Rabu, 14 September 2016

Perempuan Bertopeng Gorila

Pertigaan Pasar Bengkok selalu ramai. Sesuatu yang sudah berlangsung lama, bahkan sejak saya masih sekolah dulu. Mobil dan motor berdesak-desakan, mencari ruang yang tersisa demi mengejar waktu menuju pulang, tempat dimana keluarga tercinta telah menanti di rumah. Tempat dimana punggung dan kaki yang penat tenang bertetirah.

Saya lalu membelokkan motor ke kiri, ke jalan Hasyim Asyhari, berusaha menghindari tumpukan kendaraan dari dan ke arah Pasar Bengkok. Antrian kendaraan makin menjadi-jadi, sementara waktu magrib makin mendekat. Perkiraan saya, sekira pukul enam lewat lima menit saya sudah sampai di rumah, insya Allah.

Ketika gang masuk ke dalam SMK Farmasi Tangerang sudah dekat, telinga saya menangkap suara musik yang cukup keras dari depan rumah makan yang ada di dekat situ. Sebuah topeng gorila berbulu hitam kemudian muncul dari kepala seseorang yang saya taksir seorang perempuan. Saya bisa pastikan bahwa wajah di balik topeng itu adalah seorang perempuan karena, meski bertopeng gorila, orang itu justru memakai semacam gamis terusan dengan tonjolan di sekitar dada. Di lehernya, terlingkar tali karet yang menggantungkan sebuah pengeras suara berbentuk salon kotak yang sedang memainkan musik pop terbaru dengan volume maksimal.

Awalnya, saya ingin mengabaikan pemandangan itu. Pengamen, atau apalah namanya, dengan aksesoris seperti itu di ibukota dan wilayah pinggirannya cukup mudah dijumpai. Tapi upaya pengabaian saya itu gagal karena saya mendapati sebuah pemandangan yang membuat saya berhenti sejenak untuk memerhatikan lebih jauh.

Selesai memutar musik di depan sebuah rumah makan, perempuan bertopeng gorila itu kemudian memanggil-manggil seseorang yang berada pada jarak yang tidak begitu jauh dari tempatnya saat itu: seorang anak kecil berkerudung dengan tampang yang selusuh baju dan kedua kakinya. Anak kecil itu dengan setengah berlari mengikuti perempuan bertopeng dengan kantong plastik berisi uang receh di tangannya. Saya menduga keduanya adalah pasangan ibu dan anak. Berdua mereka berjalan ke arah Pasar Bengkok lalu entah kemana lagi. Sementara suara musik berdesibel tinggi sayup-sayup hilang ditelan suara klakson dan deru kendaraan.

Saat antrian kendaraan perlahan menghanyutkan saya ke arah yang berlawanan dengan pasangan anak-beranak itu, ingatan saya melayang ke masa silam. Saya jadi teringat dengan mamak yang ketika itu berjualan kerupuk gendar. Aktivitas yang sebenarnya masih juga beliau lakukan sampai sekarang.

Kerupuk gendar adalah kerupuk yang terbuat dari nasi. Biasanya, nasi yang digunakan sebagai bahan utama kerupuk adalah nasi sisa atau nasi yang sudah-mau-akan-basi. Tapi mamak biasa memakai nasi yang masih baru sebagai bahan baku kerupuknya, meski nasi itu terbuat dari beras yang kualitasnya tidak terlalu bagus.

Dulu, waktu bagian belakang rumah saya di Jurangmangu masih berupa tanah kosong dan belum disesaki rumah seperti sekarang ini, mamak biasa menjemur irisan bakal-calon-kerupuk gendar yang masih basah di atas jemuran pakaian yang sudah diatur sedemikian rupa supaya bisa digunakan untuk menjemur kerupuk yang dijejer di permukaan triplek.

Tak hanya di atas tempat jemuran, mamak biasa memanfaatkan kursi, meja, atau bagian atap bekas kandang ayam yang sudah tidak terpakai untuk menempatkan triplek-triplek untuk menjemur kerupuk itu. Biasanya, ketika sudah siang atau sepulang sekolah, saya akan disuruh mamak untuk membalik irisan kerupuk yang sudah kering. Atau ketika ada waktu senggang, saya akan membantu menata irisan kerupuk yang masih agak basah itu di atas permukaan triplek dan menempatkannya di tempat-tempat biasa.

