Jumat, 30 November 2012

Tadabbur: Kebaikan

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” [QS Ibrahim 24-25]


Surat Ibrahim ayat 24 ini adalah surat yang cukup memorable bagi saya. Kisahnya berawal ketika saya masih kuliah tingkat satu di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Waktu itu, salah seorang kakak kelas pernah meminta saya untuk menghafalkan empat ayat dari Surat Ibrahim ini, yakni ayat 24-27, sebagai tugas untuk mengikuti sebuah acara daurah. Saya menyanggupinya dan, alhamdulillah, berhasil menghafal empat ayat lebih banyak dari yang seharusnya saya selesaikan. Sampai hari ini saya masih hafal dengan baik ke-delapan ayat itu dan kerap merapalnya dalam berbagai kesempatan atau ketika sholat sendiri.

Oleh karenanya, ketika ustadz kami menyinggung tentang ayat ini dalam sebuah majelis pembinaan, memori saya langsung berputar ke masa delapan tahun yang lalu dan menikmati kenangan yang terjadi ketika surat ini kembali hadir dalam aktivitas saya.

Saya suka dengan kedua ayat di atas – actually, saya suka semua ayat di dalam Al Qur’an tanpa terkecuali. Saya bukan penafsir Al Qur’an, saya tidak paham tentang kosakata bahasa Arab. Tapi saya mampu merasa bahwa maksud dari surat ini akan sangat indah bila kita mau menjalankannya.

Surat ini berkisah tentang perumpamaan kalimat yang baik. Bahwasanya sebuah kalimat yang baik Allah ibaratkan sebagai sebuah pohon yang akarnya kuat, batangnya menjulang, dan bahkan memberikan kemanfaatan lainnya berupa buah yang bisa kita nikmati rasanya. Saya jadi berpikir seperti ini: Andai satu kalimat yang baik, sekali lagi satu kalimat, saja sudah sebegitu besar manfaatnya, apatah lagi bila kalimat itu berbuah tindakan yang baik? Apalagi bila tindakan yang baik itu tidak hanya dilakukan oleh satu orang, tapi juga memasyarakat, melembaga, dan menegara? Maka sudah barang tentu manfaatnya akan jauh lebih banyak dan jauh lebih luas daya jangkaunya.

Negara ini sesungguhnya diisi oleh orang-orang yang baik, atau orang-orang yang sedang berusaha untuk menjadi baik. Saya yakin itu. Mungkin ada yang kadar kebaikan di dalam dirinya lebih dominan, mungkin ada yang tidak. Mungkin ada yang porsi kebaikan di dalam dirinya lebih menonjol, mungkin ada yang kurang. Mungkin ada yang lebih pede dalam melakukan kebaikan, mungkin ada yang masih malu-malu. Mungkin ada yang sudah mencukupi kebaikan untuk dirinya sendiri, mungkin ada yang ingin mendistribusikannya kepada orang lain. Semuanya ini baik. Semuanya ini tidak salah. Yang tidak baik dan yang salah itu adalah ketika harapan kita akan eksistensi kebaikan ini meluntur, memudar, dan menguap sama sekali.

Orang-orang yang telah meluntur, memudar, dan menguap optimismenya terhadap orang baik dan kebaikan sebenarnya lebih parah daripada orang yang tidak berbuat baik sama sekali. Karena optimisme adalah nafas kehidupan, harapan adalah nyawa sebuah peradaban. Bila tidak ada optimisme maka tidak akan ada lagi orang yang rajin bekerja untuk memenuhi hajat hidupnya, tidak akan ada lagi seorang ayah yang banting tulang setiap hari untuk menafkahi anak dan istrinya, tidak akan ada lagi seorang ibu yang menyusui dan memelihara anaknya dengan sepenuh hati dan jiwa karena apa yang mereka lakukan adalah sia-sia belaka.

Manusia bisa mati, badan dan tulang-belulang bisa hancur dimakan tanah, namun optimisme akan eksistensi kebaikan dan orang-orang yang memperjuangkannya akan selalu hidup melebihi usia kehidupan itu sendiri. Maka mengejawantahkan kebaikan dalam setiap kata dan kerja kita adalah sebuah keniscayaan. Memasyarakatkan kebaikan dan mengokohkannya adalah tugas kita yang berikutnya. Kebaikan bisa berwujud apa saja. Kebaikan bisa memiliki banyak bentuk. Namun simpul dari semua kebaikan hanya satu: kebermanfaatan.

Itulah sebabnya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya. Manfaat adalah simpulnya, dan kebaikan adalah tali-tali temali yang terjulur darinya. Karena dari setiap kebaikan yang kita lakukan maka akan lahir manfaat demi manfaat yang bisa dirasakan oleh sesama kita.

Maka marilah kita membiasakan diri untuk berkata yang baik, bertindak yang baik, berpikir yang baik, dan berprasangka yang baik. Marilah kita menebar benih-benih kebaikan dan kebermanfaatan, bukan benih-benih keburukan dan kesisa-siaan. Mari kita menanam pohon-pohon optimisme, bukan menebar hama-hama pesimisme dan keputus-asaan.

Pembiasaan ini memang akan membuat kita sedikit tidak nyaman, pembiasaan ini bisa jadi akan memakan waktu yang panjang dan tidak sebentar, tapi saya yakin kita pasti bisa melakukannya. Karena kita punya optimisme bahwa hanya kebaikanlah yang akan kita wariskan bagi keturunan kita kelak, bukan harta dunia yang sifatnya fana dan sementara. Dan bagi kita sebagai seorang mukmin, kebaikan adalah investasi akhirat yang akan selalu mengalir pahalanya walau nyawa tak lagi dikandung raga.

Semoga urusan ini dimudahkanNya. Amin ya mujiib as saailiin. [wahidnugroho.com]



Garuda, November 2012 


Kamis, 22 November 2012

Tentang Perbedaan


Allah menciptakan kita semua dalam kondisi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Saya seperti ini, Anda seperti itu. Isi kepala saya begitu, isi kepala Anda begini. Kecenderungan hati saya kesana, kecenderungan hati Anda kesini. Selera saya disini, selera Anda disana. Saya ganteng, Anda kurang ganteng. Saya keren, Anda kurang keren. Saya cakep, Anda kurang cakep. Kita memang berbeda. Karena itulah masing-masing kita unik.

Kita unik karena kita punya ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh orang lain. Bisa jadi ada satu, dua, sepuluh, bahkan seribu kesamaan antara saya dan Anda. Tapi dalam detail tertentu kita pastilah berbeda.

Contohnya dalam hal makan sambel. Anda bisa jadi suka sambel yang pedasnya membahana (ups, maaf saya pinjam kata-kata ini), saya suka sambel yang pedasnya merambat dengan sopan, yakni sambel yang awalannya berasa agak manis tapi lama-lama bikin mata menangis. Di seberang sana mungkin ada yang suka sambel dengan terasi yang banyak, di seberang sini mungkin sebaliknya. Di sebelah sana mungkin suka sambel yang dicampur gula aren, di seberang sini mungkin tidak. Di sudut sini mungkin suka sambel yang isinya cabe rawit saja, di sudut sana mungkin suka sambel yang dicampur dengan cabe keriting. Nah, karena dalam urusan makan sambel saja kita sudah punya perbedaan yang cukup mencolok dan membahana (halah, kepake lagi kata-kata ini) seperti itu, maka keragaman fikir kita pun pasti akan ada.

Saya jadi ingat ketika di awal-awal pernikahan dulu istri saya membuatkan masakan favoritnya untuk saya, yang celakanya itu bukan masakan favorit saya, bernama kuah asam. Anda yang dari Sulawesi pasti tau donk apa itu kuah asam? Kuah asam adalah ikan yang dimasak kuah. Semacam sup ikan dan segala rempah-rempahnya. Istri saya mungkin tidak tahu kalau saya bukan pecinta ikan. Lha ikan goreng yang kemeripik aja kadang tidak saya makan, apalagi ikan yang basah kuyup begitu. Maka tanpa mengurangi rasa cinta saya kepadanya, masakan itu pun tidak saya sentuh sama sekali dan saya katakan kepadanya, “Kalau mau masak kuah asam silakan, tapi saya tidak ikut makan”.

Ketika ada situasi seperti ini, setiap kita mungkin punya sikap yang berbeda. Saya cenderung terus terang ketika tidak suka akan sesuatu dan tidak suka menyimpan ketidaksukaan saya itu, Anda mungkin sebaliknya lebih memilih menyimpan dan menyelesaikannya dalam diam. Lalu mana sikap yang benar dan mana yang salah? Tidak ada yang salah, semuanya benar. Intinya adalah soal komunikasi. Mengkomunikasikan ketidaknyamanan, ketidaksukaan, ketidaksetujuan itu secara elegan dan beradab kepada pasangan kita masing-masing.

Kembali ke soal kuah asam. Lalu, apakah saya jadi tidak cinta kepadanya hanya karena urusan kuah asam? Apakah cinta harus diukur dari semangkok kuah asam? Apakah perkara kuah asam ini tidak bisa dikompromikan sehingga saya dan istri harus berantem tujuh hari tujuh malam dan pisah ranjang sampai akhir bulan? Tentu saja tidak, bagi saya.

Kuah asam itu soal kecil begitu juga soal tidur yang mendengkur, sambel yang terlalu pedas, bau badan yang kurang membuat nyaman, warna baju yang tidak sepadan, atau perkara tertentu yang terjadi di atas ranjang  (dan mungkin juga tidak terjadi di atas ranjang #IYKWIM). Ini perkara kecil. Bisa dibicarakan, bisa dikompromikan, bisa diselesaikan secara baik-baik. Bentuk penyelesaiannya bisa beragam, intensitas penyelesaiannya juga beragam. Intinya adalah komunikasi, kesabaran, dan kejujuran hati.

Karena ini soal kecil, soal sepele dan remeh temeh, maka jangan sampai menjadi penghalang kita untuk berbahagia dalam pernikahan, meski ada perbedaan yang cukup menganga antara diri kita dengan pasangan kita. Jangan sampai perkara sepele itu menjadi faktor yang menentukan bahagia dan tidaknya pernikahan kita. Misi besar yang kita usung kala mengucap ijab qabul itu terlalu berharga, jauh terlalu berharga, bila harus digadaikan dengan urusan sepele ini.

Menyatukan dua pribadi itu, kata Eko Novianto dalam buku Engkaulah Matahariku, seperti memadukan dua batang kayu.

Agar sambungan itu kokoh kedua batang kayu tersebut harus disambung dengan teknik tertentu. Dalam proses penyambungan dengan teknik tertentu itu, masing-masing kayu harus merelakan sebagaian dirinya dipotong, dibentuk, dan disesuaikan dengan potongan kayu yang lain. Proses pemotongan, pembentukan, dan penyesuaian ini harus dilakukan pada kedua batang kayu secara harmonis. Bukan hanya pada salah satunya. Jika dilakukan hanya pada salah satunya, hasilnya tidak optimal. Padahal kedua batang kayu itu telah tumbuh kuat. Telah lulus quality control. Bahkan keduanya terbentuk secara sistemik untuk menjadi banyak tujuan.


Maka tendensi dan selera pribadi yang telah membentuk diri kita seperti ini bukan untuk dihilangkan sama sekali, tapi hanya perlu untuk dikompromikan dan dikomunikasikan. Kita hanya perlu meletakkan semua rasa “pribadi” itu dalam satu tujuan bersama. Tujuan yang lebih besar dan mulia untuk membangun peradaban ini. Sehingga, bila tendensi itu tidak searah dengan tujuan besar yang sudah dicanangkan tersebut, maka tendensi itu perlu untuk ditinggalkan bahkan dibuang. Hanya saja pertanyaannya adalah, apakah kita sudah menyiapkan ruang besar di dalam jiwa untuk menampung “buangan” itu? Hanya masing-masing kita yang bisa menjawabnya. 

Perbedaan itu, seyogyanya, membuat kita kaya. Iya, kaya. Saya, Anda, dan kita semua. 


Mohon maaf atas ceracauan ini. [wahidnugroho.com]


H2, November 2012