Senin, 18 Juli 2011

Strip Dua

Entahlah. Saya tidak bisa meluapkan cita yang menyala di dalam hati ini dengan kata berderai. Ada semacam kebahagiaan yang membuncah saat kabar gembira itu datang. Walau sempat terbetik keraguan apakah kami bisa menjalani amanah ini dengan baik, tapi saya tetap berprasangka-baik kepadaNya.

Saya sendiri merasa ada luapan energi yang begitu bergolak di dalam diri ini saat kegundahan itu berjumpa kepastian. Anak-anak adalah amanah sekaligus anugerah, bagaimanapun cara dan masa mereka hadir di dunia ini. Kehadirannya tentulah harus disambut dengan gembira, senyum, dan perasaan penuh kesyukuran padaNya.

Semoga momen ini menjadi titik-tolak perubahan saya ke arah yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Allah, mudahkanlah urusan kami ini. Selamat datang Ramadhan, selamat datang pula (calon) anakku.. Insya Allah. [wahidnugroho.blogspot.com]

H2, Juli 2011

Minggu, 17 Juli 2011

Impian Sederhana Tentang Bacaan Anak-Anak Kita

Malam itu saya sedang asyik-masyuk dengan buku yang sedang saya baca. Istri dan kedua putri saya sudah terlelap sejak beberapa jam yang lalu. Buku berjudul Room To Read yang ditulis oleh John Wood itu sebenarnya sudah lama sekali saya tamatkan. Malam itu, entah kenapa, saya meninggalkan buku The Historian-nya Elizabeth Kostova yang sedang saya baca dan beralih ke buku berkover biru langit itu, untuk sekedar membolak-balikan satu dua halamannya.

Room To Read adalah sebuah memoar inspiratif yang ditulis oleh John Wood, seorang mantan eksekutif di Microsoft. Perjalanannya ke Nepal dan mendapati bahwa negeri itu diliputi oleh keterbatasan sarana pendidikan berupa buku telah mengubah jalan hidup John secara drastis. Pekerjaan yang mapan dan penghasilan yang besar ditinggalkannya untuk kemudian memulai kehidupannya sebagai seorang filantropis yang bergerak dalam bidang pendidikan melalui Room To Read, sebuah organisasi nirlaba yang didirikannya bersama teman-teman seidenya.

Tapi kali ini saya tidak sedang membuat tulisan tentang buku itu. Saya hanya tertarik dengan tulisan John ketika dia bercerita tentang masa kecilnya yang sangat lekat dengan buku. Begini katanya:

Semangat saya untuk membangun sebuah perpustakaan bisa ditelusuri secara langsung ke masa kecil saya. Ingatan saya yang paling awal dan paling jelas adalah membaca. Hari Minggu, ibu saya biasanya merangkai cerita dari bagian komik surat kabar untuk kegembiraan saya. Mata saya mengikuti gambar-gambar berwarna itu dan saya menanamkan cerita-cerita itu ke dalam ingatan. Menjelang tidur, saya selalu mendesak agar dibacakan berulang-ulang karya-karya Dr. Seuss: Go, Dog. Go!; Green  Eggs and Ham; There’s a Wocket in my Pocket!. Selama perjalanan yang panjang dengan keluarga di dalam mobil, hidung saya biasanya terikat di buku, sementara saudara laki-laki dan perempuan saya saling memukul. Saya membaca dengan begitu rakus sehingga anggaran terbatas orangtua saya tak bisa mengimbangi. “ [Room To Read, halaman 20]

Kisah John berlanjut saat sang ayah membelikannya hadiah berupa sepeda di Hari Natal-nya yang kesepuluh. Dengan sepeda tersebut, John kecil menghabiskan akhir pekannya ke perpustakaan umum di Athens, Pennsylvania, yang berjarak tiga mil dari tempat tinggalnya. John juga bercerita tentang “pelanggaran kecil” yang dilakukannya bersama petugas perpustakaan.

Sebagaimana perpustakaan lainnya, perpustakaan tempat John membaca hanya mengizinkan delapan buku saja yang bisa dibawa pulang, sedangkan John menginginkan lebih dari itu. Ceritanya bisa ditebak. John membuat kesepakatan rahasia dengan petugas perpustakaan, yakni hanya dirinyalah yang boleh meminjam buku melebihi batas minimal menjadi dua belas buku.

John juga menuliskan tentang kebiasaannya membaca selain buku pelajaran ketika kelas sedang berlangsung. Tentang bagian ini, saya akui kalau saya juga salah satu pelakunya. Biasa saat guru menjelaskan, saya akan meletakkan buku komik atau buku lain di balik buku pelajaran yang sedang dibahas atau di kolong meja.

Membaca kisah John kecil di atas, saya teringat dengan buku-buku yang saya belikan untuk kedua putri saya. Buku-buku bergambar dengan tema-tema sederhana untuk balita itu memang sengaja saya beli agar masa kecil kedua putri saya selalu lekat dengan buku. Sebelumnya, saya juga pernah membeli beberapa buku anak obralan yang nasibnya sudah berakhir menjadi serpihan kertas yang tak tentu lagi rimbanya. Perpustakaan mini saya pun sempat terkena imbas semangat “kreativitas” kedua putri saya itu. Buku yang sedang saya bahas ini pun, seingat saya, entah sudah berapa kali terkena ompol putri-putri saya hehehe...

Impian saya ini sebenarnya sederhana saja. Kalau John dan beberapa anak lain di belahan dunia ini memiliki kenangan dengan buku-buku di masa kecil mereka, saya pun ingin anak-anak saya demikian. Hanya saja, bukan kisah Putri Salju atau Cinderella yang kelak akan mereka kenang, namun buku-buku bergizi yang akan membentuk mind-set mereka menjadi muslimah yang berarti dalam penilaianNya.

Semoga saja, apa yang saya impikan ini juga menjadi impian bagi anak-anak Anda pula. Mungkin suatu hari entah kapan, anak-anak kita tak lagi berdiskusi tentang siapa yang lebih cepat antara si Kancil atau Kura-Kura, atau tentang ukuran sepatu kaca Cinderella yang tak muat di kaki Drunella, atau kisah hidung panjang si Pinokio dari daratan Italia yang tak jelas kebenarannya, tapi kisah-kisah kepahlawanan Khalid di medan Mu’tah, atau kisah para satria muslim di bukit Badar, atau kisah heroik penggali parit yang dikomandoi seorang pemuda Persia bernama Salman, atau kisah orang pemuda Al Fatih yang berhasil mendobrak tembok kukuh Konstantinopel.

Semoga. [wahidnugroho.blogspot.com]



H2, Juli 2011

Jumat, 15 Juli 2011

Furs e Ordinacions

Furs e Ordinacions Fetes par Los Gloriosos Reys de Aragon als Regnicols del Regne de Valencia atau Maklumat dan Peraturan untuk Valencia merupakan buku yang telah lama diincar oleh Don Vincente.  Buku yang dicetak pada tahun 1482 oleh Lamberto Palmart, percetakan pertama di Spanyol ini awalnya dimiliki oleh seseorang yang tak dikenal. Don Vincente sendiri adalah biarawan Spanyol abad sembilan belas yang mahsyur sebagai seorang pencuri buku. Setelah lama menghilang, ia kemudian membuka toko buku antik yang memiliki jumlah koleksi luar biasa besar di Barcelona. Konon, ia justru dikenal lebih banyak membeli buku ketimbang menjualnya. Furs e Ordinacions ini merupakan volume yang sudah lama diincarnya.

Pada tahun 1836, pemilik buku ini meninggal dunia dan ahli warisnya kemudian melelang buku tersebut. Sebagai buku yang diduga merupakan satu-satunya edisi yang masih tersisa, Don Vincente sangat terobsesi untuk memilikinya. Oleh karenanya, Don Vincente telah menyiapkan uang dalam jumlah yang sangat banyak agar bisa mendapatkan buku idamannya yang berusia tiga setengah abad itu.

Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak, justru Augustino Patxot, pemilik toko buku yang letaknya berdekatan dengan tokonya Don Vincente-lah yang berhasil mendapatkannya. Kegagalan itu menghancurkan hati Don Vincente. Sepanjang perjalanannya ke rumah usai pelelangan, ia tak henti-hentinya menggumamkan kemarahan. Laiknya orang yang hilang akal, ia  memaki dan mengancam semua yang ada di dekatnya. Ia bahkan tidak mengambil reales de consolacion, semacam uang tips yang diberikan oleh penawar tertinggi kepada penawar tertinggi kedua menurut tradisi lelang di Spanyol, yang jumlahnya lumayan banyak.

Beberapa hari kemudian, terjadi kehebohan di lingkungan tempat tinggal Don Vincente. Sebuah kebakaran hebat melahap toko Augustino Patxot dan membakar sang pemiliknya hingga hangus. Di antara reruntuhan bangunan dan mayat sang pemilik, ditemukan juga mayat sembilan orang sarjana yang juga terbakar sampai hangus. Menariknya, di tubuh ke-sembilan mayat tersebut ditemukan luka tikaman benda tajam. Pihak berwenang yang menangani kasus ini mencium bau busuk dari tetangga sang korban, Don Vincente.

Kegemparan yang terjadi di arena lelang tempo hari yang lalu menjadi alasan kecurigaan pihak berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap kediaman Don Vincente. Dan benar saja. Setelah rumahnya digeledah, pihak yang berwenang menemukan banyak sekali buku yang disembunyikan Don Vincente di bagian tertentu rumahnya, termasuk buku Furs e Ordinacions yang menjadi asal-muasal kegemparan tersebut.

Don Vincente kemudian diadili. Awalnya ia menolak untuk mengakui perbuatannya. Namun setelah ia yakin bahwa hakim akan memelihara perpustakaannya ketika ia ditahan, dia pun mengakui perbuatannya yang telah mencekik Augustino Patxot sampai tewas dan menikam kesembilan sarjana lain yang sedang ada di situ dan kemudian membakar rumah tetangganya itu.

Hakim dan juri yang ada di pengadilan pun bertanya-tanya, kenapa bukan uang tapi justru buku yang dicuri oleh tersangka, dengan tenang Don menjawab, “Aku bukan pencuri”. Terperanjat dengan reaksi tersangka, hakim pun menanyakan alasan Don membunuh tetangganya itu. Dengan dosis ketenangan yang nyaris tak berubah, Don berkata, “Setiap orang pasti mati, cepat atau lambat, buku-buku yang bagus harus dipelihara."

Mendapati jawaban nyeleneh seperti itu dari kliennya, pengacara Don kemudian membantahnya dengan berkata bahwa kliennya tersebut sakit jiwa. Selain itu, sang pengacara menyampaikanb bahwa dia baru saja mendapatkan kabar bahwa ada edisi lain buku tersebut di Paris. Sang pengacara berpendapat bahwa dengan adanya alasan ini, buku yang ditemukan di rumah Don Vincente itu tidak terbukti sebagai milik Patxot. Hakim tidak menggubris ocehan sang pengacara dan langsung menjatuhkan hukuman mati kepada Don Vincente pada tahun 1836 di Barcelona.

Kisah unik tersebut menginspirasi Gustave Flaubert untuk membuat sebuah cerita pendek yang berjudul Bibliomanie, yang ditulis  saat usianya menginjak lima belas tahun di tahun yang sama saat Don Vincente dieksekusi.

Tom Raabe dalam Bibliocholism, The Literary Addiction mengatakan bahwa Bibliomania atau penyakit gila buku merupakan “penyakit kejiwaan” yang ditandai dengan kegemaran seseorang untuk membeli dan mengoleksi buku tanpa pernah dibaca. Bibliomania berbeda dengan Bibliophil, penyakit gila buku, yaitu membeli buku banyak-banyak dan membaca semuanya sampai-sampai usianya habis hanya untuk membeli dan membaca buku. Kisah Don Vincente di atas merupakan contoh dari Bibliokleptomania, yakni pencuri buku.

