak untuk membalik irisan kerupuk yang sudah kering. Atau ketika ada waktu senggang, saya akan membantu menata irisan kerupuk yang masih agak basah itu di atas permukaan triplek dan menempatkannya di tempat-tempat biasa.

Ketika irisan kerupuk itu sudah kering sempurna, saya akan membantu mamak mengeletekinya dari permukaan triplek dan mengumpulkannya di tampah bambu. Kerupuk-kerupuk yang sudah siap digoreng itu lalu dimasukkan ke dalam plastik gula dan ditimbang. Ada yang seperempat, setengah, dan satu kilo. Harganya beragam, tapi saya sudah lupa berapa pastinya.
Pemasaran kerupuk itu dilakukan secara sederhana. Biasa mamak akan menempatkan dagangan kerupuknya ke dalam kantong plastik, lalu beliau menawarkannya ke rumah-rumah atau warung yang ada di dekat situ. Tak jarang, mamak dapat pesanan khusus dari beberapa tetangga yang suka dengan kerupuk gendar buatannya.

Pernah suatu hari saya memandangi punggung beliau yang berjalan ke arah komplek pajak untuk mengantarkan kerupuk pesanan orang. Kebetulan, rumah yang beliau tuju terlihat cukup jelas dari pintu belakang rumah saya. Dari situ, saya melihat mamak yang berjalan tergopoh-gopoh dengan dua tas plastik di tangan kanan dan kirinya untuk mengantarkan kerupuk gendar. Ketika mamak sudah tiba di rumah pemesan, beliau lalu masuk dan keluar dari rumah itu beberapa saat kemudian.

Mamak juga suka berbagi berita tentang hasil dagangannya. Ibu Fulanah pesan kerupuk sekian, mpok Fulanah pesan sekian, bapak Fulan pesan sekian, ibu Fulanah memintanya rewangan, dan lain-lain. Berita itu tak selalu baik. Tak jarang beliau bercerita perihal kerupuknya yang tidak laku, atau hutang yang susah ditagih. Saya menyimak semua cerita mamak dan sebagian besarnya masih saya ingat dengan baik.

Hal yang paling dihindari oleh pembuat kerupuk level kecil seperti mamak saya adalah hujan. Pernah cuaca di pagi hari panas dan terik, namun siang harinya tiba-tiba hujan. Maka bersegeralah mamak mengangkati triplek-triplek berisi irisan kerupuk ke dalam rumah. Kalau saya dan adik ada di rumah, maka saya akan membantunya. Kalau tidak, maka mamak mengangkatnya sendiri. Kadang dibantu oleh tetangga yang tidak sengaja melintas atau melihat mamak yang sedang kerepotan menyelamatkan kerupuk-kerupuk yang belum kering benar itu.

Selain hujan, hal lain yang sebisa mungkin dihindari oleh pembuat kerupuk gendar adalah angin. Suatu hari, beberapa triplek jemuran itu ada yang jatuh ke tanah karena tersampar angin yang bertiup kencang. Ketika itu saya mendapati irisan-irisan kerupuk yang sudah kotor dan berhamburan dimana-mana. Saya lalu membantu mamak memunguti irisan-irisan itu. Sebagian besar yang sudah kotor dibiarkan. Kerja keras yang melelahkan seolah tiada gunanya ketika musibah seperti itu terjadi.

Sejauh yang saya tahu, mamak memang suka berdagang. Lebih karena tuntutan kebutuhan dibanding untuk senang-senang. Waktu saya masih tinggal di Petukangan, beliau berjualan bubur ayam. Beliau juga pernah jualan sayur masak, ketring, dan yang cukup bertahan lama adalah berjualan keripik singkong. Kegiatan beliau yang lain adalah sebagai tukang masak dalam acara-acara hajatan. Sebuah pekerjaan insidentil yang juga pernah saya ikuti sekali dua kali meski ketika itu saya hanya berlaku sebagai seorang penonton dan juru cicip.

Saya terlibat cukup banyak dengan aktivitas jualan beliau bahkan sampai saya lulus kuliah, khususnya yang berkaitan dengan urusan pengiriman keripik dan kerupuk. Tempat-tempat langganan mamak menitipkan keripiknya cukup banyak: ada di kantin masjid kampus Budi Luhur, kantin SMA 63, Fatahillah STAN, daerah Larangan, dan daerah-daerah lain.

Jualan keripik singkong ini sempat terbengkalai ketika bapak sakit keras. Meski sempat berlanjut pada masa-masa awal saya berangkat ke Luwuk, aktivitas produksi keripik singkong itu akhirnya berhenti total ketika bapak meninggal. Sampai sekarang. Ada upaya untuk menghidupkan kembali, tapi kondisi sudah tidak terlalu memungkinkan.

Tumbuh sebagai orang yang berasal dari ekonomi kelas bawah, dan turut dalam aktivitas ekonomi orangtua sejak kecil, meski tidak total, membuat saya belajar untuk menyesuaikan selera dan keinginan dengan kemampuan yang saya miliki. Meski itu harus memendam banyak sekali keinginan yang lazimnya dimiliki oleh anak-anak baru gede seusia saya ketika itu.

Dalam beberapa keadaan, saya merasa harus berdamai dengan situasi dan memutuskan untuk tidak mengambil atau mengikuti sesuatu yang berada jauh di atas kemampuan saya. Ketika sekolah, saya berburu buku bekas dari kakak kelas yang masih bisa dipakai. Waktu marak zaman LKS, saya terpaksa mengerjakannya di buku tulis karena tidak mau merepotkan orangtua mengeluarkan uang lebih untuk hal yang sifatnya tidak terlalu prinsipil. Saya bahkan pernah bersitegang dengan seorang guru yang memaksa saya membeli buku teks yang sudah saya punya versi lamanya (baca: bekas) yang kontennya kurang lebih sama.

Ketika melihat anak kecil berkerudung yang sedang mengikuti ibunya yang bertopeng gorila di pinggir pertigaan Pasar Bengkok itu, saya jadi teringat dengan diri saya sendiri di masa lalu. Saya jadi ingat anak-anak saya di rumah. Betapapun mampunya orangtua, sebisa mungkin upayakan agar mereka, anak-anak itu, tidak manja dan bisa mendapatkan semua keinginan mereka dengan mudah. Termasuk juga soal fasilitas.

Memang ada tarik-menarik dalam hal ini. Satu sisi ada yang bilang: sama anak sendiri jangan pelit, hidup harus dinikmati; namun sisi yang lain berkata: jangan menuruti semua kemauan anak, nanti mereka jadi manja dan tidak mau berusaha.

Saya tidak tahu yang mana di antara keduanya yang benar. Hanya saja, saya tumbuh dalam situasi yang ke dua. Meski orangtua tak jarang telah berusaha sedemikian rupa untuk menyenangkan anak-anaknya, ada sebuah masa ketika sang anak harus tahu diri dengan kemampuan dirinya dan memutuskan untuk menunda keinginannya agar tidak menyusahkan orangtuanya. Sebuah keputusan yang bisa jadi sangat pelik di tengah parade fasilitas dan berlimpahnya kemudahan yang dinikmati oleh temannya yang lain, yang taraf hidupnya jauh berada di atas anak-anak itu.

Tapi satu hal yang saya pelajari bahwa dengan mengikuti sebagian kecil dari proses pergulatan hidup orangtua, menerbitkan rasa hormat dan cinta yang berlipat untuk mereka. Sulit rasanya mengabaikan permintaan dan melanggar perintah keduanya ketika kita tahu bahwa siang dan malam mereka telah tergadai demi membahagiakan kita, anak-anaknya. Ada rasa malu yang menyergap jika sang anak tidak bisa membuat orangtuanya bangga di tengah keterbatasan yang ada dan merengeki sesuatu yang membuat orangtua jadi kepikiran, bahkan sampai melanggar hati nurani dan moralitasnya sendiri demi melihat senyum terbit dari wajah sang anak.

Tulisan ini tidak hanya, terutama, ditujukan untuk saya sendiri, tapi juga untuk anak-anak di luar sana yang nasibnya tidak, atau belum, seberuntung teman-teman lainnya yang bergelimang fasilitas dan kemudahan.

Saya tutup celoteh panjang ini dengan, lagi-lagi, sebait puisi karya Rendra:

Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.


Jurangmangu, Mei 2016

Layartancap

Jalan raya Cipondoh malam ini relatif lancar. Sebagaimana hari jumat yang lain, jumat kali ini saya menyengaja pulang agak terlambat dari hari biasanya. Lepas dari pertigaan Situ Cipondoh yang ramai, saya melajukan motor dengan kecepatan perlahan. Perempatan Polsek Cipondoh yang biasanya padat pun kini tampak lancar.

Tak jauh dari perempatan itu, di sebelah kiri jalan tepat di depan sebuah warung kelontong, saya melihat sebuah gerobak kayu yang terparkir di pinggir jalan. Asap tipis membumbung dari atas permukaannya. Di bagian tengah gerobak itu ada lampu petromaks dan di sekeliling lampu itu tersebar aneka jenis kacang seperti kacang tanah dan kacang bogor. Aroma uap kacang rebus yang manis bercampur baur dengan aroma asap knalpot dari kendaraan yang lalu-lalang di sekitarnya. Pemilik gerobak itu adalah seorang anak muda berusia sekira sembilan belas atau duapuluh tahun. Kacang-kacang rebus yang ada di gerobak itu jualannya.

Melihat seorang penjual kacang rebus lengkap dengan lampu petromaksnya di pinggir jalan itu membuat saya jadi teringat sesuatu dari masalalu: layartancap. Disadari atau tidak, pemandangan seorang penjual kacang rebus adalah hal yang lazim ditemui dalam tanggapan layartancap dan juga di pesta-pesta di sudut-sudut kampung Jakarta dan di beberapa wilayah pinggirannya.

Dulu, saya belum kenal dengan kacang bogor yang berbentuk bulat itu. Selain kacang tanah, biasanya kacang yang juga dijual disitu adalah kacang kedelai berwarna hijau pucat. Penjualnya biasa membungkus kacang-kacang itu ke dalam potongan kertas koran yang dibentuk seperti kerucut terbalik, mengisi kacang-kacang itu di dalamnya dan menutup bagian atasnya. Bentuknya mirip dengan eskrim merk tertentu, hanya saja isinya kacang rebus.

Kacang rebus paling enak dinikmati bersama segelas teh pahit atau kopi. Bagi perokok, sebatang dua batang rokok wajib ada. Apalagi kalau dimakan sambil nonton pertandingan sepakbola di televisi, atau sekedar main catur sampai larut malam. Atau sambil nonton layartancap. Harganya murah meriah. Cocok buat kaum menengah ke bawah yang butuh cemilan saat nonton film gratisan.

Ngomong-ngomong soal layartancap, sebagai orang yang mengalami tumbungkembang di era sembilanpuluhan, saya lumayan sering berburu layartancap pada masa jayanya yang biasanya nyaris selalu ada setiap akhir pekan itu. Dulu, waktu lapangan di belakang rumah saya di Jurangmangu masih ada dan belum disesaki rumah, di situlah orang-orang Betawi yang ada di kampung Pondok Betung dan sekitarnya menggelar layartancap. Kadang di lapangan yang agak ke bawah, yang berbatasan dengan komplek pajak, dan kadang layartancapnya ditanggap persis di belakang rumah saya. Saya bahkan pernah berburu layartancap sampai kampung tetangga. Layartancap terjauh yang pernah saya sambangi ketika itu di daerah Cipadu yang sekarang sudah jadi pasar kain, padahal daerah situ dulu kebanyakan cuma kebun singkong. Saya juga pernah nonton layartancap di daerah Bulak Wareng (Jalan Pesantren) yang dulu masih dipenuhi rawa-rawa dan tanah kosong.

Layartancap biasanya ditanggap ketika ada pesta pernikahan atau sunatan. Bagaimana cara mengetahui bahwa di suatu kampung akan ditanggap layartancap? Gampang. Ketika pagi-pagi ada bunyi ledakan petasan teko dan sebangsanya, maka bisa dipastikan di daerah sekitar dipasangnya petasan itu akan ada pesta. Dan dimana ada orang Betawi yang bikin pesta, maka kemungkinan besar malamnya bakal ada layartancap.

Layartancap biasa berlangsung di tanah kosong, atau di lahan menganggur yang agak luas. Pernah juga di pelataran sekolah. Bahan-bahannya sederhana. Sebuah kain putih polos berukuran sekira tiga kali enam meter dibentangkan di antara dua buah bilah bambu besar yang dipancangkan di atas lubang. Mungkin nama layartancap berasal dari situ: sebuah layar ditancapkan di atas lubang lalu disorot oleh proyektor yang berjarak sekira sepuluh atau lima belas meter dari tempat ditancapkannya layar yang memainkan pita film yang digulung ke dalam alat berbentuk roda.

Karena fasilitasnya serba antik, maka jangan harap kualitas filmnya bisa HD. Zaman itu, teknologi HD belum lahir. Maka jadilah layar sebesar itu diterobos oleh film beresolusi rendah yang sudah pasti kurang nyaman ditonton. Apalagi kalau pita filmnya rusak di bagian yang lagi seru-serunya, bisa berabe urusannya. Tapi namanya juga gratisan, jadi apa yang ada maka dinikmati sebisanya.

Sebagai mantan penikmat layartancap, saya kadang merasa aneh sekaligus takjub, kenapa di setiap pemutaran layartancap nyaris tidak pernah hujan. Ternyata, ada unsur nonteknis yang bermain. Empuhajat biasanya menyewa seorang pawang hujan supaya tidak turun hujan sepanjang pesta dan acara layartancap atau orkes. Tapi pernah juga ketika saya nonton layartancap hujan justru turun; membubarkan para penonton dan beberapa pedagang-tanpa-terpal yang mangkal di sekitar tempat itu. Tiang layartancap yang bergerak-gerak ditiup angin, seolah memanggil para penonton agar jangan beranjak meski hujan tak kunjung reda.

Di sekitar tempat layartancap, biasanya mangkal banyak penjual; mulai dari penjual bakso, mie ayam, ketoprak, laksa, soto mie, kacang rebus, jagung rebus, tahu garang, uli bakar, bajigur, sampai arena judi koprok alias judi dadu. Dulu, karena penggunaan genset dan lampu darurat belum seramai sekarang, lapak-lapak dadakan itu biasanya memasang lampu badai atau lampu templok, atau petromaks, bahkan ada yang hanya memasang lilin di dalam gelas kaca atau gelas plastik. Suasana yang temaram itu membuat suasana di sekitar layartancap jadi lebih fokus karena tidak terpapar banyak cahaya. Ditambah lagi kerja copet jadi lebih ringan dan leluasa. Apalagi buat pasangan yang berniat cabul dengan biaya dan resiko yang minim.

Pemandangan di area layartancap itu cukup menyenangkan untuk dilihat. Orang-orang berdatangan dari segala penjuru dengan dandanan yang rapijali dan aroma mereka yang wangi. Segerombolan gadis berusia tanggung dengan dandanan menor melewati seorang penjual mie ayam dengan berisik. Beberapa pemuda bertampang preman dan berpenampilan lusuh berkumpul di sebuah sudut lapangan. Asap rokok mengepul-ngepul dari kawanan itu. Suara teriakan bersahut-sahutan dari tempat judi koprok, semuanya berbaur jadi satu dengan alunan musik dangdut dari pengeras suara di bawah tenda hajatan. Manusia seperti kerumunan lalat: berdengung-dengung, hilir-mudik, dan berisik.

Ketika cuplikan film satu demi satu diputar di layar putih yang berkibar-kibar ditiup angin, kerumunan yang mulanya berisik itu berangsur tenang. Biasanya, film yang mula-mula diputar adalah film India, atau yang belakangan disebut Film Bollywood. Aktor-aktor film India lawas semisal Ajay Devgan, Amitabhacan, Mithun Cakraborty, Jeetendra, Sunny Deol, Govinda, Salman Khan, Sanjay Dutt, dan Anil Kapoor adalah sebagian kecil nama yang wara-wiri bergantian di layar dadakan. Jangan lupakan sosok Amrish Puri yang wajahnya akrab dengan dunia kejahatan dan nyaris selalu berperan sebagai Tuan Takur, Tuan Sankar, atau inspektur polisi culas yang jahatnya nggak ketulungan. Seorang aktor yang di ranah lokal mungkin hanya bisa diimbangi oleh Torro Margens, atau Tio Pakusadewo di era belakangan. Yang cantik-cantik ada Pooja Bhat, Juhi Chawla, Madhuri Dixit, Aishwarya Rai, dan masih banyak lagi. Dan aktris India favorit saya ketika itu, sudah pasti, Sridevi.

Setelah puas joget-joget dan nyanyi-nyanyi, film selanjutnya yang diputar biasanya adalah film barat dan nyaris selalu ada adegan perang dan tembak-tembakan. Atau film silat semacam Satria Madangkara, Brama Kumbara, Angling Darma, Rawing, Saur Sepuh, dan semisal itu. Atau juga film silat Tiongkok dan film horor. Beranjak malam dan anak-anak sudah tidur, film yang diputar bergeser dikit ke genre dewasa. Film-film semi lokal dan barat biasa yang jadi pilihan. Kadang juga film horor yang dibintangi oleh mendiang Suzanna. Soal film semi, dulu istilah yang saya dengar adalah film panas. Judul-judul semisal Gairah Malam, Gadis Metropolis, Getaran Nafsu, Permainan Terlarang, dan sebagainya adalah beberapa contoh. Judul-judulnya memang tidak jauh-jauh dari kata-kata gairah, nafsu, penyimpangan, kenikmatan, dan semisal itu. Isi filmnya tidak perlu dijelaskan.

Kalau film jenis ini sudah diputar, biasanya kerumunan penonton langsung bersorak riuh. Saya masih ingat ketika film yang dibintangi oleh Frank Zagarino dan Ayu Azhari menampilkan adegan yang membuat jakun lelaki naik turun dan hati berdegup kencang itu tayang, sorakan dan teriakan penonton makin menjadi-jadi. Sebagian malah ada yang bertepuk-tangan. Mungkin mereka yang girang bukan kepalang itu bersyukur bisa menonton adegan langka yang sudah pasti tidak lolos pisau sensor itu ditayangkan apa adanya, dan gratisan pula.

Tapi kalau yang diputar hanya film-film biasa – maksudnya bukan film panas dan film aksi barat, bahkan sepanjang malam hanya film India yang diputar, biasanya penonton akan mencibir dan berteriak huu ketika film baru berganti dan tidak sesuai dengan ‘selera’ mereka. Sebagian akan pulang dan menyingkir dari tempat itu sambil mengumpat “Filmnya jelek” karena menurutnya hanya film-film panas yang dinilainya sebagai “Film bagus”. Sementara para gadis bersyukur karena film yang diputar tidak membuat pasangan labil mereka bertindak lebih jauh malam ini karena nafsu kesumat akibat adegan-adegan syur itu.

Masa kecil saya, dan mungkin sebagian eks remaja di era sembilanpuluhan memang tidak selalu berjalan mulus dan berlangsung lurus. Dulu bahkan saya pernah melihat ada transaksi majalah dan kartu remi porno di bawah pohon rambutan di dekat layartancap yang diadakan di sebuah kampung. Sebagai anak kecil yang selalu ingin tahu, saya pun ikut melongok sebentar ke transaksi gelap itu – yang memang berlangsung di tempat yang gelap – dan mendapati sebuah gambar yang seharusnya tidak saya lihat di beberapa halamannya yang terpapar sinar lemah dari pantulan layartancap.

Kebengkokan-kebengkokan seperti itu rasa-rasanya perlu saya jadikan sebagai pelajaran hidup, bahwa anak-anak dengan segala rasa ingin tahunya perlu didampingi dan diberikan penjelasan yang memadai. Anak-anak jaman dulu, meski sebagian di antara mereka banyak terpapar tontonan-tontonan cabul, ternyata tidak berani melakukan perbuatan yang bisa menodai kehormatan perempuan, apalagi sampai menghilangkan nyawa mereka. Tiba-tiba saja saya jadi teringat dengan kasus-kasus asusila yang marak terjadi di zaman kiwari ini, yang, ironisnya, justru melibatkan anak-anak yang seharusnya hanya menjadikan tontonan tak layak itu sebagai kisah klasik yang hanya untuk ditertawakan di masa depan.

Bicara soal film-film yang diputar di layartancap, ternyata berhubungan dengan anggaran yang disediakan pemilik hajat. Kalau anggarannya agak besar, maka film-film yang tayang juga bagus-bagus. Minimal film-film terbaru yang hanya ada di versi disketlaser. Tapi kalau anggarannya terbatas, maka yang ditanggap adalah film-film lawas dan kadang bukan film yang terkenal.

Film biasanya diputar mulai jam delapan dan berakhir sekira jam empat pagi ketika rekaman pengajian dan solawatan diputar di masjid-masjid. Karena tidak kuat begadang, saya biasanya menonton film layartancap hanya sampai jam duabelas malam. Kalau terlalu malam, pintu rumah sudah dikunci dan saya terancam dimarahi mamak.

Tapi pernah suatu hari, ketika masih SD, saya sengaja nongkrong agak lama di lokasi layartancap. Waktu itu, layartancapnya ditanggap di jalan Bambu, di sebuah lapangan kecil yang sekarang sudah jadi deretan ruko. Berbekal koran dan kardus bekas yang saya pakai sebagai alas duduk, saya berbaring tengkurap di lapangan kecil yang berangsur sepi ketika malam makin larut itu sambil memandangi langit yang bersepuh kerlap-kerlip bintang. Sementara jalan Cipadu Raya sudah lengang. Suara film yang diputar di layartancap perlahan menghilang, larut dalam lamunan dengan dagu tertopang. Sebuah meteor berekor melintas cepat di ufuk barat, meninggalkan jejak api yang ditelan langit gelap. Barangkali itu adalah momen pertama saya mengamati langit malam menjelang pagi tanpa merasa terganggu dengan keadaan yang ada di sekeliling saya yang berbau campuran asap tembakau, parfum murahan, dan uap bakso.

Sekarang, rasa-rasanya sudah jarang ditemui empu hajat yang menanggap layartancap. Paling banter orkes dangdut sebagaimana yang dilakukan beberapa tetangga Betawi saya yang belum lama ini mengadakan hajatan. Mungkin karena lahan kosong juga sudah terbatas dan telah berubah bentuk menjadi perumahan dan cluster-cluster kecil. Mungkin juga karena kecanggihan teknologi yang makin memudahkan para pemakai mendapatkan hiburan yang mereka inginkan tanpa harus berdesak-desakan dan kaki digigiti nyamuk malam dan bisa nonton film tanpa khawatir pitanya macet dan mesinnya ngadat. Mungkin ada sebab lain yang tidak saya ketahui apa dan bagaimananya.

Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa para pelaku industri perfilman berhutang cukup banyak dengan hiburan murah ala kaum proletar urban ini. Kapan lagi ada momen dimana semua orang dari beragam lapisan masyarakat berkumpul di satu tempat dalam durasi yang cukup panjang hanya dengan bekal koran dan kardus bekas sebagai alas duduk, lalu mereka tertawa, menelan ludah, dan mendapatkan hiburan dengan nyaris tanpa biaya.

Setelah mencatat sepanjang ini, saya baru tersadar, bahwa aroma kacang rebus yang manis, yang saya dapati di pinggir jalan raya Cipondoh itu, bisa membuat saya terkenang dengan banyak hal. [wahidnugroho.com]



Cikokol, Mei 2016

Hidup

Zaman Peralihan. Penulisnya Soe Hok Gie. Penerbitnya Mata Bangsa. Rilis pada bulan Juni tahun 2016. Buku itu baru saja saya beli beberapa waktu yang lalu dari seorang penjual buku di media sosial. Buku yang bagus. Perwajahannya menarik, tataletaknya juga nyaman dibaca. Secara umum, saya suka buku itu. Namun yang terpenting adalah isinya, dan, tak lupa, statusnya yang merupakan buku asli.

Beberapa bulan yang lalu saya pernah membeli buku-buku Soe Hok Gie dari seorang penjual buku di dunia maya. Sayang, bukunya ternyata palsu. Saya baru tahu ketika buku itu sudah sampai di Luwuk. Saat mengamati perwajahannya yang agak aneh dan tidak rapi, saya langsung yakin bahwa itu buku bajakan. Sayang, sungguh disayang.

Saya tak ingin menuntut kepada sang penjual. Biarlah itu menjadi rezekinya. Buku-buku bajakan itu awalnya ingin saya buang, atau saya bakar. Tapi niat itu urung. Jadilah buku-buku itu tetap saya simpan dan kini statusnya sudah berubah tangan ke pengelola rumah baca saya di Luwuk. Buku bajakan tidak membuat saya berselera membacanya, sebagus apapun isinya.

Ada hal menarik apa di buku Zaman Peralihan itu sehingga saya memutuskan untuk membelinya? Sejujurnya tidak ada. Selama beberapa hari terakhir ini saya membaca tulisan-tulisan di buku itu secara acak dan tidak urut. Dari satu judul melompat ke judul lain yang, tentunya, menggelitik perhatian saya. Saya paling suka tulisan yang berjudul Mendaki Gunung Slamet. Gie memang pencerita yang tekun dan punya selera humor yang bagus.

Lalu, jika bukunya tidak terlalu menarik, atau katakanlah tidak semuanya tulisan yang ada di buku itu menarik, faktor apa yang membuat saya bertahan untuk menekuri tiap-tiap halamannya? Di dalam buku itu, Gie kerap kali mengulang-ulang nama Sukarno, presiden pertama republik ini. Kadang ia menyebut namanya dengan penuh penghormatan dan sebaliknya; tak jarang bahkan Gie berkata sinis dan, agak, apatis. Sayang, buku itu tidak menyediakan daftar indeks. Jika ada, tentu akan sangat menarik jika kita bisa tahu berapa kali Gie menyebut nama Sukarno di buku itu.

