Jumat, 29 Februari 2008

Ra Popo Nduk....



Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Perutku malam itu terasa begitu lapar. Aku pun memutuskan untuk membeli nasi goreng ke daerah Ceger. Beberapa menit kemudian, aku sudah nangkring di atas sepeda motor lawasku itu. Setelah timbang-menimbang mau beli nasi goreng di mana, aku akhirnya memilih untuk membeli nasi goreng yang ada di daerah Kalimongso. Kalau aku tidak khilaf, di depan kost-kostan Puri Lestari ada penjual nasi goreng yang penjualnya sepasang suami dan istri yang sudah cukup berumur. Kelihatannya, tempat itu cukup ramai kalau malam, dan yang pasti, katanya enak. “Ah, kesana saja deh”, ujarku memutuskan. Ok, keputusan sudah dibuat. Tinggal melaju ke lokasi.

Malam itu agak dingin karena baru saja turun hujan. Aku merapatkan letak jaketku untuk menjaga supaya tubuhku tetap hangat. “Hmmm… dingin-dingin begini memang paling pas untuk makan nasi goreng”, batinku.

Dan tibalah aku di lokasi penjual nasi goreng tersebut. Kulihat, sebuah gerobak tua yang menghadap ke kost-kostan Puri Lestari dan di bawahnya tanah becek karena habis diguyur hujan. Di hadapanku, tampak bapak tua sang penjual nasi goreng itu sedang melayani beberapa orang pembeli, yang tampaknya adalah mahasiswa. Aku memesan satu porsi untuk dimakan di tempat. Setelah itu, aku mengambil tempat duduk di tempat yang sudah disediakan.

“Yang pedes ya pak, tapi tolong jangan pakai vetsin”, pesanku.

Si bapak penjual mengangguk sambil tersenyum, “Ya, mas”, balasnya sambil tangan kanannya mengaduk nasi yang ada di dalam wajan. Sementara itu, istrinya terlihat sedang sibuk menata kertas pembungkus dengan irisan timun dan tomat.

Tampaknya,di antara beberapa pembeli yang ada saat itu hanya aku saja yang tidak membungkus untuk dibawa pulang. Mungkin, hawa dingin yang cukup menusuk malam ini memang membawa kenikmatan tersendiri bagi para mahasiswa itu untuk menikmati nasi goreng panas di dalam kamar mereka yang hangat. Tapi aku kelihatannya tidak terlalu terpengaruh dengan suasana malam itu. Bagiku yang penting kenyang.

Tak lama kemudian, nasi gorengku sudah jadi. Tampak uapnya mengepul, mencoba mengalahkan udara dingin malam itu. Hanya sepersekiandetik kemudian, beberapa sendok nasi goreng itu sudah terjun bebas ke dalam perutku.

“Weh, emang bener kata si Fulan, nasi goreng di sini rasanya emang lumayan enak”, batinku sambil melahap satu dua sendok nasi. Nyam, uenak tenan. Alhamdulillah. Sambil menikmati nasi goreng yang rasanya mak nyus itu, aku melirik ada beberapa pembeli lagi yang datang untuk memesan. Tapi lagi-lagi, tak ada yang dimakan di tempat, semuanya dibungkus untuk dibawa pulang.

Prakk..

Ritual makan enak itu tiba-tiba terhenti. Kutolehkan pandanganku ke arah suara tersebut. Tampak sang istri penjual nasi goreng itu menjatuhkan sepiring nasi putih yang sedianya dipersiapkan untuk dimasukkan ke dalam wajan. Saat itu, wajahnya terlihat gugup, mungkin takut dimarahi suaminya sendiri di depan banyak pelanggannya. Gerakannya pun tampak panik ketika membereskan kekacauan kecil itu. Sang suami segera menghentikan sejenak kegiatan mengaduk nasi gorengnya. Dikecilkannya api kompor dan dihampirinya sang istri dengan gerakan segera.

Aku pun sudah bisa menebak apa yang akan terjadi, bahwasanya sang suami akan meneg….

“Kowe ra popo nduk?”, tanya suaminya dengan suara yang sangat lembut. Tangan kanannya langsung menggamit pundak sang istri. Sedang dari bibirnya terlihat senyum.

“Senyum? Yang benar saja?!”, seruku dalam hati karena heran melihat adegan ajaib (baca: romantis) di depan mataku itu. Sontak, spasi itu jadi semakin bertambah. Aku pun tertarik memerhatikan pasangan pengantin lama itu.

“Aku ra popo mas. Maaf nggeh”, ucap sang istri dengan nada bersalah.

“Wes gak popo nduk, seng penting kowe apik-apik wae”, ujar sang suami, masih dengan suara lembutnya. “Nek uwes, gek ndang wayahono segone ben gek ceket rampung yo”, sambungnya, masih dengan suaranya yang lembut.

“Injeh mas”, sang istri membalas perlakuan suaminya itu dengan senyum. Telah hilang gurat kepanikan itu dari wajahnya. Sejenak kemudian, dua orang itu sudah sibuk dengan urusannya masing. Dan aku? Aku masih melongo karena peristiwa itu. Aku masih belum percaya atas apa yang kusaksikan barusan.

Subhanallah! Apa yang baru kusaksikan ini seperti dongeng saja! Suami itu tidak marah saat istrinya melakukan kesalahan, malah ditanggapinya kesalahan itu dengan sikapnya yang santun. Sebuah penyelesaian yang penuh dengan cinta. Subhanallah, lisanku tak henti-hentinya mengucapkan itu dengan lirih. Tanpa kusadari, ada semacam perasaan sejuk yang mengalir di dalam hatiku saat itu. Perasaan apa itu, aku tak tahu. Mungkin terharu, atau bisa jadi bahagia. Tapi apa yang membuatku bahagia? Begitu tanyaku di dalam hati.

Mungkin perlakuan sang suami itu yang membuatku bahagia. Perlakuan yang sangat memuliakan istri, perlakuan seorang laki-laki sejati yang tahu akan makna cinta yang sejati. Bahwasanya cinta itu seharusnya mengobati, bukanlah menyakiti. Duh, aku tak menyesal telah mengorbankan hangatnya kamarku dengan peristiwa yang menghangatkan itu dalam udara malam yang dingin ini.

Melalui peristiwa itu, aku pun jadi mengkoreksi diriku sendiri. Entah sudah berapa orang yang sudah ‘kusemprot’ karena mereka telah melakukan kesalahan di depan mataku. Dan entah sudah bertapa hati yang kulukai karena ‘semprotan’ku itu. Ya Allah, terima kasih sudah mengajarkanku satu lagi ilmu tentang kehidupan. Semoga ke depannya aku bisa lebih santun lagi dalam menyikapi kesalahan yang dilakukan orang terhadapku. Semoga.

Dan kepada bapak itu, astaghfirullah, aku mohon ampun kepadaMu ya Allah jika telah berburuk sangka kepadanya. Aku tahu, prasangka lirih tadi tidak didengarnya, tapi aku yakin bahwa Engkau Mengetahuinya ya Allah. Oleh karenanya, maafkan hambaMu yang gemar berprasangka ini ya Allah. Amin.

Jadilah malam itu aku mendapatkan sebuah pelajaran yang berharga dari seorang bapak tua penjual nasi goreng itu dan istrinya. Aku hanya bisa berdoa, semoga Allah selalu menjaga keharmonisan mereka berdua hingga ajal memisahkan mereka. Dan ketika hendak membayar, tak lupa kuucapkan terimakasihku yang terdalam kepadanya, meski mungkin ia hanya menganggapnya sebagai ucapan terimakasih pelanggan kepada penjualnya. Biar saja. Allah Maha Tahu dengan apa yang ada di dalam hatiku.

Terakhir, aku jadi teringat dengan hadits ini:

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya, dan hendaklah engkau sekalian melaksanakan wasiatku untuk berbuat baik kepada para wanita. Sebab mereka itu diciptakan dari tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok ialah yang paling atas. Jika engkau meluruskannya berarti engkau mematahkannya dan jika engkua membiarkannya, ia tetap akan bengkok. Maka hendaklah kalian melaksanakan wasiatku untuk berbuat baik kepada wanita.” (Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari)

Shadaqallah wa shadaqa rasulullah.


Datu Adam, Februari 2008 Mengenang peristiwa dua tahun yang lalu…

Sabtu, 02 Februari 2008

Kutipan


“Mana yang lebih dulu, ayam atau ayam ‘ide’?” (Herodotus)

Setiap kita yang suka menulis pastilah pernah mengalami yang namanya kebuntuan. Kebuntuan ini bisa berasal dari perasaan yang sedang tidak mood, atau karena memang tidak ada sesuatu yang bisa diungkapkan dalam tulisan. Nah, untuk merangsang agar inspirasi kita saat menulis dapat lahir dan mengalir, saya punya sedikit tips untuk Anda. Cobalah mulai menulis berdasarkan sebuah kutipan. Ya, kutipan.

Contohnya saat kita hendak bicara tentang belajar tapi akal serasa buntu untuk memulainya, maka lihatlah perkataan Plato berikut ini:

“Rasa ingin tahu adalah ibu dari segala ilmu”.

Nah, saya percaya, kebuntuan itu akan pecah dan tangan Anda akan mulai bergerak untuk mempreteli kutipan itu menjadi rangkaian kalimat dan paragraf yang Anda kehendaki. Atau saat kita hendak membahas tentang keadilan Tuhan, cobalah memulai dari dari perkataan Pram berikut ini:

“Tuhan tidak pernah berpihak kepada yang kalah.”

Para ulama klasik pun tak jarang memulai tulisan mereka dari sebuah kutipan yang akhirnya diperluas melalui pemikiran dan pandangan mereka. Biasanya mereka akan mengutip sebuah ayat atau hadits untuk kemudian dibahas sedemikian rupa sehingga mutiara ilmu yang ada di balik kutipan ayat dan hadits itu bisa dirasai manfaatnya.

Imam Syafi’i sendiri, sepengetahuan saya, pernah menarik seribu kesimpulan hukum lengkap disertai dalil dari renungan atas sebuah hadits pendek dalam semalam. Bayangkan! Hanya berasal dari sepotong hadits pendek, beliau rahimahullah berhasil melahirkan seribu inspirasi yang juga berarti melahirkan seribu manfaat, bahkan lebih.

Itulah mengapa, saya paling suka mencorat-coret buku saat membaca. Saya biasa memegang stabilo atau pensil untuk menandai bagian ataupun kalimat yang menarik perhatian saya dari sebuah buku. Kalimat-kalimat yang saya tandai itu nantinya akan saya salin kembali ke dalam komputer ataupun ke sebuah buku yang berisi kumpulan kutipan dari buku-buku yang sudah saya baca.

Selain itu, kebiasaan saya mencorat-coret buku ini cukup membantu saya saat menulis maupun berdiskusi. Karena saya terkadang mengikutkan kutipan-kutipan yang sudah saya rekam itu baik dalam tulisan maupun perkataan saya.

Bagaimana? Mau mencoba? Cobalah.

Datu Adam, Januari 2008