Selain Don Vincente, ada lagi kisah Stephen Carrie Blumberg, warga Ottumwa sebuah kota kecil di AS yang kisah pencurian bukunya sangat mahsyur, karena jumlah curiannya yang mencapai jutaan dollar. Atau seorang John Gilkey yang melakukan penipuan dengan beragam cara untuk bisa mendapatkan buku yang diincarnya.

Orang-orang seperti Don Vincente, Gilkey, dan Blumberg memang tidak mencuri untuk keuntungan, karena buku-buku yang mereka curi ternyata hanya mereka simpan sebagai bagian dari koleksi perpustakaan mereka. Tapi kejahatan, atas dasar apapun, tentu tak bisa ditolerir, apalagi kalau sampai merugikan pihak lain dan, bahkan, menghilangkan nyawa seseorang.

Kecintaan yang berlebihan memang kerap menyisakan luka jika hanya bertepuk sebelah tangan, termasuk dalam urusan perbukuan. Membaca kembali kisah Don Vincente di atas, terus terang saya cukup bingung ingin menyikapinya seperti apa. Apakah saya harus prihatin, marah, tertawa, atau bagaimana?

Entahlah. [wahidnugroho.blogspot.com]



H2, Juli 2011

Amuk Anak

Mbak Azka, putri pertama saya, mengamuk. Ia mengoceh tak jelas, kakinya menendang ke segala arah, wajahnya berkerut, bibirnya yang sudah manyun semakin manyun ke depan. Entah apa maunya, saya tidak mengerti. Saya tanya kepadanya, “Mbak Azka mau apa?”, yang ditanya hanya mengekspresikan apa yang sudah saya sebut di awal paragraf ini. Saya jadi makin bingung.

Di sela-sela kekacauan itu, saya melihat buku bergambar yang belum lama ini saya belikan untuknya. Buku berjenis board book, buku berbahan karton yang kertasnya keras dan tak mudah sobek, itu segera saya ambil. Putri pertama saya yang sedang mengamuk langsung saya panggil dan saya dudukkan di atas paha saya. “Mbak Azka, kita baca buku, yuk”, ajak saya. Amuknya yang barusan menggelora perlahan mereda, dan dengan celotehnya yang khas, Mbak Azka tampak mulai termakan “bujuk rayu” saya.

Sekarang, Mbak Azka sudah tampak tenang. Sambil menciumi pipi montoknya, saya mulai mengajaknya untuk membaca buku yang sudah ada di tangan saya. Beberapa saat kemudian, kami berdua sudah asyik-masyuk membaca buku yang, ternyata, berjudul Aku Anak Sabar itu. Sepertinya, buku telah berhasil mengalihkan amukannya yang barusan.

Cara ini, membujuk putri saya yang marah untuk membaca, ternyata sangat ampuh bagi putri pertama saya, tapi “belum” untuk putri kedua saya, Fidel. Kalau si adik sedang marah, membujuknya untuk membaca buku ternyata tidak meredakan amarahnya. Marah sang adik pun beda-beda-tipis dengan si kakak. Kalau si kakak marah, sangat mudah untuk dialihkan amarahnya. Berbeda dengan si adik. Kalau ada kemauannya yang tidak dituruti maka ia akan terus mengejarnya sampai dapat, meski harus menghamburkan literan air mata dan mengomel tak jelas dengan bahasa balitanya.

Pernah suatu pagi istri saya sakit perut dan ingin ke kamar mandi, sedangkan Fidel sedang asyik menyusu kepadanya. Entah karena nggak tahan atau bagaimana, istri saya langsung meninggalkan tugasnya dan langsung berjalan setengah berlari ke kamar mandi. Terkaget karena puting susu umminya tiba-tiba menghilang, Fidel langsung menjerit dan berlari ke luar kamar untuk mencari umminya. Bujukan dan rayuan saya tak mampu menghalangi langkahnya ketika itu. Beberapa detik kemudian, saya mendapatinya sedang menggedor-gedor pintu kamar mandi sambil berteriak, “Ami, tutu...”. Begitulah.