Ketika irisan kerupuk itu sudah kering sempurna, saya akan membantu mamak mengeletekinya dari permukaan triplek dan mengumpulkannya di tampah bambu. Kerupuk-kerupuk yang sudah siap digoreng itu lalu dimasukkan ke dalam plastik gula dan ditimbang. Ada yang seperempat, setengah, dan satu kilo. Harganya beragam, tapi saya sudah lupa berapa pastinya.
Pemasaran kerupuk itu dilakukan secara sederhana. Biasa mamak akan menempatkan dagangan kerupuknya ke dalam kantong plastik, lalu beliau menawarkannya ke rumah-rumah atau warung yang ada di dekat situ. Tak jarang, mamak dapat pesanan khusus dari beberapa tetangga yang suka dengan kerupuk gendar buatannya.

Pernah suatu hari saya memandangi punggung beliau yang berjalan ke arah komplek pajak untuk mengantarkan kerupuk pesanan orang. Kebetulan, rumah yang beliau tuju terlihat cukup jelas dari pintu belakang rumah saya. Dari situ, saya melihat mamak yang berjalan tergopoh-gopoh dengan dua tas plastik di tangan kanan dan kirinya untuk mengantarkan kerupuk gendar. Ketika mamak sudah tiba di rumah pemesan, beliau lalu masuk dan keluar dari rumah itu beberapa saat kemudian.

Mamak juga suka berbagi berita tentang hasil dagangannya. Ibu Fulanah pesan kerupuk sekian, mpok Fulanah pesan sekian, bapak Fulan pesan sekian, ibu Fulanah memintanya rewangan, dan lain-lain. Berita itu tak selalu baik. Tak jarang beliau bercerita perihal kerupuknya yang tidak laku, atau hutang yang susah ditagih. Saya menyimak semua cerita mamak dan sebagian besarnya masih saya ingat dengan baik.

Hal yang paling dihindari oleh pembuat kerupuk level kecil seperti mamak saya adalah hujan. Pernah cuaca di pagi hari panas dan terik, namun siang harinya tiba-tiba hujan. Maka bersegeralah mamak mengangkati triplek-triplek berisi irisan kerupuk ke dalam rumah. Kalau saya dan adik ada di rumah, maka saya akan membantunya. Kalau tidak, maka mamak mengangkatnya sendiri. Kadang dibantu oleh tetangga yang tidak sengaja melintas atau melihat mamak yang sedang kerepotan menyelamatkan kerupuk-kerupuk yang belum kering benar itu.

Selain hujan, hal lain yang sebisa mungkin dihindari oleh pembuat kerupuk gendar adalah angin. Suatu hari, beberapa triplek jemuran itu ada yang jatuh ke tanah karena tersampar angin yang bertiup kencang. Ketika itu saya mendapati irisan-irisan kerupuk yang sudah kotor dan berhamburan dimana-mana. Saya lalu membantu mamak memunguti irisan-irisan itu. Sebagian besar yang sudah kotor dibiarkan. Kerja keras yang melelahkan seolah tiada gunanya ketika musibah seperti itu terjadi.

Sejauh yang saya tahu, mamak memang suka berdagang. Lebih karena tuntutan kebutuhan dibanding untuk senang-senang. Waktu saya masih tinggal di Petukangan, beliau berjualan bubur ayam. Beliau juga pernah jualan sayur masak, ketring, dan yang cukup bertahan lama adalah berjualan keripik singkong. Kegiatan beliau yang lain adalah sebagai tukang masak dalam acara-acara hajatan. Sebuah pekerjaan insidentil yang juga pernah saya ikuti sekali dua kali meski ketika itu saya hanya berlaku sebagai seorang penonton dan juru cicip.

Saya terlibat cukup banyak dengan aktivitas jualan beliau bahkan sampai saya lulus kuliah, khususnya yang berkaitan dengan urusan pengiriman keripik dan kerupuk. Tempat-tempat langganan mamak menitipkan keripiknya cukup banyak: ada di kantin masjid kampus Budi Luhur, kantin SMA 63, Fatahillah STAN, daerah Larangan, dan daerah-daerah lain.

Jualan keripik singkong ini sempat terbengkalai ketika bapak sakit keras. Meski sempat berlanjut pada masa-masa awal saya berangkat ke Luwuk, aktivitas produksi keripik singkong itu akhirnya berhenti total ketika bapak meninggal. Sampai sekarang. Ada upaya untuk menghidupkan kembali, tapi kondisi sudah tidak terlalu memungkinkan.

Tumbuh sebagai orang yang berasal dari ekonomi kelas bawah, dan turut dalam aktivitas ekonomi orangtua sejak kecil, meski tidak total, membuat saya belajar untuk menyesuaikan selera dan keinginan dengan kemampuan yang saya miliki. Meski itu harus memendam banyak sekali keinginan yang lazimnya dimiliki oleh anak-anak baru gede seusia saya ketika itu.

Dalam beberapa keadaan, saya merasa harus berdamai dengan situasi dan memutuskan untuk tidak mengambil atau mengikuti sesuatu yang berada jauh di atas kemampuan saya. Ketika sekolah, saya berburu buku bekas dari kakak kelas yang masih bisa dipakai. Waktu marak zaman LKS, saya terpaksa mengerjakannya di buku tulis karena tidak mau merepotkan orangtua mengeluarkan uang lebih untuk hal yang sifatnya tidak terlalu prinsipil. Saya bahkan pernah bersitegang dengan seorang guru yang memaksa saya membeli buku teks yang sudah saya punya versi lamanya (baca: bekas) yang kontennya kurang lebih sama.

Ketika melihat anak kecil berkerudung yang sedang mengikuti ibunya yang bertopeng gorila di pinggir pertigaan Pasar Bengkok itu, saya jadi teringat dengan diri saya sendiri di masa lalu. Saya jadi ingat anak-anak saya di rumah. Betapapun mampunya orangtua, sebisa mungkin upayakan agar mereka, anak-anak itu, tidak manja dan bisa mendapatkan semua keinginan mereka dengan mudah. Termasuk juga soal fasilitas.

Memang ada tarik-menarik dalam hal ini. Satu sisi ada yang bilang: sama anak sendiri jangan pelit, hidup harus dinikmati; namun sisi yang lain berkata: jangan menuruti semua kemauan anak, nanti mereka jadi manja dan tidak mau berusaha.

Saya tidak tahu yang mana di antara keduanya yang benar. Hanya saja, saya tumbuh dalam situasi yang ke dua. Meski orangtua tak jarang telah berusaha sedemikian rupa untuk menyenangkan anak-anaknya, ada sebuah masa ketika sang anak harus tahu diri dengan kemampuan dirinya dan memutuskan untuk menunda keinginannya agar tidak menyusahkan orangtuanya. Sebuah keputusan yang bisa jadi sangat pelik di tengah parade fasilitas dan berlimpahnya kemudahan yang dinikmati oleh temannya yang lain, yang taraf hidupnya jauh berada di atas anak-anak itu.

Tapi satu hal yang saya pelajari bahwa dengan mengikuti sebagian kecil dari proses pergulatan hidup orangtua, menerbitkan rasa hormat dan cinta yang berlipat untuk mereka. Sulit rasanya mengabaikan permintaan dan melanggar perintah keduanya ketika kita tahu bahwa siang dan malam mereka telah tergadai demi membahagiakan kita, anak-anaknya. Ada rasa malu yang menyergap jika sang anak tidak bisa membuat orangtuanya bangga di tengah keterbatasan yang ada dan merengeki sesuatu yang membuat orangtua jadi kepikiran, bahkan sampai melanggar hati nurani dan moralitasnya sendiri demi melihat senyum terbit dari wajah sang anak.

Tulisan ini tidak hanya, terutama, ditujukan untuk saya sendiri, tapi juga untuk anak-anak di luar sana yang nasibnya tidak, atau belum, seberuntung teman-teman lainnya yang bergelimang fasilitas dan kemudahan.

Saya tutup celoteh panjang ini dengan, lagi-lagi, sebait puisi karya Rendra:

Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.


Jurangmangu, Mei 2016
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar