Jumat, 23 Oktober 2015

Cerpen

Harus saya akui, saya agak benci cerpen. Terserah apa kata orang, saya tetap agak benci cerpen. Penceriteraannya terlalu singkat dan kurang mendalam. Itu sebabnya, perbendaharaan bacaan cerpen saya cuman sedikit. Lebih banyak novel. Buku-buku kumcer yang ada di rumah pun hanya beberapa saja yang pernah saya baca, itu pun tidak tuntas. Artinya hanya satu dua cerpen saja dari beberapa cerpen yang ada di satu buku. Meski demikian, ada juga cerpen-cerpen yang saya suka meski jumlahnya nggak seberapa seperti cerpen-cerpennya mbak Helvy (Tiana Rosa), Izzatul Jannah, dan om Seno Gumira Ajidarma. Belakangan saya juga suka cerpen-cerpennya O Henry dan Guy de Maupassant.

Hari Rabu kemarin, saya ketemu kaka Beno di lapangan depan kantor Perpustakaan Daerah. Kami bertemu di stand Rumah Baca Jendela Ilmu​ dan saya mendapatinya sedang membolak-balikkan beberapa buku. Kaka Beno ini kawan baik saya selama di Luwuk. Di balik tampang sangarnya, kaka Beno adalah orang yang berhati lembut dan asyik diajak berdiskusi. Meski ada kesan temperamental pada dirinya, sebatas yang saya tahu, ia adalah orang yang kerap bertutur kata sopan bila ngobrol dengan saya.

Pernah suatu hari beberapa tahun yang lalu kami bertemu di pelabuhan rakyat. Saya mau menyeberang ke pulau untuk tugas kantor ketika itu. Mendapati saya yang lagi celingukan di dermaga, kaka Beno mendekat dan menyapa saya. Saya berkata bahwa saya mau ke pulau. Dia bertanya apakah sudah dapet tiket atau belum, mau sewa kamar atau tidak. Saya jawab belum dan mau. Ia langsung bergerak sigap dan mengajak saya ke salah satu loket penjualan tiket yang ada di dekat warung makan yang berderet di sisi barat pelabuhan. Setelah mendapatkan tiket dan kamar, berbekal bantuannya, saya mengobrol sedikit dengan kaka Beno, menanyakan kabar dan sebagainya dan seterusnya.

"Saya mau bangun rumah," katanya.

Saya tanya mau bangun dimana dan ia menyebutkan tempatnya. Disebutkannya nama-nama bahan bangunan yang akan dibelinya. Kami juga berbincang soal keluarga, dan soal remeh-temeh lainnya.

Setelah pertemuan di pelabuhan itu, saya jarang kembali bertemu dengannya. Paling hanya sekali dua kali saja yang hanya diwakili dengan lambaian tangan atau teriakan salam ketika berpapasan di pinggir jalan.

Lama tak ketemu, saya berjumpa lagi dengannya. Ia masih sama seperti dulu. Masih bertampang garang tapi murah senyum (lho). Di depan hamparan buku-buku, kami berbincang tentang beberapa judul buku yang menarik perhatian kami. Salah satu buku yang kami obrolkan adalah Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP)nya  mbak HTR.

Ia lalu bercerita tentang kisah masa lalunya ketika kali pertama membaca buku itu, kesan mendalam yang membekas usai membaca buku itu, dan komitmen yang lahir usai membacanya sampai selesai. Ia bertanya, bagaimana caranya bisa mendapatkan buku KMGP cetakan lama seperti yang sedang ditimangnya ketika itu. Sayangnya, itu pertanyaan yang sulit dijawab karena saya sendiri hanya punya satu eksemplar setelah buku KMGP saya yang lama raib entah kemana. Saya menawarinya buku KMGP terbitan baru yang berwarna ungu tapi dia menolak. Auranya kurang, demikian katanya sambil tersenyum.

Setelah itu kami berbincang banyak tentang buku dan saya merekomendasikan beberapa judul untuknya. Ia juga menawari saya koleksi buku-bukunya di rumah. Supaya ada yang mbaca, katanya. Saya berterima kasih dan menyambut baik tawaran itu.

Ternyata, pertemuan saya dengan kaka Beno membuat saya tersadar bahwa saya nggak benci-benci amat sama cerpen. Cuman emang kurang suka aja hehe. Obrolan dengan kaka Beno ketika itu membuat saya jadi teringat dengan cerpen Ketika Mas Gagah Pergi yang kali pertama saya baca waktu masih SMA dulu itu. Sekitar tiga atau empat belas tahun yang lalu, kalo saya nggak khilaf. Saya meminjamnya dari seorang teman ketika itu.

Cerpen lain yang saya suka adalah Sepotong Senja Untuk Pacarku-nya om Seno, dan kumpulan cerpen Palestina berjudul Hingga Batu Bicara. Saya juga suka cerpen Kado Pernikahan-nya mbak Dian Yasmina Fajri, dan salah satu cerpen di buku kumpulan cerpen Republika yang berjudul Pembisik. Cerpen dengan akhiran yang tak terduga itu ditulis oleh Wisran Hadi.

Nah, jadi tulisan ini sebenarnya mau mbahas soal kaka Beno atau soal cerpen ya? Hehe.. [wahidnugroho.com]

Tanjung, Oktober 2015
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar