Senin, 28 September 2015

Kronik 28 September 2015

Hari ini, tiga paket berisi buku datang ke kantor saya. Paket pertama dari Pojok Cerpen, kedua dari bu Warih, dan ketiga dan mbak Bukulawas Menk-Menk. Paket pertama berisi empat buku antologi tulisan di situs Mojok, sebuah buku George Orwell, sebuah buku Fyodor Dostoevsky, dan sebuah antologi tulisan Puthut EA. Sedangkan dari pak bu Warih adalah Negeri Tanpa Laki-Laki dan Menjadi Laki-Laki yang dikarang oleh suaminya, pak Eko Novianto, kami biasa memanggil beliau dengan nama Ekonov. Paket terakhir berisi buku-buku yang dikirim oleh mbak Bukulawas dengan judul yang beragam. Salah satunya adalah kumpulan surat Rosihan Anwar untuk istrinya berjudul Memoar Kasih Sayang dan Percintaan.


Khusus buku-buku pak Ekonov, rencananya akan saya serahkan masing-masing sebuah kepada Rumah Baca Jendela Ilmu chapter Mangkio dan Toili. Sedangkan buku-buku lainnya akan saya simpan dulu sebagai koleksi pribadi.


Dari semua buku yang datang hari ini, salah satu buku yang menarik perhatian saya adalah kumpulan essai Puthut EA yang berjudul Mengantar Dari Luar. Beberapa bulan yang lalu, buku ini sempat saya pesan dari sebuah toko online. Sayang stoknya habis. Beruntung saya mendapatkannya dari mas Pocer dengan harga yang cukup bagus. Ini adalah buku pertama Puthut EA yang saya baca. Sebelumnya saya belum pernah membaca secuilpun tulisan beliau. Setelah membaca beberapa bagian secara sekilas, saya langsung jatuh hati dengan warna tulisannya yang begitu tenang, dan sabar mengetiki detil demi detil yang membuat tulisannya jadi terasa padat tanpa kehilangan daya tariknya.


Buku lain yang menarik perhatian saya akhir-akhir ini adalah buku-buku yang diterbitkan oleh Penerbit Oak. Penerbit kinyis-kinyis asal Yogyakarta ini memberi warna baru dalam dunia penerbitan indie dengan tampilan kaver yang segar dan tata letak yang tidak memegal-linukan mata. Saya mengikuti, meski tidak secara intens, postingan-postingan mas Pocer di linimasa Facebook tentang bagaimana penerbit anyar ini lahir di dunia penerbitan buku ketika situasi ekonomi sedang lesu dengan warna dan karakteristiknya yang khas. Diam-diam, saya bermimpi, andai penerbit buku-buku tarbiyah memiliki concern yang tinggi dengan perwajahan buku sehingga buku yang berpotensi-membuat-mata-mengantuk-kala-membacanya memiliki daya tarik bagi khalayak luas, dan tentu saja lebih nyaman untuk dibaca.

Soal perwajahan buku-buku tarbiyah dan buku-buku keislaman ini sebenarnya saya ingin membuat tulisan tersendiri, tapi masih urung saya lakukan. Meski gambarannya sudah lama terbayang-bayang di dalam kepala, saya masih belum merasa percaya diri untuk mendedahkan kegelisahan saya terhadap tampilan buku-buku tarbiyah yang stagnan dan membosankan itu, meski kontennya sangat bermanfaat. Mungkin lain kali saya akan menuliskan khusus tema itu di blog ini.


Selebihnya hari ini biasa-biasa saja. Supervisor saya belum datang dari Surabaya dan situasi kantor masih agak sepi pasca hari raya kurban. Oh iya, kacamata saya hari ini sudah jadi, tapi istri saya tadi siang bilang bahwa kacamatanya baru bisa diambil nanti malam. Kali pertama saya membuat kacamata adalah pada tahun 2006 silam, nyaris 10 tahun yang lalu. Waktu itu minus saya masih belum seberapa, masih 0,25. Ketika pindah ke Luwuk dan membuat kacamata baru karena yang lama framenya sudah patah, saya terkejut ketika mengetahui bahwa minus mata saya bertambah menjadi 0,75.


Azan ashar dari masjid kantor sudah berkumandang. Sembari menunggu kabar kepastian siapa yang akan berangkat ke IHT e-Audit untuk Fungsional pada hari Rabu besok, saya akan menyelesaikan beberapa pekerjaan yang masih tertunda. Deadline penyelesaian tunggakan pemeriksaan tinggal dua hari dan saya masih belum memenuhi target dengan memuaskan. Saya sejatinya berharap tidak dipanggil ke Makassar dulu meski saya butuh juga dengan pelatihan e-audit itu. Tapi ketok palu tetap di kepala kantor. Saya sebagai pegawai akar rumput mah manut aje.

Oh iya, poster acara Minggu Membaca yang digagas oleh Rumah Baca Jendela Ilmu dan Komunitas Penyala Banggai sudah saya upload pagi ini. Saya membuat logo Gerakan Luwuk Membaca sebagai naungan dari acara itu. Idenya memang spontan dan tidak berdasar masukan dari teman-teman. Tapi tidak apa. Semoga rencananya berjalan lancar dan pesertanya bisa datang sampai membludak. Amin. [wahidnugroho.com]



Tanjung, September 2015 

Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar