Rabu, 30 September 2015

Kronik 30 September 2015: Makassar Day 1

Pelataran parkir Mall Panakukkang tampak lengang. Suara cericit burung terdengar lemah dari pepohonan yang menyesaki tempat parkir itu. Jalanan Pengayoman juga tampak sepi. Berkas-berkas sinar mentari pagi berangsur menerang di ufuk timur. Terdengar deru suara knalpot motor dari kejauhan, dibarengi lantunan suara orang mengaji dari sebuah pengeras suara masjid entah dimana. Saya masih tidur-tiduran di kamar hotel Amaris, menggenggam sebuah buku di tangan dan memandangi kamar hotel tempat saya tinggal malam ini yang berukuran sekitar 3x6 meter.


Kemarin siang, pesawat yang membawa saya dari Luwuk mendarat dengan sempurna di Bandara Sultan Hasanuddin, Maros. Meski sempat dilanda turbulensi hebat dua puluh menit sebelum mendarat, perjalanan kemarin pada umumnya cukup menyenangkan. Saya menghabiskan seratus dua – atau seratus tiga – halaman buku George Orwell yang saya baca sejak menunggu pesawat di Bandara Syukuran Aminuddin Amir, Luwuk. Kedatangan saya di Makassar adalah untuk menghadiri acara IHT e-Audit di Kanwil DJP Sulselbrata selama 3 hari bersama teman seruangan saya, Pavit. Ini adalah kunjungan kedua saya di Makassar yang mengambil durasi cukup panjang setelah kali pertama mengunjungi kota ini selama 2 hari pada tahun 2007 silam.


Sampai di Makassar, teman saya, Pavit dan Haji Anca, sudah menunggu di pintu arrival. Haji Anca menjemput saya dan Pavit dengan mobil Rush hitam milik keluarganya. Ia memang sudah berada di Makassar lebih dulu bersama dengan Rido untuk menghadiri acara Forum Penagihan di Hotel Aston. Cuaca di Makassar terik dan panas. Setelah menaruh barang bawaan di bagasi belakang, mobil yang saya tumpangi membelah lalu-lintas yang tidak terlalu ramai.


Mula-mula Haji Anca mengajak kami ke kompleks GKN, sepertinya ia sedang ada perlu dengan Budi, teman sekantor saya lainnya yang sedang ada acara di Kanwil. Sekitar lima belas menit, Haji Anca keluar dari gedung Kanwil dan mengajak kami ke hotel Amaris untuk melihat-lihat kondisi kamar karena Budi menginap di hotel itu sampai besok, sekaligus menunaikan shalat zuhur. Selesai dari Amaris, saya dan rombongan bertolak ke Lotte Mart Panakukkan untuk mencari makan siang.


Waktu sudah menunjukkan pukul tiga kurang beberapa menit. Setelah sempat kembali ke hotel dengan berjalan kaki karena handphonenya ketinggalan, Haji Anca mengajak kami ke dalam mall. Kami bertiga makan siang di D’Cost, di lantai 3 mall. Saya memesan sayur asam, tahu goreng, dan tempe bakar, sedangkan Pavit memesan mie goreng dan Haji Anca memesan nasi goreng.


Selesai makan, kami berkeliling mall sebentar. Saya ingin mencari kaus untuk anak-anak sebagai oleh-oleh. Setelah berkeliling sebentar di Matahari, saya mendapatkan empat kaos putih lengan panjang untuk anak-anak, kemeja putih lengan panjang untuk saya, dan sebuah kaos hijau toska lengan panjang untuk istri. Usai mencari oleh-oleh untuk anak-anak dan istri, saya mengajak kedua teman saya ke Gramedia untuk mencari buku. Meski saya sempat distop selama beberapa menit oleh sales perkakas rumah tangga yang memberikan penjelasan kepada saya seputar produk jualannya, saya akhirnya menyusul Pavit dan Haji Anca ke Gramedia.


Berkunjung ke toko buku adalah ritual yang harus saya lakukan ketika berkunjung ke kota-kota besar. Ritual yang saya mulai sejak tahun 2007 ketika saya datang ke sebuah kota kecil yang tak memiliki toko buku bernama Luwuk. Maka, kedatangan saya ke Makassar ini harus pula disambut dengan pesiar ke toko buku. Saya lalu membeli lima buku: Pulang karangan Leila S. Chudori, Trilogi Otobiografi Bung Hatta, Buku Ini Tidak Dijual karangan Henny Alifah, Sabar Ya Nak karangan Kusnandar, dan On Writing Well karangan William Zinsser. Khusus buku yang saya sebutkan terakhir, buku itu sebenarnya sudah lama saya cari-cari di toko buku online, tapi saya selalu kehabisan. Pernah suatu hari saya mau membelinya di sebuah situs jual beli tapi urung. Beruntung saya mendapatkannya di Makassar.


Selesai dari Gramedia, kami semua pulang. Telapak kaki saya sudah terasa nyaris remuk pasca menyisiri mall selama kurang lebih tiga jam. Saya sengaja mengakhirkan shalat jamak. Sampai di hotel, Budi menyambut kami. Saya mengambil kamar sendiri terpisah dengan Pavit. Setelah mandi dengan air dingin dan berganti baju, saya mengecas handphone yang baterainya sudah sekarat, membongkar segel buku-buku yang sudah saya beli, membacai sinopsisnya di bagian belakang satu demi satu secara sekilas, merapihkan barang-barang bawaan, meneguk nyaris setengah botol air minum, menyalakan semua lampu, dan mulai membaca pengantar buku Otobiografi Bung Hatta.


Sekitar dua jam saya berdiam di kamar. Membaca buku yang baru saya beli secara bergantian, meneruskan membaca Orwell sambil berbaring di tempat tidur. Perut saya terasa lapar. Saya lalu keluar hotel untuk mencari makan. Sebuah warung sarilaut pinggir jalan menjadi pilihan saya. Saya memesan lele goreng dan segelas es teh. Selesai makan, saya berjalan sebentar ke atm untuk membeli pulsa yang sudah habis sejak dari mall, dan kembali ke hotel. Perut sudah kenyang. Saya meneruskan bacaan yang tertunda sampai waktu menyentuh pukul sebelas lebih beberapa menit. Mata saya tak kunjung mengantuk meski badan ini sudah capek bukan main. Tempat asing selalu membuat saya perlu menyesuaikan diri terlebih dulu sebelum mulai memejamkan mata. Saya membayangkan wajah mamak yang sedang ada di Madiun, wajah istri yang saya tinggalkan tadi pagi, dan wajah ketiga putri saya. Mereka semua pasti sudah tidur malam ini, batin saya.


Matahari sudah mulai meninggi meski sinarnya masih sedikit lemah. Waktu sudah menunjukkan pukul enam dan kamar saya masih cukup berantakan. Saya harus membereskan barang-barang saya, mandi, dan bersiap-siap untuk pergi ke Kanwil, dan tersadar bahwa ikat pinggang saya tertinggal di rumah! Acara pembukaan akan dimulai pukul setengah delapan pagi dan Haji Anca akan menjemput kami pagi ini. Semoga hari ini menyenangkan. [wahidnugroho.com]



Makassar, September 2015 

Reaksi:

1 komentar:

  1. Terimakasih banyak atas informasinya. Ceritanya sangat menarik sekali

    BalasHapus