Senin, 28 Agustus 2017

Menikah Adalah Niat Baik

Seseorang bertanya kepada saya tentang apa makna sebenarnya dari menikah? Jawaban klisenya: menikah adalah ibadah. Tapi jika redaksi ‘ibadah’ masih terlalu mengawang-awang dan terkesan berat, maka saya akan berikan opsi selanjutnya: bahwa menikah adalah niat baik.

Ketika sepasang anak manusia hendak memasuki sebuah jenjang pernikahan, maka yang melandasi semuanya itu, seharusnya, adalah niat baik. Bahwa saat saya menikahi seorang wanita, maka tentulah saya berniat untuk membangun sebuah keluarga yang baik. Sudah pasti saya akan menjadikan keluarga saya sebagai anggota masyarakat yang baik dan bisa mendistribusikan kebaikan itu kepada sekitar.

Mustahil kiranya orang menikah dengan tujuan yang tidak baik, apalagi untuk merugikan orang lain. Jika memang kemungkinan ini ada, maka yang terjadi di antara keduanya bukanlah pernikahan. Pernikahan tidak mengakomodasi kemungkinan semacam itu.

Oleh karena menikah adalah niat baik, maka menyiapkannya pun juga perlu dengan cara yang baik. Demikian pula dalam menjalaninya. Niat baik laiknya didukung dengan ikhtiar yang baik pula. Karena jika tidak demikian, maka niat baik itu cenderung mengundang fitnah dan potensi keburukan bagi kedua belah pihak.

Maka modal utama dalam sebuah pernikahan, menurut saya, ada empat: semangat pengabdian, semangat belajar tanpa lelah, semangat berbagi tanpa henti, dan mengedepankan prasangka baik. Dengan menikah, maka kita meniatkannya sebagai bagian pengabdian kita kepadaNya. Dengan menikah, maka kita seolah memasuki sebuah universitas peradaban, tempat kita saling menyempurnakan dan memperbaiki satu sama lain. Dengan menikah, maka kita selalu menempatkan diri sebagai orang yang siap berbagi, baik itu dengan pasangan hidup maupun dengan anak-anak yang menjadi tanggungan kita kelak. Dengan menikah, maka itu artinya kita mengedepankan prasangka baik dan saling menerima kekurangan masing-masing seraya memperbaikinya secara berkesinambungan.

Menikah adalah niat baik. Kebaikan meliputi semua aspek ruang dan waktunya. Kebaikan saat mengawali, kebaikan saat menjalani, dan kebaikan saat mengakhiri. Menikah adalah niat baik. [wahidnugroho.com]




Meruya, Agustus 2017

Sabtu, 26 Agustus 2017

Hanya Raga, Bukan Jiwa

Pagi ini saya menyengaja berangkat ke kantor lewat jalur yang berbeda dari biasanya. Jalanan belum ramai benar meski di beberapa lokasi sudah terjadi sedikit antrian kendaraan. Semua berjalan biasa sebagaimana yang lazimnya terjadi di wilayah pinggiran Jakarta sampai akhirnya saya melihat sebuah pemandangan yang menarik.

Ada seorang suami dan istrinya yang sedang menggendong anaknya yang masih bayi berdiri di salah satu sisi jalan. Sebuah keluarga muda. Suaminya berpakaian necis, lengkap dengan jaket jas dan tas ransel berwarna hitam yang ditaruh di dekat kakinya. Sementara istrinya berpakaian rumahan: rapi, sederhana.

Dari gestur yang terlihat, sang suami sepertinya hendak berangkat kerja (atau ke suatu tempat) dan sang istri, beserta anaknya yang masih bayi, mengantarnya sampai ke pinggir jalan. Saya mengamati keluarga muda itu. Perkiraan saya, keduanya belum genap berusia dua puluh lima, atau di kisaran dua puluh lima dan dua puluh enam.

Pasangan muda itu tampak sedang berbincang kecil. Suasana lalu lintas yang tidak seberapa ramai tidak sampai membuat mereka saling menaikkan suara. Dari amatan saya, sang suami yang terlihat memegang kendali pembicaraan, sementara istrinya tampak khidmat menyimak.

Mungkin ia sedang berpesan kepada istrinya bahwa ia akan pulang terlambat. Saya membayangkan alasan-alasan yang mungkin dikatakan sang suami: bahwa situasi lalu lintas akhir-akhir ini sedang sulit diprediksi, bahwa atasannya di kantor memerlukan bantuannya untuk menyelesaikan pekerjaan yang tenggat waktunya akan habis, bahwa ia akan mengikuti pesta perpisahan teman kantor yang dimutasi ke suatu daerah, bahwa ia akan mengunjungi seorang kenalan yang istrinya baru saja melahirkan, dan alasan-alasan lainnya.

Istrinya tampak sesekali mengangguk dan beberapa detik kemudian, keduanya sudah tampak siap berpisah. Mungkin bus yang akan dinaiki oleh suaminya sudah dekat, atau taksi yang dipesan mereka sudah terlihat. Sang suami menggendong anaknya yang masih bayi, menciuminya, dan tampak sedang mengurapinya dengan kata-kata yang baik sementara sang istri memandangi bapak dan anak itu sambil tersenyum. Setelah menyerahkan sang anak kepada istrinya, ia lalu mencium pipi kiri dan kanan perempuan muda itu, yang diikuti dengan sang istri yang mencium tangan suaminya.

Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan adegan singkat itu karena antrean kendaraan yang ada di depan saya berangsur terurai dan saya harus maju terus. Peristiwa singkat yang baru saja saya lihat barusan itu bisa jadi merupakan peristiwa yang biasa-biasa saja. Mungkin ada yang menganggap bahwa peristiwa istri yang sedang melepas suami untuk bekerja adalah suatu kelaziman, sebagaimana para istri di zaman purba yang melepas suami-suami mereka berburu di alam bebas dan pulang ke rumah membawa hasil buruan yang bisa mereka nikmati.

Tapi saya kemudian tersadar, bahwa meski tampak sederhana, peristiwa kecil itu bisa jadi suatu kemewahan tersendiri bagi pasangan suami istri yang dipisahkan oleh jarak. Long distance love. Long distance relationship. Sebut saja demikian. Pasangan yang, mungkin, baru saja dikaruniai anak, lalu sang ayah harus keburu pergi ke tempat lain demi menyambung mimpi mereka sementara sang ibu menjaga dan membesarkan sang anak di rumah. Atau mereka yang berangkat saat langit masih gelap dan malam masih enggan beranjak. Meninggalkan anak-anak mereka yang masih terlelap dan wajah istri yang masih berbau bantal. Atau kemungkinan-kemungkinan lainnya. Saya tidak tahu.

Peristiwa berpisahnya suami dan istri di pinggir jalan yang agak ramai pagi hari itu mungkin terlihat biasa. Tapi saya tidak memandangnya demikian. Ada banyak dimensi yang terlibat dari peristiwa sederhana itu. Sesuatu yang tampak tenang di permukaan biasanya menyimpan kerumitannya tersendiri di bawah permukaannya. Peristiwa itu juga mengajarkan saya bersyukur, bahwa saya masih diberikan kesempatan untuk melakukan ritual itu betapapun masih jauh dari kata sempurna.

Namun betapapun pahitnya sebuah perpisahan, hati yang saling mencinta akan tetap terpaut. Karena lautan, jalanan, pegunungan, dan hutan-hutan hanya memisahkan raga dengan raga, bukan jiwa dengan jiwa. [wahidnugroho.com]


Meruya, Agustus 2017

Klerikal Adalah Periferal

Pada sebuah kesempatan yang sudah cukup lama berlalu, istri saya berkata kepada anak-anak yang disuruhnya membantu pekerjaan di dapur dengan alasan: supaya kalau sudah nikah nanti, mereka bisa jadi istri yang bisa mengurus rumahnya dengan baik.

Saya tidak sepenuhnya setuju dengan cara pandang semacam itu. Bahwa perempuan -- ketiga anak saya perempuan -- dihimbau agar melatih dirinya melakukan pekerjaan-pekerjaan klerikal seperti bersih-bersih rumah, memasak, mencuci, dan menyetrika baju; saya setuju. Tapi jika upaya melatih diri itu dikaitkan dengan kriteria baik tidaknya pernikahan dan dilekatkan pula dengan peran seorang istri, saya kurang setuju. Kemampuan klerikal, dalam pandangan saya, cenderung periferal. Cenderung.

Oleh karenanya, saya kemudian menawarkan alternatif sudut pandang versi saya kepadanya.

"Belajarlah memasak, belajarlah mencuci, belajarlah melakukan pekerjaan rumah bukan lantaran kamu kelak akan jadi istri, atau demikianlah syarat menjadi istri yang baik di mata suamimu. Tapi belajarlah mengerjakan semua itu karena: pertama, mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan itu tidak ada ruginya buat kalian. Menjadi bisa tidak ada ruginya. Kedua, jika dengan mampunya kalian melakukan pekerjaan semacam itu bisa membantu meringankan urusan orang lain (entah itu suami, orangtua, atau siapapun), maka kerjakanlah dengan sebaik-baiknya. Lakukan jika memang itu bisa memberi manfaat untuk kamu dan orang-orang yang hidupnya beririsan dengan hidupmu. Belajarlah karena memang kalian sendirilah orang pertama yang paling membutuhkan hasil dari proses belajar itu. Belajarlah untuk bisa bukan karena perasaan tidak enak terhadap orang lain, atau demi menyenangkan orang lain."

Istri yang bisa menyelesaikan pekerjaan rumah adalah baik. Tapi kebaikan seorang istri tidak bisa dinilai secara sepihak dari enak tidaknya masakannya, bisa tidaknya ia mengupas bawang merah dengan benar, mampu tidaknya ia membedakan merica dan ketumbar, rapi tidaknya setrikaannya, bersih tidaknya cucian bajunya, dan perkara-perkara klerikal lainnya. Istri yang baik, menurut saya, menyimpan tumpukan profil yang sangat komplek dan, bisa jadi, sangat subjektif. Karena pengkriteriaan (bahasa ini baku atau nggak ya, hehe) itu bisa sangat bergantung pada profil suami yang bersangkutan: latar belakang pendidikannya, termasuk juga pengalaman-pengalamannya saat bersinggungan dengan perkara keperempuanan.

Tema ini belum selesai saya dalami, dan mungkin akan memakan waktu yang sangat panjang. Saya, bersama istri, juga masih mencari formulasi yang tepat, atau setidaknya proporsional, mengenai profil ketiga putri kami terkait dengan peran-peran mereka di masa depan. Tapi, satu saja pesan awal saya buat mereka (sebagaimana yang selalu saya ulang-ulang untuk saya dan istri): bahwa kalau kamu tidak bisa memberi manfaat, maka jangan sampai merugikan.

Sementara itu dulu. Nanti akan disambung lagi, insya Allah. [wahidnugroho.com]


Meruya, Agustus 2017

Bohong

Istri mengabari saya tentang Azka yang menangis di sekolah karena dibohongi oleh teman sekelasnya. Buku yang sedang saya baca lalu saya beri penanda dan saya tutup sementara.

"Saking kesalnya dia, bukunya sampai dia robek-robek, bi," ujar makhluk cantik itu merinci situasi.

"Dia sebenernya udah diingetin sama temen-temennya yang lain supaya jangan berteman sama dia (yang bohongin dia itu)."

Tambahan informasi lagi.

"Panggil kesini anaknya," kata saya.

Saya lalu bertanya kepadanya perihal situasi yang tadi dihadapinya di sekolah, bagaimana ia meresponnya, dan tentang progres pertemanannya dengan si pembohong itu. Ia menjawabnya dengan tenang, nyaris tanpa emosi.

"Dia cuma bercanda, bi. Tapi mbak Azka nggak suka bercanda yang kayak begitu."

Saya menyimak.

"Tapi mbak Azka udah maafin dia kok, bi," ujarnya serius.

Saya lalu menyumbang saran padanya.

"Ini saran dari abi buat kamu. Besok kamu bilang ke, siapa tadi nama temanmu itu.."

Ia menyebut sebuah nama.

"Nah, sama dia, bahwa kamu akan maafin dia atas apa yang terjadi kemarin. Tapi kamu bilang juga ke dia bahwa kamu nggak akan percaya lagi apa katanya."

"Tapi kalau yang dia bilang itu bener gimana, bi?"

"Sebelum dia bohongin mbak Azka, dia juga bilang kalau yang dia bilang itu bener, kan?"

Ia tampak berpikir.

Saya sudah menyampaikan. Tentang bagaimana ia akan memutuskan bersikap, saya serahkan sepenuhnya padanya. [wahidnugroho.com]


Meruya, Agustus 2017

Cerita Tentang Harapan

Ia memang bukan yang pertama, dan ia tahu betul soal itu. Sebelum takdir mempertemukan kami berdua dalam ikatan pernikahan, saya terlebih dulu berproses dengan gadis lain yang kesemuanya berujung pada kegagalan. Bukan hanya sekali atau dua kali, tapi tiga kali. Tapi saya tidak akan merinci kegagalan-kegagalan itu di tulisan ini.


Saya lalu merenung tentang faktor yang membuat saya gagal berproses dengan gadis-gadis yang baik itu. Lama saya merenung sampai akhirnya saya menemukan satu benang merah yang menyatukan ketiganya, yakni harapan. Saya sadar, bahwa saya lalai telah menggantungkan harapan berhasil tidaknya proses taaruf itu kepada selainNya.


Padahal, proses taaruf, kata Mohammad Fauzil Adhim, adalah proses yang sangat sensitif. Sedikit saja terjadi penyimpangan meski dalam skala niat yang paling halus sekalipun, bisa menjungkirkan jalannya proses ke jurang kegagalan. Dan hal itulah yang terjadi pada ketiga proses taaruf saya yang dahulu tak berlanjut ke jenjang yang lebih serius; karena saya berharap terlalu banyak pada ikhtiar manusia.


Saya tidak pernah menyalahkan siapapun atas kegagalan-kegagalan itu kecuali menaruhnya di pundak saya sendiri. Yang salah bukanlah para ustadz dan ustadzah yang menjadi perantara, bukan pula sang gadis dengan keluarganya. Bukan. Yang salah adalah saya sendiri. Sayalah yang menanggungnya. Inilah yang menjadi titik tolak perubahan sikap saya ketika itu hingga akhirnya Allah memberikan saya kesempatan selanjutnya, yakni proses yang keempat.


Proses keempat, yakni proses yang berlangsung antara saya dengan istri saya saat ini, ternyata berbeda. Ketika kabar tentang seorang gadis yang siap dinikahi itu datang, jiwa dan pikiran saya terasa jauh lebih ringan. Saya tidak membuat prasangka apapun terhadap proses ini, termasuk kepada sosoknya yang saya belum tahu dengan pasti itu. Saya niatkan jalannya proses ini, seluruhnya, sesuai dengan kehendakNya. Saya berpasrah sepenuhnya.


Maka proses itu berlangsunglah dan Allah pun menunjukkan kuasaNya satu demi satu kepada proses itu. Kemudahan-kemudahan yang saya dapatkan, keringanan-keringanan yang saya terima, dan kelapangan-kelapangan yang saya alami sepanjang jalannya proses taaruf kemudian menjadi bukti sahihnya. Dan keinsafan saya atas semua bukti itu terjadi dalam jarak yang sangat personal.


Saya selalu percaya bahwa yang mustahil menuai kecewa adalah mereka yang tak pernah menanam harap. Dan menggantungkan harapan kepada Dia Yang Maha Berkehendak, membuat saya tak layak merasa kecewa sedikit pun dengan apapun keputusanNya.


“Kamu tahu, apa yang membedakan proses taarufku bersamamu dibandingkan dengan proses taarufku dengan yang sebelumnya?” tanya saya suatu hari kepadanya.


Kepala yang cantik itu menggeleng anggun.


“Bedanya pada harapan,” saya memulai cerita. Ia lalu mendekat.


Saya lalu menceritakannya sebagaimana yang telah saya tulis di atas dan kepala yang cantik itu pun semakin mendekat. Rapat. [wahidnugroho.com]



Meruya, Agustus 2017