Sabtu, 26 Agustus 2017

Klerikal Adalah Periferal

Pada sebuah kesempatan yang sudah cukup lama berlalu, istri saya berkata kepada anak-anak yang disuruhnya membantu pekerjaan di dapur dengan alasan: supaya kalau sudah nikah nanti, mereka bisa jadi istri yang bisa mengurus rumahnya dengan baik.

Saya tidak sepenuhnya setuju dengan cara pandang semacam itu. Bahwa perempuan -- ketiga anak saya perempuan -- dihimbau agar melatih dirinya melakukan pekerjaan-pekerjaan klerikal seperti bersih-bersih rumah, memasak, mencuci, dan menyetrika baju; saya setuju. Tapi jika upaya melatih diri itu dikaitkan dengan kriteria baik tidaknya pernikahan dan dilekatkan pula dengan peran seorang istri, saya kurang setuju. Kemampuan klerikal, dalam pandangan saya, cenderung periferal. Cenderung.

Oleh karenanya, saya kemudian menawarkan alternatif sudut pandang versi saya kepadanya.

"Belajarlah memasak, belajarlah mencuci, belajarlah melakukan pekerjaan rumah bukan lantaran kamu kelak akan jadi istri, atau demikianlah syarat menjadi istri yang baik di mata suamimu. Tapi belajarlah mengerjakan semua itu karena: pertama, mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan itu tidak ada ruginya buat kalian. Menjadi bisa tidak ada ruginya. Kedua, jika dengan mampunya kalian melakukan pekerjaan semacam itu bisa membantu meringankan urusan orang lain (entah itu suami, orangtua, atau siapapun), maka kerjakanlah dengan sebaik-baiknya. Lakukan jika memang itu bisa memberi manfaat untuk kamu dan orang-orang yang hidupnya beririsan dengan hidupmu. Belajarlah karena memang kalian sendirilah orang pertama yang paling membutuhkan hasil dari proses belajar itu. Belajarlah untuk bisa bukan karena perasaan tidak enak terhadap orang lain, atau demi menyenangkan orang lain."

Istri yang bisa menyelesaikan pekerjaan rumah adalah baik. Tapi kebaikan seorang istri tidak bisa dinilai secara sepihak dari enak tidaknya masakannya, bisa tidaknya ia mengupas bawang merah dengan benar, mampu tidaknya ia membedakan merica dan ketumbar, rapi tidaknya setrikaannya, bersih tidaknya cucian bajunya, dan perkara-perkara klerikal lainnya. Istri yang baik, menurut saya, menyimpan tumpukan profil yang sangat komplek dan, bisa jadi, sangat subjektif. Karena pengkriteriaan (bahasa ini baku atau nggak ya, hehe) itu bisa sangat bergantung pada profil suami yang bersangkutan: latar belakang pendidikannya, termasuk juga pengalaman-pengalamannya saat bersinggungan dengan perkara keperempuanan.

Tema ini belum selesai saya dalami, dan mungkin akan memakan waktu yang sangat panjang. Saya, bersama istri, juga masih mencari formulasi yang tepat, atau setidaknya proporsional, mengenai profil ketiga putri kami terkait dengan peran-peran mereka di masa depan. Tapi, satu saja pesan awal saya buat mereka (sebagaimana yang selalu saya ulang-ulang untuk saya dan istri): bahwa kalau kamu tidak bisa memberi manfaat, maka jangan sampai merugikan.

Sementara itu dulu. Nanti akan disambung lagi, insya Allah. [wahidnugroho.com]


Meruya, Agustus 2017
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar