Selasa, 06 Oktober 2015

Jangkar

Lelaki berwajah khas Indonesia timur itu tampak kuyu. Sesekali ia menguap dan meregangkan ruas-ruas tubuhnya yang terasa kaku. Seorang teman, sesama buruh pelabuhan, yang mendapati lelaki itu demikian berseloroh dengan nada menggoda.

“So itu ngana jangan talalo sering ba jangkar.”

Lelaki itu tertawa lepas. Giginya yang sebagian menguning tampak berkilauan ditimpa sinar matahari sore yang bersinar lembut.

“Jarang ba jangkar juga bisa bikin badan sakit-sakit,” jawabnya ceria dengan logat Luwuk yang kental.

Keduanya lalu tertawa dan melanjutkan pekerjaannya. Ada muatan yang harus segera mereka bongkar sore ini.

Awal mulanya saya tidak paham, apa yang dimaksud dengan ba jangkar itu. Saya juga tidak sempat bertanya kepada dua orang yang saling berdialog di atas karena ketika itu saya sedang terburu-buru. Beberapa tahun kemudian, saya akhirnya mengerti apa maksud dari istilah ba jangkar yang pertama kali saya dengar ketika kapal yang saya tumpangi merapat di Pelabuhan Rakyat itu: berhubungan suami istri.

Seorang tetangga sering sekali bercanda dengan istilah ba jangkar ini. Jika dilihatnya salah seorang dari kami sudah meminta izin pulang selepas yasinan pekanan di komplek meski waktu belum begitu larut, ia akan langsung nyeletuk sambil tertawa nakal, “So mo ba jangkar ini? Ba kode dulu ke landasan supaya di kase siap memang.” Kami semua jadi tertawa lepas mendengar candaannya yang agak ‘menjurus’ itu.

Tapi begitulah biasanya bapak-bapak kalau sedang berkumpul. Bahasannya tidak akan jauh-jauh dari harta, tahta, dan wanita. Termasuk soal ba jangkar. Jika ibu-ibu akan menjadikan tema ini sebagai bahasan yang menerbitkan rasa malu, mungkin tidak demikian bagi para bapak. Obrolan bapak-bapak seputar tema ba jangkar biasanya akan berlangsung gerr, nakal, dan sedikit eksperimental. Para bapak biasanya akan mudah menerjemahkan aktivitas sakral itu dengan istilah-istilah yang dekat dengan keseharian mereka. Apapun bentuknya. Mulai dari istilah jangkar, landasan, sampai ba paras rumput atau menyiangi rumput.

Pernah suatu hari salah seorang jamaah yasinan akan melanjutkan studinya di pulau Jawa. Praktis, ia akan meninggalkan anak-anak dan, terutama, istrinya dalam jangka waktu yang cukup lama. Salah seorang jamaah yasinan yang berjualan beras lalu bergurau kepadanya.

“Kalau soal beras itu te jadi soal. Tinggal kirim doi (uang), selesai masalah. Yang jadi masalah ini adalah soal keras. Mau te mau, harus didatang akan kalau te mau jadi masalah,” tukasnya dengan tawa yang keras. Kami semua tertawa. Beberapa jamaah hanya geleng kepala sambil ikut tersenyum. Suasana malam yang dingin lagi berangin berubah jadi menghangat.

Perkara ba jangkar ini memang urusan yang jangan sampai diremehkan. Sudah berapa banyak kehidupan rumah tangga yang berantakan karena urusan yang satu ini tidak terkelola dengan baik. Kuncinya adalah komunikasi. Bisa soal waktu dan tempat, durasi, gaya, termasuk juga soal pengantar dan penutupnya. Apalagi jika dibumbui sedikit imajinasi, sensasinya mungkin akan terasa berbeda. Semua bisa dibicarakan, semua bisa dikomunikasikan. Selama tidak melanggar syariat dan mengedepankan kepentingan bersama, kenapa tidak?

Mohon maaf. [wahidnugroho.com]


Kilongan, Oktober 2015
Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar