Minggu, 11 September 2016

Tongkat dan Koper

Saat menerima hadiah nobel sastra pada tahun 2006, Orhan Pamuk, novelis asal Turki yang ketika itu keluar sebagai pemenang, memberikan sebuah pidato berjudul Babamın Bavulu atau My Father's Suitcase. Pidato itu kemudian ditranskrip dan dimasukan ke dalam bagian akhir dari buku kumpulan esainya yang berjudul Other Colors. Sayang, buku bagus itu belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia meski transkrip pidato itu sudah diterjemahkan dan diterbitkan secara kolektif dalam buku bagus berjudul Menggali Sumur Dengan Ujung Jarum.

My Father's Suitcase adalah tulisan yang sangat menyentuh. Juga emosional. Dan mengharukan. Dalam tulisan (atau pidatonya) itu, Pamuk menjelaskan perihal peran sang ayah yang cukup signifikan dalam proses perkembangan dirinya yang pada awalnya ingin menjadi pelukis hingga akhirnya menjadi seorang sastrawan berpengaruh di Turki dan dunia ketika itu. Ayahnya pulalah yang menjadi pembaca pertama draft novel Pamuk yang berjudul Cevdet Bey and His Sons.

Dalam upayanya mengenang kembali sosok ayahnya yang telah berpulang, Pamuk mewakilinya melalui sebuah benda berwujud koper yang diwariskan oleh sang ayah dua tahun sebelum dirinya berpulang. Dari koper tersebut, narasi kemudian berkembang dan para pembaca diajak terhanyut oleh gaya khas Pamuk dalam berceritera mengenai sekelumit perjalanan hidupnya hingga menjadi salah satu sastrawan berpengaruh dunia.

Sebandung dengan Pamuk, ada Rusydi Hamka. Putra ke dua dari Buya Hamka ini juga pernah membuat sebuah tulisan yang sangat emosional tentang ayahnya. Tulisan itu berjudul Tongkat-Tongkat Buya dan terdapat pada bagian awal buku yang berjudul Pribadi dan Martabat. Sebuah buku yang muncul tak lama setelah Buya Hamka berpulang untuk selamanya.

Jika Pamuk menggunakan koper sebagai perwakilan sosok ayahnya, maka Rusydi menggunakan tongkat, sebuah benda yang sangat lekat dengan sosok ulama yang terkenal dengan ketegasannya itu.

Tongkat-Tongkat Buya adalah tulisan yang sangat indah. Bagaimana seorang anak mencoba untuk membunuh rasa rindu kepada ayahnya yang sudah berpulang dengan mengenang tongkat-tongkat milik sang ayah yang sebagian besar masih tersimpan rapi di rumah. Kisah tentang kedatangan misionaris, pencuri yang bertaubat, dan ketegangan dengan seorang arab berbadan besar menggarami kenangan itu sehingga terasa lebih nikmat, yang, ironisnya, justru membuat rasa kehilangan itu begitu dalam dan menganga.

Saya tidak malu untuk mengakui bahwa membaca dua tulisan itu membuat pelupuk mata saya menghangat. Karena bagaimanapun, bapak saya juga sudah berpulang dan meninggalkan sebentuk ruang kosong yang begitu besar di dalam hati dan jiwa saya; sampai saat ini. Rasa kehilangan meski bisa diinsyafi dengan memandangi barang-barang peninggalannya, tetap tak bisa membunuh rasa rindu yang kadung berakar kuat di dalam dada.

Mungkin itu alasannya kenapa mamak (ibu) saya masih menyimpan setangan milik bapak dan tidak pernah mencucinya selama bertahun-tahun meski setangan itu dahulu pernah dipakai untuk membersihkan keringat bapak di ujung usianya. Karena dengan cara itulah, memandangi dan menyentuh setangan berbau apak itu, mamak sedang berusaha sekuat tenaga untuk senantiasa mendekatkan jiwanya yang sendu dengan sosok bapak yang sudah meninggalkannya sembilan tahun yang lalu.

Kehilangan, ternyata, sedemikian menyakitkannya. [wahidnugroho.com]



Saaba, September 2016
Reaksi:

1 komentar:

  1. Kita semua, terutama yang telah kehilangan ayah sangat merindukan beliau.

    BalasHapus