Rabu, 14 September 2016

Layartancap

Jalan raya Cipondoh malam ini relatif lancar. Sebagaimana hari jumat yang lain, jumat kali ini saya menyengaja pulang agak terlambat dari hari biasanya. Lepas dari pertigaan Situ Cipondoh yang ramai, saya melajukan motor dengan kecepatan perlahan. Perempatan Polsek Cipondoh yang biasanya padat pun kini tampak lancar.

Tak jauh dari perempatan itu, di sebelah kiri jalan tepat di depan sebuah warung kelontong, saya melihat sebuah gerobak kayu yang terparkir di pinggir jalan. Asap tipis membumbung dari atas permukaannya. Di bagian tengah gerobak itu ada lampu petromaks dan di sekeliling lampu itu tersebar aneka jenis kacang seperti kacang tanah dan kacang bogor. Aroma uap kacang rebus yang manis bercampur baur dengan aroma asap knalpot dari kendaraan yang lalu-lalang di sekitarnya. Pemilik gerobak itu adalah seorang anak muda berusia sekira sembilan belas atau duapuluh tahun. Kacang-kacang rebus yang ada di gerobak itu jualannya.

Melihat seorang penjual kacang rebus lengkap dengan lampu petromaksnya di pinggir jalan itu membuat saya jadi teringat sesuatu dari masalalu: layartancap. Disadari atau tidak, pemandangan seorang penjual kacang rebus adalah hal yang lazim ditemui dalam tanggapan layartancap dan juga di pesta-pesta di sudut-sudut kampung Jakarta dan di beberapa wilayah pinggirannya.

Dulu, saya belum kenal dengan kacang bogor yang berbentuk bulat itu. Selain kacang tanah, biasanya kacang yang juga dijual disitu adalah kacang kedelai berwarna hijau pucat. Penjualnya biasa membungkus kacang-kacang itu ke dalam potongan kertas koran yang dibentuk seperti kerucut terbalik, mengisi kacang-kacang itu di dalamnya dan menutup bagian atasnya. Bentuknya mirip dengan eskrim merk tertentu, hanya saja isinya kacang rebus.

Kacang rebus paling enak dinikmati bersama segelas teh pahit atau kopi. Bagi perokok, sebatang dua batang rokok wajib ada. Apalagi kalau dimakan sambil nonton pertandingan sepakbola di televisi, atau sekedar main catur sampai larut malam. Atau sambil nonton layartancap. Harganya murah meriah. Cocok buat kaum menengah ke bawah yang butuh cemilan saat nonton film gratisan.

Ngomong-ngomong soal layartancap, sebagai orang yang mengalami tumbungkembang di era sembilanpuluhan, saya lumayan sering berburu layartancap pada masa jayanya yang biasanya nyaris selalu ada setiap akhir pekan itu. Dulu, waktu lapangan di belakang rumah saya di Jurangmangu masih ada dan belum disesaki rumah, di situlah orang-orang Betawi yang ada di kampung Pondok Betung dan sekitarnya menggelar layartancap. Kadang di lapangan yang agak ke bawah, yang berbatasan dengan komplek pajak, dan kadang layartancapnya ditanggap persis di belakang rumah saya. Saya bahkan pernah berburu layartancap sampai kampung tetangga. Layartancap terjauh yang pernah saya sambangi ketika itu di daerah Cipadu yang sekarang sudah jadi pasar kain, padahal daerah situ dulu kebanyakan cuma kebun singkong. Saya juga pernah nonton layartancap di daerah Bulak Wareng (Jalan Pesantren) yang dulu masih dipenuhi rawa-rawa dan tanah kosong.

Layartancap biasanya ditanggap ketika ada pesta pernikahan atau sunatan. Bagaimana cara mengetahui bahwa di suatu kampung akan ditanggap layartancap? Gampang. Ketika pagi-pagi ada bunyi ledakan petasan teko dan sebangsanya, maka bisa dipastikan di daerah sekitar dipasangnya petasan itu akan ada pesta. Dan dimana ada orang Betawi yang bikin pesta, maka kemungkinan besar malamnya bakal ada layartancap.

Layartancap biasa berlangsung di tanah kosong, atau di lahan menganggur yang agak luas. Pernah juga di pelataran sekolah. Bahan-bahannya sederhana. Sebuah kain putih polos berukuran sekira tiga kali enam meter dibentangkan di antara dua buah bilah bambu besar yang dipancangkan di atas lubang. Mungkin nama layartancap berasal dari situ: sebuah layar ditancapkan di atas lubang lalu disorot oleh proyektor yang berjarak sekira sepuluh atau lima belas meter dari tempat ditancapkannya layar yang memainkan pita film yang digulung ke dalam alat berbentuk roda.

Karena fasilitasnya serba antik, maka jangan harap kualitas filmnya bisa HD. Zaman itu, teknologi HD belum lahir. Maka jadilah layar sebesar itu diterobos oleh film beresolusi rendah yang sudah pasti kurang nyaman ditonton. Apalagi kalau pita filmnya rusak di bagian yang lagi seru-serunya, bisa berabe urusannya. Tapi namanya juga gratisan, jadi apa yang ada maka dinikmati sebisanya.

Sebagai mantan penikmat layartancap, saya kadang merasa aneh sekaligus takjub, kenapa di setiap pemutaran layartancap nyaris tidak pernah hujan. Ternyata, ada unsur nonteknis yang bermain. Empuhajat biasanya menyewa seorang pawang hujan supaya tidak turun hujan sepanjang pesta dan acara layartancap atau orkes. Tapi pernah juga ketika saya nonton layartancap hujan justru turun; membubarkan para penonton dan beberapa pedagang-tanpa-terpal yang mangkal di sekitar tempat itu. Tiang layartancap yang bergerak-gerak ditiup angin, seolah memanggil para penonton agar jangan beranjak meski hujan tak kunjung reda.

Di sekitar tempat layartancap, biasanya mangkal banyak penjual; mulai dari penjual bakso, mie ayam, ketoprak, laksa, soto mie, kacang rebus, jagung rebus, tahu garang, uli bakar, bajigur, sampai arena judi koprok alias judi dadu. Dulu, karena penggunaan genset dan lampu darurat belum seramai sekarang, lapak-lapak dadakan itu biasanya memasang lampu badai atau lampu templok, atau petromaks, bahkan ada yang hanya memasang lilin di dalam gelas kaca atau gelas plastik. Suasana yang temaram itu membuat suasana di sekitar layartancap jadi lebih fokus karena tidak terpapar banyak cahaya. Ditambah lagi kerja copet jadi lebih ringan dan leluasa. Apalagi buat pasangan yang berniat cabul dengan biaya dan resiko yang minim.

Pemandangan di area layartancap itu cukup menyenangkan untuk dilihat. Orang-orang berdatangan dari segala penjuru dengan dandanan yang rapijali dan aroma mereka yang wangi. Segerombolan gadis berusia tanggung dengan dandanan menor melewati seorang penjual mie ayam dengan berisik. Beberapa pemuda bertampang preman dan berpenampilan lusuh berkumpul di sebuah sudut lapangan. Asap rokok mengepul-ngepul dari kawanan itu. Suara teriakan bersahut-sahutan dari tempat judi koprok, semuanya berbaur jadi satu dengan alunan musik dangdut dari pengeras suara di bawah tenda hajatan. Manusia seperti kerumunan lalat: berdengung-dengung, hilir-mudik, dan berisik.

Ketika cuplikan film satu demi satu diputar di layar putih yang berkibar-kibar ditiup angin, kerumunan yang mulanya berisik itu berangsur tenang. Biasanya, film yang mula-mula diputar adalah film India, atau yang belakangan disebut Film Bollywood. Aktor-aktor film India lawas semisal Ajay Devgan, Amitabhacan, Mithun Cakraborty, Jeetendra, Sunny Deol, Govinda, Salman Khan, Sanjay Dutt, dan Anil Kapoor adalah sebagian kecil nama yang wara-wiri bergantian di layar dadakan. Jangan lupakan sosok Amrish Puri yang wajahnya akrab dengan dunia kejahatan dan nyaris selalu berperan sebagai Tuan Takur, Tuan Sankar, atau inspektur polisi culas yang jahatnya nggak ketulungan. Seorang aktor yang di ranah lokal mungkin hanya bisa diimbangi oleh Torro Margens, atau Tio Pakusadewo di era belakangan. Yang cantik-cantik ada Pooja Bhat, Juhi Chawla, Madhuri Dixit, Aishwarya Rai, dan masih banyak lagi. Dan aktris India favorit saya ketika itu, sudah pasti, Sridevi.

Setelah puas joget-joget dan nyanyi-nyanyi, film selanjutnya yang diputar biasanya adalah film barat dan nyaris selalu ada adegan perang dan tembak-tembakan. Atau film silat semacam Satria Madangkara, Brama Kumbara, Angling Darma, Rawing, Saur Sepuh, dan semisal itu. Atau juga film silat Tiongkok dan film horor. Beranjak malam dan anak-anak sudah tidur, film yang diputar bergeser dikit ke genre dewasa. Film-film semi lokal dan barat biasa yang jadi pilihan. Kadang juga film horor yang dibintangi oleh mendiang Suzanna. Soal film semi, dulu istilah yang saya dengar adalah film panas. Judul-judul semisal Gairah Malam, Gadis Metropolis, Getaran Nafsu, Permainan Terlarang, dan sebagainya adalah beberapa contoh. Judul-judulnya memang tidak jauh-jauh dari kata-kata gairah, nafsu, penyimpangan, kenikmatan, dan semisal itu. Isi filmnya tidak perlu dijelaskan.

Kalau film jenis ini sudah diputar, biasanya kerumunan penonton langsung bersorak riuh. Saya masih ingat ketika film yang dibintangi oleh Frank Zagarino dan Ayu Azhari menampilkan adegan yang membuat jakun lelaki naik turun dan hati berdegup kencang itu tayang, sorakan dan teriakan penonton makin menjadi-jadi. Sebagian malah ada yang bertepuk-tangan. Mungkin mereka yang girang bukan kepalang itu bersyukur bisa menonton adegan langka yang sudah pasti tidak lolos pisau sensor itu ditayangkan apa adanya, dan gratisan pula.

Tapi kalau yang diputar hanya film-film biasa – maksudnya bukan film panas dan film aksi barat, bahkan sepanjang malam hanya film India yang diputar, biasanya penonton akan mencibir dan berteriak huu ketika film baru berganti dan tidak sesuai dengan ‘selera’ mereka. Sebagian akan pulang dan menyingkir dari tempat itu sambil mengumpat “Filmnya jelek” karena menurutnya hanya film-film panas yang dinilainya sebagai “Film bagus”. Sementara para gadis bersyukur karena film yang diputar tidak membuat pasangan labil mereka bertindak lebih jauh malam ini karena nafsu kesumat akibat adegan-adegan syur itu.

Masa kecil saya, dan mungkin sebagian eks remaja di era sembilanpuluhan memang tidak selalu berjalan mulus dan berlangsung lurus. Dulu bahkan saya pernah melihat ada transaksi majalah dan kartu remi porno di bawah pohon rambutan di dekat layartancap yang diadakan di sebuah kampung. Sebagai anak kecil yang selalu ingin tahu, saya pun ikut melongok sebentar ke transaksi gelap itu – yang memang berlangsung di tempat yang gelap – dan mendapati sebuah gambar yang seharusnya tidak saya lihat di beberapa halamannya yang terpapar sinar lemah dari pantulan layartancap.

Kebengkokan-kebengkokan seperti itu rasa-rasanya perlu saya jadikan sebagai pelajaran hidup, bahwa anak-anak dengan segala rasa ingin tahunya perlu didampingi dan diberikan penjelasan yang memadai. Anak-anak jaman dulu, meski sebagian di antara mereka banyak terpapar tontonan-tontonan cabul, ternyata tidak berani melakukan perbuatan yang bisa menodai kehormatan perempuan, apalagi sampai menghilangkan nyawa mereka. Tiba-tiba saja saya jadi teringat dengan kasus-kasus asusila yang marak terjadi di zaman kiwari ini, yang, ironisnya, justru melibatkan anak-anak yang seharusnya hanya menjadikan tontonan tak layak itu sebagai kisah klasik yang hanya untuk ditertawakan di masa depan.

Bicara soal film-film yang diputar di layartancap, ternyata berhubungan dengan anggaran yang disediakan pemilik hajat. Kalau anggarannya agak besar, maka film-film yang tayang juga bagus-bagus. Minimal film-film terbaru yang hanya ada di versi disketlaser. Tapi kalau anggarannya terbatas, maka yang ditanggap adalah film-film lawas dan kadang bukan film yang terkenal.

Film biasanya diputar mulai jam delapan dan berakhir sekira jam empat pagi ketika rekaman pengajian dan solawatan diputar di masjid-masjid. Karena tidak kuat begadang, saya biasanya menonton film layartancap hanya sampai jam duabelas malam. Kalau terlalu malam, pintu rumah sudah dikunci dan saya terancam dimarahi mamak.

Tapi pernah suatu hari, ketika masih SD, saya sengaja nongkrong agak lama di lokasi layartancap. Waktu itu, layartancapnya ditanggap di jalan Bambu, di sebuah lapangan kecil yang sekarang sudah jadi deretan ruko. Berbekal koran dan kardus bekas yang saya pakai sebagai alas duduk, saya berbaring tengkurap di lapangan kecil yang berangsur sepi ketika malam makin larut itu sambil memandangi langit yang bersepuh kerlap-kerlip bintang. Sementara jalan Cipadu Raya sudah lengang. Suara film yang diputar di layartancap perlahan menghilang, larut dalam lamunan dengan dagu tertopang. Sebuah meteor berekor melintas cepat di ufuk barat, meninggalkan jejak api yang ditelan langit gelap. Barangkali itu adalah momen pertama saya mengamati langit malam menjelang pagi tanpa merasa terganggu dengan keadaan yang ada di sekeliling saya yang berbau campuran asap tembakau, parfum murahan, dan uap bakso.

Sekarang, rasa-rasanya sudah jarang ditemui empu hajat yang menanggap layartancap. Paling banter orkes dangdut sebagaimana yang dilakukan beberapa tetangga Betawi saya yang belum lama ini mengadakan hajatan. Mungkin karena lahan kosong juga sudah terbatas dan telah berubah bentuk menjadi perumahan dan cluster-cluster kecil. Mungkin juga karena kecanggihan teknologi yang makin memudahkan para pemakai mendapatkan hiburan yang mereka inginkan tanpa harus berdesak-desakan dan kaki digigiti nyamuk malam dan bisa nonton film tanpa khawatir pitanya macet dan mesinnya ngadat. Mungkin ada sebab lain yang tidak saya ketahui apa dan bagaimananya.

Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa para pelaku industri perfilman berhutang cukup banyak dengan hiburan murah ala kaum proletar urban ini. Kapan lagi ada momen dimana semua orang dari beragam lapisan masyarakat berkumpul di satu tempat dalam durasi yang cukup panjang hanya dengan bekal koran dan kardus bekas sebagai alas duduk, lalu mereka tertawa, menelan ludah, dan mendapatkan hiburan dengan nyaris tanpa biaya.

Setelah mencatat sepanjang ini, saya baru tersadar, bahwa aroma kacang rebus yang manis, yang saya dapati di pinggir jalan raya Cipondoh itu, bisa membuat saya terkenang dengan banyak hal. [wahidnugroho.com]



Cikokol, Mei 2016
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar