Jumat, 28 Agustus 2015

Tiba-Tiba Saja Aku Ingin Menulis Tentangmu


Pagi ini kau membuatkanku sebungkus mie instan. Lengkap dengan telur, taburan bawang goreng, cacahan seledri, dan daun bawang cincang. Tak lupa dua buah cabe rawit berwarna jingga cerah kau cemplungkan ke dalam kuahnya.

Ketika mangkuk berisi mie kuah dengan asap mengepul-ngepul itu kau angsurkan kepadaku, aku melihatmu berjalan ke tempat cuci piring dan mencuci perabotan yang sedari malam tersungkur di sana. Aku menatap mangkuk putih susu itu, menyesap aroma mie kuah yang gurih sambil mengenang kejadian demi kejadian yang telah kulewatkan bersamamu.

Seperti baru teringat sesuatu, kau bangkit dari tempat mencuci piring dan berjalan ke arahku. “Keripik tempe?” katamu sambil menyerahkan toples plastik berisi keripik tempe kepadaku. Aku mengambil empat buah keripik dari dalam toples dan meletakkannya di atas meja.

“Aku ambil piring kecil,” tawarmu padaku ketika tahu bahwa keripik-keripik tempe itu kutaruh begitu saja di atas meja kayu bervernis cokelat tua. Aku menolak tawaranmu.

“Tolong ambilkan aku air minum saja,” pintaku.

Kau berjalan ke arah rak piring, mengambil gelas plastik, dan mengisinya dengan air. Suara air mengisi gelas terdengar dari arahmu. Kau kembali ke tempatku duduk, menyerahkan segelas penuh air, dan kembali ke tempatmu mencuci piring.

Dari balik meja tempatku duduk, aku mengamati gerak-gerikmu. Mengamati raut wajahmu. Mengamati diam tenangmu. Mengamati bagaimana tanganmu mencuci piring dan gelas itu satu demi satu. Mengamati cara dudukmu yang sangat kuhapal dengan baik itu. Mengamati caramu menyiduk segayung air dari bak berwarna hitam dan menyiramkannya ke piring-piring dan gelas itu. Mengamati caramu bangkit dari duduk, berdiri, dan berjalan. Mendengarkan suara langkahmu yang halus. Mendengarkan suaramu saat memanggil putri sulungmu untuk bersegera mandi. Aku mengamatimu yang sedang berjalan mendekatiku. Ujung jilbabmu yang panjang bergoyang-goyang seirama langkahmu yang canggung itu. Kau mengenakan gamis berwarna hijau muda. Aku senang melihatmu dengan busana berwarna hijau. Jilbab hijau, manset hijau, rok hijau, blus hijau, gamis hijau. Warnanya yang sejuk seirama dengan warna kulitmu yang cerah itu. Pernah aku tertegun ketika mendapatimu mengenakan setelah blus dan jilbab hijau. Betapa cantiknya dirimu ketika itu.

Bunyi denting sendok dan garpu yang beradu dengan dasar mangkuk memecah kesunyian. Aku menyudahi menu sarapan sederhana itu dalam durasi yang sedikit agak lama demi menikmati dirimu yang tercandra mata yang lelah ini. Mata yang hari-harinya begitu nanar memandangi hidup yang makin sulit dan menyaksikan bebannya yang makin menghimpit.

Terkadang, ketenangan dari istri bagi seorang suami tidak menuntut sesuatu yang rumit. Sekedar memandangi dirinya, menyentuhi tangannya, membaui subtil aroma tubuhnya, menyesap wangi rambutnya, memeluk pinggang dan pinggulnya yang mungkin sudah tidak sekencang dulu, merayapi setiap lekuk tubuhnya yang bisa jadi tidak semulus dahulu, atau sekedar mendengar suaranya yang tak lagi selembut beberapa tahun yang lalu, bagiku, terkadang -- sekali lagi terkadang -- sudah lebih dari cukup.

Maka jadilah sepagi itu aku dianugerahiNya sebuah ketenangan yang menyusupi relung batinku yang terdalam. Hanya dengan memandangimu, mendengarkan suaramu, mengamati gerak-gerikmu, aku merayakan hadirnya lelehan kesejukan dan menyublimnya ketenangan, yang secara perlahan merasuki rongga jiwa dan menyesaki bilik-bilik hati. Deras, menyejarah. Entah sampai kapan. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Agustus 2015

Minggu, 23 Agustus 2015

Pilkada Banggai, Ah, Sudahlah

“Menurut pak Wahid, siapa yang harus kita pilih di Pilkada Banggai nanti?”

Tete Haji melayangkan pandangannya kepada saya di sela-sela acara yasinan di rumah jumat pekan lalu. Suara para jamaah yasinan yang sedang menikmati semangkuk milu siram panas berdengung-dengung di belakangnya.

“Semua kandidat bagus, Tete,” jawab saya dengan volume suara yang agak keras. Tete Haji memang punya masalah pendengaran.

“Saya belum tau mau pilih siapa. Bisa jadi saya pilih semua karena semuanya bagus-bagus.”

Saya tertawa. Ia mengangguk dan melontarkan senyumannya yang khas.

Ketika sebagian besar jamaah yasinan sudah pulang, obrolan pun berlanjut ke persoalan Pilkada yang akan dihelat pada bulan Desember nanti bersama bapak-bapak komplek yang masih tersisa. Ketika masing-masing orang sudah menyampaikan aspirasinya, maka tibalah kepada saya.

“Jadi pak Wahid kira-kira mau dukung siapa?”, tanya tetangga saya.

Maka saya menjawab kurang lebihnya begini (dengan beberapa penyesuaian).

“Saya ini orang pendatang, tidak terlalu tertarik dengan pilkada. Waktu tahun 2011 yang lalu, saya malah nggak tau sama sekali siapa-siapa aja calonnya. Pilihan saya ketika itu, kalo boleh dibilang, bersifat pragmatis. Sekedar ngikut saja. Kenapa? Karena SK saya bukan ditandatangani sama pak bupati, with all due respect. Jadi mau siapapun bupatinya, nggak ngaruh sama penempatan saya, pangkat saya, jabatan saya, bahkan jumlah gaji dan tunjangan saya.”

Dan sikap itu pun berlangsung sampai detik ini.

Saya merasa telah memberikan jawaban yang tepat dan sesuai dengan kapasitas saya yang hanya warga pendatang ini. Sejak era pemilihan kepala daerah secara langsung, terhitung baru 3 kali saya ikut memilih. Pertama ketika pilkada Banten tahun 2006, pilkada DKI tahun 2007, dan pilkada Banggai tahun 2011 silam. Di luar pilkada Banggai, barangkali cuma pilkada Banten yang saya terlibat secara langsung sebagai saksi salah satu calon ketika itu. Pilkada DKI Jakarta ketika itu pun saya ikuti secara tak sengaja karena waktunya hanya berselisih beberapa hari dengan kematian bapak saya. Sehingga saya yang terpaksa sedang berada di Jakarta pada tanggal-tanggal tersebut menyempatkan diri untuk memilih dan tidak mengikuti perkembangan sesudahnya karena sudah kembali ke Luwuk.

Kini, pilkada Banggai sudah di depan mata. Meski saya sempat dituduh yang “nggak-nggak” dalam kasus telepon gelap yang kemarin itu, saya tetap berkeyakinan bahwa pilkada Banggai, dan mungkin juga pilkada-pilkada lain ke depannya akan saya anggap sebagai angin lalu saja dan penambah bekal cerita-cerita yang kelak akan saya rekam dan catat sebagai bagian dari hidup saya. Namun saya tetap mendoakan supaya pilkada kali ini berjalan dengan damai, aman, lancar, dan melahirkan sosok pemimpin, siapapun ia, yang dapat membawa kabupaten yang indah ini menuju ke arah yang lebih baik. Karena siapapun yang kelak akan terpilih, saya mungkin sudah akan meninggalkan daerah ini dan dimutasi ke daerah lain.

Dan tahukah Anda? Ini adalah kali pertama saya menulis tentang pilkada Banggai di blog ini? Sesuatu yang sebenarnya sangat saya hindari jika tidak ada hal penting yang ingin saya sampaikan sehubungan dengan kesibukan yang telah menyita waktu saya sehari semalam. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Agustus 2015 

Kamis, 20 Agustus 2015

Mimpi Mamak

Awal mulanya adalah sebuah mimpi.

Sekitar dua pekan yang lalu, mamak saya bercerita bahwa beliau baru saja bermimpi aneh. Di dalam mimpinya, beliau melihat saya hanya memakai celana saja, tanpa kaus dan baju yang menutupi bagian atas tubuh saya. Dengan wajah penuh kecemasan, beliau menafsirkan mimpi itu sebagai pertanda bahwa saya akan menemui sebuah peristiwa yang berpotensi membuat saya dipermalukan. Dipermalukan dalam hal apa? Entahlah.

Saya lalu menenangkan beliau seraya berkata bahwa insya Allah semuanya baik-baik saja. Saya merasa bahwa hidup saya tidak melenceng-melenceng amat. Kalaupun saya pergi ke kantor dengan hanya beralaskan sendal itu bukan sebuah aib yang perlu dikhawatirkan. Atau kebiasaan saya nyeker di ruangan dan berjalan sambil membaca hingga kadang tersandung pun bukan sebuah masalah yang perlu dirisaukan. Saya merasa hidup saya biasa-biasa saja. Kalaupun ada sedikit kenakalan yang saya lakukan, rasa-rasanya kenakalan itu masih bisa ditolerir. Kalaupun ada kelakuan saya yang agak memalukan, rasa-rasanya juga nggak parah-parah banget hehe.

Saya juga mengingat hutang-hutang saya dan bertanya dalam hati; apakah karena sebab hutang ini saya akan dipermalukan? Bisa jadi demikian berhubung saya masih punya ’sangkutan’ dengan beberapa orang dalam jumlah yang cukup lumayan. Atau mungkin ada buyer saya yang memendam kekecewaan dengan barang jualan saya yang bisa jadi tidak sesuai dengan seleranya. Kemungkinan itu pun telah saya masukkan ke dalam kotak termasuk beberapa kemungkinan lain.

Hari-hari kemudian berjalan sebagaimana biasa. Saya mengantar anak-anak ke sekolah, mengadakan perjanjian, melakukan pertemuan, rapat-rapat kecil seperti biasa, melakukan pekerjaan saya di kantor seperti biasa, dan membaca buku-buku yang kian menumpuk juga sebagaimana biasanya. Sampai akhirnya sebuah telepon dari nomor asing menghubungi saya hari Rabu (19/8) sore kemarin. Mendapati nomornya yang berawalan 0811, saya menduga bahwa sang penelepon adalah salah satu wajib pajak yang sedang saya periksa. Kenapa saya sampai menduga demikian? Karena nomor berawalan 0811 hanya bisa dimiliki oleh orang-orang tertentu. Orang-orang yang sudah lama menikmati teknologi seluler jauh sebelum teknologi itu akrab dengan kebanyakan kita saat ini. Singkat cerita: nomor itu bukan milik sembarang orang.

Adalah sebuah hal yang aneh ketika saya mengangkat nomor asing di handphone lawas saya. Aneh, karena saya tidak biasa mengangkat telepon dari nomor yang tidak ada namanya di handphone tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Trauma dengan sales kartu kredit yang seolah tanpa ujung membuat saya lebih berhati-hati menerima telepon dengan melakukan proses verifikasi a la saya terlebih dulu.

Singkat cerita, nomor berawalan 0811 itu menelepon dan saya mengangkatnya. Terdengar suara serak dan agak berat. Ia bertanya apa benar nomor yang diteleponnya itu adalah milik saya yang juga pengelola Lauwe Cloth, saya mengiyakan. Awalnya saya membatin, kenapa tiba-tiba ada yang bertanya Lauwe Cloth, usaha kaos distro yang saya buka pada tahun 2011 silam, hari ini? Mungkin sang penelepon lagi butuh kaos distro, batin saya ketika itu. 

Namun prasangka saya ternyata meleset. Sang penelepon menyebut nama sebuah akun facebook berinisial CM. Sebuah akun yang secara kebetulan juga sedang saya amati sepak terjangnya akhir-akhir ini di sebuah forum diskusi di Facebook bernama Luwuk Post itu. Sang penelepon berkata bahwa nomor handphone saya yang sedang diteleponnya itu ternyata terkoneksi dengan akun tersebut. 

Makjang! Betapa syok dan terkejutnya saya ketika itu. 

Memang kalau mau melakukan kilas balik, grup yang awalnya adem-ayem-tentrem itu tiba-tiba saja meriuh dalam beberapa hari terakhir. Ada beberapa nama yang menarik perhatian saya, dan salah satunya adalah si CM tersebut yang saya nilai cukup mendobrak kesunyian grup dengan postingan-postingannya yang cukup menghangatkan suasana. CM bahkan tak segan melabrak ke sana dan ke sini demi memuaskan hasrat keingintahuannya yang tinggi. Ada beberapa member yang sebagiannya saya kenal secara pribadi turut nimbrung di dalam postingannya di sana. Saya yang hanya silent reader di grup itu sambil sesekali memposting beberapa informasi seputar donor darah dan rumah yang saya baca mau tidak mau jadi ikut menikmati dinamika yang terjadi di dalam grup tersebut. 

Kembali ke soal penelepon.

Syok yang sedemikian rupa membuat saya melongo beberapa saat. Kaget campur heran dosis tinggi melanda saya ketika itu. Prasangka awal yang tadinya saya kira calon pembeli kaos distro yang sudah almarhum itu ternyata justru membawa berita yang mengejutkan buat saya. Dengan kata lain, dari nada bicara sang penelepon yang investigatif, saya menduga bahwa saya tengah dicurigai berada di balik sang akun palsu tersebut. Ajegile!

Saya lalu bertanya balik kepada penelepon tentang identitasnya yang ternyata malah langsung ditutupnya tanpa menjawab. Atas kelakuannya yang kurang menyenangkan itu, wajar bila saya menganggapnya sebagai telepon gelap. Karena penelepon yang beradab pasti akan memperkenalkan dirinya terlebih dulu sebelum bertanya kepada orang yang baru kali pertama diteleponnya. 

Kisah lalu berlanjut.

Kata-kata Lauwe Clothing membuat saya jadi teringat dengan usaha kaos distro itu. Usaha yang saya mulai sejak saat pelaksanaan MTQ di Kabupaten Banggai beberapa waktu yang lalu itu sudah tidak berlanjut lagi. Akun facebook yang saya daftarkan sejak tahun 2011 pun sudah saya lupakan username dan passwordnya. Lalu tiba-tiba saja tidak ada angin dan tidak ada hujan, empat tahun setelahnya, ada orang asing yang menelepon saya dan bertanya tentang usaha itu, lalu tiba-tiba menukikkan pertanyaannya ke soal akun palsu yang membuat – bagaimana saya menyebutnya –  keresahan di sebuah grup facebook? Saya hanya bisa geleng-geleng kepala karena tidak percaya.

Lagipula saya ini siapa? Orang asli Luwuk bukan. Cuman pendatang yang ditakdirkan menikah dan berketurunan di Luwuk. Lagipula apa urusan saya dengan Luwuk Post sampai saya harus repot-repot mengkritisi mereka di forum publik? Kalau saja bung Herdiyanto selaku pemred Luwuk Post bawa lari uang saya (ini cuma contoh ya gan hehe) mungkin saya bakal bikin keributan di sana. Hla hidup saya yang selama ini adem ayem lagi harmonis sama Luwuk Post selama bertahun-tahun kok tiba-tiba saja jadi berubah sedemikian rupa hanya karena kelakuan sebuah akun palsu yang entah siapa orang di sebaliknya? 

Tidak tinggal diam, saya lalu mensearch nama akun Lauwe Cloth itu di fasilitas pencarian facebook, hasilnya nihil. Saya mencarinya di google dan hasilnya masih juga nihil. Padahal saya ingat betul dulu pernah membuat akun FB Lauwe Cloth sebagai sarana bakulan kaos saya hanya saja saya lupa sama sekali dengan username dan juga passwordnya. 

Saya lalu mengirim pesan kepada penelepon bahwa bisa jadi akun Lauwe itu diambil (dihack) oleh seseorang entah siapa, dengan cara entah bagaimana, lalu mengganti nama akunnya dengan akun berinisial CM, dan melakukan keriuhan di grup tersebut. Ketika menawarkan teori pembelaan diri itu kepada si penelepon, saya paham betul bahwa posisi saya memang sangat lemah. Belum lagi ketika membaca respon sang penelepon melalui pesan singkat yang dikirimnya dimana seolah-olah ia telah menjudge saya sebagai pihak yang harus dimintai tanggungjawab tanpa melakukan penelusuran terlebih dahulu!? Padahal bisa jadi saya juga korban dari perilaku tidak bertanggungjawab itu: membajak akun milik saya dan menyalahgunakannya untuk kepentingan tertentu? Meski saya ketika itu sudah tidak terlalu berselera menjawab pesan singkat tersebut, pada akhirnya saya tetap membalasnya juga.

Saya lalu menghubungi seorang wartawan Luwuk Post yang menjadi teman saya di facebook bernama Zulhelmi Alting alias Bimbim dan berdiskusi cukup banyak dengannya. Ia mengaku bahwa yang menelepon saya tadi itu adalah temannya. Dari situ saya berkesimpulan bahwa sang penelepon juga bagian dari jaringan Luwuk Post. Saya berterima kasih dengan pengertiannya dan juga atas asas praduga tak bersalahnya kepada saya meski saya juga mengutarakan keberatan saya dengan ‘tuduhan’ sang penelepon gelap itu melalui pemilihan kalimatnya yang terkesan memojokkan saya. Saya kemudian memberikan sedikit penjelasan dan kronologis atas apa yang sebenarnya sudah terjadi, termasuk juga sekilas tentang respon saya dengan dinamika yang terjadi di dalam grup Luwuk Post itu. 

Tapi sudahlah, saya awalnya tidak mau terlalu ambil pusing dengan sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi urusan saya. Meski saya kepikiran juga dengan pesan singkat bernada ‘tuduhan’ itu sehingga saya akhirnya memutuskan untuk menuliskan kronologis tak sempurna ini kepada khalayak umum, sebagai langkah antisipatif saya sebelum perkembangannya menjadi spekulasi yang tidak menentu. Saya juga tetap mencoba menghargai upaya teman-teman di Luwuk Post untuk mengelola dan menata keriuhan yang ada di grup facebook itu menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi publik dengan tetap mengedepankan itikad yang baik dan menjaga silaturahim sebagai sesama warga Luwuk yang saling bersaudara.

Lalu, apa hubungan cerita tak penting ini dengan mimpi mamak saya? Entahlah. Saya berharap agar peristiwa yang aneh nan ganjil ini hanya akan menjadi bunga-bunga kehidupan yang akan saya ceritakan kepada anak-anak saya kelak.

Moga Allah mudahkan urusan ini. Amin. [wahidnugroho.com]



Tanjung, Agustus 2015

Rabu, 12 Agustus 2015

Soal Kliping

Ulil Abshar Abdalla.

Lupakan. Lupakan soal pendapatnya yang kerap ngawur dan seringkali berseberangan dengan pendapat mayoritas umat Islam di Indonesia. Karena dari sosoknya yang penuh kontroversial tersebut saya mendapatkan pelajaran yang berharga. Namun sebelum berbincang tentang pelajaran macam apa yang bisa kita ambil dari seorang Ulil, terlebih dulu saya hendak mengulas sedikit asbabun nuzulnya.

Damien Dematra, salah seorang novelis asal Indonesia, pernah menulis sebuah novel yang dijudulinya Sejuta Hati Untuk Gus Dur. Buku itu diadaptasi dari film Gus Dur The Movie yang sedianya disiapkan untuk diputar pada milad ke 70 Gus Dur pada tahun 2010 silam. Apa lacur, Gus Dur justru berpulang lebih cepat setahun sebelum rencana itu terwujud. Buku ini adalah hasil inisiatif spontan sang penulis yang akhirnya mengonversi skenario film tersebut ke dalam bentuk novel. 

Novel itu kemudian diberi kata sambutan, salah satunya, oleh Ulil Abshar. Dalam sambutannya, Ulil berkisah tentang kebiasaannya ketika masih menjadi santri di Madrasah Mathali'ul Falah, Pati, yakni kegemarannya membeli koran bekas dalam bentuk kiloan. Koran-koran bekas itu lalu ia pisahkan khusus pada bagian opini. Bagian opini itu kemudian ia gunting dan dikliping menjadi satu. Salah satu opini yang kerap diklipingnya itu adalah tulisan karya salah satu ulama idolanya: Gus Dur.

Terus begitu. Selama bertahun-tahun, ia mengumpulkan opini demi opini dari sosok-sosok yang dikaguminya. Setiap hari ketika ada waktu senggang setelah mengkaji kitab kuning di pesantren, ia akan melahap kliping-kliping itu dengan perasaan penuh takzim. Seolah sang tokoh yang diidolainya tengah berbicara langsung dengan Ulil muda yang rakus membaca itu.

Pengalaman Ulil dalam hal mengumpulkan opini penulis yang dikagumi rasa-rasanya pernah saya alami juga. Jika Ulil mengumpulkan koran-koran bekas secara kiloan, maka saya memulainya dengan mengkliping tulisan-tulisan di majalah Tarbawi sejak tahun 2001 silam. Tulisan yang saya kumpulkan terutama adalah kolom Assasiyat yang diampuh oleh ustadz Rahmat Abdullah, dan belakangan Serial Kepahlawanan yang ditulis oleh ustadz Anis Matta. Biasa saya memfotokopinya dan mensteplesnya begitu saja supaya tidak tercerai-berai. Sampai saya lulus kuliah pada tahun 2006, fotokopi itu berhasil saya kumpulkan sampai berjumlah empat bundel. 

Sebenarnya kalau mau ditarik lebih ke belakang lagi, keinginan untuk mengkliping tulisan-tulisan yang menarik perhatian saya sudah ada sejak saya SD. Dulu, bulik saya berlangganan majalah Ummi. Selain rubrik Permata yang dikhususkan untuk anak-anak, rubrik lain yang menarik perhatian saya justru pada Kolom Ayah yang dahulu diasuh oleh ustadz Anis Matta. Namun entah karena alasan apa, beliau melarang saya untuk mengguntingi bagian-bagian yang saya gemari itu. Maklum, dulu waktu masih kecil saya belum kenal mesin fotokopi. 

Kalau dipikir-pikir, kebiasaan membaca saya ketika masih SD itu lumayan aneh juga. Nyaris setiap hari saya membaca koran Poskota yang dibawa oleh mbah saya yang supir bajaj itu setelah membaca bagian karikaturnya. Saya juga melahap tabloid Nova yang jadi langganan mamak. Salah satu kolom favorit saya justru kolom konsultasi hukum yang dulu diasuh oleh Nursjahbani Katjasungkana selain rubrik Sedap Sekejap. Benar-benar selera baca yang aneh.

Selain kebiasaan mengumpulkan tulisan-tulisan yang menarik, saya juga suka memfotokopi buku-buku yang menurut saya bagus. Salah satunya adalah buku yang berjudul Tarbiyah Menjawab Tantangan ketika masih SMA dulu. Ketika saya diamanahi untuk memfotokopi sebuah bundel oleh teman sekelas, kesempatan itu tidak saya lewatkan untuk mencari tempat fotokopi termurah yang ketika itu ada di jalan Haji Mencong, meminjam buku Tarbiyah Menjawab Tantangan milik seorang teman, dan memfotokopinya berbekal akumulasi marjin ongkos fotokopi yang jumlahnya cukup lumayan itu. Setelah memfotokopinya, saya memandangi kopian buku itu dengan penuh takzim, membacainya pelan-pelan, satu demi satu, meski saya tidak sepenuhnya mengerti dengan apa yang saya baca itu. 

Belasan tahun kemudian, saya berkesempatan untuk memiliki buku yang bersejarah itu dengan harga yang cukup miring dari seorang penjual toko buku online di facebook. Kebahagiaan saya pun membuncah tak terkira karenanya.

Kiranya, apa alasan mengumpulkan opini atau tulisan tersebut? Kedekatan emosional. Mungkin jawabannya demikian.

Ahmad Isa Asyur pun demikian ketika ia mulai mengumpulkan ceramah-ceramah Hasan Al Banna yang dilakukan setiap Selasa malam di Markaz Ikhwan Mesir hingga akhirnya dibukukan menjadi sebuah buku tersendiri. Dahulu, di barisan belakang majelis yang tak begitu mencolok, Ahmad muda mencatat kata-kata Imam Syahid yang meluap-luap dengan keahlian stenografi yang dimilikinya. Ketika redaksi majalah Tarbawi mengumpulkan kembali tulisan-tulisan ustadz Rahmat Abdullah dan membukukannya dengan judul Pilar-Pilar Asasi, belakangan diekstensi menjadi Untukmu Kader Dakwah, salah satu alasan yang mengemuka adalah mengenai “misi pewarisan”. Jadi, di samping alasan kedekatan emosi, misi pewarisan bisa jadi alasan yang berada pada “level selanjutnya”. Bisa jadi, pengumpulan opini dan proses trankripsi ceramah-ceramah ustadz Anis Matta ke dalam bentuk buku merupakan bagian dari proses pewarisan tersebut.

Kini, zaman telah berubah dan teknologi informasi telah menjadi kebutuhan yang tidak bisa terelakkan. Jika dahulu kliping adalah sarana pengumpulan opini yang paling mudah dijalani, sekarang sudah ada banyak situs-situs yang bisa mengumpulkan aneka rupa opini dalam jumlah yang nyaris tanpa batas. Kegiatan mengumpulkan opininya masih tetap sama, namun dalam bentuk yang berbeda. 

Bagaimana dengan Anda? [wahidnugroho.com]



Tanjung, Agustus 2015