Bicara soal Sukarno, saya jadi teringat dengan salah satu tetangga saya di Jurangmangu dahulu. Namanya pakde Yono. Beliau sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Pakde Yono adalah pengagum pak Karno. Di ruang tamunya yang temaram dan beraroma tembakau yang apak, terpampang foto-foto sang Pahlawan Besar Revolusi lengkap dengan pigura dan replika burung garudanya.

Ada dua foto Sukarno berpigura di ruang tamunya, dan keduanya hitam putih. Foto pertama adalah potret wajah sang presiden yang tampak tampan dan masih muda, dan foto kedua adalah potret seluruh tubuh lengkap dengan seragam dan atribut kebesaran beliau. Selain foto Sukarno dan patung garuda, di dinding itu tertempel pula hiasan ayat kursi.

Pakde Yono orangnya pendiam dan kerap kali tampak terlalu serius dalam memandang sesuatu. Meski begitu, beliau orang yang ramah dan murah senyum. Saat tertawa, matanya akan menyipit seperti mata orang Cina, dan suaranya seperti tercekih-cekih karena paru-parunya yang kelewat banyak dijejali asap rokok. Beliau, seingat saya, adalah perokok berat. Almarhum bapak kerap mengingatkan saya ketika berbincang dengan beliau, “Jangan suka mbahas yang ‘merah-merah’, nanti beliau bisa nggak terima.” Rupa-rupanya, pengagum garis keras beliau itu.

Saya tidak terlalu tahu apa latar belakang beliau. Kenangan yang masih saya ingat dari sosoknya yang sudah tua itu adalah aroma tembakau yang kerap tercium dari tubuhnya dan keahlian beliau sebagai tukang cukur rambut. Saya lumayan sering memotong rambut di beliau. Beliau punya sebuah kotak peralatan dari kayu yang tampak sudah sangat tua. Di dalam kotak itu ada gunting logam yang sudah berkarat, sisir plastik berwarna cokelat susu, gunting – yang dulu saya sebut sebagai gunting kodok – yang ujungnya kotak dan sudah tidak terlalu tajam, yang membuat wajah saya meringis ketika beliau menggunakannya sampai-sampai rambut saya tercabut paksa, pisau cukur, busa yang tampak kotor, sikat ijuk, dan bekas-bekas rambut. Tak lupa, sebuah cermin kusam yang ada di koridor ruang tengah ia lepas dan tegakkan bersandar di dinding.

Dulu, di teras rumahnya yang ditumbuhi pohon belimbing, saya duduk di atas sebuah kursi plastik, memakai kain putih berbau apak yang dilingkarkan di leher, menundukkan kepala, memandangi semut-semut yang berbaris menuju sarangnya, sementara pakde Yono memotong helai demi helai rambut saya dengan tekun. Saya masih ingat dengan nafasnya yang pendek-pendek dan berbau tembakau itu serta tangannya yang beberapa kali menelengkan kepala saya ke kiri, ke kanan, ke depan dan ke belakang. Kadang beliau bertanya rambut saya mau dipotong model apa yang biasanya akan saya jawab agar dipotong mandarin mirip Andy Lau atau bintang film Mandarin yang ketika itu sedang ngetren. Kadang saya meminta beliau untuk memotongnya dengan model tentara yang cepak, dan kadang saya membiarkan beliau memotong sesukanya.

Hasil potongannya tidak terlalu rapih, memang. Ditambah lagi tidak ada pijitan di leher dan di bahu lengkap dengan olesan minyak angin sebagaimana yang saya dapatkan jika memotong rambut di tempat pangkas rambut yang ada di Deplu, misalnya. Tapi saya cukup senang dengan hasilnya dan merasa bahwa usaha yang beliau lakukan sudah maksimal. Beliau juga kerap menolak untuk menerima bayaran sehingga saya terpaksa meletakkan uang begitu saja di atas kotak peralatannya dan langsung menyingkir dari teras itu sesegera mungkin supaya beliau tidak mengembalikan uang itu.

Pakde Yono punya seorang istri yang juga sudah meninggal beberapa waktu yang lalu. Namanya Lastri. Saya biasa memanggil beliau bude Las. Pembawaannya ceria dan beliau memiliki cara tertawa yang bisa mengeluarkan suara yang khas. Wajahnya selalu tampak tersenyum dan suka mencairkan suasana.

Ketika saya masih tinggal di Petukangan, bude Las dan pakde Yono adalah penjual sayur di, sebuah tempat yang dulu kami sebut, kompleks gudang. Selain berjualan sayur, beliau, bude Las, juga berjualan gado-gado dan rujak, biasanya di siang hari usai jualan sayur. Setelah rumah kami di Petukangan kena gusur proyek jalan tol dan berpindah ke Jurangmangu pada pertengahan tahun 1992, pasangan suami istri itu tetap berjualan sebagaimana sebelumnya: sayur, gado-gado, dan rujak buah di bagian depan rumahnya yang luas.

Pasangan suami istri itu biasa keluar rumah pada dini hari untuk berangkat berbelanja sayur dan barang-barang lain di pasar Kebayoran, dan kembali ke rumah selepas subuh. Waktu masih kecil, saya biasa duduk-duduk di warung bude Las, khususnya di siang hari ketika beliau berjualan gado-gado dan rujak. Saya juga biasa memesan gado-gado buatannya yang enak.

