Sabtu, 12 September 2015

Cerita Dari Balantak II


III


Rumah bapak Manto yang menjadi tempat persinggahan Andik tadi malam sudah tampak. Beberapa orang sedang duduk-duduk di pinggir jalan. Mobil-mobil pick up yang terisi pakaian jadi diparkir tak jauh dari tempat mereka duduk sambil berbincang dan mengepulkan asap rokok. Angin bertiup dari arah bukit yang mendongak di sebelah utara rumah. Lelaki itu lalu memutar mobilnya ke arah timur, Andik muncul dari balik pintu dan memanggil-manggil kepada Rahmat dan lelaki itu untuk segera mendekat kepadanya. Ada teh dan kue yang sudah disiapkan oleh tuan rumah untuknya dan Andik seolah meminta bantuan kepada Rahmat dan lelaki itu untuk ikut menghabiskannya.


Lelaki itu dan Rahmat turun dari mobil dan melangkah ke dalam rumah. Mesin mobil dibiarkan menyala. Terdengar suara musik dari dalam mobil. Rahmat menunggu di teras sementara lelaki itu masuk ke dalam rumah. Secangkir teh yang uap panasnya menari-nari di atas permukaannya yang berwarna cokelat tua terhidang di atas meja bersama kue dadar gulung isi kelapa. Setelah menyeruput satu dua tegukan, lelaki itu memberi kode kepada Andik untuk segera berangkat. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh lewat dan pagi ini akan ada upacara bendera di sekolah. Setelah meminta diri kepada pak Manto selaku tuan rumah, mereka bertiga masuk ke dalam mobil yang langsung membelah jalanan dengan kecepatan perlahan.


Dalam perjalanannya menuju SD Muhammadiyah Balantak, lelaki itu terkenang dengan seorang guru yang pernah mengajar matematika ketika ia kelas 2 SMP belasan tahun yang lalu. Sebut saja nama guru itu ibu Rina. Ibu Rina biasa mengenakan blus yang senada dengan roknya ketika mengajar. Kadang berwarna pink, krem, atau abu-abu tua. Rambutnya mengembang dan mirip dengan potongan rambut Tina Turner di tahun 90an. Ibu Rina biasa mengendarai sepeda motor Honda C50 berwarna merah ke sekolah.


Lelaki itu biasa berpapasan dengan ibu Rina di jalan Kreo, di jalan Kejaksaan, jalan Muchtar Raya, atau di sepanjang jalan Cipadu Raya ketika ia bersepeda ke sekolah. Ibu Rina adalah guru yang tidak banyak bicara kecuali saat mengajar. Pembawaannya yang tenang dan pendiam kadang dimanfaatkan oleh para siswanya yang tidak pernah memerhatikan pelajaran yang dibawakannya. Pernah suatu hari ibu Rina marah kepada para siswanya yang tidak mau mendengarkan ia dan meninggalkan kelas begitu saja dengan wajah memerah sambil menahan tangis. Lelaki itu termasuk salah satu siswa yang merasa bersalah karenanya. Suatu ketika, lelaki itu pulang dari sekolah dengan menumpang angkot. Didapatinya ibu Rina sedang menuntun  sepeda motor antiknya yang mogok di sebuah jalanan yang sedikit menanjak. Dari dalam angkot yang semakin menjauhi sosok ibu Rina, lelaki itu memandangi peristiwa itu dengan pandangan penuh arti.


Barangkali, peristiwa itulah yang kemudian menjadi titik balik lelaki itu untuk bercita-cita menjadi seorang guru -- meski akhirnya cita-cita itu kandas karena masalah biaya. Sebuah cita-cita yang belum pernah terpikirkan oleh lelaki itu sebelumnya meski sepanjang hidupnya ia telah bertemu dengan banyak guru di sekolahnya. Ia teringat dengan guru kelasnya yang sabar ketika ia masih SD dulu, juga dengan wali kelasnya di SMP yang belum lama ini meninggal karena sakit. Ia teringat dengan mantan wali kelasnya yang lain ketika masih SMP yang pernah menampar wajahnya hanya karena masalah salah paham sepele. Tamparan yang masih menyisakan rasa sakit di dalam hatinya karena kedua orangtuanya, orangtua kandungnya sendiri, tak pernah menampar wajahnya. Meski demikian, lelaki itu tetap berbesar hati dan mengalah. Ia akhirnya mendatangi rumah sang wali kelas, meminta maaf – meski ia tidak pernah merasa bersalah – dan menutup hari itu dengan sebuah pelajaran hidup bagi dirinya yang masih belia: bahwa hidup terkadang memang tidak adil.


Balantak mulai menggeliat. Terpal-terpal aneka warna sudah mulai digelar di pinggir-pinggir jalan. Terpal itu akan dipakai sebagai tempat menjemur cengkeh. Aroma manis bercumbu dengan udara pagi yang masih segar. Mobil yang mereka tumpangi membelok ke rumah jabatan camat Balantak. Beberapa orang tampak sudah ada di pelatarannya. Setelah memarkir mobil dan menurunkan kedua penumpangnya, lelaki itu berdiam sejenak di dalam mobil. Rahmat sudah mengeluarkan kamera dan berjalan entah kemana untuk merekam suasana pagi yang indah ini. Lelaki itu keluar sebentar, menyapa beberapa orang yang sedang berdiri di dekat situ, dan kembali duduk di dalam mobilnya. Dikeluarkannya buku yang sejak sepekan terakhir ini selalu mengisi tas kecilnya dan ia mulai membaca.


Satu persatu mobil peserta Kelas Inspirasi sudah mulai berdatangan. Anak-anak berseragam sekolah mulai tampak satu demi satu. Ada yang berjalan kaki sendiri-sendiri, berjalan dalam rombongan kecil, diantar oleh orangtuanya, dan ada yang membawa kendaraan sendiri. Lelaki itu melongok ke bagian belakang mobilnya, mencari-cari  makanan ringan dan air mineral kemasan. Setelah yang dicarinya sudah didapat, lelaki itu kembali larut dalam bacaannya.


Beberapa menit kemudian, lelaki itu menyudahi bacaannya, menaruh pembatas di tempat bacaannya yang terakhir, dan keluar dari dalam mobil. Para peserta sudah banyak yang datang, lengkap dengan ‘seragam kebesaran’ mereka masing-masing. Setelah berbincang sejenak dengan beberapa inspirator dan panitia, menanyakan kondisi dan kesiapan mereka terhadap acara hari ini, dan melempar canda dengan satu dua orang, lelaki itu lalu memberikan isyarat kepada teman-temannya untuk masuk ke dalam mobil. Rahmat pergi entah kemana. Lelaki itu menggumam pelan dan menduga bahwa Rahmat sudah berjalan kaki lebih dulu ke sekolah yang jaraknya tidak seberapa itu. Lelaki itu berkata kepada ketiga orang temannya; Andik, Gian, dan Tuti, untuk segera masuk ke dalam mobil. Tuti meminta kepada lelaki itu untuk membuka bagasi belakang mobil. Ia ingin memeriksa beberapa barang bawaannya terlebih dahulu sebelum berangkat. Setelah memastikan barang-barang itu ada, pintu belakang lalu ditutup dan semua orang segera naik ke dalam mobil. Andik bertanya kemana Rahmat dan lelaki itu menjawab sekenanya, “Mungkin dia lagi merekam matahari terbit.”


Angin bertiup dari arah timur. Menerbangkan debu-debu di jalanan. Menggoyangkan batang-batang pohon kelapa yang menjulur bak penari yang sedang melenggak-lenggokkan tubuhnya. Angin, pohon kelapa, penari. Mendapati pemandangan tersebut, lelaki itu langsung teringat dengan buku Bekisar Merah yang ditulis oleh Ahmad Tohari. Sebuah buku yang getir dan penuh kegamangan.


Matahari makin meninggi. Lelaki itu melirik jam di ponselnya, memperbaiki posisi duduknya, dan kembali menyetel musik. Mobil kembali bertolak ke arah barat. Jalanan Balantak sudah disesaki dengan manusia aneka rupa. Mobil-mobil berplat kuning beberapa kali melewati mereka. Anak-anak kecil berseragam sekolah berjalan perlahan di sisi jalan. Orang-orang berseragam linmas hilir mudik kesana kemari. Seorang bapak paruh baya berjalan sambil membawa bungkusan terpal berisi cengkeh. Atap SD Muhammadiyah yang berwarna biru sudah tampak dari kejauhan. Mobil berbelok ke sebuah lorong yang disesaki hamparan terpal tempat menjemur cengkeh di kiri dan kanan jalan. Seorang lelaki bertopi, berkaus putih, dan bercelana pendek tampak sedang meratakan cengkeh-cengkeh yang masih berwarna hijau. Gugup yang menguasai lelaki itu masih belum jua pergi.


bersambung… [wahidnugroho.com]




Tanjung, September 2015 

Reaksi:

0 celoteh:

Posting Komentar