Setiap anak memang spesial, dan karena itulah perlakuannya pun spesial. Saya memang bukan orang terbaik untuk membincangkan tema meredakan amarah anak, karena terkadang, kondisi fisik dan mental yang letih cukup memengaruhi kadar emosi saya saat menangani anak yang marah. Tapi saya sadari, meredakan amarah anak memang punya seni tersendiri. Dalam hal ini, rasanya saya perlu belajar banyak dari para orangtua yang telah lebih dulu menjadi orangtua daripada saya.

Siapa tau Anda bisa membantu saya untuk mengajari bagaimana cara yang tepat untuk memperlakukan amuk anak-anak kita.

Monggo. [wahidnugroho.blogspot.com]



H2, Juli 2011

Sabtu, 09 Juli 2011

Bukunya Anak-Anak





Jumat kemarin (8/7) saya pergi ke bandara Syukuran Aminudin Amir di Bubung untuk mengambil paket buku Halo Balita-nya mbak Azka dan dek Fidel yang saya pesan dari seorang teman di Jogja beberapa hari yang lalu. Semoga buku ini bisa bermanfaat dan, pastinya, tahan lama. Maklum aja, buku-buku mbak Azka n dek Fidel yang sebelumnya sukses berubah bentuk jadi serpihan n sobekan kertas hehehe... Semoga saya dan istri bisa istiqomah untuk menumbuhkan kecintaan membaca kepada kedua putri kami. Amin.


Selasa, 05 Juli 2011

Menjaga Nyala Stamina Baca

 Lagi-lagi ada kabar gembira yang datang dari istri saya. “Aku sudah selesai baca buku yang ke dua, say”, ujarnya semalam. Dan setelah itu, dirinya kembali asyik memilah dan memilih buku apa lagi yang akan dibacanya sebagai buku ketiganya. Setelah sedikit berdiskusi dengan saya, jatuhlah pilihannya kepada buku kecil berjudul Perang Khandaq karangan Drg. Syukri Wahid.

“Membaca itu ternyata kalo udah enak jadinya malah asyik ya”, akunya. Saya mengiyakan. Membiasakan diri untuk melakukan hal yang baru memang butuh adaptasi. Namun kalau chemistry-nya udah dapet, maka melakukannya tak lagi sulit. Termasuk dalam urusan membaca.

Nyaris semua orang suka membaca. Baik itu membaca buku, majalah, SMS, koran, iklan, pamflet, slip gaji, atau apapun. Tapi, tidak semua orang memiliki stamina kebetahan membaca yang cukup kuat, itu menurut saya. Lucunya, saya malah pernah menjumpai kasus orang-orang yang menjadikan aktivitas membaca sebagai salah satu terapi susah tidur. Ssst.. tapi jujur aja ya, saya juga termasuk orang yang pernah menjalani “terapi” ini lho, hehehe...

Para ulama terdahulu merupakan generasi pembaca buku yang memiliki kerakusan baca stadium akut dan stamina baca tingkat tinggi. Kita mungkin ingat tentang koleksi buku-buku yang sangat berlimpah di perpustakaan Baghdad, Granada, dan di bumi Islam lainnya. Malahan, saya pernah membaca kisah seorang ulama yang saat tidurnya pun dikelilingi oleh bertumpuk-tumpuk buku.

Lalu, bagaimana cara melatih kekuatan stamina baca kita? Ternyata, semangat yang membara saja tidak cukup. Ada cara lain yang sifatnya teknikal yang bisa kita gunakan untuk menjaga nyala stamina baca kita sehingga aktivitas baca yang awalnya membosankan menjadi kegiatan yang mengasyikkan.

Pertama:  Kombinasi
Maksudnya begini. Ketika kita sudah selesai membaca buku yang cukup tebal, maka kombinasikan dengan buku berukuran sedang atau tipis. Ini berguna untuk menjaga agar kita tidak mudah bosan saat membaca buku-buku berukuran tebal.

Kedua: Libatkan Sastra
Ini pengalaman saya pribadi. Ketika diri ini penat membaca buku-buku bertema berat, apalagi bila buku itu berukuran cukup tebal, pilihan selanjutnya biasa jatuh kepada buku-buku fiksi. Fiksi apapun. Bagi saya, fiksi baik novel maupun cerpen, atau juga puisi, berfungsi untuk mengendurkan syaraf-syaraf yang tegang saat kita membaca buku-buku yang berat.

Ketiga: Buat jeda
Jeda, kata Ibnul Qayyim, adalah bagian dari perjalanan juga. Jadi, ketika aktivitas membaca kita sudah sedemikian jauh dan larut, maka ambillah jeda barang sejenak untuk beristirahat. Mengisi masa jeda ini bagi setiap orang mungkin tidak sama. So, buatlah momen jeda itu menjadi setenang dan senikmat mungkin. Jeda itu bisa berupa jalan-jalan ke tempat yang menyenangkan. Mungkin bisa berjalan-jalan di taman, pantai, bukit belakang rumah, atau sekedar duduk-duduk di serambi masjid. Atau bisa juga dengan mencoba resep masakan baru, bercengkerama dengan anak dan pasangan kita, atau dalam bentuk lain.

Keempat: Qui Scribit Bis Legit
Orang yang menulis, maka dia membaca dua kali. Begitu makna kalimat latin di atas. Imam Syafi’i mengatakan bahwa cara terbaik untuk mengikat bacaan kita adalah dengan cara menuliskannya kembali. Hernowo mengistilahkannya dengan “Mengikat Makna”. Jadi, kalau kita mau stamina baca kita cukup kuat, bahkan sangat kuat, untuk mengambil tantangan baca selanjutnya, maka tuliskan kembali apa-apa yang telah kita baca barusan.

Tulisan ini tidak perlu dalam bentuk resensi yang njelimet. Mungkin dengan membuat review singkat dari buku yang kita baca, “Hari ini saya menamatkan buku ini, yang dikarang oleh fulan dan bertemakan tentang ini dan itu, dan seterusnya dan sebagainya”. Jangan lupa, tuliskan pula kesan-kesan yang kita dapat dari buku yang kita baca itu. Ini penting karena keterikatan kita dengan buku yang kita baca membuat kadar informasi yang kita dapat tetap terjaga keberadaannya.

Cara keempat ini, menurut saya – berdasarkan pengalaman para sastrawan dunia – merupakan cara terbaik untuk menjaga nyala stamina baca kita.

Terakhir: Lakukan sekarang juga
Niat yang baik tak perlu untuk ditunda-tunda bukan. Maka mulai saat ini, pergilah ke lemari buku Anda, pilah dan pilih buku apa yang Anda suka, dan bacalah buku itu saat ini juga. Atau kalau Anda saat ini sedang sibuk, bawalah buku itu ke kantor atau ke tempat aktivitas Anda, dan lahaplah ketika Anda sudah tiba di sana. Tapi jangan sampai mengganggu pekerjaan Anda ya, hehe..

Tulisan ini saya buat bukan karena saya adalah orang yang paling banyak membaca buku ketimbang Anda yang membaca tulisan ini. Saya hanyalah orang yang suka membaca dan ingin Anda pun juga menyukainya.

Silahkan.

[wahidnugroho.blogspot.com]



Simpong, Juli 2011

Senin, 04 Juli 2011

Motivasi Dosis Tinggi

Prolog

Sepekan belakangan ini, istri saya lagi rajin-rajinnya baca buku. Sebuah buku berjudul Aku Dan Al Ikhwan Al Muslimun karangan Dr. Yusuf Qardhawy yang cukup tebal itu berhasil dilahapnya dalam jangka waktu kurang dari lima hari. Saya kagum dengan effortnya yang luar biasa itu.

Terkadang, saya mendapatinya tengah khusyuk membaca walau anak-anak sedang sibuk menghambur-hamburkan mainan mereka di atas lantai, atau kala sang adik tiba-tiba berteriak karena berkelahi dengan sang kakak. Kalau sudah begitu, istri saya segera meletakkan bukunya, mengantar anak-anak untuk ke kamar mandi atau sekedar melerai perkelahian mereka. Tak seberapa lama, dirinya sudah asyik-masyuk lagi dengan buku yang sudah dibacanya.

Saya sendiri, selama istri menyelesaikan bacaannya, lumayan dicuekin. Tapi nggak masalah. Toh saya juga lumayan sering nyuekin istri kalo saya lagi asyik-asyiknya mbaca buku hehe.. Tapi intinya, saya senang dengan antusiasmenya untuk membaca, atau lebih tepatnya antusiasmenya untuk membaca buku sampai tamat. Memang, dibutuhkan niat yang sangat kuat untuk dapat menamatkan sebuah buku.

Tak jarang kesibukan dan kebosanan kerap melanda bagi kita yang sudah berniat untuk membaca buku sampai tuntas. Apalagi bagi kami yang sudah berlabel sebagai orangtua dengan dua anak bayi yang enerjik dan tak kenal lelah itu, misalnya. Atau bagi sebagian orangtua lainnya yang mungkin jumlah anaknya jauh lebih banyak dengan energi yang jauh lebih besar pula. Atau bagi beberapa orangtua yang tingkat kesibukannya begitu luar biasa sehingga waktu luang menjadi barang yang langka baginya. Tentunya dibutuhkan motivasi dosis tinggi untuk menamatkan sebuah buku bagi para orangtua seperti itu.

Bagi saya pribadi, ada tiga motivasi dasar yang mendorong saya, dan coba saya tularkan kepada istri dan keluarga saya, untuk membaca.

Pertama: Semangat Ibadah
Perkara niat ini memang sesuatu yang klise. Tapi klise bukan berarti harus diabaikan begitu saja. Iqra’ (baca!) adalah perintah pertama bagi umat muslim yang tercantum di dalam Al Qur’an. Selain itu, ada banyak sekali ayat-ayat di dalam Al Qur’an yang memerintahkan kita untuk “mengetahui”, dan gerbang pertama menuju brankas pengetahuan adalah membaca.

Kedua: Kebutuhan akan informasi
Kenapa kita bekerja dengan sangat keras setiap hari? Alasan mendasarnya sangat sederhana. Karena kita butuh dengan uang, sebagai hasil dari pekerjaan itu, misalnya, selain motivasi lainnya. Begitu juga dengan membaca. Buku adalah jendela dunia. Begitu katanya. Bagi para Murabbi, misalnya, membaca adalah basic-needs yang harus dipenuhi tanpa kompromi. Sedangkan kebutuhan lainnya dari membaca adalah sebagai sarana hiburan dan rekreasi jiwa.

Bila pemenuhan akan kebutuhan ini begitu kuat, maka menamatkan sebuah buku, yang dapat memenuhi kebutuhan itu, bukan sebuah kesulitan.

Ketiga: Semangat keteladanan
Bagi saya pribadi, poin ketiga ini adalah sebab yang paling memberikan saya motivasi dosis tinggi untuk membaca buku. Alasannya jelas, sebagaimana yang pernah saya tulis sebelumnya, cara termudah untuk menciptakan anak-anak yang suka membaca bermula dari keteladanan orangtuanya. Tak perlu banyak teori, tak perlu banyak argumentasi, membacalah di hadapan anak-anak kita akan memberikan efek yang begitu kuat bagi mereka untuk ikut membaca sebagaimana yang orangtuanya lakukan.

Ini adalah impian pertama saya untuk anak-anak saya kelak. Nggak muluk-muluk. Saya hanya ingin anak-anak saya menjadi generasi pembelajar yang memiliki kerakusan akut terhadap buku. Buku-buku yang baik dan bergizi, tentu saja.

Epilog

“So many books, so little time”, begitu kata Frank Zappa. Apa kata komposer ternama sekaligus maniak buku itu saya kira benar adanya. Dan semuanya berpulang kepada terbatasnya waktu yang ada. Dengan semakin bercabangnya tugas dan bertumpuknya kewajiban yang harus diselesaikan, kita memang harus berakrobat sedemikian rupa untuk merealisasikan semangat baca yang menyala itu. Ini memang bukan perkara mudah dan hanya kepadaNya-lah saya memohon pertolongan.

Semoga Allah ringankan ikhtiar ini.

[wahidnugroho.blogspot.com]


Simpong, Juli 2011