Di warung itu, saya selalu memerhatikan cara beliau meracik gado-gado. Dimulai dengan bertanya kepada pembeli mau yang pedas atau tidak, beliau lalu menjumput garam, cabe rawit, dan terasi, lalu menguleknya perlahan. Saya senang sekali mendengar suara ulekan dan layah yang berputar-putar di tangannya. Setelahnya beliau lalu memasukkan kacang tanah yang sudah disangrai dan menguleknya sampai halus, lalu menambahkan irisan gula merah, air asam jawa, dan memotongi kentang rebus supaya bumbunya mengental.

Setelah didapatkan kekentalan bumbu yang diinginkan, beliau mengambil jeruk limau, membelahnya jadi dua, dan memencet salah satunya ke sisi luar layah, dan mengaduknya dengan ulekan dan solet plastik. Prosesi mengaduk bumbu dengan ulekan di tangan kiri dan sodet di tangan kanan itu menciptakan suara yang nyaman di telinga saya. Ketika aroma jeruk limau yang kuat dan segar itu sudah tercampur merata, sayuran rebus pun ditumpahkan ke atas cobek; labusiam, kangkung, tauge; lalu menambahkannya dengan potongan tahu dan tempe goreng. Selesai mengaduk-aduk semua itu, beliau lalu menempatkan gado-gado yang baru jadi itu ke dalam kertas pembungkus, menaburinya dengan bawang goreng yang harum, dan meremukkan kerupuk warna-warni di atasnya.

Kini, pakde Yono dan bude Las sudah tiada. Kehidupan keluarga mereka agak sulit setelah pakde Yono meninggal. Rumah mereka satu-satunya bahkan dijual demi menutupi hutang dan mencukupi kebutuhan hidup. Mamak adalah orang yang memaksa saya untuk membeli setengah bagian dari rumah itu karena setengah bagian lainnya sudah dibeli oleh orang Padang.

“(Tanahnya) dibeli aja, le. Walaupun belum kamu bangun, seenggaknya bude Las bisa lanjut jualan sayur di situ,” pesan mamak beberapa tahun yang lalu. Tanah itu pun akhirnya saya beli dan bude Las beserta keluarganya mengontrak di rumah mbah Kasno yang letaknya persis di depan rumah saya.

Ketika masih hidup, saya kerap menanyakan kabar bude Las lewat mamak dan menitipkan uang yang tak seberapa untuk beliau. Hidupnya tidak mudah dan beliau juga sempat menderita sakit yang tidak ringan. Saya tidak ingin menulis banyak tentang ini karena berkaitan dengan masalah internal orang lain yang meski bukan urusan saya tapi cukup membuat saya terganggu karenanya.

Beliau bahkan sempat mengalami luka bakar yang agak parah karena terkena ledakan tabung gas. Ketika adik lelaki saya mengirimkan foto kondisi beliau yang cukup parah, saya, entah kenapa, menangis sampai sesenggukan. Ternyata hidup perempuan itu di hari tuanya yang seharusnya ia nikmati dengan penuh ketenangan ini begitu sulit dan memilukan hati. Beberapa bulan sebelum beliau meninggal, saya sempat pulang ke Jakarta dan menjenguknya. Senyum itu masih senyum yang sama sebagaimana yang pernah saya lihat di masa kecil dulu. Senyum yang ceria dan ringan di tengah beban hidup yang menghimpitnya sedemikian rupa. Saya sempat menyisipkan uang untuknya dan beliaupun menerimanya sambil meneteskan air mata.

“Nuk, kalau kamu nanti mau mbangun rumah di tanah kosong itu, mamak boleh ngajak bude Las tinggal di situ ya,” pinta mamak beberapa tahun lalu yang langsung saya iyakan tanpa berpikir meski saya tidak tahu kapan tanah itu akan dibangun karena dana yang belum ada.

Kini, di atas tanah kosong yang dulunya merupakan rumah dari bude Las dan keluarganya itu, sudah berdiri rumah kecil yang belum lagi rampung pengerjaannya sampai saat ini. Mamak kerap mengingatkan janji saya beberapa tahun yang lalu mengenai pembolehan bude Las untuk tinggal bersamanya setelah rumah itu rampung seluruhnya. Sayang, pembangunan rumah itu masih tersendat dan bude Las telah lebih dulu berpulang ke pangkuan Ilahi. Sebuah kepulangan yang menyedihkan, mungkin, sekaligus meringankan karena beliau tak lagi memikirkan beban yang berat yang memeras-meras kehidupannya.

Pakde Yono dan bude Las adalah dua nama yang telah menghilang di komplek gusuran jalan tol dari Petukangan setelah saya berangkat merantau ke Luwuk sembilan tahun yang lalu. Dalam kurun waktu yang panjang itu, selain beliau berdua, tentu saja, ada bapak saya sendiri, tante Padang, pakde Surip, mbak Tini, mbah Bibit, mbah Harjo, mak Wo, Cakra, dan wajah-wajah lain yang dulu pernah saya dapati dan temui namun kini sudah tidak lagi. Entah karena terhentinya usia atau karena mereka yang dulunya masih kecil dan kini sudah beranjak dewasa.

Tidak hanya soal begitu banyak wajah-wajah yang sudah menghilang, tapi juga sebentuk kenangan akan awal mula tempat ini ketika pertama kali saya tinggali dulu sudah terkubur di atas rumah-rumah yang saling berhimpit dan lorong-lorong yang makin menyempit. Tempat-tempat yang dulunya hanya padang ilalang tempat saya berburu belalang aneka warna dan tertancap paku karatan, kini telah berubah menjadi bangunan-bangunan yang megah. Jalanan becek bertanah merah yang kerap membuat ban bajaj milik mbah Kasno tergelincir sudah berganti dengan jalanan beton, lapangan-lapangan tempat saya dulu biasa bermain layangan dan menonton layar tancap sudah hilang. Betapa rapuhnya hidup ini. Betapa lemahnya genangan kenangan di hadapan sang waktu yang cepat berlalu.

Hidup memang tidak melulu bicara soal pertemuan dan kebersamaan, tapi juga soal perpisahan dan kehilangan. Datang dan pergi, manusia berpusar menjemput nasib dan takdirnya masing-masing. Kalau sudah begini, saya jadi teringat dengan sajak milik almarhum Rendra ini.

Rumah tua
dan pagar batu.
Kenangan lama
dan sepi yang syahdu


Saaba, Juli 2016
(Belum bisa tidur)

Minggu, 11 September 2016

Tongkat dan Koper

Saat menerima hadiah nobel sastra pada tahun 2006, Orhan Pamuk, novelis asal Turki yang ketika itu keluar sebagai pemenang, memberikan sebuah pidato berjudul Babamın Bavulu atau My Father's Suitcase. Pidato itu kemudian ditranskrip dan dimasukan ke dalam bagian akhir dari buku kumpulan esainya yang berjudul Other Colors. Sayang, buku bagus itu belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia meski transkrip pidato itu sudah diterjemahkan dan diterbitkan secara kolektif dalam buku bagus berjudul Menggali Sumur Dengan Ujung Jarum.

My Father's Suitcase adalah tulisan yang sangat menyentuh. Juga emosional. Dan mengharukan. Dalam tulisan (atau pidatonya) itu, Pamuk menjelaskan perihal peran sang ayah yang cukup signifikan dalam proses perkembangan dirinya yang pada awalnya ingin menjadi pelukis hingga akhirnya menjadi seorang sastrawan berpengaruh di Turki dan dunia ketika itu. Ayahnya pulalah yang menjadi pembaca pertama draft novel Pamuk yang berjudul Cevdet Bey and His Sons.

Dalam upayanya mengenang kembali sosok ayahnya yang telah berpulang, Pamuk mewakilinya melalui sebuah benda berwujud koper yang diwariskan oleh sang ayah dua tahun sebelum dirinya berpulang. Dari koper tersebut, narasi kemudian berkembang dan para pembaca diajak terhanyut oleh gaya khas Pamuk dalam berceritera mengenai sekelumit perjalanan hidupnya hingga menjadi salah satu sastrawan berpengaruh dunia.

Sebandung dengan Pamuk, ada Rusydi Hamka. Putra ke dua dari Buya Hamka ini juga pernah membuat sebuah tulisan yang sangat emosional tentang ayahnya. Tulisan itu berjudul Tongkat-Tongkat Buya dan terdapat pada bagian awal buku yang berjudul Pribadi dan Martabat. Sebuah buku yang muncul tak lama setelah Buya Hamka berpulang untuk selamanya.

Jika Pamuk menggunakan koper sebagai perwakilan sosok ayahnya, maka Rusydi menggunakan tongkat, sebuah benda yang sangat lekat dengan sosok ulama yang terkenal dengan ketegasannya itu.

Tongkat-Tongkat Buya adalah tulisan yang sangat indah. Bagaimana seorang anak mencoba untuk membunuh rasa rindu kepada ayahnya yang sudah berpulang dengan mengenang tongkat-tongkat milik sang ayah yang sebagian besar masih tersimpan rapi di rumah. Kisah tentang kedatangan misionaris, pencuri yang bertaubat, dan ketegangan dengan seorang arab berbadan besar menggarami kenangan itu sehingga terasa lebih nikmat, yang, ironisnya, justru membuat rasa kehilangan itu begitu dalam dan menganga.

Saya tidak malu untuk mengakui bahwa membaca dua tulisan itu membuat pelupuk mata saya menghangat. Karena bagaimanapun, bapak saya juga sudah berpulang dan meninggalkan sebentuk ruang kosong yang begitu besar di dalam hati dan jiwa saya; sampai saat ini. Rasa kehilangan meski bisa diinsyafi dengan memandangi barang-barang peninggalannya, tetap tak bisa membunuh rasa rindu yang kadung berakar kuat di dalam dada.

Mungkin itu alasannya kenapa mamak (ibu) saya masih menyimpan setangan milik bapak dan tidak pernah mencucinya selama bertahun-tahun meski setangan itu dahulu pernah dipakai untuk membersihkan keringat bapak di ujung usianya. Karena dengan cara itulah, memandangi dan menyentuh setangan berbau apak itu, mamak sedang berusaha sekuat tenaga untuk senantiasa mendekatkan jiwanya yang sendu dengan sosok bapak yang sudah meninggalkannya sembilan tahun yang lalu.

Kehilangan, ternyata, sedemikian menyakitkannya. [wahidnugroho.com]



Saaba, September 2016